ISI Blog Catatan Pinggir Gunawan Mohammad - PDFCOFFEE.COM (2025)

ISI Blog Catatan Pinggir Gunawan Mohammad https://caping.wordpress.com/

compiled by mohammad fajar

Origami Agustus 16, 2012 Seorang penulis sejarah yang baik tahu bahwa ia seorang penggubah origami. Ia membangun sesuatu, sebuah struktur, dari bahan-bahan yang gampang melayang. Sebab bahan penyusunan sejarah sesungguhnya bagaikan kertas: ingatan. Ingatan tak pernah solid dan stabil; ingatan dengan mudah melayang tertiup. Seperti kertas, ketika ia menampakkan diri di depan kita, sebenarnya dalam proses berubah. Kita yang menemukannya juga berubah: dengan kepala yang tak lagi pusing atau menatapnya dengan mata yang tak lagi lelah; kertas itu sendiri sedang jadi lecek atau sumbing, lembap atau menguning. Origami, di situ, mengandung dan mengundang perubahan. Berbeda dengan kirigami, ia dilipat tanpa direkat ketat dengan lem atau dijahit mati. Ia bernilai karena ia sebuah transformasi dari bahan tipis dan rata jadi sebuah bentuk yang kita bayangkan sebagai, misalnya, burung undan. Dan pada saat yang sama, ia mudah diurai kembali. Begitu juga penulisan sejarah: ia bernilai karena ia mengandung pengakuan, masa lalu sebenarnya tak bisa diberi bentuk yang sudah dilipat mati. Saya selalu teringat ini tiap 17 Agustus. Hari itu telah jadi sebuah institusi. Kita memberinya nama dan merayakannya dalam sebuah lagu (“Tujuh belas Agustus tahun empat lima, itulah hari kemerdekaan kita…”). Ada yang menjadikannya indikator sebuah revolusi (dengan “R”) dan berbicara tentang “Revolusi Agustus”. Di sekitarnya disusun ritual: tiap pukul 09.00 teks Proklamasi dengan tulisan tangan Bung Karno yang bergegas itu dibacakan kembali. Momen 67 tahun yang lalu itu seakan-akan patung pualam yang tak boleh lekang dan lapuk. Manusia memerlukan itu: patung, ritual, dan upacara. Tapi itu juga yang membuat kita memandang masa lalu sebagai sebuah bentuk yang disederhanakan dan diperindah—seperti origami. Di

balik 17 Agustus sebagai sebuah ingatan yang dilembagakan, ada keadaan dan kerja yang tak terhitung ragamnya: para pemuda yang dengan semangat berapi-api dan jantung berdebar mendesak Bung Karno dan Bung Hatta untuk berani tak patuh kepada penguasa Jepang; Bung Karno dan Bung Hatta yang dengan sabar tapi cemas mengikuti desakan itu—dan kemudian menyusun teks yang di sana-sini dicoret itu; sejumlah orang yang tak disebut namanya yang mengawal kedua pemimpin itu kembali dari Rengasdengklok; orang-orang yang menyiapkan bendera merah putih, pengeras suara, rekaman, upacara sederhana, dan berdoa…. Kerja (dan tak jarang dengan kesalahan dan kebetulan) dalam ragam yang tak habis-habisnya itu bahkan belum bisa membuat suara Bung Karno jadi sebuah gaung yang tak mati-mati, ke seluruh Indonesia, ke hari-hari mendatang. Setelah beratus tahun menunggu, tiba-tiba datang satu saat ketika kolonialisme jebol dan orang Indonesia bisa berkata bahwa dirinya “merdeka”. Sejarah, di balik origami yang rapi itu, tak semuanya rapi. Ia punya elemen yang disebut Bung Karno “menjebol”. Kata itu menunjukkan sebuah aksi; bukan “penjebolan”, bukan “jebolan”, bukan sebuah kesimpulan, atau hasil ataupun keadaan. “Menjebol” menyiratkan sebuah keyakinan yang ada dalam proses. Tapi ia justru bermula seakan-akan mematahkan waktu di tengah. Ia, jika kita pakai pandangan Badiou, adalah sebuah “kejadian”: tiap ikatannya dengan dunia yang-utuh, dengan situasi yang satu, patah. Kejadian itu seakan-akan ditakik dari hidup kita yang seharihari dan “lepas ke bintang-bintang”. Di sini, saya ingin berhati-hati dengan hiperbol. Kata “bintangbintang” bisa terasa terlampau melambung, tak bersentuhan dengan bumi. Salah satu kelemahan Badiou ialah memberi kesan bahwa dalam politik, “kejadian”, l”événement, begitu luar biasa sehingga harus ada orang-orang militan yang lahir sebagai subyek dalam Kebenaran. Sementara itu kita tahu, 17 Agustus bukanlah

sesuatu yang secara ontologis terpisah dari situasi waktu itu. Sama salahnya dengan menganggap Peristiwa 30 September sebagai bukti “kesaktian” Pancasila, kita akan keliru bila menganggap detik ketika Proklamasi itu dimaklumkan adalah sebuah momen yang muncul bagaikan mukjizat. Kita memang bisa menyebutnya sebagai “Revolusi”. Tapi tiap ingatan tentang revolusi selalu terdiri atas bagian yang sudah melayang terbang, atau melapuk—seperti kertas. Bersamaan dengan itu, kata “revolusi” membawa imaji melodramatik, pertentangan penuh gairah dan gundah, yang sering mengharukan tapi juga melenceng. Monumen yang banyak dibangun di Indonesia—prajurit bersenjata, pemuda membawa bambu runcing—membayangkan kekerasan sebagai bagian esensial dalam “Revolusi” itu, meskipun di bulan Agustus 1945 itu tak ada pertempuran apa pun. Yang sering dilupakan, bahkan sebuah revolusi yang eksplosif datang dari perubahan-perubahan yang tidak heboh: politik mikro. Tak semuanya menarik, ganjil, atau heroik. Itu sebabnya, “merdeka” adalah proses. Dalam bahasa Indonesia, kata sifat kadang-kadang bisa juga berfungsi menjadi kata kerja: daun adalah hijau dan itu juga berarti daun menghijau. Maka “Indonesia merdeka” dapat berarti “Indonesia adalah merdeka”, tapi juga bisa berarti “Indonesia menjalankan kemerdekaan”. Seperti “menjebol”, kerja itu masih berlangsung. Pernah ada lelucon pahit. Seseorang yang setelah 17 Agustus 1945 nasibnya tak jadi lebih baik, bahkan memburuk, bertanya: “Kapan merdeka selesai?” Jika kita lihat “merdeka” adalah sebuah laku, pertanyaan itu tak akan ada. Sebab laku itu—yang berlangsung dalam sejarah sebagai proses—tak punya titik yang tetap di depan untuk dituju. Titik itu, untuk jeda, harus tiap kali diputuskan kembali. Itu sebabnya kita perlu membayangkan origami itu tak mati. Dalam bentuk seekor burung undan, kita bayangkan ia terbang

tinggi. ~Majalah Tempo Edisi Kamis, 16 Agustus 2012~

Batman Agustus 6, 2012 Batman tak pernah satu. Maka ia tak berhenti. Apa yang disajikan Christopher Nolan sejak Batman Begins (2005) sampai dengan The Dark Knight Rises (2012) berbeda jauh dari asalmuasalnya, tokoh cerita bergambar karya Bob Kane dan Bill Finger dari tahun 1939. Bahkan tiap film dalam trilogi Nolan sebenarnya tak menampilkan sosok yang sama, meskipun Christian Bale memegang peran utama dalam ketiga-tiganya. Tiap kali kita memang bisa mengidentifikasinya dari sebuah topeng kelelawar yang itu-itu juga. Tapi tiap kali ia dilahirkan kembali sebagai sebuah jawaban baru terhadap tantangan baru. Sebab selalu ada hubungan dengan hal-ihwal yang tak berulang, tak terduga—dengan ancaman penjahat besar The Joker atau Bane, dalam krisis Kota Gotham yang berbeda-beda. Sebab itu Batman bisa bercerita tentang asal mula, tapi asal mula dalam posisinya yang bisa diabaikan: wujud yang pertama tak menentukan sah atau tidaknya wujud yang kedua dan terakhir. Wujud yang kedua dan terakhir bukan cuma sebuah fotokopi dari yang pertama. Tak ada yang-Sama yang jadi model. Yang ada adalah simulacrum—yang masing-masing justru menegaskan yang-Beda dan yang-Banyak dari dan ke dalam dirinya, dan tiap aktualisasi punya harkat yang singular, tak bisa dibandingkan. Mana yang “asli” tak serta-merta mesti dihargai lebih tinggi. Sebab kreativitas berbeda dari orisinalitas. Kreativitas berangkat ke masa depan. Orisinalitas mengacu ke masa lalu. Masa yang telah silam itu tentu saja baru ada setelah ditemukan kembali. Tapi arkeologi, yang menggali dan menelaah petilasan tua, perlu dilihat sebagai bagian dari proses mengenali masa lalu

yang tak mungkin dikenali. Pada titik ketika masa lalu mengelak, ketika kita tak merasa terkait dengan petilasan tua, ketika itulah kreativitas lahir. Saya kira bukan kebetulan ketika dalam komik Night on Earth karya Warren Ellis dan John Cassaday (2003), Planetary, sebuah organisasi rahasia, menyebut diri “archeologists of the impossible”. Para awaknya datang ke Kota Gotham, untuk mencari seorang anak yang bisa membuat kenyataan di sekitarnya berganti-ganti seperti ketika ia dengan remote control menukar saluran televisi. Kota Gotham pun berubah dari satu kemungkinan ke kemungkinan lain, dan Batman, penyelamat kota itu, bergerak dalam pelbagai penjelmaannya. Ada Batman sang penuntut balas yang digambarkan Bob Kane; ada Batman yang muncul dari serial televisi tahun 1966, yang dibintangi oleh Adam West sebagai Batman yang lunak; ada juga Batman yang suram menakutkan dalam cerita bergambar Frank Miller. Dan semua itu terjadi di gang tempat ayah Bruce Wayne dibunuh penjahat—yang membuat si anak jadi pelawan laku kriminal. Satu topeng, satu nama—sebuah sintesis dari variasi yang banyak itu. Tapi sintesis itu berbeda dengan penyatuan. Ia tak menghasilkan identitas yang satu dan pasti. Dan lebih penting lagi, sintesis itu tak meletakkan semua varian dalam sebuah norma yang baku. Tak dapat ditentukan mana yang terbaik, tepatnya: mana yang terbaik untuk selama-lamanya. Sebab itu Kota Gotham dalam Night on Earth bisa jadi sebuah alegori. Ia bisa mengajarkan kepada kita tentang aneka perubahan yang tak bisa dielakkan dan sering tak terduga. Ia bisa mengasyikkan tapi sekaligus membingungkan. Ia paduan antara sesuatu yang “utuh” dan sesuatu yang kacau. Dengan alegori itu tak bisa kita katakan, mengikuti Leibniz, bahwa inilah “dunia terbaik dari semua dunia yang mungkin”, le meilleur des mondes possibles. Bukan saja optimisme itu berlebihan. Voltaire pernah mencemoohnya dalam novelnya yang

kocak, Candide, sebab di dunia ini kita tetap saja akan menghadapi bermacam-macam kejahatan dan bencana, 1.001 inkarnasi The Joker dengan segala mala yang diakibatkannya. Kesalahan Leibniz—yang hendak menunjukkan sifat Tuhan yang Maha Pemurah dan Pengasih—justru telah memandang Tuhan sebagai kekuasaan yang tak murah hati: Tuhan yang hanya menganggap kehidupan kita sebagai yang terbaik, dan dengan begitu dunia yang bukan dunia kita tak patut ada dan diakui. Kesalahan Leibniz juga karena ia terpaku kepada sebuah pengalaman yang seakan-akan tak akan berubah. Padahal, seperti Kota Gotham dalam Night on Earth, dunia mirip ribuan gambar yang berganti-ganti di layar, dan berganti-ganti pula cara kita memandangnya. Penyair Wallace Stevens menulis sebuah sajak, Thirteen Ways of Looking at a Blackbird. Salah satu bait dari yang 13 itu mengatakan, But I know, too, That the blackbird is involved In what I know Memandang seekor burung-hitam bukan hanya bisa dilakukan dengan lebih dari satu cara. Juga ada keterpautan antara yang kita pandang dan “yang aku ketahui”. Dan “yang aku ketahui” tak pernah “aku ketahui semuanya”. Dengan kata lain, dunia—seperti halnya Kota Gotham—selamanya adalah dunia yang tak bisa seketika disimpulkan. Tak berarti pengalaman adalah sebuah proses yang tak pernah tampak wujud dan ujungnya. Pengalaman bukanlah arus sungai yang tak punya tebing. Meskipun demikian, wujud, ujung, dan tebing itu juga tak terpisah dari “yang aku ketahui”. Dunia di luarku selamanya terlibat dengan tafsir yang aku bangun dari pengalamanku—tafsir yang tak akan bisa stabil sepanjang masa. Walhasil, akhirnya selalu harus ada kesadaran akan batas

tafsir. Akan selalu ada yang tak akan terungkap—dan bersama itu, akan selalu ada Gotham yang terancam kekacauan dan keambrukan. Itu sebabnya dalam The Dark Knight Rises, Inspektur Gordon tetap mau menjaga misteri Batman, biarpun dikabarkan Bruce Wayne sudah mati. Dengan demikian bahkan penjahat yang tecerdik sekalipun tak akan bisa mengklaim “aku tahu”. Majalah Tempo, Edisi Senin, 06 Agustus 2012~

Kakawin Juli 30, 2012 Pada suatu hari, di taman paviliun istana, Marmmawati, permaisuri, menemukan sebait puisi di kelopak sekuntum bunga pudak. Terpesona, ia pun menyalinnya. Lalu ia cepat-cepat kembali ke kamar. Gerimis turun. Dalam kesendiriannya, ia baca sajak itu dengan setengah berbisik. Dan kesalahpahaman pun terjadi. Baginda Jayawikrama mendengar suara bisik itu ketika ia memasuki kamar. Ia tahu baris-baris itu sebuah sajak cinta. Ia curiga: istrinya pasti punya seorang kekasih yang sedang dirindukannya. Dengan murka ia menuduh Marmmawati selingkuh. Ketika permaisuri mengatakan bahwa puisi itu dikutipnya dari bait yang ditulis seseorang di kelopak pudak, baginda meminta bukti. Tapi kembang itu tertinggal di luar, di halaman, dan gerimis telah menghapus huruf-huruf di kelopaknya. Malam itu Raja Jayawikrama mengusir Marmmawati. Dan dengan tangis yang pedih, perempuan itu kembali ke pertapaan orang tuanya di tepi hutan. Beberapa hari kemudian, ia dengar perang pecah dan Jayawikrama gugur. Segera, dengan kereta berkudanya Marmmawati bergegas ke lapangan tempat pertempuran paling sengit terjadi. Di sana mayat bergelimpangan. Marmmawati turun dari kereta untuk mencari jenazah suaminya. Tapi ia tak

menemukannya…. Saya petik dan susun kembali cerita itu dari sebuah karya Mpu Tantular di abad ke-14, Sutasoma. Adegan itu dikisahkan kembali oleh Helen Creese dalam Perempuan dalam Dunia Kakawin, yang baru terbit (Pustaka Larasan, Denpasar, Juni 2012). Creese, sarjana peneliti sastra Jawa Kuna dan Bali, khususnya memaparkan percintaan, perkawinan, dan seksualitas dalam sastra Jawa sejak abad ke-9 sampai dengan Bali dan Lombok abad ke19. Meskipun versi Indonesia dari studinya ini agak kurang luwes, saya masih bisa mendapatkan petilan-petilan yang mempesona dari khazanah lama itu. Fragmen Sutasoma itu hanya salah satu contohnya. Dari sekitar 30 karya yang ditelaahnya, Creese memfokuskan diri pada kehidupan perempuan dalam kakawin. Tapi akhirnya tak hanya itu; faset lain tampak ke permukaan. Yang pertama-tama adalah sebuah kualitas puitik yang tak ada lagi dalam karya sastra Jawa di abad ke-18 dan 19. Wedhatama, Wulangreh, dan Kalatida adalah ikon sastra Jawa sampai kini. Tapi karya-karya tembang itu—dari zaman Ranggawarsita, Mangkunegara IV, dan Yasadipura—terasa datar jika dibandingkan dengan, misalnya, Bharatayudha karya Mpu Sedah dan Mpu Panuluh di abad ke-12. Wedhatama, apalagi Wulangreh, terlampau dibebani fungsi didaktis. Yang satu untuk memberi pedoman anak muda tentang laku rohani yang baik; yang kedua sebuah petunjuk bagi para anak priayi. Kekuatan literer kedua buku itu, kalau ada, hanya tampak pada bunyi, permainan aliterasi, dan kekayaan si-nonim. Kita tak akan menemukan keleluasaan membangun deskripsi yang imajinatif seperti dalam Bharatayudha ini: Panjang garis awan bercampur ke dalam merah menyala -cakrawala Seperti darah merendam pakaian merah pengantin yang

-diperkosa. Dengan sepasang kalimat itu, hadir suasana erotik, sekaligus brutal. Kita masuk ke dalam sebuah masa ketika alam sangat dekat dan akrab dengan gairah manusia. Seperti ditunjukkan -Creese, dalam Kunjarakarna karya Mpu Dusun di abad ke-14, misalnya, asosiasi antara yang alami dan yang seksual muncul kuat. Di sanalah hidup daya puitiknya. Sebatang pohon yang tampak di sela-sela kabut adalah perempuan telanjang yang berdiri di depan kekasihnya, sebuah dahan adalah lengan perempuan yang menghindar dari pelukan, dan selubung awan yang turun dari pucuk gunung adalah kain yang dilepaskan. Dalam kakawin, yang erotik tak pernah jadi “kotor”. Tapi pada saat yang sama, seperti dalam contoh di atas, ia bisa berbaur dengan yang buas. Dalam Bharatayudha, kata Creese, “Majas seksual kadang-kadang menggema dalam peperangan.” Kegaduhan pertempuran, misalnya, dipandang sebagai “jeritan dan desahan sang wanita” dalam pergulatan di ranjang. Di situ pula faset lain tersingkap: hubungan kekuasaan. Di hampir semua kakawin, perempuan hanya dianggap berarti ketika, seperti dalam cerita Marmmawati, ia adalah contoh kesetiaan mutlak kepada suami. Dalam hubungan seks, ia jadi obyek. Adegan “pengantin yang diperkosa” tak hanya sekali muncul. Khususnya di kalangan aristokrasi, perempuan hidup dengan kendali yang ketat atas hasrat. Kekuatannya terbatas dalam daya mengontrol diri sendiri. Hanya perempuan yang bukan manusia yang punya keinginan, inisiatif, dan kapasitas untuk menikmati berahi. Dalam Arjunawiwaha, karya Mpu Kanwa dari abad ke-11, kita ketemu dengan bidadari Tilottama (“kulitnya warna telur kupas, payudaranya kental”) yang “berpengalaman dalam seni merayu”; dengan Arjuna bidadari itu bisa “merasakan puncak kenikmatan”. Dalam Drupadiwiwaha, Hidimbi, seorang raksasi, yang kemudian melahirkan Gatutkaca, dengan kehendaknya sendiri tidur bersama

Bhima. Tapi kekuasaan dan kekerasan tak selamanya ada. Klimaks kenikmatan seksual bisa bertaut dengan yang rohani. Bahkan dalam Tutur Kamadresti, sebuah panduan erotik dari Bali, tahapan terakhir dari asmara adalah asmaratantra, saat penyatuan mistik. Dengan kata lain, di dunia kakawin, yang erotik dan yang sensual diterima dengan bebas sebagai bagian dari keindahan, sebagai bagian dari kekerasan, dan juga dari yang spiritual. Dunia yang paradoksal itulah yang menyebabkan kakawin jadi puisi yang hidup. Dalam dunia puisi, tak ada satu elemen pun yang sendirian menguasai ruang. Puisi adalah gema dari kombinasi dan kontradiksi yang tak terduga-duga. Itukah yang tak ada—entah kenapa—sejak Jawa memasuki abad ke-15? Sejak datang Islam dan kemudian kemenangan orang Eropa? Saya cuma menduga: ketika tak ada kombinasi dan kontradiksi yang diakui, puisi para Mpu tak lahir kembali. ~ Majalah Tempo Edisi Senin, 30 Juli 2012~

Teeuw (1921-2012) Mei 28, 2012 Pada umur 26, Andries Teeuw naik kapal pos, mengarungi laut, melintasi Terusan Suez, dan sampai di pelabuhan Sabang. Itu tahun 1947. Perjalanan yang tak menjanjikan ketenteraman. Hanya dua tahun sebelumnya Indonesia menyatakan diri merdeka. Belanda, yang merasa dibangkang, kemudian mengirim pasukan untuk menaklukkannya kembali. Tapi Teeuw, kelahiran Gorinchem, Holland Selatan, datang sendirian, meskipun dengan dana pemerintah untuk riset di Lombok. Ia baru setahun beroleh gelar doktor dari Universitas Utrecht. Entah bagaimana seorang ilmuwan yang begitu muda melintasi ketegangan hari-hari itu. Saya hanya pernah membaca, dari Sabang ia menulis sepucuk surat kepada istrinya: ”Seakan-akan saya telah berkenalan dengan

dunia ini.” Ia memang telah kenal bagian dunia ini—secara tak langsung. Ia belajar filologi; disertasinya terjemahan atas puisi Bhomântaka, naskah tua dari Jawa Timur. Bagi Teeuw, tak mudah memahami sepenuhnya teks bahasa Jawa Kuno ini, tapi satu hal yang terpaut pada filologi ada dalam dirinya: filologi, yang menelaah bahasa dalam pautannya dengan sastra dan sejarah, berasal dari bahasa Yunani yang berarti ”cinta kepada sastra dan pengetahuan”. Tanpa cinta kepada sastra dan pengetahuan, Teeuw tak akan berjalan sejauh itu—melintasi dua satuan geografis, dua kubu ketegangan politik, dua posisi dalam proses pengetahuan: ia dapatkan sumber telaahnya dari Indonesia, ia berikan kemudian hasil telaahnya kepada Indonesia. Ia seorang Belanda; ia proIndonesia. Beberapa tahun setelah Bhomântaka, ia lebih dikenal sebagai penelaah dan kritikus sastra Indonesia modern. Teeuw mula-mula tak merasa nyaman dengan label itu. Saya bertemu dengan dia pertama kali di musim dingin awal 1967. Waktu itu saya tinggal di Bruges, Belgia, dan datang naik kereta api ke Leiden. Ia menjemput saya di stasiun—dengan sikap rendah dan murah hati yang tak terduga dari seorang guru besar kepada seorang mahasiswa asing yang cuma dikenalnya lewat satu-dua sajak. Ia ramah, dengan kehangatan yang pelan datang. Istrinya, yang kemudian akan disebut ”Ibu Teeuw” dengan akrab oleh semua kenalannya dari Indonesia, menyajikan teh panas dan biskuit. ”Saya sebenarnya bukan kritikus,” ia mengatakan, di ruang tamu rumahnya yang bersahaja dan penuh buku. ”Yang saya lakukan hanya mengisi kekosongan.” Waktu itu tampaknya demikian. Ketika Teeuw mengajar di Universitas Indonesia di akhir 1940-an dan awal 1950-an, terbit bukunya, Voltooid Voorspel. Buku ini kemudian diindonesiakan jadi Pokok dan Tokoh (judul yang kemudian di-”pinjam” Tempo) pada

1952 dan 1955. Isinya lebih berupa pengantar tentang para sastrawan Indonesia modern dan karya-karyanya. Pendekatannya tak bisa dikatakan baru. Dalam kritik sastra waktu itu, ”pokok” dianggap terkait erat dengan ”tokoh”, satu hal yang digugat dalam teori sastra kemudian. Tapi tujuan Teeuw memang hanya jadi pemandu bagi mereka yang ingin mulai belajar. Dan sebab itu pula—di samping ia tahu menempatkan diri sebagai ”orang luar”—-Teeuw, seperti kata penyair dan kritikus Sapardi Djoko Damono, cenderung ”berhati-hati”. Bagaimanapun terbatasnya, Pokok dan Tokoh besar sekali pengaruhnya bagi sastrawan Indonesia di tahun 1950-an. Waktu itu seseorang seakan-akan baru ”dibaptis” setelah dibahas Teeuw. Dalam hal ini ia sejajar dengan H.B. Jassin, yang menerbitkan tiga jilid kumpulan Kritik & Esei. Tapi Teeuw punya kelebihan. Ia pakar filologi yang kenal sastra klasik Melayu dan Jawa dengan mendalam. Dengan demikian ia melihat dengan tepat bahwa betapapun ”baru”-nya ungkapan Chairil Anwar dan para penyair sebelum dan sesudahnya, bahasa Indonesia tak lahir dari ruang linguistik yang hampa. Itu sebabnya Teeuw dapat melihat apa yang istimewa pada puisi Amir Hamzah. Sementara Jassin menunjuk rapatnya penyair Buah Rindu dengan tradisi Melayu, Teeuw justru melihat ada dalam karya Amir sesuatu yang mempesona: sebuah energi baru. Puisinya mengatasi keterbatasan prosodi syair lama. Dalam bahasa Melayu, tak ada rima yang bertekanan seperti dalam bahasa Jermanik. Syair Melayu juga tak amat beragam bunyi vokalnya (hanya a, e, i, o, u, ê), sementara rima yang terbentuk dari itu, dalam gabungan dengan konsonan, tak seluas bahasa Jerman, Inggris, apalagi Rusia. Menghadapi keterbatasan itu, menurut -Teeuw, Amir Hamzah menciptakan puisi yang mengejutkan dan kaya karena bunyi asonansi, aliterasi, dan rima yang mendadak di tengah-tengah. Ketajaman (dan juga kepekaan) menangkap gerak bahasa yang seperti itulah yang sampai sekarang belum dilanjutkan,

apalagi ditandingi, oleh telaah sastra di perguruan tinggi Indonesia. Dari apa yang saya contohkan tampak pula bahwa telaah Teeuw, yang kemudian makin lama makin dipermatang oleh teori-teori sastra mutakhir (Barth, Culler, Derrida), tetap menggali sumbernya bukan dari sastra Eropa, melainkan sastra Nusantara. Dengan lancar, dalam satu risalah, ia akan mengambil contoh dari sajak Jawa Kuno Hariwangsa dan puisi Sutardji Calzoum Bachri. Dalam menelaah Hikayat Hang Tuah, Teeuw membedakan diri dari penelaah lain karena ia tak memakai ukuran kesejarahan ”Barat”: ia melihat kisah itu sebagaimana orang Melayu memandang Hang Tuah sejak dulu: sebagai karya sastra yang asyik dinikmati. Itu sebabnya sastra penting, meski sering disepelekan dalam zaman yang menyisihkan keasyikan. Manusia, Teeuw mengingatkan kita, juga homo fabulans: makhluk yang bercerita, yang bersastra—dengan bahasa dan imajinasi yang ganjil, tak pasti, tak mandek, tapi dengan demikian selalu baru dan hidup kembali berkali-kali. Juga ketika sang kritikus pergi, 18 Mei 2012. ~Majalah Tempo, Edisi Senin, 28 Mei 2012~

Fana Februari 6, 2012 Selalu ada yang pergi. Kematian adalah momen luar biasa bagi yang tak bisa kembali, tapi, akhirnya, ia peristiwa yang tak istimewa bagi dunia. Biarlah orang melakukan yang diinginkannya, lalu mereka mati, semua, satu-satu. Bagi awan, himpunan itu, tak ada yang ganjil di saat itu. Dan Wislawa Szymborksa meninggal dalam usia 88 tahun pekan lalu, beberapa puluh tahun setelah ia menuliskan bait itu.

Saya kira ia tak akan berkeberatan jika kita katakan bahwa kepergiannya tak terasa seperti direnggutkan. Dalam Wielka Liczba (‘Jumlah Besar’) ia menulis bahwa di antara milyaran manusia yang melewati sejarah, hidup hanya ‘terentang sepanjang bekas cakar kita pada pasir.’ Di ujung bekas cakar itu ada garis yang putus. Senafas dengan itu, penyair Polandia ini juga menulis tentang ‘lenyap’ — tentang hilangnya sambungan yang tak bisa diubah. Di sebuah ruang, demikian baris-baris dalam Kot W Pustym Mieszkaniu, (“Kucing di Apartemen”), seseorang pernah selalu ada di sana, selalu ada di sini, kemudian tiba-tiba lenyap dan terus menerus lenyap. Lenyap. Atau lebih baik: mati. Tapi kematian punya batas. Dengan ironi dan nada rendah, Szymborska memberitahu, ‘siapapun yang mengatakan bahwa maut maha kuasa ia sendiri bukti bahwa tak demikian halnya’. Sebab baginya, Tak ada hidup yang tak bisa kekal meskipun cuma sebentar Mungkin itu sebabnya penyair ini menulis — dengan kalimat yang bersahaja, tak melambung, tak berliku — tentang hal-hal yang fana, tapi kita temukan di antara itu bayang-bayang kekekalan. Bukan karena ia seorang yang percaya kepada yang transendental. Saya tak tahu benar apakah ia seorang yang beriman. Baginya, ‘kekal’ yang ‘cuma sebentar’ itu tampak pada materia, dalam alam (‘lanskap’) yang berubah terus. Awan tak pernah mengulangi bentuknya semula. Pada ‘alir kali, bentuk hutan, pantai, gurun, dan glasir’, kita merasa seakan-akan ada ‘ruh yang kecil’ yang mengembara di sela-selanya, ‘menghilang,

kembali, mendekat, menjauh, mengelak dan jadi asing bagi dirinya sendiri’. Seorang penyair acapkali punya sejenis animisme dalam dirinya: menemukan sesuatu yang membuat alam terasa terkadang akrab terkadang ganjil, terkadang menantang, terkadang membujuk. Tak ada yang ‘jadi’. Yang ada ‘men-jadi’. Ya, ‘ruh yang kecil’ itu ada di sana. Karena merasakan ‘ruh yang kecil’ itu pula agaknya Szymborska merekam percakapan dengan batu dalam Rozmowa z Kamieniem’: Kuketuk pintu-depan batu itu. Ini aku, izinkan memasukimu. Dalam sajak ini, sang tamu ingin masuk ke dalam batu antara lain karena ingin tahu. Tapi juga, ‘masuk’ baginya berarti berperan sebagai subyek yang menyaksikan apa yang di dalam. Kudengar ada balairung kosong dalam dirimu, sesuatu yang tak tampak: indah, namun percuma, sesuatu yang tak bersuara: ruang yang tak punya gema. Sang pengetuk tampaknya berasumsi bahwa kesaksiannya begitu menentukan: hanya dengan kehadirannya dunia yang terhampar bisa punya nilai dan makna. Tapi bagi sang batu, justru asumsi itulah yang harus ditolak. Yang ada dalam dirinya tak memerlukan kesaksian dari jauh. Mungkin ruang itu indah, sahutnya, tapi tidak buat seleramu yang hanya sebegitu saja. ‘Pergilah’, katanya, ‘aku tertutup rapat’. Lalu ia patahkan ambisi di depan pintu itu: Kau mungkin akhirnya mengenalku, tapi tak akan sepenuhnya mengetahuiku. Seluruh permukaaanku menyambutmu. Yang di dalam diriku melepaskan diri.

‘Masuk’ berarti ‘invasi’, usaha menduduki, bila disertai hasrat ‘sepenuhnya mengetahui’. Dan ini penting ditunjukkan kepada sang pengetuk pintu, yang menganggap ‘tak mengetahui’ sebuah cacat, sebagaimana ia nyatakan kepada sang batu: Akuilah, bahwa kau sendiri tak mengetahui balairung di dalam dirimu. ‘Tak mengetahui’…Haruskah itu disesali? Dalam pidatonya waktu menerima Hadiah Nobel Kesusatraan 1996, Szymborska justru menegaskan pentingnya posisi itu. ‘Aku-tak-tahu’, katanya, adalah kalimat yang harus selalu diulang penyair. ‘Tiap sajak menandai sebuah usaha menjawab pernyataan itu. Tapi begitu tahap terakhir sampai di halamannya, sang penyair mulai ragu, mulai menyadari bahwa jawabannya itu hanyalah sesuatu yang dibangun seadanya…’ Maka yang penting bukanlah ambisi ‘aku-tahu’. Ambisi itu akhirnya cuma bisa sejenak ‘masuk’ mencapai sebuah penguasaan kognitif (‘tahu’). Lagipula, ambisi itu — dan akhirnya sebuah klaim — hanya akan meletakkan dunia dan liyan sebagai obyek. Padahal di dunia yang dirundung kekuasaan ini (kita anak ‘zaman politik’, kata Szymborska) yang dibutuhkan adalah sebuah laku yang lebih akrab, lebih hangat. Dalam sajak di atas, sang batu menyalahkan tamunya: kau tak memiliki ‘rasa ikut ambil bagian’ (a sense of taking part), ujarnya. Di saat ‘ikut ambil-bagian’, aku bukan obyekmu, kau bukan obyekku. Kita sama-sama aktif dalam sebuah proses yang disebut ‘ada’, atau lebih tepat, ‘men-jadi’. Dengan itu, yang fana mendapatkan artinya. Dan kerja seorang penyair adalah ‘ikut ambil bagian’ dalam yang fana itu: keragaman dan kesementaraan benda-benda dari saat ke saat. Szymborska mengutip Rilke, yang sajaknya, ‘Musim Gugur’, pernah diterjemahkan Chairil Anwar dengan indah itu. Rilke menasihati para penyair muda agar tak menuliskan konsep-konsep besar, tapi justru menyambut yang sehari-hari. ‘Jika kehidupan sehari-hari sepertinya memiskinkan engkau’, tulis Rilke, ‘jangan salahkan

kehidupan. Salahkan dirimu. Kau tak cukup memadai sebagai penyair untuk mencerap kekayaannya’. Szymborska sendiri adalah contoh penyair yang seperti itu. ~Majalah Tempo Edisi Senin, 06 Februari 2012~

Isak Agustus 8, 2011 Sering tak terduga: kemurnian menghendaki kekerasan. Bahkan kematian. Meskipun pada awalnya ini bukan tema kisah Isak, orang dalam cerita ini, yang berjalan naik ke hutan: “Lelaki itu datang, berjalan ke utara. Seorang yang wungkul dan kuat, dengan jenggot kemerahan yang kaku, dan bekas luka di tangan dan wajahnya… sosok laki-laki dalam kesendirian yang gagah….” Isak, itulah tokoh novel Markens GrØde Knut Hamsun (terbit 1917, diterjemahkan W.W. Worster menjadi Growth of the Soil). Isak menjauh dari “peradaban”—karena “adab” telah ditentukan oleh abad ke-20. Dengan kata lain, inilah peradaban dengan ekonomi kapitalis yang dilecut loba dan laba, gemuruh mesin yang menggusur apa yang alami, keberisikan suara sumbang karena bunyi-bunyi dari luar yang tak cocok. Isak masuk hutan: daerah Almenning yang belum dipecah jadi milik yang bisa diperjualbelikan. Ia sampai ke kaki sebuah bukit, tempat kali kecil mengalir dan kelinci meloncat-loncat di antara pakis dan kembang bintang berpucuk tujuh. Di situ lelaki itu berhenti. Di situ ia menginap. Ia mulai menyiapkan tempat, termasuk membawa tiga ekor kambing. Suatu ketika seorang Lapp pengembara lewat dan melihatnya. “Akan tinggal di sini selamanya?” tanyanya. “Ya,” jawab Isak. Dari orang-orang Lapp yang lewat itu juga Isak mendapatkan seorang pembantu perempuan yang dibutuhkannya. Namanya

Inger. Perempuan ini bersedia hidup dengan lelaki wungkul itu karena ia tak punya banyak pilihan di desanya. Bibirnya mencong, cacat. Tapi pelan-pelan, Isak mencintainya, meskipun hubungan mereka tak lepas dari kepentingan praktis. Suatu hari Inger datang membawakannya seekor sapi. Merasa berutang, Isak membawakan seekor kuda. Mereka akhirnya beranak, meskipun dengan tragedi. Inger selalu takut anaknya akan mewarisi cacat tubuhnya, dan ketika itu benar terjadi pada anak ketiga, bayi itu dibunuhnya. Kemudian perempuan ini beroleh kemahiran menjahit. Ia mulai hidup lepas dan riang. Akhirnya Inger, yang memperbaiki bentuk mulutnya dengan operasi, pada usia sekitar 30 meninggalkan Isak. Bisiknya kepada diri sendiri tentang lelaki gunung itu: “Uh, kamu, tetap saja macam dulu….” Sebenarnya Isak juga berubah. Ia tak bisa lepas dari abad ke20 dan “kemajuan”. Bersama Geissler, temannya yang terdidik, mahir berbisnis, dan seperti tak terikat pada lokalitas mana pun, Isak mengubah hubungannya dengan tanah: ia memiliki dan menguasainya. Ia jadi tuan tanah Sellanraa, lengkap dengan sistem irigasi. Ia bahkan jadi kaya setelah tanahnya, yang mengandung tembaga, ia jual ke pengusaha Swedia. Tapi kemudian hartanya habis dan ia kembali mengolah tanah. Isak menyesali anaknya, Eleseus, yang jadi pedagang, hidup dari komoditas, benda yang cuma dihargai dengan nilai tukar. Isak lebih akrab ke bumi, sesuatu yang tak bergantung pada harga tapi punya makna. “Bumi yang tumbuh…,” kata Isak, “adalah satu-satunya sumber, asal dari semuanya.” Asli, murni. Pada dasarnya ia tokoh ideal Knut Hamsun. Yang asli dan yang murni memang bisa mempesona sebagai sesuatu yang tanpa najis—walau keaslian dan kemurnian sebenarnya tak pernah mungkin. Tapi Hamsun percaya itu

sebagaimana ia percaya ke masa sebelum “peradaban”, dan sebab itu ia menentang kapitalisme yang membawa mesin dan ketamakan. Menjelang akhir novelnya, ia gambarkan Isak sebagai hero: “Seorang penggarap ladang, jasad dan jiwa; seorang pekerja di tanah yang tanpa jeda. Sesosok hantu yang bangkit dari masa lalu yang menuju ke masa depan… tapi, dengan semua itu, seorang manusia hari ini.” Hamsun tak menyebut, “hantu” itu tak punya masa lalu yang murni, juga bukan makhluk yang tak tersentuh. Sejarah Isak dibangun dari pertemuan dengan orang Lapp, Inger, Geissler, orang Swedia, dan entah apa lagi. Dan sebenarnya tak jelas benarkah Isak di akhir novel itu masih asli seperti bumi. Tapi Hamsun memegang mithos tentang “asli” dan “murni” dalam hidupnya. Pada 1882 ia berkelana di Amerika Serikat dan melihat orang-orang “Indian”. Ia makin yakin, perbedaan ras itu soal yang hakiki. Bukunya tentang “kehidupan budaya Amerika modern” yang terbit pada 1889 menganjurkan agar orang Hitam, makhluk “setengah-monyet” itu, dikembalikan ke Afrika. Tak hanya itu. Dalam majalah Nationalt Tidsskrift 1925 Hamsun menyatakan pentingnya orang Yahudi dipindahkan dari Eropa, agar “ras Putih dapat menghindarkan percampuran darah lebih jauh”. Ia, tentu saja, mengagumi Naziisme. Juga sebaliknya. “Pemikir” Nazi terkemuka, Alfred Rosenberg, menganggap Markens GrØde sebagai “epos besar masa kini tentang kemauan bangsa Nordik dalam bentuknya yang primordial dan kekal”. Bahkan Hitler mengirimkan ucapan selamat ketika Hamsun mencapai usia 80. Pada 1921 Hamsun menerima Hadiah Nobel Kesusastraan, terutama karena novel yang kita bicarakan di sini. Medalinya ia kirimkan ke Goebbels, tangan kanan Hitler. Ia bertemu dengan Hitler sendiri tiga tahun sebelum pemimpin besar Nazi itu bunuh diri. Setelah kematian itu, Hamsun masih menulis memuja

pahlawannya. Hitler, katanya, “seorang pendekar perang untuk umat manusia, seorang nabi dengan syi’ar baik bagi semua bangsa.” Hamsun tak peduli bahwa syi’ar tentang kemurnian, keaslian, dan primordialisme dari iman Naziisme akhirnya membinasakan: yang tak murni dan tak asli harus dihabisi. 2011: kita ketemu Anders Behring Breivik, sang pembunuh 77 pemuda. Tak mustahil Hamsun hidup lagi di hatinya. Hanya kini yang harus disingkirkan bukanlah Yahudi, melainkan muslim—sebagai “najis” Eropa. Kemurnian: alasan yang tua untuk pembunuhan baru. ~Majalah Tempo Edisi Senin, 08 Agustus 2011~

Kebakhilan Agustus 1, 2011 Ia tak gila. Atau ia bagian dari patologi yang tak tersendiri. Anders Behring Breivik, memakai seragam polisi, membidik dengan tepat anak-anak muda yang sedang berkemah di Pulau Utoeya. Sebanyak 68 orang terbunuh di pulau di Danau Tyrifjorden, 38 kilometer dari Oslo, itu pekan lalu. Delapan lain mati karena ledakan bom. Breivik ditangkap. Pengacaranya membelanya dengan mengatakan: orang ini sakit jiwa. Pada kesan pertama, orang Norwegia itu memang ganjil. Kekerasan dengan darah dingin di sebuah negeri tempat pemberian Hadiah Nobel Perdamaian? Gerakan sayap Kanan? Begitu kuatkah gerakan itu di bagian dunia yang pernah dianggap tauladan sosialis-demokrat ini? Tapi zaman berubah. Sosialisme, dan bersama paham ini semangat yang lebih toleran, tengah surut di Skandinavia. Juga di seluruh Eropa. Tembakan Breivik yang membunuh para kader Partai Buruh itu berbareng dengan keruwetan jiwa yang setengah tersembunyi di masyarakatnya. Sinting atau tidak, apa yang

dilakukannya sebuah isyarat: kita tengah memasuki zaman kebakhilan. Eropalah yang memulainya. Breivik tak sendirian, meskipun tak semua orang yang sepaham akan mau membunuhi sejumlah pemuda yang kesalahannya hanya karena mereka pendukung Partai Buruh. Bagi Breivik, Partai Buruh harus dihabisi; partai inilah yang dengan mudah membiarkan kaum imigran, terutama yang muslim, masuk ke Norwegia. Breivik dulu anggota Partai Kemajuan Norwegia, Fremskrittspartiet. Partai ini tak jauh pandangannya dari sang pembantai, meskipun pemimpinnya, Siv Jensen, menyatakan merasa sedih bahwa bekas anggotanya bertindak demikian. Yang menegaskan bahwa Breivik tak sendirian: Partai Kemajuan kini berada dalam posisi yang naik. Di bagian Eropa lain, seorang tokoh politik sayap Kanan Italia, Francesco Speroni—yang pernah duduk dalam kabinet Berlusconi yang berkuasa—menyebut gagasan Breivik bertujuan “membela peradaban Barat”. Eropa sedang terancam oleh Islam, kata mereka, Eropa sedang berubah jadi “Eurabia”…. Kecemasan itu adalah ekspresi kebakhilan—yang membuat pandangan Kanan kembali jadi antitesis gerakan Kiri. Inti pandangan ala Breivik dan Speroni adalah eksklusivisme. Bagi mereka, pelbagai hal di dalam hidup—lapangan kerja, bantuan sosial, peradaban Barat—adalah milik eksklusif. Eksklusivisme atau kebakhilan menampik orang lain ikut dalam ruang dan waktu, di sebuah wilayah yang batasnya mereka tentukan dan tutup sepihak. Batas itu mereka beri dasar agama; mereka menyebutnya “Kristen”. Seperti halnya di sementara kalangan Islam, mereka anggap kebenaran dan Tuhan milik eksklusif mereka. Batas itu mereka beri wilayah: “Eropa”. Dan waktu mereka adalah waktu yang “dulu”—artinya terbatas, bukan waktu yang berlanjut dan membawa perubahan.

Itu sebabnya mereka konservatif. Konservatisme juga eksklusivisme. Bila pemikiran Breivik hendak mengembalikan perempuan ke status yang lebih rendah ketimbang yang telah berlaku sejak akhir abad ke-20, itu juga menunjukkan bahwa konservatisme itu bergabung dengan kebakhilan: bagi mereka, hak-hak tertentu hanya hak kaum lelaki. Orang harus kembali seperti dulu, kata mereka. Yang tak mereka sebut, “dulu” itu adalah “dulu” dalam ingatan yang eksklusif. Ingatan pihak lain, misalnya ingatan kaum perempuan, tak boleh ikut. Dibandingkan dengan itu semua, kaum Kiri punya tradisi antikebakhilan. Tradisi itu bisa ditarik ke gagasan komunisme awal. Dalam The Idea of Communism (editor: Slavoj Zizek dan Costas Douzinas), Jean-Luc Nancy menyebut “the Diggers” di Inggris abad ke-16, yang menganggap tanah sebagai “common treasure” atau harta bersama. Dari sini pula kata “commonwealth” lahir dan dibawa oleh Republik pertama. Dalam semangat commonwealth, kekayaan bukanlah sematamata milik eksklusif. Sosialisme menegaskan sah dan adilnya redistribusi sumber-sumber material dan intelektual. Dan untuk beberapa dasawarsa, sosialisme didengar. Tapi sejarah sosial dan ekonomi Eropa tak membiarkan itu berlanjut. Kini sosialisme yang ingin adil pada gilirannya dituduh tak berlaku adil. Agenda partai-partai sosialis adalah membagikan dana yang ditakik, dalam bentuk pajak, dari hasil jerih payah orang. Hasil itu dibagikan kepada orang miskin, yang umumnya tak punya kerja dan sebab itu dianggap tak berjerih payah. Para penerima subsidi—sebagian besar orang yang datang sebagai imigran—dengan mudah dianggap parasit. Para pembayar pajak marah. Mereka mulai menentang agenda sosialis. Tak mengherankan bila partai-partai Kanan merebut posisi. Kebakhilan bergema. Yang paling mencolok di Belgia. Partai Kepentingan Vlaams dan Partai Aliansi Vlaams Baru berteriak bukan saja untuk

membatasi masuknya imigran dari Dunia Ketiga. Mereka juga berjuang agar orang berbahasa Vlaams, sebagai “suku” tersendiri, memisahkan diri dari Kerajaan Belgia. Tapi bukan soal bahasa yang memicunya. Pada dasarnya yang diutarakan adalah sikap menolak membiayai. Mereka tak mau membiarkan uang pajak mereka dipakai untuk subsidi bagi orang-orang yang berbahasa Prancis di Belgia Selatan yang lebih miskin. Dengan kata lain, persoalan yang dihadapi Belgia bukanlah taal, “bahasa”, melainkan betaal, “bayar”. Kebakhilan macam itu kini mudah mendapatkan legitimasi. Pada mulanya adalah milik—yang jadi bagian kerja kelas borjuis yang mengubah sejarah. Tak semua menyenangkan. “Kaum borjuis itu seperti babi,” kata sebaris lagu Jacques Brel, penyanyi Belgia termasyhur itu. Tak terlalu tepat: babi tak ditandai oleh sikap eksklusif. Dari babi tak akan muncul kebakhilan yang agresif—kebakhilan kaum Kanan baru. ~Majalah Tempo, Edisi Senin, 1 Agustus 2011~

Srebrenica Juli 25, 2011 Di situlah selama tujuh hari di pertengahan kedua Juli 1995, Jenderal Ratko Mladic, panglima tentara yang berdarah Serbia, menjalankan apa yang jadi kehendak dan rencananya. Mungkin baginya inilah penyelesaian final untuk persoalan masa depan Bosnia, seperti endgültige Lösung Hitler untuk masalah Yahudi: orang-orang Bos-nia yang bukan Serbia, terutama yang muslim, harus dihabisi. Mladic memang perwujudan klise tokoh algojo dalam cerita picisan: tambun dan kasar, ia pernah diceritakan membunuh seseorang dengan tangan telanjang—setelah ia meyakinkan si korban bahwa tak akan terjadi apa-apa, sambil ia melatih otot-otot tangannya untuk membinasakan si tahanan. Ketika pasukannya mengepung Kota Sarajevo, ia perintahkan pasukannya untuk

meningkatkan gempuran artileri secara ber-“irama” sampai pikiran penghuni kota itu “terpelintir”. Dalam salah satu sajaknya, penyair Bos-nia Abdullah Sidran menyebut Mladic sebagai “monster dengan epaulet”. Orang lain menamainya “jagal dari Srebrenica”. Semula Srebrenica adalah wilayah yang terlindung: orangorang muslim menemukan tempat yang aman di sana. Ada pasukan PBB yang menjaga orang-orang yang melarikan diri dari perang etnis di Yugoslavia yang pecah itu. Terutama mereka yang melarikan diri dari pembantaian, yang tahu bahwa kaum “nasionalis” Serbia akan menghabisi mereka. Tapi Juli itu keadaan berubah. Sejak pekan pertama bulan itu, pasukan Serbia mengepung. Berangsur-angsur Srebrenica kehabisan bahan bakar. Persediaan makanan menipis. Dalam Postcards from the Grave Emir Suljagic mengisahkan bagaimana ratusan orang dengan tali dan kapak mendaki tebing yang terjal di atas kota, menuju hutan untuk mencari kayu buat menyalakan api, jauh sebelum kabut hilang…. Di tengah pengepungan itu, pasukan PBB yang bertugas di sana, satu kontingen tentara Belanda yang terdiri atas 600 personel dan tak bersenjata berat, mencoba bertahan. Komandan mereka, Letkol Karremans, meminta ke Panglima Pasukan PBB, Jenderal Bernard Janvier dari Prancis, agar mendapat dukungan dari udara. Tapi yang terjadi adalah kecelakaan prosedur: permintaan Karremans untuk mendapat bantuan udara ternyata ditulis di formulir yang salah. Akhirnya memang dipenuhi, tapi terlambat. Karremans memang mendapatkan bantuan lain. Dua pesawat tempur F-16 Belanda menjatuhkan dua bom di atas posisi pasukan Serbia yang mengepung. Tapi tentara di bawah Mladic telah berhasil memiliki kartu kuat tersendiri: sebelumnya mereka telah menyerang satu pos pasukan PBB dan menahan 30 prajurit Belanda. Jenderal Serbia itu mengultimatum: jika pengeboman

diteruskan, tahanan itu akan mereka bunuh. Sekitar dua jam setelah itu, menjelang sore hari 11 Juli, Mladic dan tentaranya memasuki Srebrenica. Malamnya ia memanggil Karremans untuk menemuinya dan mendengarkan sebuah tuntutan: orang-orang muslim harus menyerahkan senjata mereka atau dihabisi. Direkam oleh juru kamera Serbia, di malam itu Karremans mengangkat gelas, bersulang dengan Mladic. Terdengar suaranya: “Saya seorang pemain piano. Jangan tembak sang pianis.” Dan Mladic menjawab, entah bergurau entah tidak: “Tuan seorang pianis yang buruk.” Yang mungkin bisa dikatakan: opsir Belanda itu komandan pasukan yang buruk. Pasukannya meninggalkan Srebrenica, membiarkan orang-orang muslim mulai ditembaki. Tanggal 13 Juli, pembunuhan mulai dilakukan di sebuah gudang dekat Desa Kravica. Di hari yang sama, Karremans menyerahkan 5.000 muslim ke tangan Mladic, untuk dipertukarkan dengan 15 prajurit Belanda yang ditahan di Nova Kasaba. Tiga hari kemudian, mulai masuk laporan pembantaian…. Dan Karremans tak melaporkan peristiwa itu ke atasannya. Seorang wartawan Belanda, Frank Westerman, pengarang buku Srebrenica: Het zwartste scenario, menulis: di saat perpisahan resmi, Karremans bahkan menerima sebuah cendera mata dari Mladic: “Yang ini buat istri saya?” tanyanya, tersenyum. Tapi mereka yang jadi korban tak diam. Dua muslim Bosnia yang keluarganya dibantai Mladic berusaha mengajukan kasus itu ke pengadilan negeri Den Haag. Persis 16 tahun setelah kebuasan di Srebrenica itu, para hakim Belanda memutuskan: Negara Belanda memang bertanggung jawab atas kesalahan tindakan tentaranya yang membiarkan ribuan orang tak bersenjata dibantai. Persis 16 tahun juga dunia menyaksikan Mladic bisa dibawa ke Den Haag, untuk diadili di Mahkamah Internasional. Hari-hari ini, sebuah negeri sedang merasa malu dan menebus kesalahan di masa lalu: kesalahan bangsa sendiri terhadap mereka

yang datang dari negeri jauh, dengan iman dan sejarah yang berjarak. Di saat seperti itu, “liyan” tak hanya berarti mereka yang bukan-kami, tapi juga “sesama” yang tak berbeda dari kami. Di wajah-wajah yang tak berdaya di depan para algojo, di deretan kepala yang berlubang ditembak, di tumpukan jasad yang dibantai hanya karena asal-usul yang janggal dan biodata yang beda, seorang muslim di Srebrenica menyerupai seorang Yahudi di kamp Auschwitz. Srebrenica berlumur darah karena orang macam Mladic tak hendak mengakui bahwa mereka yang paling lemah dan paling dianiaya yang justru mengingatkan apa yang menakjubkan dalam manusia: sebuah pertalian yang tak tampak. Majalah Tempo Edisi 25 Juli 2011

Bastiat Juli 4, 2011 Seorang “neo-liberal” adalah orang yang jengkel kepada “Negara”. Tapi ada seorang pendahulunya yang tak jengkel, malah kocak: Frédéric Bastiat, orang Prancis di abad ke-19. Ia mempersamakan Negara dengan tokoh Figaro yang harus mendengarkan tuntutan dari delapan penjuru angin: “Aturlah buruh dan pekerjaan mereka!” “Habisi egoisme!” “Lawan kekurangajaran dan tirani modal!” “Bikin eksperimen dengan tahi sapi dan telur!” “Bentangkan jalan kereta api di pedusunan!” “Tanam pohon di pegunungan!” “Jadikan Aljazair koloni kita!” “Setarakan laba usaha industri!” “Pinjamkan uang tanpa bunga kepada yang perlu!”

“Perbaiki keturunan kuda tunggangan!” “Hidupkan seni, latih musisi dan penari!” “Temukan kebenaran dan ketok kepala kami agar berpikir!” Kutipan saya tak lengkap, tapi cukup banyak, dan Sang Negara akan mendengarkan semuanya dengan agak gelagapan. Ia pun akan mengimbau: “Sabar, tuan, sabar! Akan saya penuhi permintaan tuan semua, tapi saya perlu dana, dong. Saya perlu memungut pajak, dan tentu saja, seperti tuan kehendaki, tak akan membebani.” Tapi seketika itu juga akan terdengar teriakan menyahut: “Ah, kok gampangan! Apa tak malu! Siapa saja dapat melakukan apa saja dengan dana. Kalau cuma begitu, kamu tak layak disebut ’Negara’! Ayo, jangan bikin pajak baru! Malah hapuskan pajak lama!” Harus diakui, ada nada simpati terhadap Negara dalam esai Bastiat itu—dan mungkin itu yang membedakannya dengan mereka yang disebut “neo-liberal” atau siapa saja yang dianggap penganut pemikiran ekonomi Milton Friedman. Bastiat melihat kontradiksi dalam tuntutan delapan-penjuru-angin yang saya kutip di atas. Jika ia pun datang dengan rumusannya tentang “Negara” ia tak serta-merta menafikannya. Negara, tulis Bastiat, adalah “sosok yang misterius, dan yang pasti sosok yang paling banyak menerima permintaan, yang paling tersiksa, paling sibuk, paling dinasihati, paling disalahkan, paling dituntut, dan paling diprovokasi di seluruh dunia”. Tapi Bastiat tak berhenti di sana. Ia melihat lebih jauh untuk memahami kenapa “Negara” diperlukan. Manusia, menurut Bastiat, adalah makhluk yang menampik kepedihan dan penderitaan. Tapi manusia juga dihukum akan menderita kekurangan jika ia tak bekerja buat hidup. Maka ia menemukan cara: menikmati hasil kerja orang lain. Perbudakan bermula dari sifat itu. Tapi juga perang,

perampasan, penipuan, dan hal-hal lain yang mengerikan tapi cocok dengan akal manusia untuk mengatasi dilemanya. Dengan kata lain: tak aneh. “Kita harus membenci dan melawan penindas,” tulis Bastiat, “tapi kita tak bisa mengatakan mereka absurd, edan, dan tak masuk akal.” Apalagi dalam perkembangannya, si penindas tak lagi berhubungan langsung dengan si tertindas. Dewasa ini antara penindas dan korbannya ada “perantara”, yaitu Negara. Dari sini Bastiat memberikan definisinya yang orisinal: “Negara adalah satu entitas imajiner yang dipakai tiap orang untuk hidup dengan ongkos (dépens) orang lain.” Definisi ini menohok tajam. Umumnya orang tak ingin mengakui secara terbuka bahwa, seperti kata Bastiat, ia hidup dengan memanfaatkan kerja orang lain. Orang lebih suka menunjuk ke Negara dan menyuruh, “Hai kamu, yang bisa mengambil dengan adil dan terhormat, ambillah dari masyarakat dan bagikan kepada kami!” Mengaitkan Negara dengan hubungan eksploitatif—yang tak selamanya tampak—adalah juga yang tersirat dalam pikiran Marx. Saya tak yakin bapak sosialisme modern itu terilhami oleh Bastiat (1801-1850), yang meninggal hampir dua dasawarsa sebelum terbit Das Kapital. Tapi Marx juga melihat Negara bukan sebagai sebuah bangunan suci, melainkan sebagai instrumen represi dari satu kelas terhadap kelas lain. Hanya Bastiat sedikit lebih jeli: ia tak melihat Negara sebagai “sistem” atau “instrumen” semata-mata. Negara, dalam prakteknya, terdiri atas “para menteri kabinet, birokrat, orang-orang yang, pendek kata, seperti umumnya orang, menyimpan dalam hati mereka hasrat untuk memperbesar kekayaan dan pengaruh, dan dengan bersemangat menangkap kesempatan untuk itu”. Yang menarik tentulah pandangan yang sejajar tentang Negara itu: di satu sisi Marx, di sisi lain Bastiat yang punya gema dalam pemikiran kubu sebelah “kanan”: Hayek dan Friedman. Tak

mengherankan: baik Marx maupun Bastiat bertolak dari pengalaman dalam ruang dan waktu. Marx menampik Hegel yang memandang Negara sebagai penubuhan dari ide; ia merumuskan Negara dari apa yang berlangsung dalam sejarah. Bastiat demikian pula: ia seorang pencatat, bukan teoretikus, bukan filosof. Schumpeter menganggapnya “wartawan ekonomi yang paling cemerlang yang pernah hidup”. Maka ia menemui fakta dan mencemooh “ilusi ganjil” tentang Negara. Di atas saya kutip ia menyebut Negara sebagai “entitas imajiner”. Saya kira Bastiat melihat Negara sebagai proses politik, bukan satu bangunan yang mandek di atas pergulatan politik di mana ia berdiri. Sebab itu ia punya keterbatasannya sendiri: Negara tak terbentuk untuk bisa memuaskan semua orang di semua sudut sekaligus. Tiap politik punya utopia dan punya kalkulasi—dan di antara itulah hadir Negara. Bastiat memang seorang “liberal” dalam pengertian politik Eropa—dan ia berbicara dengan nada yang ringan. Ia masih mengakui Negara sebagai “kekuatan polisi bersama” dengan cukup optimisme: baginya, kekuatan itu bisa dipakai bukan untuk merampok dan menindas, melainkan untuk “menjamin tiap orang haknya sendiri dan membuat keadilan dan keamanan menang”. Memang hanya seorang yang dogmatis yang bisa melihat Negara tanpa ambiguitas. ~Majalah Tempo, Edisi Senin, 04 Juli 2011~

Grrr Juni 27, 2011 Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita pem-bangun-an—”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater ini,

melihat peran pem-bangun-an ini sebagai ”teror”—dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata. Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi kita. Ia tak mengklaim satu makna. Ia tak berarti: tak punya isi kognitif atau tak punya manfaat yang besar. Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda yang tak berarti dihadirkan. Mungkin sosok itu (umumnya tak bernama) si sakit yang tak jelas sakitnya. Mungkin benda itu sekaleng kecil balsem. Atau selimut—hal-hal yang dalam kisah-kisah besar dianggap sepele. Dalam teater Putu Wijaya, justru itu bisa jadi fokus. Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski. Bukan karena ia hanya bercerita tentang kalangan miskin; Putu Wijaya tak tertarik untuk berbicara tentang lapisan-lapisan sosial. Teater Mandiri adalah ”teater miskin” karena ia, sebagaimana yang kemudian dijadikan semboyan kreatif Putu Wijaya, ”bertolak dari yang ada”. Saya ingat bagaimana pada 1971 Putu Wijaya memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan Senen Raya 83, Jakarta. Siang hari ia akan bertugas sebagai wartawan. Malam hari, ketika kantor sepi, ia akan menggunakan ruangan yang terbatas dan sudah aus itu untuk latihan teater. Dan ia akan mengajak siapa saja: seorang tukang kayu muda yang di waktu siang memperbaiki bangunan kantor, seorang gelandangan tua yang tiap malam istirahat di pojok jalan itu, seorang calon fotograf yang gagap. Ia tak menuntut mereka untuk berakting dan mengucapkan dialog yang cakap. Ia membuat mereka jadi bagian teater sebagai peristiwa, bukan hanya cerita.

Dari sini memang kemudian berkembang gaya Putu Wijaya: sebuah teater yang dibangun dari dialektik antara ”peristiwa” dan ”cerita”, antara kehadiran aktor dan orang-orang yang hanya bagian komposisi panggung, antara kata sebagai alat komunikasi dan kata sebagai benda tersendiri. Juga teater yang hidup dari tarik-menarik antara pathos dan humor, antara suasana yang terbangun utuh dan disintegrasi yang segera mengubah keutuhan itu. Orang memang bisa ragu, apa sebenarnya yang dibangun (dan dibangunkan) oleh teater Putu Wijaya. Keraguan ini bisa dimengerti. Indonesia didirikan dan diatur oleh sebuah lapisan elite yang berpandangan bahwa yang dibangun haruslah sebuah ”bangunan”, sebuah tata, bahkan tata yang permanen. Elite itu juga menganggap bahwa ke-bangun-an adalah kebangkitan dari ketidaksadaran. Ketika Putu Wijaya memilih kata ”teror” dalam hubungan dengan karya kreatifnya, bagi saya ia menampik pandangan seperti itu. Pentasnya menunjukkan bahwa pada tiap tata selalu tersembunyi chaos, dan pada tiap ucapan yang transparan selalu tersembunyi ketidaksadaran. Sartre pernah mengatakan, salah satu motif menciptakan seni adalah ”memperkenalkan tata di mana ia semula tak ada, memasangkan kesatuan pikiran dalam keragaman hal-ihwal”. Saya kira ia salah. Ia mungkin berpikir tentang keindahan dalam pengertian klasik, di mana tata amat penting. Bagi saya Teater Mandiri justru menunjukkan bahwa di sebuah negeri di mana tradisi dan antitradisi berbenturan (tapi juga sering berkelindan), bukan pengertian klasik itu yang berlaku. Pernah pula Sartre mengatakan, seraya meremehkan puisi, bahwa ”kata adalah aksi”. Prosa, menurut Sartre, ”terlibat” dalam pembebasan manusia karena memakai kata sebagai alat mengkomunikasikan ide, sedangkan puisi tidak. Tapi di sini pun Sartre salah. Ia tak melihat, prosa dan puisi bisa bertaut—dan itu bertaut dengan hidup dalam teater Putu Wijaya. Puisi dalam teater ini muncul ketika keharusan berkomunikasi dipatahkan.

Sebagaimana dalam puisi, dalam sajak Chairil Anwar apalagi dalam sajak Sutardji Calzoum Bachri, yang hadir dalam pentas Teater Mandiri adalah imaji-imaji, bayangan dan bunyi, bukan pesan, apalagi khotbah. Dan ini penting, di zaman ketika komunikasi hanya dibangun oleh pesan verbal yang itu-itu saja, yang tak lagi akrab dengan diri, hanya hasil kesepakatan orang lain yang kian asing. Sartre kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia mengakui bahasa bukan alat yang siap. Bahasa tak bisa mengungkapkan apa yang ada di bawah sadar, tak bisa mengartikulasikan hidup yang dijalani, le vecu. Ia tentu belum pernah menyaksikan pentas Teater Mandiri, tapi ia pasti melihat bahwa pelbagai ekspresi teater dan kesusastraan punya daya ”teror” ketika, seperti Teater Mandiri, menunjukkan hal-hal yang tak terkomunikasikan dalam hidup. Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dan dari sana kreativitas yang sejati bertolak. Majalah Tempo Edisi Senin, 27 Juni 2011

Tari Mei 2, 2011 Di udara Surakarta yang gerah dan terik, sejumlah penari menari selama 24 jam. Ini Hari Tari Sedunia, 29 April 2011. Tari adalah penemuan. Martha Graham mengutarakannya dengan satu kalimat pendek: ”Dancing is just discovery, discovery, discovery….” Jika hari-hari ini tari, terutama sebagai ekspresi, penting, itu karena yang terjadi adalah sebuah penemuan yang sering dianggap terlalu lumrah: kita menemukan kembali tubuh, dan bersama itu kita juga menemukan kemerdekaan. Anak-anak balita telah menunjukkan hal itu sejak dulu: mereka

bergerak mengikuti satu irama musik, derap ketukan atau repetisi tepuk, tanpa mereka rancang. Mereka tak mengikuti desain apa pun, hingga ”bentuk” jadi sebuah pengertian yang bermasalah. Tak ada arah yang pasti. Tak ada maksud mencapai hasil. Proses ini bukanlah proses serebral. Dalam tari anak-anak yang spontan, tubuh menemukan dirinya. Praktis mandiri. ”Tubuh”, bukan ”jasad”. ”Tubuh” bukan sekadar satuan materi yang kemudian bisa diuraikan dan dipetakan dalam anatomi dan ilmu faal. ”Jasad” bisa dianggap sebagai mesin atau alat yang patuh kepada perintah otak atau kesadaran yang mengatur, membereskan, dan menghitung—tapi ”tubuh” tidak. Metafisika, agama, ekonomi, dan ilmu kedokteran sering meleset melihat fenomena ini—salah pandang yang telah meninggalkan banyak trauma. Tari mengingatkan kita apa yang salah itu: seorang penari mengalami bahwa manusia bukanlah ”aku” yang berada di luar tubuh. Ia bukan ”aku” yang, dari posisinya yang lebih tinggi, memiliki bangunan faali itu. Seorang penari adalah tubuh itu sendiri. Padanya, kata Martha Graham, ada ”satu sikap khidmat kepada hal-hal yang dilupakan, misalnya mukjizat tulang-tulang lentik dengan kekuatannya yang halus”. Maka bila metafisika—seperti yang dirumuskan Descartes di abad ke-17 Eropa—menganggap tubuh, atau lebih tepat ”jasad”, sebagai hal yang terpisah dari kesadaran, persisnya pusat kognitif, sang penari menegaskan betapa ganjilnya dualisme itu: dalam menari aku bergerak, bukan aku menggerakkan, dan bukan pula aku digerakkan. Memang tari klasik, seperti bedhaya ketawang di Jawa, dengan gerak yang ditentukan pakem yang pasti, meletakkan penari hanya sebagai instrumen yang melaksanakan desain. Ketika George Balanchine mengatakan para penarinya adalah ”instrumen, seperti sebuah piano yang dimainkan sang koreografer”, agaknya ia mengatakannya dengan semangat seorang penata tari yang dididik

dalam tradisi klasik di Sekolah Balet Imperial di St. Petersburg, Rusia, di awal abad ke-20. Ia belum seorang Balanchine yang menciptakan Apollon musagète bersama Stravinsky pada 1928: sebuah koreografi yang membawa masuk gerak musik jazz—sebuah karya yang diakuinya sebagai ”titik perubahan dalam hidupku”. Dalam temperamen pasca-klasik, seperti jazz, tari adalah proses ”penemuan”, bukan gerak yang mengikut jejak. Dan ketika tubuh menemukan dan ditemukan, kita akan bersua dengan pengalaman yang lain: tubuh bukanlah sebuah meja kosong yang putih bersih. Tubuh bukanlah yang seperti dibayangkan doktrin agama yang yakin bahwa sisi manusia ini bisa diisi atau dibentuk demikian rupa hingga berubah, terlepas dari apa saja yang tak suci-murni. Doktrin agama umumnya enggan melihat—meskipun diam-diam mengakui dengan waswas—bahwa tubuh adalah lipatan dan buhul dari arus yang tak tepermanai. Ia tak bisa sepenuhnya diarahkan. Ia punya sejarah. Tari mengukuhkan pakta kita dengan dunia yang membentuk dan dibentuk sejarah itu. Dunia bukanlah wilayah yang terpisah. Dengan tubuh kita terpaut di dalamnya. Maka dalam tari, kita yang mencipta tahu apa yang kita ingin temukan, sebab sejarah yang merasuk ke dalam tubuh ikut memberi makna dunia kita. Tapi dalam tari juga kita yang mencipta akan menemukan bahwa hanya sedikit yang kita mampu. Tubuh dan dunia tak sepenuhnya bisa kita kuasai: kita tak kunjung mengetahui apa yang akan terjadi, sebagaimana juga dialami ilmu kedokteran dan geologi. Saya ingat Pina Bausch. Pada musim semi 1995, saya mengunjunginya di Wuppertal, dekat Düsseldorf, Jerman. Pencipta Tanztheater termasyhur itu sedang menyiapkan pementasan ulang Le Sacre du Printemps berdasarkan musik Stravinsky. Para penari di komunitas ini tak terdiri atas mereka yang berpotongan ”rata-rata indah” dan tak berasal dari satu tradisi. Pina Bausch memberikan instruksi dalam tiga bahasa. Metodenya terkenal: ia akan melatih para penari dengan mengajukan pertanyaan tentang kenangan dan

hidup sehari-hari mereka. Pina akan minta mereka me-”mentas”kan ingatan itu dan mencipta minidrama dari respons mereka. ”Aku tak tahu di mana awal dan akhirnya,” saya ingat katanya dalam sebuah wawancara. Tapi tentu saja pada tari ada yang disebut ”bentuk”. Bisa dikatakan bahwa tari adalah tubuh yang menyambut bentuk—meskipun pada saat gerak mulai, bentuk itu belum ada, atau sedang akan ada, meskipun mungkin samar dan sementara. Dalam proses itulah terletak kemerdekaan dalam watak pascaklasik: keleluasaan menjelajah sebuah horizon, yang sebagaimana halnya kaki langit, tak pernah jelas di mana berhentinya. Maka sering tari dilihat—kalau bukan sebagai hiasan upacara—sebagai proses yang tanpa hasil. Zaman ini, yang tiap menit menuntut ”hasil”, akan mencemooh mereka yang menari 24 jam dan sesudah itu menghilang. Tapi siapa yang tak menghendaki sebuah masyarakat yang hanya punya satu mata perlu mengatakan (dengan sedikit menirukan Nietzsche): ”Aku hanya percaya kepada hidup yang menari—yang menemukan, menemukan, menemukan….” Majalah Tempo Edisi Senin, 02 Mei 2011

Melihat April 11, 2011 Dengan ironi yang dahsyat, dengan magnífica ironía, Tuhan memberi Jorge Luis Borges dua hal: buku-buku dan malam hari. Di tahun 1950-an, pada usia setengah abad, penyair besar Argentina itu jadi buta sepenuhnya. Tapi menarik bahwa dalam sajak yang ditulisnya tentang kejadian itu ia memakai kata ”malam hari”, la noche, untuk menggambarkan ”buta”. Borges yang lahir di akhir abad ke-19 mungkin lupa: abad ke-20 telah memperkenalkan sisi lain dari malam, yaitu cahaya. Bahkan cahaya itu berpendar mewah, atau

bertebar di mana-mana, dan gelap menjadi minoritas. Malah sebuah cacat. Terutama di kota-kota besar. Kota kini telah membawa iman modernitas yang tak selamanya dirumuskan: bahwa dunia bisa dijinakkan karena manusia bisa mengetahuinya dengan benar, dan mengetahui dengan benar berarti ”melihat”. Bukan ”mendengar”, ”mencicip”, ”menghidu”, atau ”meraba”. Yang visual memimpin pengenalan kita kepada dunia. Tentu saja akan berlebihan bila kita pisahkan masa kini dari masa lalu. Dalam kondisi pramodern, orang juga sudah menganggap sejarah bergerak karena penglihatan. Melalui ilmu, misalnya. Orang Jawa menyebut ”ilmu” sebagai kawruh. Kata ini punya akar dalam kata weruh, yang dalam kamus Jawa susunan W.J.S. Poerwadarminta tahun 1939 berarti ”bisa menggunakan penglihatan” dan juga berarti ”mengerti”. Dan bila benar wayang adalah sumber kearifan, makin jelas bagaimana cahaya (dan akibatnya: bayangan) adalah teknologi purba untuk pen-cerah-an. Kecenderungan mengutamakan mata, oculus, sebagai sumber pengetahuan (dan penguasaan) itu bahkan sudah ada di Yunani Kuno: peradaban yang oculocentric dimulai jauh sebelum Plato. Plato pernah menyebutkan satu upacara purba, satu milenium sebelum dia, yang berlangsung di Eleusis: tiap musim semi ratusan orang berkumpul di sebuah kuil yang gelap pekat bagaikan gua, menantikan ajaran tentang kematian, kelahiran kembali, dan keabadian. Mereka ingin mengetahui hal-hal itu agar dapat mengatur hidup. Nah, Dewi Demeter akan tampil dalam sinar yang terang. Kebenaran akan disampaikan. Kini jutaan orang, berkelompok atau menyendiri, menantikan informasi. Bukan di Eleusis, tapi melalui sinar di televisi, film, layar komputer di mana saja. Aku melihat, maka aku ada. Bisa kita bayangkan bagaimana terasingnya Borges–apalagi ketika bahkan buku-buku juga sedang meninggalkannya. Sejak ia kecil deretan jilid berbaris di rumahnya. Bertahun-tahun ia sentuh kertas yang membentuk pagina itu dan ia hidu aroma tintanya. Tapi

hari ini Kindle dan iPad dan entah apa lagi sedang menghapus sumber informasi (bahkan ”kebenaran”) itu. Di pertengahan abad ke-20 Tuhan memberi Borges buku dan malam hari. Kini sejarah teknologi merenggutkan keduanya. Beruntung ia tak menyaksikan babak baru ini. Ia meninggal pada 1986. Saya kira saat itu ia bebas. Maksud saya, ia tak akan digedor iklan yang tanpa jeda. Ia tak akan dijepit etalase-etalase mal yang memamerkan tubuh peraga yang rupawan, busana berpotongan memukau. Atau ratusan botol parfum yang lebih enak dilihat bentuknya ketimbang dicium harumnya. Atau makanan yang mengimbau lidah lewat fotografi. Dan di atas semua itu: logo, logo, logo. Dengan desain yang tak ingin terabaikan. Kapitalisme, dengan kemampuannya merayakan apa yang visual, mencoba menebus sesuatu yang hilang. Ia bagian dari modernitas yang lahir bersama penaklukan dunia dan kehidupan, yang menghabisi sihir, pesona, dan aura yang dulu dirasakan hadir dalam alam—gejala yang terkenal dalam sebutan Max Weber sebagai Entzauberung der Welt. Tapi sejak awal abad ke-19, ketika benda-benda dipajang di toko-toko besar, orang pun jadi konsumen yang ternganga-nganga takjub. Dengan teknik pemasaran yang piawai, lewat komoditas, pesona dikembalikan ke dunia. Modernitas, yang semula membangun dan dibangun dari perhitungan rasional, kini menghidupkan lagi sesuatu yang tak sepenuhnya dikuasai akal: pesona itu bekerja karena bergolaknya hasrat. Ada yang akan menyebutnya ”nafsu”: bagian dari bawahsadar yang hanya kita temui di saat yang tak bisa direncanakan, yang tentang sumbernya kita cuma bisa bilang, ”Entah.” Tapi satu catatan perlu ditambahkan: sebagaimana sihir dan pesona alam di zaman kuno bisa menyesatkan, pesona visual dari kapitalisme-lewat-etalase itu juga demikian. Bedanya: di zaman dulu apa yang menampakkan diri dan menyihir manusia bisa datang dan menghilang ke dalam misteri; kini, yang secara visual mempesona itu punya dua sifat. Yang pertama, ia tak punya

kedalaman. Ia datar seperti etalase, tanpa misteri. Yang kedua, ia dibebani kesementaraan. Bentuk gaun, ukuran dasi, warna kain harus berganti terus, selalu sementara, tiap musim. Hasrat disebut ”hasrat” karena ia tak terpuaskan. Itulah yang saya maksud: mungkin yang didapat Borges sebuah magnífica ironía yang membebaskan. Ia beroleh buku: tempat tersimpannya apa yang tak ada di dunia etalase, ruang visual yang rata. Buku Borges sendiri contohnya: di dalam cerita-ceritanya, fantasi lebih berperan, bahkan mengecoh fakta. Di sana datang hal yang tak pernah dilihat: Borges menulis The Book of Imaginary Beings. Di situlah ia hidup bersama ”malam”: fantasi & imajinasi meriah justru ketika kita tak tergoda untuk melihat. ”Mata adalah peranti yang rapuh,” kata Borges dalam satu sajaknya. Artinya, jauh di dalam diri yang tak tampak, ada yang tak tertaklukkan. Kapitalisme mencoba menangkapnya, tapi kata + kisah yang fantastis, yang ”gelap”, menyembunyikannya kembali. Mungkin itu sebabnya kita selalu cemas akan kehilangan puisi. ~Majalah Tempo, Edisi Senin, 11 April 2011~

Memangku Maret 14, 2011 Para raja di Jawa adalah ekspresi sebuah idaman. Terutama idaman tentang stabilitas. Kita ingat nama-nama mereka: Amangkurat dan Mangkubumi berarti ”memangku bumi”. Hamengku Buwono berarti ”memangku benua”. Paku Buwono: ”paku” atau ”pasak” yang membuat kontinen tak bergerak terus, terpacak tak terguncang-guncang. Sering kali kita lupa, nama-nama itu relatif baru. Mereka muncul dalam sejarah monarki Jawa sejak abad ke-17. Sebelum itu, dimulai dengan zaman raja-raja Mataram Lama sampai awal Mataram Baru, kita hanya menemukan nama-nama pribadi:

Sanjaya, Syailendra, Mpu Sindok, Airlangga, Hayam Wuruk, Raden Patah, Trenggono, Hadiwijaya, Panembahan Senapati. Kemudian, pada 1641, muncul gelar ”Sultan Agung Senapati ing Ngalaga Abdurrahman”: transisi dari yang personal ke dalam yang simbolik. Setelah itu, Amangkurat I. Simbol, berbeda dengan tanda, mengacu ke sehimpun informasi yang tak persis dan pasti. Yang simbolik mengandung sesuatu yang tak hendak dikatakan. Dalam nama ”Amangkurat” atau ”Paku Buwono” terasa satu kesadaran tentang geografi yang berbeda: sang penguasa membayangkan wilayah yang tak terbatas hanya pada daerah yang dikuasainya langsung. Tapi sejauh mana wilayah itu, tak ada garis yang persis. Kita ingat mithos yang terkenal itu: hubungan yang akrab namun misterius Panembahan Senapati, pendiri Kerajaan Mataram, dengan yang bertakhta di ”Laut Selatan” dan di ”Merapi”. Dalam kisah ini, tersamar hasrat yang ekspansif yang tak hendak dikatakan. Mungkin itu pertanda megalomania. Tapi mungkin juga lain. Jika ditilik lebih dalam, nama-nama itu bukan mensugestikan hasrat menaklukkan. Dalam kata ”memangku” ada makna ”menampung” dan ”merawat”. Pangkuan adalah sesuatu yang mesra, tenteram, dan protektif. Bahkan ”paku”, dalam nama ”Paku Buwono”, lebih berasosiasi dengan penjagaan. Namun pada saat yang sama, ada faset lain yang bisa dicatat: apa yang dipangku dan dijaga dengan sendirinya sesuatu yang dianggap stabil, tak lasak—sesuatu yang betah dengan wadah tempat ia berada. Dengan kata lain, negeri atau masyarakat yang ada di haribaan raja diharapkan tak punya antagonisme dalam diri mereka dan dengan sang raja. Tentu saja, seperti saya sebut di atas, itu hanya sebuah idaman. Simbol punya peran lain: bukan representasi sesuatu, melainkan sebuah ikhtiar untuk mencapai sesuatu yang tak ada. Dalam sejarah Mataram, yang tak ada itu justru harmoni antara yang memangku dan yang dipangku. Sejak Amangkurat I,

kekerasan berkecamuk. Raja ini membantai 3.000 ulama di alunalun dalam waktu setengah jam. Raja ini pula yang akhirnya menimbulkan pemberontakan Trunojoyo; ia bahkan disanggah anaknya sendiri hingga lari dari istana. Ia meninggal jauh di pesisir utara. Kasus Amangkurat I menunjukkan, ikhtiar simbolisme itu lahir bersama kondisi raja sebagai sosok yang terbelah. Ia bertaut dengan sesuatu yang mithologis; sebagai pemangku bumi ia tak merupakan bagian dari bumi itu. Dengan posisi itulah ia diharapkan (dan mengharap) jadi pemersatu alam. Tapi pada saat yang sama, ia berada di dalam kegalauan bumi. Harapan untuk jadi ”pemersatu” itu berlebihan. Selisih pun timbul. Amangkurat adalah contoh betapa sebenarnya sang pemangku bukan fondasi stabilitas. Ia sendiri tak punya penopang. Ia tumbuh dari konflik dan kekerasan yang membentuk sejarah: sejak Majapahit runtuh, sejak Kesultanan Demak lenyap dan Jipang hilang. Bahkan agaknya jauh sebelum Ken Arok membangun Tumapel dengan keris dan darah. Juga sampai hari ini: kita harus mengakui, idaman akan stabilitas adalah idaman yang bagus tapi sia-sia. Tiap negeri, kerajaan, atau republik, bagaimanapun, terbentuk lewat bentrokan, persaingan, dan pergulatan hegemoni. Antagonisme tak pernah berakhir. Sejak Kautilya menulis Arthasastra di India di abad ke-4 sebelum Masehi, sejak Machiavelli menulis Il Principe di Italia di abad ke-16, sampai dengan kompetisi demokratik abad ke-21, para pemikir dan pelaku politik sadar: politik itu sejenis perang. Apa boleh buat. Orang meciptakan kekuasaan untuk dirinya, tapi ia tak dapat menjadikan kekuasaan itu identik dengan dirinya: kita ingat Amangkurat yang lari dari keraton, raja-raja yang dimakzulkan dan dipenggal, khalif-khalif yang dibunuh dan dicemarkan. Yang penting tentu saja bukanlah mengakui kebrutalan itu sebagai sesuatu yang sah. Yang penting adalah meniadakan ilusi bahwa bumi akan berhenti gonjang-ganjing

setelah dipangku dan dipaku. Kekuasaan selalu bergeser. Orang yang menciptakannya, dalam kata-kata Ernesto Laclau, ”akan siasia mendapatkan hari ketujuh untuk beristirahat”. Kita, di Indonesia, mudah merindukan hari ketujuh itu: tercapainya konsensus. Saya tak sepenuhnya sepaham dengan Laclau bahwa antagonisme adalah satu-satunya dasar yang membentuk sebuah masyarakat. Tapi memang tak dapat diasumsikan bahwa konsensus pasti datang. Para pihak dalam kehidupan politik tak dengan sendirinya akan menemukan ”rasionalitas” dan dengan itu bermufakat. Dalam sejarah Indonesia, dengan atau tanpa demokrasi, tak ada persaingan tanpa perlawanan. Politik tak mungkin hanya mengejar koalisi tanpa konfrontasi. Dalam salah satu kitab Jawa abad ke-19 disebutkan agar para calon pemimpin berlapang hati, serba memuat dan memangku, ”bagaikan lautan”—den ajembar, momot lan mengku, den kaya segara. Petuah itu tampaknya dirumuskan seseorang yang merasa diri aman dari politik dan ditujukan kepada para pewaris sebuah kekuasaan yang sedang tenteram. Tapi di tanah air kita, laut bukanlah tasik yang tenang tak beriak. Ia punya prahara dan tsunami. ~Majalah Tempo Edisi Senin, 14 Maret 2011~

Mesh Maret 7, 2011 Kalau ada sumur di ladang

Boleh aku menumpang mandi

TIAP kali ke luar rumah, saya mengutuk. Atau mengeluh. Di dalam mobil.

Mobil, akhirnya, sebuah kontradiksi. Ia berasal dari kombinasi kata auto + mobile. Tapi ”auto” itu pelan-pelan hilang, karena akhirnya tak istimewa lagi ada kendaraan yang bisa bergerak sendiri. Kini kata ”mobile” yang ke depan—dengan arti ”gerak yang cepat dan mudah”. Tapi itu sebabnya saya mengutuk: berada di jalan-jalan Jakarta, mobil ternyata menentang maknanya sendiri. Tak pelak lagi, benda ini telah berubah peran. Saya coba baca sejarahnya. Ia dimulai sebagai sesuatu yang eksklusif, salah satu bentuk ”kekayaan posisional” dalam pengertian Fred Hirsch. Tapi dengan segera tak demikian lagi. Sejak awal abad ke-20, di Prancis Panhard et Levassor sudah memproduksi mobil secara massal. Tahun 1893, Duryea Motor Wagon Company jadi perusahaan pembuat mobil pertama di Amerika, disusul oleh Cadillac dan Ford yang memproduksi ribuan mobil dengan cepat. Transformasi pun terjadi: kendaraan ini kini sebuah bentuk ”kekayaan demokratik”—yang diharapkan akan bisa dimiliki siapa saja. Contoh terakhir: mobil murah Tata Nano di India. Semangat ”kesetaraan sosial” abad ke-20 punya dampak di sini: tiap orang punya hak sama untuk punya benda-benda yang dulu bukan dianggap bagian hidup kelas bawah. Tapi tak cuma itu. Perluasan pasar kapitalisme tak putusputusnya menebarkan impian baru. Masyarakat pun membiasakan hasrat untuk ”punya”. Berkecamuklah sikap yang ”dungu dan satusisi”, untuk meminjam kata-kata Marx: orang anggap sebuah barang hanya jadi bagian dari diri bila langsung dimiliki untuk jadi modal, atau langsung dimakan, diminum, dikenakan, dihuni. Sebuah sejarah yang muram sebenarnya: seluruh hasrat dan kapasitas manusia, kata Marx, digantikan oleh kesadaran akan ”punya”, der Sinn des Habens. Mobil—yang di Jakarta lebih dari 80% milik pribadi—kian menunjukkan sejarah yang muram itu ketika ia jadi contoh gejala kongesti. Mobil saya terenyak di antara sekitar lima setengah juta kendaraan pribadi di Jakarta, yang jumlahnya bertambah rata-rata

9,5% per tahun, ketika panjang jalan hanya bertambah 0,1%. Macet, kongesti, mandek. Tampaknya tak ada satu kekuasaan yang bisa menyetop kecenderungan itu. Negara bukan saja dikacau birokrasinya sendiri, tapi juga dilumpuhkan persekongkolan gelap yang membuat apa yang ”publik” dicincang-cincang kepentingan privat yang terpisah-pisah. Pilihan yang ditawarkan pasar memang mampu membebaskan individu dalam mengambil keputusan. ”Sayangnya,” sebagaimana dikatakan Hirsch dalam The Social Limits to Growth, buku lama yang masih saya anggap penting, ”pembebasan individual tak membuat kesempatan-kesempatan itu akhirnya membebaskan semua individu bersama-sama.” Demikianlah kita beli motor, mobil, sesuai dengan hak dan kemampuan kita. Tapi akhirnya kita tak jadi lebih bebas. Macet pada tiap kilometer, mustahil kita mencapai tujuan dengan waktu yang kita pilih. Tapi sebenarnya saya capek mengeluh. Apa yang bisa dilakukan? Mungkin kita perlu menghitung. Juga mengenang. Kita menghitung apa yang terbuang. Berapa jam dalam sehari sebenarnya kita perlu mobil di kota ini dalam keadaan normal? Kira-kira kurang dari 5 jam. Tapi kita ingin menguasai milik itu 24 jam. Berapa ruang yang diambil satu mobil di jalan dan di tempat parkir, sementara pengendaranya hanya dua manusia? Sekitar 12 meter persegi. Kepentingan privat yang terpisah-pisah akhirnya telah membuang begitu banyak dana, waktu, ruang bersama. Sebuah telaah memperkirakan, jika sampai tahun 2020 tak ada perbaikan dalam sistem transportasi di Jakarta-Bogor-DepokTangerang-Bekasi, kerugian ekonomi akan mencapai Rp 65 triliun per tahun, termasuk kerugian nilai waktu perjalanan: Rp 37 triliun. Maka kita perlu mengenang: bukan ke masa ketika mobil belum ditemukan, tapi ke masa ketika orang masih bisa berbagi. Saya teringat lagu itu: ”kalau ada sumur di ladang…”. Bukan saja sumur

masih terletak di tempat terbuka, tapi juga orang masih bisa ”menumpang mandi”. Yang tersirat dari pantun itu adalah sesuatu yang dulu lumrah tapi kini terasa luar biasa: jika sumur—atau mobil, atau kamar apartemen, atau rumah peristirahatan—hanya dipakai sesekali oleh yang punya, alangkah baiknya jika di saat sisanya orang lain juga bisa memakainya. Ini bukan cuma sebuah pesan moral. Ini pesan cara survival. Di Jakarta, di mana ada orang bisa punya banyak mobil dan banyak tempat tinggal (yang tak mereka pakai), keserakahan dan kemubaziran pun bertaut. Kita bukan saja hidup dengan ketimpangan sosial. Kita juga makin membuang ruang untuk hal yang tak banyak digunakan—hingga kita tak punya taman, wilayah pohon-pohon, arena bertemu dan bermain. Itu sebabnya gagasan yang dirintis di tahun 2005 oleh Rudyanto, seorang warga Lippo Village, Karawaci, Tangerang, dengan membuat komunitas online yang ia beri nama nebeng.com, bisa jadi model untuk membangun cara dan sikap hidup alternatif. Bergabung untuk nebeng satu mobil mungkin satu jalan kecil ke arah kebebasan dari sikap ”dungu dan satu-sisi”, dari cengkeraman der Sinn des Habens. Lisa Gansky, penulis dan entrepreneur yang menunjukkan pentingnya sharing (bukan owning), akan menamai ide Rudyanto sebagai contoh ”mesh”: jalinan saling berbagi pelbagai hal, sebuah ekonomi yang dibangun oleh sikap yang tak biasa dianggap ”ekonomi”. Di situ berbagi tak berarti mengurangi kekayaan, tapi justru mengembalikan kekayaan: hidup di dunia yang lebih sehat dalam sikap saling mempercayai, sikap yang selama ini dilupakan. Jika itulah yang akan saya dapatkan di Jakarta, saya pasti tak akan mengutuk lagi. Majalah Tempo Edisi Senin, 07 Maret 2011

Ahimsa Februari 28, 2011 Lapangan Tahrir, sebelum Mubarak lengser. Ketika malam menutupi Kairo, para pemuda yang ikut protes bergeletakan berbaring. Ada yang tidur, ada yang membaca. Sebuah cerita di BBC menyebut, di bawah bayang-bayang tank tentara yang menjaga alun-alun itu, seorang demonstran membaca buku Gene Sharp. Sejak itu Sharp disebut di BBC dan The New York Times sebagai pengilham gerakan yang meletus di Mesir dan Tunisia. Mengagetkan juga. Lelaki 89 tahun ini tampak kuno banget. Di rumahnya yang sederhana di East Boston, ia tak tahu Facebook atau Twitter; bahkan ia harus diberi petunjuk untuk memakai email. Tapi rupanya, di dunia ia cukup dikenal. Ia, pendiri Albert Einstein Institution, pernah jadi salah satu calon penerima Nobel Perdamaian. Ia menulis satu buku tentang Gandhi dan kemudian menghasilkan satu buku lain, From Dictatorship to Democracy. Risalah tipis ini telah diterjemahkan ke dalam sekitar 30 bahasa, yang menurut The New York Times telah mempengaruhi gerakan prodemokrasi di Bosnia, Burma, Estonia, Zimbabwe, dan kini Mesir serta Tunisia. Sharp juga menulis sebuah manual, 198 Methods of Nonviolent Action, yang memberi petunjuk aksi bagaimana ”mogok makan” sampai bagaimana ”mengenal mata-mata”. Tapi ia tak pernah ikut dalam pergerakan apa pun. Pada dasarnya ia seorang periset. Maka bisa dimengerti jika Sharp, yang pemalu dan rendah hati itu, tak mau mendaku bahwa apa yang terjadi di Mesir itu akibat pengaruhnya. ”Rakyat Mesir yang melakukan itu,” katanya, ”bukan saya.” Bagaimanapun, sebuah ide bisa menyeberangi lautan. Ia bisa menyusup ke sebuah situasi yang memang pas untuknya—dan jadi kuat atau menakutkan. Di Venezuela dan Burma, Sharp dianggap biang pembangkangan. Di Teheran ia dituduh ”agen CIA”.

Demikian berbahayakah gagasan Sharp, yang menegaskan prinsip nonkekerasan? Ia sendiri akan menyebutnya sebagai ”gagasan Gandhi”. Pergolakan Mesir, katanya, itu ”datang langsung dari Gandhi”. Memang Gandhi, yang menolak untuk memakai kekerasan dalam perjuangan antikolonialismenya, sebuah legenda yang mempesona. Salah satu adegan dalam film tentang sang Mahatma yang dibuat Richard Attenborough melekat di kepala saya: sejumlah demonstran tegak tak melawan ketika polisi kolonial Inggris datang menghantam mereka dengan tongkat. Tapi, ketika reportase tentang hal ini tersiar ke seluruh dunia, orang pun tahu mana yang ”biadab” dan mana yang teguh dalam keluhuran budi. Sejak itu penjajahan Inggris kehilangan legitimasinya, juga di Inggris sendiri. Hari-hari ini kita tahu di Libya Qadhafi juga kehilangan legitimasinya. Selama 42 tahun ia berkuasa dan kini tetap ingin bertahan dengan menembaki ratusan orang penentangnya. Dalam pergaulan dunia ia tak akan dilihat sebagai pemimpin. Ia seorang pembantai, hanya dengan kostum yang teatral: aktor tunggal dalam sebuah teater kekejaman. Tapi dibutuhkan sesuatu yang lebih hingga runtuh satu legitimasi dan jatuh seorang diktator. Apa gerangan yang akan terjadi dengan Qadhafi: gagalkah ia bertahan dengan ”darah & besi”? Butuhkah ia diakui sebagai seorang yang beradab? Janganjangan tidak. Jika ia begitu kuat dan begitu tak peduli, Libya akan tetap ditundukkannya. Sebab tak semua perlawanan nonkekerasan berakhir bahagia. Apalagi jika yang disebut ”berhasil” bukanlah hanya makzulnya seorang penguasa, tapi hadirnya sebuah kekuasaan lain berdasarkan ahimsa. Prinsip ini memang berakar dari kata ”tak melakukan tindakan yang mencederai”. Tapi ia juga bagian dari sikap yang menampik untuk membenci apa pun, berdusta, dan mengutarakan kata-kata bengis.

Betapa tak gampang…. Dalam perjuangan merebut hak-hak asasi kaum Hitam di Amerika Serikat yang dipimpin Martin Luther King, yang tak gampang itu ternyata berbuah. Sebagaimana Gandhi berhasil. Tapi tak semua berakhir dengan kemenangan, baik dalam kekuasaan maupun dalam nilai-nilai. Di Cina, para pemuda memprotes Partai Komunis yang berkuasa hanya dengan pengeras suara, patung darurat, dan sikap nekat. Kita ingat potret jurnalistik yang termasyhur itu: seseorang berdiri sendiri di tengah jalan menyetop barisan tank yang menderu ke Tiananmen. Tapi Partai yang berkuasa bersikeras. Entah berapa puluh orang tewas dibabat. Protes punah; kekuasaan tegak, malah makin kukuh. Contoh lain di Iran. Para demonstran dalam revolusi ini tak menembakkan pistol atau melemparkan granat. Mereka hanya dengan berani berseru-seru. Syah akhirnya jatuh, Ayatullah Khomeini naik. Tapi, setelah itu, kekuasaan yang menggantikannya dengan rajin menghukum mati kawan-kawan revolusinya sendiri. Ahimsa—dikembangkan Gandhi dari tradisi Veda, Jainisme, dan Buddhisme—tak ada dalam tradisi Islam. Ahimsa tak menang di Iran. Ataukah Gandhi sebuah perkecualian yang mujur? Kaum sosialis dari pelbagai penjuru dunia, dari Jawaharlal Nehru sampai George Orwell, novelis dan esais itu, tak menganggap sang Mahatma begitu suci. Orwell (yang pernah bekerja sebagai polisi kolonial) menulis bahwa pemerintah kolonial Inggris sengaja tak hendak menghancurkan Gandhi. Mereka takut, bila penganjur ahimsa ini lenyap, akan tampil para militan yang lebih menyukai bom. Gandhi sendiri tak selamanya konsisten, kata para pengkritiknya pula. Ahimsa asas yang terlalu luhur bagi dunia yang berdosa. Tapi jangan-jangan kita berlebihan. Perjuangan politik bukanlah drama moralitas tentang yang ”luhur” dan yang ”berdosa”. Ahimsa

sebuah strategi, dan tiap strategi bisa keliru. Jika ada yang tak keliru, itu adalah keberanian untuk berkata ”tidak” kepada yang lalim tapi punya bedil. Di dalamnya ada keberanian untuk gugur dan gagal. Majalah Tempo Edisi Senin, 28 Februari 2011

Revolusi Februari 11, 2011 Revolusi tak bisa difotokopi. Revolusi tak bisa dipesan. Mungkin ini kesimpulan sejak revolusi pertama dalam sejarah modern. Pada usia 20, Lafayette, aristokrat dari Auvergne, Prancis Selatan, itu berangkat ke Amerika. Ini tahun 1777, ketika belum ada harapan bagi perjuangan orang Amerika untuk membebaskan diri dari penjajahan Inggris. Saat itu Raja Prancis tak mengizinkan siapa pun bergabung dengan revolusi di ”benua baru” itu. Tapi Lafayette punya kenekatan, ambisi, dan cita-cita luhur. Hatinya berkobar dengan keyakinan yang disuratkan Deklarasi Kemerdekaan Amerika. Ia pun berangkat dari pantai Spanyol dengan menyamar sebagai seorang perempuan. Akhirnya—setelah menyatakan diri tak hendak menerima bayaran sepeser pun—ia diterima bergabung dengan tentara pembebasan yang dipimpin George Washington. Di antara pasukannya yang berpakaian berantakan, Jenderal Amerika itu menyambut pemuda Prancis yang kurus itu dengan hormat: ”Kami harus merasa malu, mempertontonkan diri di depan seorang perwira yang baru saja meninggalkan pasukan Prancis.” Lafayette menjawab: ”Untuk belajar, dan bukan mengajar, saya datang kemari.” Dan Lafayette memang belajar banyak, melalui perang, luka, intrik politik—dengan gairah yang tak kunjung menciut. Ia kembali ke Prancis setelah empat tahun bertempur. Beberapa tahun

kemudian ia terlibat langsung dengan Revolusi Prancis. Pada 11 Juli 1789, dialah—yang darah birunya berasal dari kelas bangsawan lama—yang pertama kali mengajukan rancangan ”Deklarasi Hak-hak Manusia dan Warga Negara”: ”Manusia dilahirkan sama-rata dalam hak-haknya, dan tetap demikian adanya….” Dalam dokumen Prancis itu, terasa gema Deklarasi Kemerdekaan Amerika yang ditulis 13 tahun sebelumnya—gema sesuatu yang kemudian terbukti universal. Tapi kita tahu, Revolusi Prancis berakhir tak sama dengan Revolusi Amerika. Bung Karno pernah mengatakan, tak ada model revolusi yang ”ready-for-use”. Masyarakat bisa diubah dengan satu desain, tapi tak akan bisa sepenuhnya terpenuhi. Sejarah dan geografi yang berbeda-beda tak mudah diutak-atik. ”Manusia memang membuat sejarah,” demikian kata-kata Marx yang terkenal dari tahun 1851, ”tapi di bawah kondisi yang bukan dipilihnya sendiri.” Maka Rusia, dengan cita-cita pembebasan universal, tak bisa menyamakan kondisi Cina untuk melihat lahirnya sebuah revolusi sosialis. Jalan Mao berbeda dengan jalan Stalin. Bahkan pada akhirnya keduanya bertentangan. Rusia, Cina, Yugoslavia, Korea Utara, Kuba, dan lain-lain: revolusi tak bisa difotokopi. Tapi ia bisa menjalar. Di abad ke-20 ia menjalar ke Asia, Afrika, Amerika Latin. Kini, di awal abad ke-21, tampak ia berjangkit dari Tunisia, Mesir, Aljazair, Bahrain, Libya…. Mengapa? Menulis tentang gemuruh yang terjadi di Alun-alun Tahrir, Kairo, bulan ini, Slavoj Žižek menyimpulkan: pemberontakan ini universal. Seperti Lafayette tergerak Revolusi Amerika, ”Semua kita di seluruh dunia dengan segera tak mustahil menyamakan diri dengannya.” Yang menarik, Žižek melihat kontras pemberontakan di Mesir dengan ”revolusi Khomeini” di Iran. Di sana, kaum kiri harus ”menyelundupkan pesan mereka ke dalam kerangka yang paling kuat, yakni Islam.” Sebaliknya, di Alun-alun Tahrir, ”kerangka itu

jelas merupakan satu seruan sekuler yang universal untuk kebebasan dan keadilan.” Justru Ikhwanul Muslimin, kata Žižek, ”menggunakan bahasa tuntutan sekuler.” Kata ”sekuler” di sini tampaknya sama dengan ”tak didominasi pandangan agama apa pun” dan sebab itu ”universal”, menyentuh siapa saja, di mana saja. Tapi mampukah sebuah revolusi berhasil tanpa seruan yang universal? Žižek salah. Di Iran, sebenarnya kerangka Islam itu juga punya sifat-sifat universal. Kita menemukannya dalam pemikiran Ali Shariati dan Mehdi Bazargan. Yang tragis ialah bahwa bersama tenggelamnya peran pemikiran Ali Shariati dan tersisihnya orang seperti Bazargan, kian terputus pula pertalian peninggalan Khomeini dengan yang universal: ”Islam” menjadi hanya ”kami”, tak lagi ”kita”. Tapi apa boleh buat: revolusi bukan sekadar penjelmaan ”ide yang abadi” (kata-kata Žižek) tentang kemerdekaan dan keadilan. Revolusi meletus dari kehidupan yang tak terkait dengan langit. ”Hak untuk mempunyai hak” tak diberikan satu kekuasaan yang ada dari luar sejarah. Hak itu ditegakkan atau direbut mereka yang merasa terjepit. Itu sebabnya revolusi tak bisa dipesan. Seperti puisi, revolusi punya saatnya sendiri untuk lahir. Ia buah yang panas dari kemarahan yang otentik dan antagonisme yang mendalam. Tapi selalu jadi cacat dalam tambo manusia: dalam proses itu, pergeseran dari ”kita” ke ”kami” tak terelakkan. Revolusi harus mengukuhkan batas antara ”kami” dan ”mereka”—dan di situ, ”kita” ditiadakan. Dengan kata lain, ada pembungkaman yang terjadi, ketika yang universal—kemerdekaan, keadilan, harga diri—dilembagakan dalam program partai, ideologi negara, atau hukum. Kaum revolusioner akan harus menentukan siapa yang masuk kemerdekaan, keadilan, dan harga diri itu dan siapa yang harus dikeluarkan.

Akan demikian jugakah gemuruh di Alun-alun Tahrir itu? Karim, seorang demonstran muda, menyebut lapangan itu sebuah ”utopia kecil”. Tapi utopia, dalam arti harfiahnya, terdiri atas kata ou dan topos, ”bukan + tempat”. Ia jejak dari satu kejadian yang akan segera hilang. Mereka yang cemas perlu mengerahkan kesetiaan yang besar untuk selalu merebut kembali yang hilang itu. Maka Lafayette tak berhenti di satu sisi Lautan Atlantik—dan namanya tak tenggelam hanya sampai di abad ke-18. Revolusi tak bisa difotokopi, tapi ia tak pernah selesai. Majalah Tempo Edisi Senin, 21 Februari 2011

Lapangan Februari 7, 2011 Ikada, Jakarta, September 1945. Wenceslas, Praha, Januari 1969. Tiananmen, Beijing, Juni 1989. Midan Tahrir, Kairo, Februari 2011. Di lapangan-lapangan ibu kota, politik dalam pelbagai bentuknya bertemu. Berbenturan. Orang meriskir diri untuk pembebasan. Atau sebaliknya: orang berjudi dengan represi, mempertaruhkan masa depan seraya menaklukkan para pembangkang dengan senjata. Atau kata-kata. Di Jakarta 1945, sebuah rapat umum digelar untuk mendukung proklamasi yang sebulan sebelumnya dimaklumkan. Di tengah ketakpastian tentang apa yang akan terjadi, Bung Karno dan Bung Hatta menyatakan bahwa Indonesia memasuki sebuah posisi baru sama sekali, yakni merdeka. September itu, di Lapangan Ikada tak ada tentara Jepang yang menembak orang ramai. Tapi suasana panas, bergelora. Di Praha 1969, di Lapangan Wenceslas, seorang mahasiswa filsafat membakar diri. Jan Palach mati pada umur 21. Ia memprotes pendudukan Soviet yang dengan mengirim tank dan tentara hendak meneguhkan sistem komunisme kembali di

Cekoslovakia dan membungkam rakyat yang menginginkan liberalisasi. Di Beijing 1989. Puluhan ribu anak muda menuntut. Di tengahtengah protes yang berhari-hari itu, di Lapangan Tiananmen sebuah patung ”Dewi Demokrasi” setinggi 10 meter didirikan tepat berhadap-hadapan dengan gambar besar Mao Zedong. Beberapa hari kemudian, bentrok terjadi. Anak-anak muda itu diserbu dan ditembaki. Diperkirakan ratusan yang tewas, tapi tak tercatat. Hari-hari ini, Februari 2011, di Kairo, Lapangan (Midan) Tahrir menyaksikan thema yang sama dalam sejarah yang tak sama. Lapangan, tampaknya, bukan sekadar ruang yang terbentang horizontal. Lapangan adalah sebuah endapan sejarah politik yang tak selamanya teringat. Sejak ia dikonstruksikan. Ikada (akronim dari Ikatan Atletik Djakarta) tak dimulai oleh para penggemar olahraga. Bentangan hijau di pojok timur dari tempat yang kini dikenal sebagai ”Monas” itu didirikan di awal abad ke-18. Yang punya ide Herman Willem Daendels. Ia ingin merayakan kemenangan Napoleon Bonaparte di Belanda dengan mendirikan Champ de Mars itu. Setelah Napoleon kalah, lapangan itu diubah namanya jadi Koningsplein. Lapangan Wenceslas, yang lebih mirip sebuah boulevard ketimbang alun-alun, bermula sebagai pasar kuda di abad ke-14. Tapi di sini pun kemudian kekuasaan dilembagakan dan simbol ditegakkan: sebuah nama baru jadi resmi (dengan nama orang suci), dan sebuah monumen dibangun. Terlebih lagi Tiananmen. Didesain di tahun 1651, namanya mengisyaratkan sebuah energi politik yang mengacu ke stabilitas: ia praktis bagian dari ”Gerbang Kedamaian Surgawi”. Juga Midan Tahrir Kairo. Ia semula bernama Lapangan Ismailiyah, mengikut nama penguasa Mesir abad ke-19, Khedive Ismail, yang bertakhta di sana sebagai wakil kekuasaan Turki. Ketika Mesir jadi republik melalui sebuah revolusi di tahun 1952,

lapangan itu diganti namanya jadi ”Lapangan Pembebasan”. Pergantian nama seperti itu mengisyaratkan bahwa tak ada fondasi yang kekal dalam simbol macam itu. Lapangan adalah konstruksi kekuasaan, tapi samar-samar di balik hasratnya yang monumental, kekuasaan yang menghadirkannya sepenuhnya bersifat contingent, serba mungkin, bergantung pada dua energi politik yang bertabrakan. Di satu sisi, energi politik yang membangun institusi dan kemapanan. Di sisi lain, energi politik yang menjebol mengguncangkan. Itulah sebabnya tiap lapangan mengandung sebuah ilusi. Pada mulanya ia impian tentang sebuah pusat. Tiap lapangan juga hasil impian untuk mencapai yang kekal, yang utuh berbentuk—tapi yang sebenarnya tak punya dasar. Sebab itu tiap lapangan mencerminkan politik sebagai Polizei, untuk meminjam istilah Carl Schmitt: daya untuk menjaga tata yang hendak ditegakkan. Maka tiap lapangan ditandai batas: ada pagar kadang-kadang, ada papan nama. Pada gilirannya, tiap lapangan hendak mewujudkan politik sebagai Politesse: politik yang berusaha menutup-nutupi antagonisme yang berlangsung di masyarakat. Maka lapangan pun jadi tempat bercengkerama dan bermain yang sopan santun. Atau sekadar wadah pertemuan sengaja atau tak sengaja. Masyarakat akan tampak ”sudah jadi”. Harmoni seakan-akan sifat dasarnya. Tapi politik bukanlah gambaran yang ”sudah jadi”. Apa yang bergelora di Ikada, Wenceslas, Tiananmen, dan Midan Tahrir mengungkapkan bahwa di balik batas-batas lapangan, selamanya bergerak energi yang tak dapat ditangkap oleh tata simbolik yang dijaga polisi. Adat-istiadat yang berkuasa tak juga bisa menjinakkannya. Di atas saya sebut energi politik yang menjebol: energi yang gerah, geram, bergerak dengan gairah, dan mengguncangkan. Itu sebabnya sejarah lapangan di pusat ibu kota selalu bisa diguncangkan: karena kekuasaan yang abadi tak diakui lagi (juga

di Tiananmen), orang bergulat menempatkan simbol-simbol baru. Tapi mengubah nama dan membangun patung hanyalah sebagian dari proses itu. Bagian yang lebih luas adalah laku pertunjukan, act of performance. Lapangan adalah sebuah teater, karena hanya dengan itu lambang itu punya makna. Teater itu bisa pedih—seperti yang disaksikan dunia di Lapangan Wenceslas tahun 1969: Jan Palach, di tengah hari musim dingin di Januari, datang. Ditanggalkannya jas panjang yang ia pakai, disiramkannya bensin ke seluruh tubuhnya, lalu dinyalakannya korek api. Dalam beberapa detik, api membakar badannya. Tiga hari kemudian ia mati. Di saku jasnya ada secarik kertas, dengan tulisan: ”…ini dilakukan untuk menyelamatkan Cekoslovakia dari pinggir jurang ketiadaan harapan.” Majalah Tempo Edisi Senin, 07 Februari 2011

Ibrahim November 22, 2010 Menyembelih seorang anak yang tak berdosa, menyembelih anak sendiri yang tak bersalah, sanggupkah engkau? Ibrahim telah mendengar suara itu. Ia yakin itu titah Tuhan, agar itulah yang harus dikerjakannya. Ia sedang diuji, sedekat manakah dirinya dengan Tuhan yang harus ditaati. Ia berangkat. Seandainya saya yang diberi perintah, mungkin sekali saya akan menolak. Dengan takzim dan takut. Saya akan katakan, biarlah saya masuk neraka. Biarlah saya dikutuk, asal anak itu selamat. Belas kasih kepada bocah yang tak berdaya itu lebih mengguncang diri saya ketimbang kehendak Yang Maha Kuasa. Tapi saya bukan Ibrahim. Saya bukan tokoh Kitab Suci. Dalam Frygt og Bæven (Gentar dan Gementar) yang terbit tahun 1843, Kierkegaard, pemikir Denmark itu, menggambarkan iman Ibrahim sebagai sesuatu yang mengatasi nilai ”kebaikan” yang universal, yang berlaku buat siapa saja, di mana saja, kapan saja. Ibrahim

bukan siapa saja. Ia unik, tersendiri, bersendiri. Tindakannya di Bukit Muriah itu tak dapat dibenarkan oleh nilai dan hukum apa pun. Tindakan itu hanya bisa dilakukan karena Ibrahim menaruh kepercayaan kepada ”kekuatan dari sesuatu yang absurd”. Kierkegaard menyebutnya bukan tokoh tragis. Ibrahim bukan seperti Kaisar Brutus yang dengan sedih harus membunuh anaknya demi hukum Romawi yang harus ditegakkannya—hukum untuk siapa saja, di mana saja, kapan saja. Ibrahim, bagi Kierkegaard, seorang ”ksatria iman”. Tapi tetap saja tak mudah membayangkan seorang ”ksatria iman” harus memotong leher anaknya sendiri. Mungkinkah ia sampai hati benar? Agaknya sebab itu Quran menggambarkan Ibrahim meletakkan anaknya dengan muka yang menelungkup. Dalam tafsir Al-Tabari disebutkan bahwa si bocah (Quran tak menyebutkan namanya, Ismail atau Ishak) berkata kepada ayahnya: ”Bila ayah baringkan aku untuk jadi kurban, telungkupkan wajahku, jangan ayah letakkan miring ke samping; sebab aku khawatir, bila ayah melihat wajahku, rasa belas akan merasuki diri ayah, dan ayah akan batal melaksanakan perintah Allah.” Ada sebuah lukisan Rembrandt, perupa Belanda yang termasyhur itu, yang bertahun 1635. Judulnya ”Pengurbanan Ishak”. Saya pernah melihatnya di Museum Hermitage di St. Petersburg. Saya masih ingat: di kanvas itu tampak Ibrahim menutup wajah anaknya seraya ia menghunus pisaunya. Ia tak akan tega melihat mata si bocah dalam kesakitan. Tapi yang menarik, Rembrandt tak melukiskan rasa gentar dan gementar Ibrahim sebagaimana diuraikan Kierkegaard. Dalam mengutip kisah Kitab Suci itu, sang pemikir Kristen Denmark itu lebih memilih fokus pada perintah Tuhan yang pertama: Ibrahim, atau Abraham, harus menyembelih anaknya. Kierkegaard tak melanjutkan bacaannya ke perintah Tuhan yang kedua. Rembrandt, sebaliknya, justru menangkap momen itu.

Sebagaimana ditulis dalam Kitab Kejadian: 22:10 Sesudah itu Abraham mengulurkan tangannya, lalu mengambil pisau untuk menyembelih anaknya. 22:11 Tetapi berserulah Malaikat TUHAN dari langit kepadanya: ”Abraham, Abraham.” Sahutnya: ”Ya, Tuhan.” 22:12 Lalu Ia berfirman: ”Jangan bunuh anak itu dan jangan kauapa-apakan dia.” Dalam kanvas itu, tampak tangan kanan Ibrahim dipegangi dan dicegah oleh tangan malaikat. Pisau itu terjatuh. Tangan kirinya masih menutupi wajah si bocah. Matanya menatap ke arah sang malaikat yang lembut: biji matanya yang hitam itu tampak sebagai bagian dari senyum yang belum merekah. Menurut catatan, Rembrandt melukis adegan itu ketika ia, dalam usia 29, baru saja kematian anaknya yang masih bayi. Agaknya ini membuat lukisannya lebih peka kepada kepedihan atas hilangnya nyawa seorang anak yang direnggutkan tanpa dosa, tanpa sebab. Ibrahim-nya bukan yang sedang mematuhi titah pertama Tuhan. Rembrandt mungkin akan lebih suka membaca tafsir Emmanuel Lévinas. Filosof Prancis yang erat dengan tradisi Yahudi itu mengkritik pengutaraan Kierkegaard tentang Ibrahim. Dalam esainya, ”A propos Kierkegaard Vivant”, ia menulis, ”bahwa Abraham mematuhi suara yang pertama—itu menakjubkan: bahwa ia punya cukup jarak dengan kepatuhan itu hingga bisa mendengar suara kedua—itu esensial”. Sebab, di saat itulah ia melihat kembali wajah nyaris seorang kurban. Wajah bocah. Wajah manusia. Wajah yang tak tepermanai. Yang tak bisa jadi obyek. Wajah yang menyebabkan perintah Tuhan punya makna: ”Jangan engkau membunuh.” Dan bagi Lévinas, sebagaimana halnya bagi kita, tiap wajah mengetuk diri kita. Kita pun memberi respons, bertanggung jawab, tak mudah sewenang-wenang. Kita ingat Ibrahim di saat itu. Ia jadi

berarti karena itu. Majalah Tempo Edisi Senin, 22 November 2010

Des November 15, 2010 Des Alwi adalah seonggok sejarah Indonesia dalam miniatur yang padat. Juga berwarna-warni. Jika kita lihat lelaki ini duduk di bawah pohon ketapang berumur 100 tahun yang menaungi halaman hotelnya di Bandaneira, jika kita ingat sosok yang tambun tinggi itu sudah ada di tempat itu pada 1936 dan, sebagai anak kecil, melihat Hatta dan Syahrir jadi orang buangan yang turun dari kapal dengan paras pucat, kita bisa iri kepadanya: begitu banyak yang telah dilihatnya, begitu beragam pengalamannya, begitu pas ia di pulau Maluku itu. Begitu “Indonesia”. Des Alwi seperti Bandaneira: elemen yang sering tak diingat, tapi saksi penting dari riwayat Indonesia—dalam hal ini Indonesia sebagai sebuah perjalanan kemerdekaan. “Di sini,” kata Rizal Mallarangeng, yang telah dua kali ke Bandaneira dengan rasa kagum kepada para perintis kemerdekaan yang dibuang ke pulau itu, “bermula apa yang kemudian menjadikan Indonesia.” Dia benar: di sini berawal kolonialisme dan antitesisnya. Kita bisa baca: di Banda-lah pada 1529 usaha kolonisasi Eropa dipatahkan; di sini kontingen orang Portugis terus-menerus diserang hingga mereka batal membangun sebuah benteng. Hampir seabad kemudian, pada 1609, ketika sepasukan Belanda mencoba memperkuat Benteng Nassau, para pemimpin Banda, disebut “orang kaya”, membunuh laksamana asing itu dengan segenap stafnya. Banda mencatat konflik seperti itu sampai ke dalam abad ke20: para penentang VOC (kemudian Hindia Belanda) diasingkan ke sini silih berganti. Kita tahu sebabnya: pada mulanya adalah rempah-rempah, terutama pala, yang di dunia hanya ditemukan di

Banda, yang menggerakkan perdagangan internasional paling awal, seperti minyak bumi di zaman ini. Dan bersama perdagangan, datang peradaban. Juga kebiadaban. Sebelum orang Portugis masuk ke Maluku di abad ke-16, letak Banda yang kaya rempah itu dirahasiakan para saudagar Arab (atau “Mur”) yang membawa barang berharga itu ke Eropa. Kemudian penakluk dari Semenanjung Iberia masuk, kemudian Belanda dan Inggris. Perjalanan jauh dan berbahaya, tapi mereka selalu datang. Untuk laba yang 300 kali lipat dari jual-beli pala, bahkan yang bengis siap dihadapi dan diberlakukan. Di Bandaneira ada sebuah monumen kecil. Di Parigi Rante itu ada sebuah sumur di sepetak halaman. Di sanalah, 8 Mei 1621, seregu samurai Jepang didatangkan Jan Pieterszoon Coen (Gubernur Jenderal VOC yang terkenal itu) ke Neira. Mereka disewa untuk menyembelih 40 orang pemuka masyarakat Banda yang menolak klaim Belanda dalam monopoli niaga pala. Tubuh ke-40 orang itu dicincang, kepala mereka dipancangkan di deretan tiang. Di dinding di belakang perigi itu juga tertulis sederet nama orang dari pelbagai penjuru Nusantara yang dibuang ke pulau itu sejak abad ke-19: dari Pontianak, Yogya, Kutaraja, Cirebon, Serang, Blitar. Di abad ke-20 ada nama yang kini lebih dikenal: Cipto Mangunkusumo, Iwa Kusumasumantri, Hatta, Syahrir. Tak akan mengherankan bila dari kepulauan ini sejarah tampak berbeda: kita tak akan mengatakan bahwa yang berlangsung selama lebih dari 350 tahun di Nusantara adalah 350 tahun penjajahan. Dari Banda kita jadi tahu: sejarah Nusantara adalah 500 tahun perlawanan. Dan Des Alwi, yang lahir 7 November 1927 di Neira dan sejak kecil mengenal Cipto, Hatta, dan Syahrir—orang-orang hukuman yang mengubah hidup Des—mungkin saksi terakhir dari rangkaian perjuangan panjang itu. Saya menyadari itu ketika sore itu saya dan beberapa teman duduk di dekatnya, mendengarkan ceritanya, di petak atap Benteng

Belgica yang berumur 400 tahun. Seakan-akan di sore itu, sejumlah abad bertemu. Benteng yang menjulang hitam di bukit ini dibangun Belanda pada 1611. Letaknya dipilih pada posisi yang bisa mengawasi seantero selat dan laut. Sejak didirikan, empat menara pengintainya menyaksikan armada-armada Eropa datang, meriammeriam ditembakkan, destruksi dan pembunuhan berkecamuk: 200 orang Belanda dihabisi pasukan Inggris di Pulau Ai pada 1615, ratusan orang Inggris dibantai Belanda sebagai pembalasan. Dari sini pula tampak kapal-kapal Inggris meninggalkan Pulau Run setelah pulau itu ditukar-guling dengan Pulau Manhattan milik Belanda di New York pada 1667. Tapi seratus tahun lebih kemudian, pada 1810, marinir Inggris merebut Benteng Belgica. Abad demi abad, energi dicurahkan, dan uang diperebutkan dengan gigih dan ganas hingga dunia berubah. Kekuasaan pun tegak dan runtuh, kemerdekaan ditindas atau dilahirkan…. Hari mulai gelap ketika Des berkisah tentang kemerdekaan yang dicoba digagalkan tapi dilahirkan kembali: Indonesia yang tak mudah. Des bukan sejarawan, bukan pula pelaku utama, tapi—dan ini lebih menarik—ia saksi yang terlibat. Jika kita baca bukunya yang baru, Friends and Exiles, yang diterbitkan Cornell University, kita dapatkan bukan saja kisah kelahiran Indonesia, tapi juga kisah seorang yang “menjadi Indonesia”, sejak dari darah dan dagingnya, sampai dengan ketika ia terlibat, sengaja atau tidak, dalam peristiwa-peristiwa besar yang mengguncang dan membentuk tanah airnya. Des Alwi Baadila—yang orang tuanya berdarah Cina dan “Mur” (nama “Baadila” ditemukan di Maroko dan Spanyol), yang masa kecilnya dibentuk Hatta dan Syahrir, yang masa mudanya ikut bertempur dan terluka di Surabaya 10 November 1945—adalah contoh bahwa Indonesia “men-jadi” dengan riwayat seperti pantai pulau-pulau Banda: kekerasan bisa meletup, tapi inilah negeri yang tak merasa perlu memberi batas mutlak tentang “luar” dan “asing”.

Kecuali ketika yang “luar” dan “asing” itu menegaskan diri dengan senjata dan pemaksaan. Dan kita melawan. Majalah Tempo Edisi Senin, 15 November 2010

Maridjan November 8, 2010 Mbah Maridjan: sebuah pertanyaan. Ia tewas di tempatnya bertugas di Gunung Merapi, karena ia sejak lama menolak turun menghindar dari letusan yang telah berkali-kali menelan korban itu. Kesetiaannya mengagumkan, tapi apa arti tugas itu sebenarnya? Ia, meninggal dalam usia 83, mungkin sebagai pelanjut dari alam pikiran yang dikukuhkan Kerajaan Mataram sejak abad ke-17. Ia pernah bercerita, Merapi adalah tempat terkuburnya Empu Rama dan Permadi, dua pembuat keris yang ditimbuni Gunung Jamurdipa karena telah mengalahkan dewa-dewa. Kedua orang itu tak mati. Mereka hidup, menghuni gunung yang kemudian disebut Merapi itu—yang jadi semacam keraton para arwah. Dan ke sanalah Raja Mataram (Islam) pertama, Panembahan Senapati (1575-1601), mengirim juru tamannya yang berubah jadi raksasa. Si raksasa diangkat sebagai “Patih Keraton Merapi”, dijuluki Kiai Sapujagat. Dengan itu, Panembahan Senapati, yang dikisahkan mempersunting Ratu Laut Selatan, menunjukkan bahwa kuasanya juga membentang ke arah utara. Dan di situlah pelanjut Kerajaan Mataram, atau Yogyakarta sejak abad ke-19, mengangkat orang untuk jadi kuncen Merapi. Maridjan, yang biasa dipanggil “Mbah”, sejak 1982 diangkat Hamengku Buwono IX untuk tugas itu. Betapa penting kehormatan itu bagi si jelata yang lahir di Dukuh Kinahrejo di kaki Merapi itu. Ia menyandang gelar kebangsawanan “Raden”; nama resminya Surakso Hargo. Tapi ia tak tunduk kepada raja yang sekarang, Hamengku Buwono X. Dalam majalah National Geographic yang terbit Januari

2008, (“Living with Volcanoes”, tulisan Andrew Marshall), disebutkan bagaimana Maridjan menganggap HB X membiarkan para pengusaha mencopoti jutaan meter kubik batu dan pasir dari tubuh Merapi. Juga dikatakan Sri Sultan enggan ikut dalam upacara nyadran ke Kiai Sapujagat, ketika makanan, kembang, kain, dan potongan rambut serta kuku raja dipersembahkan untuk melestarikan hubungannya dengan Keraton Merapi. Agaknya Maridjan tak mengerti, HB X ada di alam pikiran yang berbeda. Sri Sultan, yang dalam National Geographic digambarkan mengisap lisong Davidoff dan suka setelan Armani, mengatakan: “Sebuah bangsa yang besar tak dapat dibangun di atas mithos yang pesimistis.” Modernitas memang berangkat dengan optimisme. Ia bertolak dari keyakinan manusia bisa melepaskan diri dari alam sekitarnya. Dengan jarak itu, ia sanggup mengendalikan dunia. Fisika, geografi, ilmu kimia, dan juga teknologi bertumbuh terus dari kesanggupan menaklukkan bumi. Kesadaran modern menganggap alam sebagai materi yang mati. Tak ada peri menghuni samudra, tak ada raksasa menjaga Merapi. Di abad ke-18, di Jerman, penyair Schiller menyebut arus modern ini sebagai die Entgötterung der Natur, “lepasnya dewadewa dari alam”. Tapi tak hanya di Jerman di zaman Schiller dan Goethe tumbuh kesadaran hilangnya sifat yang magis dari alam. Animisme, yang menganggap benda-benda sekitar punya sukma, tergusur di Yunani sejak Sokrates dan Plato. Sejak abad ke-5 Sebelum Masehi, rasionalitas disambut. Sokrates tak menyukai mereka yang bekerja hanya berdasarkan “naluri”. Plato tak menghendaki penyair yang memandang alam sebagai sesuatu yang senyawa dengan manusia. Tak dapat dilupakan: alam jadi mati, sebagaimana animisme terusir, sejak monotheisme ditegakkan. Pada mulanya adalah agama Yahudi. Yahweh adalah Tuhan yang “cemburu”, demikian

disebut dalam Perjanjian Lama. “Janganlah ada padamu allah lain di hadapan-Ku”, begitu sabda-Nya. Maka sebagaimana orangorang penyembah patung lembu dibinasakan, segala sikap yang menganggap benda apa pun sebagai sesuatu yang punya anima dianggap menyembah berhala. Monotheisme yang mengharamkan animisme itu berlanjut dalam agama Kristen dan Islam. Pada satu titik, agama Ibrahim ini bertemu dengan semangat modern: saat “lepasnya dewa-dewa dari alam”. Tak mengherankan bila tendensi anti-takhayul tumbuh misalnya di kalangan Muhammadiyah, yang lazim disebut sebagai pembawa modernitas dalam Islam di Indonesia. Tak mengherankan bila orang Muhammadiyah (seperti halnya HB X) cenderung menampik adat nyadran di Merapi dan di mana saja. Nyadran adalah pemberhalaan. Tapi ada yang sebenarnya hilang ketika adat itu disingkirkan. Max Weber, sosiolog itu, telah termasyhur dengan telaahnya tentang proses hilangnya yang “magis” dari dunia, yang terjadi sejak modernitas berkembang biak. Manusia sejak itu hanya menggunakan “akal instrumental”, memperlakukan alam sebagai sesuatu yang bisa diperalat, dengan hasil yang bisa diarahkan. Dunia modern dan kerusakan ekologi cepat bertaut. Yang tak disebutkan Weber: agama-agama pun kehilangan kepekaannya kepada yang sesungguhnya mendasari iman—kepekaan kepada yang menggetarkan dari kehadiran Yang Suci, yang dalam kata-kata Rudolf Otto yang terkenal disebut sebagai mysterium, tremendum, et fascinans. Yang Suci membangkitkan pada diri kita rasa gentar dan takjub karena misterinya yang dahsyat. Tapi ketika alam dipisahkan dari Yang Suci (karena tak boleh di-“sekutu”-kan), Tuhan pun berjarak. Ia tak membuat kita luruh. Kita hanya berhubungan dengan-Nya lewat hukum. Tuhan pun mudah ditebak. Hukuman dan pahalanya dapat dikalkulasi. Maka ketika gunung meletus dan tsunami menggebuk, mereka

yang merasa bisa memperhitungkan maksud Tuhan dengan cepat bisa menjelaskan: bencana itu azab, ia terjadi untuk tujuan tertentu. Dalam hal ini agama mirip dengan ilmu-ilmu yang merasa bisa menjelaskan & menguasai alam—dan membuat manusia bersujud kepada Tuhan yang sebenarnya tak akrab. Saya kira Mbah Maridjan meninggal dengan bersujud kepada Tuhan yang sama. Tapi Tuhan itu masih membuatnya gentar, takjub, dan bertanya. Majalah Tempo Edisi Senin, 08 November 2010

Kanvas November 1, 2010 Di Istana Bogor, patung perempuan di mana-mana. Telanjang. Tubuh dengan lekuk yang jelas. Badan dengan proporsi yang rapi. Tampilan jangat yang kencang tapi halus. Paras dengan raut yang tanpa cela.… Bung Karno telah merias kediaman resmi itu dengan seleranya, selama ia tinggal di sana sebagai presiden pertama sekitar 10 tahun. Para penggantinya dengan satu dan lain cara masih menghormatinya. Pajangan koleksi itu tak dihancurkan. Bahkan tampak dirawat. Tapi Bung Karno telah pergi lebih dari 40 tahun yang lalu. Zaman berubah, pemimpin berganti. Di masa yang kian konservatif kini, orang tetap menghormati tinggalan itu, tapi agaknya tak mudah menerimanya. Oktober 2009 saya mengunjungi Istana itu dengan beberapa sastrawan dalam dan luar negeri; para tamu tertawa geli. Mereka lihat tiap patung itu ditutupi selembar kain yang dibelitkan. Sensor atau bukan, efeknya justru membuat karyakarya tiga dimensi itu—yang semula bertaut dengan ruang—seakan-akan melepaskan diri dari latar belakang. Mereka lebih hadir. Ketelanjangan itu justru menarik perhatian: penutup itu mengalahkan dirinya sendiri.

Tapi juga keindahan bisa mengalahkan dirinya sendiri—jika keindahan diartikan seperti yang tampak di deretan patung di Istana Bogor itu. Bentuk-bentuk itu dimaksudkan sebagai karya artistik. Tapi ketika yang artistik hanya berarti cantik, yang ”indah” pun jadi sesuatu yang tunggal. Kecantikan, kerapian, dan keapikan akan menguasai total bentuk-bentuk, dan apa yang tak cantik, tak rapi, dan tak apik adalah sesuatu yang ”lain”—yang harus dilenyapkan. Agaknya itu sebabnya selalu ada pemberontakan terhadap keindahan yang seperti itu. Pernah ada masa ketika seni rupa Indonesia didominasi oleh kanvas-kanvas yang menyajikan gunung yang biru, sawah yang menguning, sungai yang tenang, petanipetani yang tenteram. Awalnya bisa ditarik ke masa kolonial, ke awal abad ke-19. Dalam Cultivated Tastes: Colonial Art, Nature and Landscape in the Netherlands Indies (sebuah disertasi yang layak dibaca para penelaah sejarah seni rupa Indonesia), Susie Protschky menyebut nama seorang pelukis amatir, Abraham Salm (1801-1876), yang hidup makmur dari perkebunan tembakau di Malang. Dialah yang praktis mengedepankan lukisan panorama. Suku kata ”pan” dalam kata itu (”pan” + ”horama”, kombinasi dua kata Yunani yang berarti pandangan yang menangkap semua) menunjukkan kehendak untuk mencapai satu totalitas dalam satu kanvas. Ada hasrat penguasaan terhadap apa yang tampak di luar sana. Dan dalam hal panorama Salm, penguasaan itu dikukuhkan oleh gambar lanskap yang elok, damai, tertib, sejahtera. Bagi sang pelukis, yang juga pemilik perkebunan, keindahan hanya punya tempat bagi rust (ketertiban), dan tidak bagi onrust (kekacauan). Kecenderungan panorama ini tak terbatas pada Salm. Dalam kanvas, keindahan praktis diwakili karya Willem Bleckmann (18531952), Leo Eland (1884-1952), Ernest Dezentjé (1885-1972), Abdullah Suriosubroto (1878-1941), Mas Pirngadie (1865-1936), dan Wakidi (1889-1980). Di sebuah masyarakat yang pasaran seni bergerak terbatas di antara pejabat kolonial dan pengusaha yang

ingin ketenteraman, karya para pelukis itulah yang dikenal di dinding dan di penerbitan masa itu. Begitu dominan kecenderungan itu hingga ia tak berhenti di masa silam. Bung Karno menggemari Dezentjé, sebagaimana ia menggemari patung perempuan yang bertubuh harmonis, berwajah siap pasrah, tak menunjukkan pembangkangan—apalagi kekacauan. Juga sebagaimana ia menggemari karya Basuki Abdullah. Terhadap keindahan yang menampik onrust itulah sejak 1930an perupa S. Sudjojono berontak. Ia mencemooh panorama ala Dezentjé sebagai lukisan ”Mooie Indie”, Hindia Molek. Dalam buku yang baru saja terbit, Sang Ahli Gambar: Sketsa, Gambar & Pemikiran S. Sudjojono oleh Aminudin T.H. Siregar, disebutkan bagaimana pelukis itu memandang kanvas Basuki Abdullah. Lukisan Basuki, kata Sudjojono, cenderung mengutamakan ”artistieke plekken”, lokasi dan tempat yang memang sudah bagus. Yang demikian bukanlah ”Indonesia”. Sebab Indonesia, menurut Sudjojono, berarti ”bersatu, bangun, bekerja, jatuh, berkorban, dan berjuang terus-menerus”. Sudjojono, tentu saja, bukan seorang penyusun teori yang siap. Cetusan pikirannya tak sistematis, sering tanpa argumen yang kukuh. Tapi agaknya bisa diduga, ia menghendaki sebuah kanvas yang tak cuma berisi panorama dan paras yang elok karena terkendali. Kata-kata ”bangun, bekerja, jatuh, berkorban, berjuang” mengarah ke pengertian sesuatu yang dinamis, terkadang sakit dan tak menyenangkan, dan tak seluruhnya dapat dipastikan, karena selamanya ada perubahan, ada perbedaan. Kreativitas, yang menciptakan sesuatu yang esthetis, dengan demikian mengandung sesuatu yang lebih dalam ketimbang hanya ”indah”, jika makna ”indah” cuma berarti picturesque. Dalam sesuatu yang esthetis selamanya tersirat sesuatu yang-tak menyenangkan, yang lain, yang beda, dan sebab itu bisa mengejutkan. Dalam apa yang esthetis bisa terdapat apa yang

grotesque, mungkin mengerikan, rusuh, ganjil, bahkan menjijikkan: dan itulah sebabnya karya Picasso atau Frida Kahlo, karya Bacon atau Bosch, karya Affandi atau Masriadi, karya Edi Hara atau Heri Dono—untuk menyebut beberapa saja di ruang sempit ini—tidak saja memukau, tapi juga mengandung sesuatu yang ethis: kesediaan menampung apa yang tak lazim, yang diabaikan, bahkan ditolak. Itu sebabnya saya tak begitu berminat menikmati patungpatung molek di Istana Bogor. Diberi baju atau tidak. ~Majalah Tempo, Edisi Senin, 01 November 2010~

Teater Oktober 25, 2010 Tak cuma menafsirkan kenyataan, tapi juga mengubahnya…. Marx mengemukakan ini—meskipun tak persis begitu—ketika ia berbicara tentang filsafat. Statemennya dapat juga diterapkan untuk ideologi dan agenda politik. Tapi di sini saya ingin mengemukakan hal yang sama untuk sesuatu yang lebih bersahaja: produksi kesenian. Terutama teater. Teater tak cuma sebuah tafsir atas kenyataan. Bekerja dalam teater mengajarkan kepada saya bahwa pada mulanya memang bukan teks—satu kesimpulan yang juga berlaku untuk hal-hal lain dalam hidup. Ketika saya menulis libretto untuk Opera Tan Malaka, saya menyusun sebuah teks yang agak rinci. Saya sudah merancang bagaimana adegan diaktualisasikan dalam pentas, unsur apa saja yang harus hadir di sana, bagaimana para pemeran bergerak. Tapi dalam proses produksi, banyak hal berubah. Pertama-tama perlu disebutkan, opera ini tak dimaksudkan untuk jadi sebuah narasi biografis. Saya tak ingin berkisah tentang riwayat orang yang pernah disebut sebagai ”Bapak Republik Indonesia” ini bagian demi bagian. Saya asumsikan cerita perjuangannya bisa dibaca di tempat lain. Dengan sebuah libretto

saya ingin mengatakan sesuatu yang lain. Dalam pertemuan awal Tony Prabowo menyebut yang dilihatnya di Lincoln Center Festival tahun 2005: Shadowtime, sebuah opera tentang pemikiran dan pengalaman Walter Benjamin, yang diciptakan komponis Brian Ferneyhough dan libretis Charles Bernstein. Ini ”opera pikiran”. Kami pun sepakat: yang akan saya tulis adalah sebuah ”opera-esai”. Tentu saja ini akan berbeda dari opera dalam pengertian yang lazim. Saya tak pernah menyukai opera macam itu, di mana tiap ucapan dinyanyikan para pemegang peran. Tony Prabowo sependapat dengan saya. Walhasil, kami berniat untuk membuat sebuah opera yang setengah-hati. Saya menemukan satu model yang pas: teater epik dan jejakjejak Brecht. Teater ini bergema keras di awal abad ke-20 di Jerman ketika semangat revolusi Marxis, yang mengilhami Tan Malaka, bertaut dengan energi pembebasan dalam seni. Orang lupa, sebelum di pertengahan tahun 1930-an Stalin mengurung sastra dan seni dalam kerangkeng yang ia sebut ”realisme sosialis”, Revolusi Oktober 1917 di Rusia seakan-akan membuka bendungan kreativitas yang sebelumnya tertekan kekuasaan Tsar. Gerakan avant-garde dan lain-lain lahir. Lebih mengesankan lagi Konstruktivisionis dalam seni rupa dan arsitektur. Brecht, pemikir dan pelaku teater sayap kiri yang terbesar dalam sejarah, melanjutkan elan itu. Ia menerobos ”adat” yang membentuk teater Eropa. Zaman makin mengungkapkan ironi dan kontradiksi, ketika dunia borjuasi kian ditunjukkan keretakan dan disparitasnya. Dari kondisi itu sebuah jenis teater lain pun dibutuhkan—teater yang tak lagi menampilkan dunia kenyataan yang koheren. Brecht pun melahirkan teater yang hidup dari montase: bagianbagian yang terpisah, yang sekaligus hadir. Tak ada lagi totalitas yang merangkum dan menguasai. Tiap tesis menemukan antitesisnya. Ada aktor yang berbicara. Ada poster. Film. Nyanyi.

Gerak tari atau semacam tari. Tak ada pusat. Para penonton dilibatkan, sebab batas antara ”luar” dan ”dalam” praktis tak lagi tetap. Mereka diharapkan aktif memilih segi pandang mereka sendiri, dan siap memindahkannya. Mereka tak diharapkan hanyut terbuai oleh alur cerita. Tak ada alur cerita. Yang ada hanya hentakan-hentakan untuk berpikir. Sebuah opera tentang Tan Malaka tentunya cocok dengan hentakan kontradiksi itu. Itulah yang kemudian terwujud. Di pentas, imaji penjara diperkuat (kita ingat Dari Penjara ke Penjara), tapi pada saat yang sama juga imaji revolusi: barisan pelbagai pasukan revolusioner di tengah sayup-sayup suara radio dengan lagu ”Internasionale”. Juga aksentuasi kepada keinginan pembebasan: ”Aku tulis namamu, kemerdekaan”, seperti kata sajak Paul Eluard, penyair komunis Prancis itu. Panggung ala Konstruktivisionis Rusia dalam opera ini mengesankan sebuah pabrik tempat buruh ditindas, tapi juga kapal yang membawa orang meninggalkan dunia lama ke laut bebas, seperti Sinbad. Apa yang maskulin, serebral, abstrak, dan kekal dalam discourse politik (”menulis, dan menulis”) langsung disertai laku menyuratkan sesuatu di bumi yang tak kekal, oleh tangan seorang perempuan yang bergegas. Paduan suara seakan-akan berada di atas kejadian-kejadian, tapi pada saat yang sama menyuarakan kata hati. Sementara sang ”narator” mengambil jarak dari sejarah Tan Malaka, sang ”tokoh” dalam sel justru terlibat dengan sejarah itu. Penyanyi aria pertama adalah kontras bagi penyanyi kedua. Kata-kata bertaut dan bertarung dengan musik, makna dengan suara. Gaya realis dalam penampilan kedua aktor ditingkahi dengan cetusan-cetusan imajistis: deretan buruh yang lelah, hamburan rakyat miskin yang tergusur di bawah hujan, pasukan Nazi yang perkasa dan represif. Waktu, dalam opera tentang sosok sejarah ini, dihadirkan justru dalam potongan-potongan yang tanpa kronologi. Suasana lokal—rombongan orang melarat itu, suara Bung Karno membacakan proklamasi, kostum penyanyi aria—dipasang

bersama suasana yang melintasi lokalitas. Saya ingat Brecht. Teater kami, katanya, adalah untuk merangsang hasrat mengetahui dan keasyikan (Spaß) mengubah realitas. Saya baru teringat kalimat itu kembali setelah proses mempersiapkan opera ini hampir selesai. Keasyikan itu terutama karena ada pertemuan dengan kemungkinan baru, juga pergulatan dengan kesalahan sendiri—karena pada mulanya bukanlah teks. Pada mulanya adalah perbuatan, seperti kata Tokoh dalam opera ini, dan itu berarti ketidakpastian. Hidup mau tak mau berlangsung, dan dirayakan, dari situ. ~Majalah Tempo Edisi Senin, 25 Oktober 2010~

Asterix Oktober 18, 2010 TIAP jagoan perlu ironi. Tiap kali seorang tokoh ditampilkan demikian perkasa, penting untuk ambil jarak. Jarak untuk berpikir lagi, dengan sedikit lelucon. Jarak untuk lebih arif. Ironi membuka pintu ke kearifan itu. Ironi, kata Anatole France, adalah la gaieté de la réflexion et la joie de la sagesse. Bersama ironi kita bisa merenung kembali dengan hati ringan tentang hal ihwal yang berlebihan—dan jadi sedikit bijaksana seraya riang. Agaknya itulah yang membuat kita, pada usia di atas 40—yang sudah menyaksikan sejumlah omong kosong di dunia—tak berhenti menyukai komik Asterix. Kita hanya sesekali menengok kembali Superman atau Batman yang kita gemari pada usia di bawah 20. Asterix diciptakan René Goscinny dan Albert Uderzo. Umur komik ini lebih panjang ketimbang Goscinny sendiri, yang meninggal pada 1977, setelah ulang tahunnya yang ke-51. Uderzo meneruskan karya bersama itu. Cerita bergambar yang kocak itu kini sudah mencapai sekitar 34 jilid, sejak pertama kali terbit di majalah Pilote pada 29 Oktober 1959.

Sebagaimana tiap penggemarnya tahu, Asterix dikisahkan tinggal di sebuah desa bernama Armorica di wilayah Gaul, atau Gallia, atau Prancis kuno, sekitar tahun 50 Sebelum Masehi. Di masa itu, daerah yang luasnya meliputi peta Prancis modern itu (plus Belgia, Luksemburg, dan Swiss) dikuasai imperium Romawi di bawah Julius Caesar. Goscinny menciptakan Desa Armorica yang bebas untuk menunjukkan bahwa tak semua bangsa Gallia takluk. Dengan cara yang kacau-balau, tapi dengan bantuan ramuan jamu dukun mereka, Asterix dan orang-orang sekampungnya selalu bisa mengalahkan tentara Romawi yang perkasa. Ramuan jamu itu bisa membuat tubuh mereka mahakuat, seperti Popeye Sang Kelasi setelah menyantap bayam. Tapi Asterix dan kawan-kawannya yang mencoba mengelak dari penjajahan Romawi berbeda dari Si Popeye yang melawan Bluto yang merebut sang kekasih, Olive Oyl. Karya E.C. Segar, kartunis yang hidup pada awal abad ke-20 di kota kecil Chester di Illinois, Amerika Serikat, itu praktis tak bicara apa pun yang terkait dengan politik. Popeye sebuah lelucon cepat yang bisa diulangi lagi, cocok buat anak-anak. Sebaliknya, Asterix mengandung percakapan tentang kekuasaan dan tentang apa yang bisa disebut sebagai patriotisme. Patriotisme selalu punya masa lalu pilihan, dan dalam kasus Prancis—sebagaimana tersirat dari lelucon Goscinny dan Uderzo—pilihan itu jatuh ke sebuah sejarah dua milenium lebih di masa silam. Tokohnya Vercingetorix, yang bunyi ”ix”-nya mengilhami Goscinny dan Uderzo untuk dipelesetkan. Vercingetorix menolak kolonisasi Romawi. Orang Gallia ini berontak. Ia berhasil menghimpun kembali para pemimpin lokal yang saling bersaing. Ia jadi raja mereka dengan dukungan petani miskin. Ia tak main-main. Ia pernah mengalahkan Julius Caesar, dan hampir berhasil ketika ia mengepung pasukan Romawi dengan 30.000 tentara di Alesia. Tapi Caesar lebih berpengalaman. Dibangunnya dua dinding konsentris sebagai penangkis. Vercingetorix gagal. Pemimpin Gallia ini akhirnya menyerah pada

tahun 52 Sebelum Masehi, dirantai ke Roma dan mati. Jika kita lihat patung setinggi tujuh meter yang didirikan Napoleon III untuk mengenang Vercingetorix, kita praktis tak akan teringat Asterix atau siapa pun dari tangan Goscinny dan Uderzo. Sosok patriot besar Gallia itu tinggi tegap. Rambutnya ikal memanjang. Sebaliknya Asterix kontet, apalagi bila disandingkan dengan sahabatnya yang gendut gempal, Obelix. Wajahnya tua, tapi tanpa wibawa. Pada awalnya sebenarnya Uderzo ingin menggambar seorang tokoh yang gagah berotot untuk melukiskan seorang pendekar Gallia. Tapi Goscinny punya ide lain, dan jadilah Asterix. Dengan itulah kedua penggambar itu menyelamatkan patriotisme bukan saja dari lambang yang membosankan (lelaki berotot, tatapan mata yang berani), tapi juga dari kemungkinan jadi emosi yang konyol. Patriotisme jadi konyol ketika gairah mencintai sebuah tanah air meluap-luap sedemikian rupa hingga tak ada ruang untuk melihat apa pun yang lain, apalagi untuk kesadaran akan ironi. Asterix menyegarkan, mungkin karena ia lahir setelah dua perang besar yang hampir menghancurkan Eropa—dua perang yang dipicu oleh patriotisme yang berkembang jadi nasionalisme yang ganas. Mungkin bukan kebetulan bahwa Goscinny dan Uderzo bukan orang Prancis ”asli”, kalaupun kata ”asli” ini jelas. Goscinny, yang pernah masuk tentara Prancis pada masa Perang Dunia II (sebagai pembuat poster), berdarah Yahudi Polandia; meskipun lahir di Paris, ia dibesarkan di Buenos Aires dan pernah tinggal di New York. Uderzo keturunan Italia. Nama keluarga itu berasal dari Dusun Oderzo di Italia, sekitar 70 kilometer arah timur laut dari Venesia. Ketika karya mereka terbit, dan disukai tak hanya oleh orang Prancis, tampaklah bahwa Eropa tak bisa menganggap nasionalisme lama dengan tanpa humor. Asterix lahir dan tumbuh ketika sikap naif dan sempit tentang pahlawan tanah air—juga tentang heroisme umumnya—sudah ditinggalkan. Dalam hal itu, Asterix berbeda dari para superhero produk

Amerika. Superman, Batman, apalagi Captain America, adalah pendekar yang terlampau serius dengan kepahlawanan mereka sendiri. Para penciptanya mengkhayalkan manusia yang serba dahsyat—seperti para penggambar itu belum pernah kecewa dalam mempercayai sesuatu dan memuja sesuatu. Syahdan, Presiden Sarkozy menghadiahkan komik Asterix kepada anak Presiden Obama. Saya tak tahu apa pesannya. Tapi mungkin ini: di dunia ini, nak, humor dan ironi lebih menyelamatkan kita ketimbang impian tentang kekuasaan dan keagungan…. ~Majalah Tempo Edisi Senin, 18 Oktober 2010~

Yang-Lain Oktober 11, 2010 Beberapa saat sebelum ia tewas, Karna tahu ia akan kalah. Dan ia akan kalah dengan kesadaran yang pahit: ia akhirnya memang bukan apa-apa. Ia merasa diri telah bertempur dengan keberanian seorang pendekar perang, tapi siapakah dia sebenarnya? Bukan seorang dari keluarga Kurawa yang dibelanya. Bukan seorang ksatria seperti para pangeran di pertempuran di Kurusetra itu. Ia hanya seorang yang, ketika terpojok, tak bisa membaca lengkap mantra yang mungkin akan menyelamatkannya dari panah Arjuna. Saat terlalu sempit untuk memaki atau menangisi nasib. Tapi ia ingat: mantra yang lengkap itu tak diberikan kepadanya oleh gurunya, Rama Bargawa. Sang guru membatalkan memberinya versi yang penuh, karena ia dianggap telah berdusta: ketika ia datang berguru, Karna tak mengaku ia datang dari kasta ksatria—kasta yang bagi Rama Bargawa, yang berasal dari kaum brahmana dan punya dendam khusus kepada para ksatria, harus dimusnahkan. ”Tapi hamba memang bukan dari kasta itu,” Karna ingin memprotes ketika sang guru membongkar ”kepalsuan” dirinya. Tapi

protes itu, seperti air matanya, harus ia tahan. Ia segera kembali ke asrama, mengemasi pakaian dan busur serta panahnya, lalu pergi seperti dikehendaki: seorang murid yang diusir. Tidak, Rama Bargawa tak akan mempertimbangkannya kembali. Guru ini merasa tahu bagaimana dengan tepat meletakkan orang lain. Baginya tak ada yang tak terduga: manusia selalu ada dalam kategori tertentu. Kasta. Asal-usul. Agama. Kategori itu memberinya kekuatan, juga kekuasaan, untuk mengerti dan menguasai benda-benda dan apa saja yang di luar dirinya. Anak muda tampan dan cerdas yang dulu datang kepadanya untuk berguru itu harus seorang ksatria, apabila ia bukan brahmana. Identitas itu kukuh, dan harus ditegakkan. Bagi Rama Bargawa, tak ada yang tak dapat digolongkan. Yang tak diketahui Bargawa ialah bahwa Karna justru tak dapat digolongkan. Kisah hidupnya kita kenal: seorang bayi hanyut di sungai, dalam sebuah kotak kulit, tak tahu dibuang dari mana dan oleh siapa. Orang hanya bisa menduga: kotak itu, dan selimut yang menutupi tubuh bayi itu, menunjukkan orok itu bukan berasal dari kaum kebanyakan. Tapi ia akhirnya harus bernasib lain. Seorang perempuan, istri seorang sais kereta, menemukannya, menyelamatkannya, dan akhirnya mengadopsinya. Karna tumbuh sebagai anak hingga remaja sebagai bagian dari kasta para sais. Tapi benarkah? Ia mencintai ayah-ibu angkatnya, tapi orang-orang selalu mengatakan bahwa ia anak dapat, ia tak sama dengan orang-orang di dusun itu. Ia berbeda. Tapi siapa dia? Apa dia? Dalam kisah Karna, Mahabharata menampilkan sebuah sisipan tragedi: seorang telah dengan sia-sia, meskipun heroik, mencoba melawan takdir yang tak adil. Di Kurusetra, di perang tanding dengan Arjuna itu, Karna tahu: ia kalah, ia mati, karena ia lahir dengan identitas yang tak bisa dirumuskan, tapi oleh bahasa Sang Guru, ia ditunjuk dengan pasti dan benci—dan mantra sakti itu bukan untuknya.

Di sini yang kejam bukan hanya nasib. Yang kejam adalah imperialisme pikiran ala Bargawa yang selalu ingin menaklukkan, bahkan mematikan, ”non-identitas”. Atau selalu ingin meringkus hal-hal yang tak bisa dikategorikan, dengan mengidentifikasikan unsur-unsur yang sama dalam benda-benda. Dalam penyusunan kategori, ”yang-lain” harus ditiadakan. ”Yang-lain” harus ditransformasikan ke dalam desainku yang satu. ”Yang-lain” harus diubah sebagai, atau ke dalam, sesuatu yang sama. Dalam imperialisme pikiran itu, Rama Bargawa tak sendiri. ”Tiap kesadaran,” kata Hegel, ”memburu kematian yang-lain.” Katakata itu mungkin terlalu berlebihan, tapi dalam kenyataan, ”yanglain”, ”yang-beda”, selamanya tak diakui, atau diringkus. Dan Karna mati. Ia adalah ”yang-lain”, yang di luar kasta dan kaum. Ia bukan ksatria, bukan pula brahmana atau sudra; ia bukan Kurawa, bukan pula Pandawa. Memang pernah, ia diangkat jadi adipati dalam wilayah kekuasaan Kurawa. Memang pernah, Kunti, ibu para Pandawa, mengaku bahwa Karna adalah anaknya yang dulu ia buang karena ia tak berani hidup dengan bayi yang ayahnya tak jelas. Tapi nasib sudah mencengkeram: ia, Karna, senantiasa berada di luar, sejak lahir sampai dengan mati. Tapi Mahabharata tak menghukumnya. Para dalang tak melukiskan Karna sebagai tokoh yang sial. Dalam sebuah cerita yang membuka keragaman yang demikian besar, Karna bisa membuat kita lebih mengerti tentang manusia. Kita bisa mengerti bahwa orang lain tak pernah bisa kita rumuskan—kecuali dengan kebencian dan dendam. Orang lain adalah lain, berbeda, tapi ia tak mutlak berbeda. Sesuatu yang mutlak berbeda tak dapat disebut berbeda, karena tak dapat dibandingkan. Terapung-apung antara ”beda” dan ”sama” itulah yang membuat manusia bisa merasakan apa yang ditanggungkan liyan: orang lain yang juga bisa disebut ”sesama”. Maka kita pun ikut berkabung untuk Karna. ~Majalah Tempo Edisi Senin, 11 Oktober 2010~

Baik Oktober 4, 2010 Sebelum Socrates dihukum mati dengan meminum racun, ia sudah dibayangkan hampir tewas. Dalam sebuah lakon yang dipentaskan di tahun 423 Sebelum Masehi, Aristophanes mengkhayalkan Socrates sebagai pendidik yang dibenci orang: sekolahnya, yang disebut ”Toko Pikiran”, dibakar ramai-ramai. Socrates melarikan diri. Aristophanes punya alasan untuk menulis komedi itu: ia memusuhi guru filsafat yang dikagumi para pemuda itu. Aristophanes seorang konservatif. Ia tak percaya kepada sikap skeptis yang diajarkan pada filosof. Ia anggap diakuinya hak-hak politik individu akan memperlemah Negara. Ia curigai sosialisme sebagai penghasut para budak. Dan ia menganggap agama sangat penting bagi kehidupan bersama. Dengan pandangan hidup yang seperti itu, baginya Socrates sebuah sumber kekacauan. Socrates telah menyesatkan anakanak muda, hingga mereka doyan bertanya terus-menerus tentang apa saja, juga tentang dewa-dewa. Dalam lakon yang ditulisnya itu, Mendung, Aristophanes membuat sebuah satire yang tajam. Syahdan, Pak Strepsiades datang ke Socrates di sekolah ”Toko Pikiran”. Dilihatnya tuan guru sedang berada dalam sebuah keranjang yang tergantung-gantung dari loteng. Di bawahnya beberapa murid menungging dengan pantat mencuat ke langit dan hidung menyentuh tanah. Ada yang menduga, dalam adegan itu Aristophanes hendak menyindir Socrates, seorang homoseksual, yang gemar memburu anak-anak muda. Tapi sang dramawan tak cuma menyinggung hal itu. Di pentas, tokoh Socrates digambarkan berkata dengan angkuh. Kutipan dialognya:

Socrates: ”Kamu bersumpah demi dewa yang mana? Sebab di sini dewa-dewa tak laku. (Menunjuk ke Mendung): itu dia dewadewa yang nyata. Strepsiades: ”Tapi mosok nggak ada Zeus?” Socrates: ”Tak ada Zeus.” Strepsiades: ”Lalu siapa yang bikin hujan, dong?” Socrates: ”Mendung itu. Kan kamu tak pernah melihat hujan tanpa mendung?” Aristophanes menganggap Socrates tak punya Tuhan. Dan itu berbahaya. Dalam bagian berikutnya, satire itu mengisahkan putra Strepsiades yang bernama Pheidippides bersua dengan sepasang makhluk yang bernama Argumen Adil dan Argumen Tak-adil. Si Adil menganjurkannya untuk meniru kebajikan orang-orang dari Marathon. Si Tak-adil sebaliknya mengajarkan moralitas baru: apa untungnya mencapai kebajikan? Tiap satu orang jujur yang sukses akan ditandingi dengan 10 orang tanpa kejujuran yang juga sukses. Coba lihat para dewa sendiri, kata si Tak-adil. Mereka bohong, mencuri, membunuh—dan tetap disembah oleh seluruh orang Yunani. Pheidippides jadi murid yang patuh. Pada suatu hari, ia pukul ayahnya sendiri. Alasan: ia cukup kuat dan merasa nikmat melakukan itu. Lagi pula, katanya kepada sang ayah, Strepsiades: ”Bukankah engkau memukuliku ketika aku masih anak-anak?” Strepsiades mengaduh dan minta belas kasih Zeus. Tapi anak muda yang memukulnya itu memberi tahu: Zeus tidak ada. Yang ada, seperti kata Socrates, hanya Pusaran. Pusaran itu yang menyebabkan air jadi hujan dan kembali jadi air. Mendengar itu, Strepsiades berteriak marah. Ia berseru kepada seluruh warga kota yang baik agar menghancurkan filosofi baru itu. ”Toko Pikiran” dibakar. Socrates nyaris tertangkap.…

Pendirian Aristophanes: moralitas akan berantakan jika tak ada agama yang mengusung dewa-dewa. Socrates, yang mempertanyakan segalanya pada dasarnya meragukan segalanya. Pada akhirnya ia tak beriman kepada apa pun. ”Tentang dewadewa, aku tak tahu apa-apa,” kata guru itu. Pandangan agnostiknya adalah teladan yang mengandung tuba. Memang, Socrates tak menggunakan dewa-dewa sebagai sumber apa yang baik. Sebagaimana dikutip dalam Euthyphro, yang baik itu baik bukan karena dewa-dewa membenarkannya, melainkan para dewa membenarkannya karena hal itu baik. Dengan kata lain: manusia otonom, sebenarnya. Ia bisa menentukan sendiri. Dalam pengalaman manusia sepanjang sejarah, memang yang ada di ”atas” sana tak bisa diketahui. Manusia membaca Tuhan (atau para dewa) sebagaimana ia menebak orakel: ia menafsirkan. Ia tak bisa lain. Ia hanya berpegang pada interpretasi. Dan interpretasi itu tentu dipengaruhi oleh wataknya, pengalamannya, acuannya. Jika si manusia itu bersifat penuh kasih sayang, maka dewa atau Tuhan yang dibacanya akan tampil sebagai Tuhan yang penuh kasih sayang. Jika si manusia itu jahat, cemburu, dan pendendam, maka dewa atau Tuhan yang sampai kepada imannya adalah Tuhan yang cemburu dan pendendam. Walhasil, bukan agama yang membentuk manusia, melainkan sebaliknya. Maka memang benar ketika orang mengatakan, bukan agamanya yang jahat, melainkan manusianya. Tersirat di sini pengakuan tentang terbatasnya pengaruh agama bagi perilaku manusia umumnya. Yang tak pernah kita dengar ialah ketika pernyataan itu dibalik: bukan agamanya yang mulia, tetapi manusianya.… Dan Socrates pun dihukum mati. Ia harus minum racun. Banyak cerita dan ada beberapa tafsir kenapa ia dianggap bersalah kepada negeri yang ia pernah bela. Tapi konon Socrates menyebut bahwa pelbagai dakwaan kepadanya semata-mata berdasarkan citra tentang dirinya yang disebarkan Aristophanes.

Yang patut dicatat ialah bahwa tak ada nada dendam dalam kata-kata akhirnya. ~Majalah Tempo Edisi Senin, 04 Oktober 2010~

Ampun Agustus 29, 2010 TAHUN 1815. Dari penjara Bagne de Tulon, setelah 19 tahun dikurung, terpidana dengan No. 24601 itu dibebaskan. Tak punya lagi tempat kembali, ia berjalan tanpa arah, lama dan sendirian. Ia sebenarnya belum bebas. Hukum mengharuskannya membawa paspor kuning, tanda ia bekas orang rantai. Tapi sebab itu ia tak diterima menginap di losmen mana pun. Maka putus asa, bromocorah itu hanya bisa membaringkan tubuhnya di tepi jalan. Dengan rasa marah dan pahit. Tapi ini bukan kisah seorang yang marah dan pahit. Les Miserables yang termasyhur itu oleh Victor Hugo dirangkai jadi cerita kehidupan Jean Valjean, si No. 24601 yang berubah. Kita ingat bagaimana kejadiannya: tiba di Digne, kota kecil di Prancis Selatan, Valjean ditampung menginap oleh Uskup Myriel. Ia diberi makan malam dan tempat tidur—dan dibiarkan bersendiri. Malam itu, tanpa ada orang yang mengawasinya, Valjean mendapatkan kesempatan. Ia ambil pisau, sendok, garpu, dan alatalat perak buat jamuan yang ada di kamar itu. Ia pun melarikan diri. Tapi tak bisa jauh. Polisi menggeledah bekas terpidana yang berjalan mencurigakan di dinihari itu. Pada bromocorah itu mereka temukan benda-benda milik keuskupan. Valjean pun dibawa menghadap Uskup Myriel. Saya bayangkan bagaimana ketakutan dan putus asanya Valjean. Ia tahu, kini ia akan dikurung seumur hidup. Dulu, di kota kecil kelahirannya, Faverolles, di musim dingin tahun 1795 ia mencuri roti dari sebuah kedai karena kelaparan. Tapi hanya karena itu ia

dipenjarakan lima tahun. Hukuman itu diperpanjang sampai 19 tahun karena Valjean beberapa kali tertangkap mau melarikan diri. Kini nasib lebih buruk menantinya. Tapi sesuatu yang tak terduga terjadi. Kepada polisi, Uskup Myriel mengatakan bahwa Valjean tak mencuri apa pun. Barangbarang perak itu diberikan kepada tamunya yang kelaparan untuk bekal, kata Uskup. Bahkan pagi itu, di hadapan polisi, padri yang baik hati itu menyerahkan lagi sebatang penyangga kandil dari perak, seraya mengingatkan Valjean akan janjinya—meskipun lakilaki itu tak pernah berjanji apa-apa—bahwa ia akan jadi orang baik. Valjean pun bebas. Kejadian itu mengguncang hatinya. Tapi tak hanya itu. Hari itu ia—seorang lelaki perkasa—merampas uang 50 sous dari seorang anak. Tapi kali ini ia menyesal. Ia cari anak itu di seantero kota, untuk mengembalikan uang itu. Tapi tak ketemu…. Kisah Jean Valjean adalah kisah pertobatan. Sejak hari itu ia jadi orang baik yang penolong. Tapi yang luar biasa di sini ialah bahwa sebenarnya Uskup Myriel tak mengharapkan itu. ”Janji” yang disebutnya pagi itu hanya fiktif: sang uskup berbohong agar Valjean bebas dari hukuman. Katakanlah dengan itu ia juga memaafkan, tapi maafnya bukan sejenis barter. Dalam barter, X memberi sesuatu kepada Y karena ia mengharap Y memberikan sesuatu sebagai imbalan. Maaf sang uskup adalah maaf yang ikhlas, tanpa syarat. Tapi keikhlasan adalah perkara yang pelik. Memberi maaf tanpa syarat juga bisa menyembunyikan sebuah supremasi: aku memberi kau sebagai isyarat bahwa aku lebih dari kau. Bila demikian halnya, maaf itu bukanlah berarti hilang atau dilupakannya sebuah perbuatan yang membuat sang pelaku nista. Malah maaf itu menegaskan nista itu. Maaf tanpa syarat, maaf tanpa supremasi, mungkin lebih pas disebut pengampunan yang murni. Tapi akhirnya, bila kita ikuti Derrida, ”pengampunan”, dalam arti semurni-murninya, adalah ”mengampuni hanya apa yang tak dapat diampuni”, le pardon

pardonne seulement l’impardonnable. Dalam acuan seperti itu, bahkan maaf yang tanpa syarat dari Uskup Myriel kepada Jean Valjean bukanlah pengampunan yang dibayangkan Derrida, sebab kejahatan yang terjadi pada dasarnya bisa diampuni: pelakunya seorang yang takut mati kelaparan. Persoalannya: adakah kekejian yang demikian rupa hingga sama sekali tak dapat diampuni, hingga pengampunan kepadanya sebuah perbuatan yang benar-benar tanpa pamrih? Adakah ”radical evil” dalam pengertian Hannah Arndt, yang ”menumbangkan semua ukuran yang kita kenal”? Jawabannya tak gampang. Ukuran kita bergantung kepada siapa kita. Memang ada kekejian dalam kamp konsentrasi Nazi di Auschwitz dan Dachau, atau dalam ”kepulauan gulag” yang dibangun Stalin, atau yang dilakukan sejumlah Maois fanatik semasa Revolusi Kebudayaan di Cina, atau pembunuhan dan penyiksaan yang dilakukan terhadap orang-orang kiri oleh Orde Baru di Indonesia. Kekejaman itu belum tentu keji menurut ukuran yang universal, tapi mungkin yang dimaksud dengan radical evil ditentukan oleh intensitas perasaan para korban di suatu masa, di suatu tempat. Sebagai konsekuensinya, pengampunan yang ikhlas terhadap perbuatan itu hanya bisa ditentukan oleh mereka yang jadi korban di suatu masa, di suatu tempat. Tapi, tidakkah, seperti tersirat dalam ungkapan Derrida sendiri, pengampunan murni itu mustahil? Memang mustahil, dan bisa malah melanggar apa yang dikehendaki hidup yang adil. Tapi mungkin kita dapat menerimanya sebagai imbauan ke dalam diri—untuk menggugat sejauh manakah kita mengubah diri kita sendiri waktu memaafkan. Tak jarang aku, sang korban, merasa lebih agung ketimbang yang bukan korban, apalagi ketimbang sang pelaku kejahatan. Kadang-kadang pula kita lupa, dalam memaafkan ada godaan

keangkuhan, sebagaimana si kaya yang memberi derma untuk menunjukkan kekayaannya. Sebab itu pengampunan yang murni jangan-jangan tak dimaksudkan sebagai pengampunan. Tindakan Uskup Myriel mengharukan karena ia bukan mengampuni, tapi membebaskan seseorang dari siksaan—dan membebaskannya pula dari kepastian nasib yang ditentukan masa lalu. Valjean, seorang bromocorah yang ke mana-mana harus membawa paspor kuning, tak seterusnya harus nista. ~Majalah Tempo Edisi Senin, 29 Agustus 2010~

Majenun Agustus 23, 2010 DI sana-sini, dunia perlu orang majenun. Atau penyair. Atau kedua-duanya. ”Kenapa kalian, para penyair, begitu terpesona kepada orang gila?” ”Kami punya banyak kesamaan.” Dialog ini, dalam film Man from La Mancha, berlangsung dalam sebuah penjara bawah tanah di Spanyol abad ke-17. Si penyair yang menjawab pertanyaan itu adalah Miguel de Cervantes. Dalam catatan sejarah dialah penulis El ingenioso hidalgo don Quijote de la Mancha yang lebih dikenal sebagai Don Quixote: dua jilid panjang yang berkisah tentang seorang majenun. Dalam film ini, diproduksi di tahun 1972, kisah itu diadaptasi dengan pendekatan yang ingin berbicara untuk zaman kita—zaman yang tak mau menerima kegilaan. Adapun bagian pertama novel ini terbit di tahun 1605 di Madrid. Ia sebuah satire: Don Quixote tampil sebagai tokoh yang ditertawakan. Tapi berangsur-angsur dalam Cervantes terasa

tumbuh rasa sayang kepada si majenun ciptaannya. Jika dibaca dengan jilid keduanya yang terbit di tahun 1615, ada yang sayu dalam kegilaan itu: Alonso Quijana, seorang tua yang terlalu banyak membaca buku tentang ksatria, tiba-tiba meninggalkan rumahnya, berkeliling naik kuda dan menganggap dirinya seorang caballero. Seakan-akan Spanyol masih di zaman dongeng lama ketika para ksatria bertempur untuk hal-hal yang luhur. Alonso Quijana menyebut diri ”Don Quixote de la Mancha”. Film Man from La Mancha merupakan adaptasi musikal atas kisah yang sudah beredar 300 tahun itu. Saya tak pernah menyukai musikal, tapi karya sutradara Arthur Hiller dengan skenario Dale Wasserman ini bagi saya sebuah perkecualian yang tak terlupakan. Terutama karena Peter O’Toole bermain dengan cemerlang sebagai Cervantes dan sekaligus Don Quixote—dan terutama karena mise-en-scène yang bisa menggabungkan teater gaya Brecht dengan layar putih á la Hollywood. Syahdan, adegan dimulai dengan Miguel de Cervantes, penyair, pemungut pajak, dan prajurit, yang ditangkap bersama bujangnya yang setia. Jawatan Inkuisisi, lembaga Gereja Katolik Spanyol yang dengan tangan besi menjaga keutuhan umat dan iman, menjebloskan mereka ke dalam kurungan di bawah tanah. Tak ayal, dalam calabozo yang seram itu mereka dikerubuti para tahanan lain: semua milik yang mereka bawa harus diserahkan. Cervantes mencoba mempertahankan satu naskah dan satu peti yang dibawanya. Ia siap membela diri di depan mahkamah kurungan itu. Ia minta diizinkan menyajikan satu lakon. Pemimpin para tahanan itu setuju. Dengan cepat, sang penyair membuka petinya. Ia kenakan kostum dan tata rias, dan muncul sebagai Alonso Quijana, pak tua yang terkena delusi berat dan membayangkan diri sebagai Don Quixote. Ruang sempit yang pengap itu jadi pentas. Ksatria imajiner itu, dengan diiringi pelayannya, kini disebut Sancho Panza, naik kuda imajiner. Pada detik-detik berikutnya, kamera memindahkan

adegan itu ke alam luas: kedua orang itu tampak menempuh plateau sunyi La Mancha. Don Quixote tegak di atas pelana di punggung Rocinante. Perjalanan mereka tentu saja tak sepanjang yang dikisahkan novel. Teks Wasserman (penulis lakon yang juga membuat adaptasi karya Brecht, Die Dreigroschenoper) hanya menampilkan beberapa bab yang penting dari narasi Cervantes. Yang paling penting: pertemuan Don Quixote dengan pelacur Aldonza, di sebuah losmen. Kita ingat sang majenun membayangkan losmen buruk itu sebuah kastil dan si pelacur sebagai Dulcenia—seorang putri bangsawan kepada siapa ia akan mempersembahkan hidup dan cintanya. Di sini kisah Don Quixote berhenti sebagai cemooh. Ia jadi sebuah alegori. Kita menyaksikan wajah kegilaan yang luhur dan sosok bloon yang baik hati. Dalam kemajenunannya, orang dari La Mancha itu ingin menyelamatkan dunia dari putus asa dan sinisme. ”I hope to add some measure of grace to the world,” katanya agak malu-malu, sambil memandang Aldonza dengan lembut, mesra, tapi dengan sinar mata seorang gila. Aldonza (diperankan Sophia Loren) tak mengerti semua itu. Ia selama itu jadi obyek nafsu lelaki. Ia merasa nista dan tak pernah punya keyakinan bahwa berkah serta kelembutan bisa tumbuh dari hidup. ”Dunia adalah seonggok tahi sapi,” katanya ketus dan pahit, ”dan kita belatung yang merayap di atasnya.” Don Quixote dengan halus membantah. ”Dalam hati, tuan putri tahu bahwa tak begitu sebenarnya.” Aldonza meludah. Baginya, Don Quixote manusia sia-sia yang akan dihajar nasib. Tapi laki-laki tua yang kurus dan linglung itu menjawab: ”Akan kalah atau menangkah hamba, itu tak penting.” Apa yang penting? Yang penting adalah perjuangan itu sendiri, bukan hasilnya: perjuangan untuk membubuhkan yang mulia di dunia yang bobrok. Itu berharga. Sebab, bagi seorang ksatria, itu

sebuah privilese. To dream the impossible dream, To fight the unbeatable foe, To bear with unbearable sorrow To run where the brave dare not go To right the unrightable wrong Dengan itu, berbeda dari novel Cervantes, Man from La Mancha menampilkan Don Quixote sebagai seorang yang tulus dan militan—yang tergetar oleh sesuatu yang tak terhingga, tampak sebagai seorang majenun yang tak punya kalkulasi praktis, seperti halnya seorang penyair yang masuk menemui malam entah untuk apa. Gila, tentu. Tapi seperti diucapkan tokoh Cervantes dalam film ini, ”barangkali yang terlalu praktis, itulah kegilaan”. Barangkali terlalu kuatnya akal sehat—yang melepaskan mimpi—itulah kegilaan. Berjuang dengan setia bagi mimpi, untuk memberikan yang baik bagi dunia meskipun mustahil, adalah kegilaan yang memberi harga kepada manusia. Aldonza akan bisa menemukan yang luhur dalam hidup. Ia bisa terbebas dari jepitan akal praktis dari zaman yang hanya mau menghitung laba-rugi. Ia bisa tahu, ia bukan belatung di atas onggokan tahi. Majalah Tempo Edisi Senin, 23 Agustus 2010~

Daging Agustus 16, 2010 Puasa: perut yang harus dibiarkan lapar, tenggorokan yang menahan haus selama 12 jam, alat kelamin yang tak tersentuh syahwat. Demikianlah yang jasmani dikendalikan: daging harus dituntun oleh roh. Kalau tidak: dosa. Maka dari waktu ke waktu, seraya menolak yang jasmani, kita

dianjurkan hanya menerima yang ”rohani”. Sejak pukul 4 dini hari, masjid dan surau penuh suara orang menyebut Tuhan, menganjurkan ibadat, meneguhkan iman, menjalankan syariat…. Kita dilengkapi dengan banyak penangkal: kita harus bisa menolak gado-gado, soto, video porno. Tapi bisakah daging diasingkan? Bisakah tubuh dilihat terpisah? Tampaknya ada yang luput dilihat di sini. Justru pada bulan Ramadan, yang jasmani diam-diam menyiapkan resistansi. Mari datang ke pusat-pusat perbelanjaan mewah dan angkringan sederhana di kaki lima. Kita akan melihat semarak pelbagai penganan lezat yang tak lazim sehari-hari. Ramadan telah jadi sebuah paradoks: ketika orang diharuskan menahan nafsu, kreativitas menyiapkan hidangan justru meningkat; omzet perdagangan makanan naik sampai 60 persen. Orang ramai berbelanja untuk membuat meriah meja berbuka puasa dan sahur mereka. Ramadan agaknya telah jadi sebuah periode ketika orang berusaha memperoleh kompensasi istimewa. Tampaknya kuat anggapan bahwa pengekangan atas tubuh kita selama 30 hari itu adalah sebuah deprivasi, sebuah perenggutan dari hidup yang normal, dan kita, yang merasa harus menanggungkan itu, menginginkan imbalan yang memuaskan. Di atas semua itu, setidaknya di Indonesia, orang-orang yang menganggap puasa sebagai deprivasi yang berat akan bersikap seakan-akan anak manja atau si korban yang dendam: mereka minta diperlakukan dengan kelas tersendiri. ”Hormatilah orang yang berpuasa!” seru pengumuman di mana-mana. Maksudnya: ”jangan menggoda atau merayu orang yang berpuasa untuk batal”. Barangkali berpuasa telah berubah: menahan haus dan lapar tidak lagi ditandai tekad melawan godaan, tapi sikap ketakutan akan godaan. Pada bulan ini orang-orang yang mengatakan bahwa niat mereka berpuasa adalah untuk Allah (dengan kata lain: ikhlas) ternyata juga orang-orang yang merasa berhak mengklaim proteksi

dari kekuatan di luar diri mereka: Negara. Maka rumah-rumah hiburan malam pun diharuskan tutup sepanjang bulan. Bahkan panti pijat yang biasanya dipergunakan keluarga (termasuk anak-anak) tak boleh buka. Tak urung, para juru pijat, umumnya ibu-ibu yang bekerja untuk menambah nafkah keluarga, berkurang pendapatan. Di Bekasi, para pemilik dan buruh industri entertainment kecil atau menengah mengeluh (ya, mereka akhirnya berani mengeluh) bahwa setiap tahun nafkah mereka putus selama 30 hari. Padahal mereka juga harus ikut mengumpulkan pendapatan lebih untuk bersenang-senang pada hari Lebaran. Dengan kata lain, puasa telah jadi semacam privilese. Orangorang yang berpuasa bukan saja harus dihormati secara istimewa, tapi juga orang lain harus bersedia berkorban untuk mereka. Persoalannya akan berbeda jika kita menganggap berpuasa dengan sikap lain: puasa bukan sebagai deprivasi, melainkan sebagai ikhtiar kita untuk mengurangi apa yang dirasakan berlebih dan berlebihan dalam diri. Dengan kata lain, inilah puasa sebagai pilihan laku yang menangkis keserakahan. Bahkan inilah puasa sebagai reduksi agresivitas menghadapi dunia—agresivitas yang meringkus dunia jadi milik dan bagian dari sasaran konsumsi. Dalam puasa reduktif itu, kita sebenarnya melanjutkan pesan Nabi untuk berhenti makan sebelum kita kenyang dan juga pesan Gandhi untuk menyadari betapa dunia terbatas: bumi cukup untuk kebutuhan tiap orang, namun tak akan cukup untuk ketamakan tiap orang. Puasa yang macam itu tentu saja tak akan diakhiri dengan kemenangan yang dirayakan dengan Idul Fitri yang pongah. Puasa yang menampik keserakahan dan agresivitas tak akan meneriakkan kemenangan, terutama kemenangan diriku sebagai subyek yang perkasa yang telah mengalahkan tubuh sendiri. Bahkan dalam puasa yang seperti itu, ”aku”, seperti dikatakan Chairil Anwar di pintu Tuhan, ”hilang bentuk, remuk”.

Tak berarti ”hilang bentuk, remuk” itu menunjukkan wajah manusia yang tertindas dan jadi asing bagi dirinya sendiri. Marx memang pernah menganggap, dalam agama (sebagai bentuk alienasi), wujud manusia hilang: ”semakin banyak yang dicurahkan manusia ke Tuhan, semakin sedikit yang ia sisakan bagi dirinya sendiri….”. Tapi di situ Marx salah. Pada abad ini yang kita saksikan justru sebaliknya: semakin banyak yang dicurahkan manusia ke Tuhan, semakin menggelembung ia jadi subyek yang penuh dan perkasa. Dan agresif. Mungkin itu sebabnya mereka yang berpuasa juga tampak seperti orang yang ingin berkuasa. Kecuali jika puasa membuat kita sadar bahwa kita tak pernah bisa tegak utuh sendiri. Kita, roh yang juga daging, terbentuk oleh zat-zat yang sama dengan zat-zat dunia—meskipun kesatuan antara roh dan daging itu menyebabkan manusia tak seluruhnya bisa dirumuskan. Kita ada di bumi, di bawah langit, di antara makhluk lain yang fana, di hadapan Tuhan—sebuah variasi dari das Geviert Heidegger. Dalam posisi itu, aku bisa merasakan bumi, langit, sesama makhluk dan rahmat Tuhan mengasuhku. Dalam posisi itu, aku bisa menghilangkan ketamakan dan agresivitasku. Di situ, puasa tak akan disertai hasrat mendapatkan kompensasi yang memuaskan buat tubuh yang merasa tertindas dan terasing oleh Ramadan. Di situ, puasa tak dimulai dengan merasa telah direnggutkan, hanya karena mulut tak boleh menelan, lidah tak boleh mencicip. Di situ, puasa adalah pertemuan kembali dengan tubuh yang sebenarnya lumrah dan patut disyukuri. Bukan tubuh yang dikurung untuk diwaspadai. ~Majalah Tempo Edisi Senin, 16 Agustus 2010~

Manifes Agustus 9, 2010 Di bulan Agustus 1963, sebuah dokumen ditulis dan

diumumkan: ”Manifes Kebudayaan”. Ia dengan segera menimbulkan kontroversi yang heboh. Isinya dianggap ”kontrarevolusioner” oleh Lekra dan organisasi-organisasi kebudayaan dan politik yang diakui pemerintah waktu itu. Kemudian juga oleh Presiden Soekarno. Pada 8 Mei 1964, dokumen itu—kemudian disebut dengan ejekan ”Manikebu”—dinyatakan ”terlarang”. Para penandatangannya, umumnya sastrawan, tak boleh menerbitkan karya mereka di mana saja. Di masa ”demokrasi terpimpin”, yang sudah membredel sejumlah surat kabar dan majalah dan memenjarakan sejumlah orang, misalnya Mochtar Lubis, larangan itu punya efek yang tak main-main. Jika hari ini saya menulis tentang dokumen itu bukan untuk mengungkapkan lagi represi yang terjadi masa itu. Saya menulisnya karena sebentar lagi 17 Agustus. Inilah tanggal ketika kita umumnya mengingat apa yang diharapkan dari kemerdekaan yang direbut dan republik yang didirikan. Hampir tiap tahun, Agustus adalah bulan ketika kita dengar suara kekecewaan yang berulang-ulang seperti sebuah litani: ”Indonesia merdeka tapi rakyat masih sengsara”, ”tak ada lagi semangat bersama”, ”terpuruk” (kata ini paling sering disebut), dan bahkan ”gagal”. Kita jarang bertanya: tidakkah kita punya harapan yang berlebihan dari sejarah, dan sebab itu berlebihan pula kecewa kepada zaman? Saya ikut merumuskan ”Manifes Kebudayaan”. Dalam umur 22 tahun itu saya, ketika para mahasiswa dan lain-lain harus belajar Marxisme, saya menemukan kalimat Marx ini: ”Manusia membuat sejarah, tapi bukan membuatnya semau mereka.” Keadaan yang kita temui, ketika kita bergerak mengubah dunia, bukanlah keadaan yang kita pilih sendiri. Ia ada sebelum kita ada. Kita harus bernegosiasi dengan apa yang datang dari generasi yang telah mati yang, menurut Marx, memberat di pikiran generasi yang masih

hidup bagaikan ”mimpi buruk”. ”Manifes” agaknya sebuah dokumen pemikiran pertama yang waktu itu mengakui keterbatasan manusia dalam mengubah sejarah itu. Teks itu menampik utopianisme. Bagi para penandatangannya, masyarakat yang sempurna tak akan pernah ada: ”Kami tidak mungkin menerima setiap bentuk utopia karena kami menyadari bahwa dunia ini bukan sorga. Karena berfikir secara dialektik, maka kami mengakui kenyataan-kenyataan bahwa lingkungan sosial kami senantiasa mengandung masalah-masalah, dan setiap tantangan yang kami jawab akan menimbulkan tantangan-tantangan baru.” Dengan menyebut ”kami berfikir secara dialektik”, ”Manifes” ingin menegaskan bahwa dialektik tak akan berhenti dalam satu tujuan tertentu. Dengan demikian, sejarah adalah sebuah proses yang terbuka. Sejarah tak pernah terbentuk sebagai lingkaran totalitas, karena tak akan ada sebuah kekuasaan yang bisa menguasai masa lalu, masa kini, dan masa depan sepenuhnya. ”Kebudayaan dari suatu periode adalah senantiasa kebudayaan dari kelas yang berkuasa,” kata ”Manifes”, mengutip Marx. Tapi sejarah juga mengajarkan: ”Justru karena tidak termasuk dalam kelas yang berkuasa, maka orang berhasil membentuk kekuatan baru.” Kekuasaan selalu terbatas. Hegemoni kebudayaan tak akan bisa penuh. Ada gema pemikiran Gramsci, pemikir Marxis Italia itu, dalam teks ”Manifes”: ia sebenarnya berbicara tentang keniscayaan munculnya ”kontrahegemoni”. Di sana, ada dua wajah dalam gerak kehidupan politik yang mengisi ruang ”hegemoni” dan ”kontrahegemoni” itu. Di satu sisi, antagonisme politik menarik garis antara kawan dan lawan. Namun di sisi lain, gerak politik juga mengandung acuan ke sesuatu yang universal. ”Manifes” dikecam karena di dalamnya termaktub kata

”humanisme universal”. Dalam suasana politik yang mengagungkan konfrontasi yang militan—ketika sikap memihak adalah mesti—pengertian ”universal” dianggap mengaburkan sasaran perlawanan. Tapi saya kira ada salah paham di sini. Semangat untuk yang ”universal” justru bisa bertaut erat dengan semangat untuk memihak. Jauh setelah ”Manifes Kebudayaan”, pemikir yang pernah jadi aktivis buruh Argentina, Ernesto Laclau, mengambil contoh seorang pejuang revolusioner yang militan: jika aku ikut dalam aksi menduduki pabrik dengan tujuan memperjuangkan kenaikan gaji, hari libur tambahan, dan yang semacam itu, keterlibatanku akan berakhir bila tuntutan setempat itu terpenuhi. Sebaliknya jika partisipasiku dalam aksi-aksi itu dilihat lebih luas: sebagai bagian dari perjuangan revolusioner yang hendak mencapai cita-cita yang universal. Di situ aku mungkin tak akan terpaut penuh dengan tuntutan kenaikan gaji dan tambahan hari libur, tapi justru sebab itu aku akan lebih militan: perjuanganku adalah untuk sesuatu yang lebih luas—masyarakat sosialis, misalnya—yang akan dinikmati siapa saja, di mana saja. Di mana saja, siapa saja: kita ingat, 17 Agustus 1945 tak bisa dipisahkan dari kalimat terkenal ini: ”bahwa sesungguhnya kemerdekaan adalah hak semua bangsa…”. Tapi senantiasa, perjuangan untuk sesuatu yang universal hanya bisa terlaksana dalam kondisi yang terbatas. Kemerdekaan yang harus diisi untuk siapa saja dan di mana saja akhirnya hanya diisi oleh (dan untuk) manusia-manusia di ruang dan waktu tertentu. Itu agaknya bulan Agustus adalah bulan ketika orang mengeluh—seraya mungkin tahu, atau tak tahu, bahwa tiap keluhan sebenarnya menyembunyikan harapan. Sejarah adalah dialektika antara keluhan dan harapan, sebab, seperti tertulis dalam ”Manifes Kebudayaan”, dunia ini ”bukan sorga”. ~Majalah Tempo Edisi Senin, 09 Agustus 2010~

Ahmadiyah Agustus 2, 2010 Pada suatu hari di bulan November 1936, Bung Karno menerima sepucuk pos. Di zaman ketika komunikasi masih sangat terbatas, surat itu diki rim seseorang dari Bandung dengan kapal biasa ke Kupang, di Pulau Timor bagian barat; dari sana ia diterbangkan sebagai vliegpost (pos udara) ke Ende, tempat Bung Karno waktu itu hidup sebagai orang buangan. Surat itu ditulis seorang teman. Ia bercerita bahwa harian Pemandangan memuat satu informasi kecil: Bung Karno telah mendirikan cabang Ahmadiyah dan ”menjadi propagandis Ahmadiyah” wilayah Sulawesi. Saya tak tahu kaget atau tidakkah Bung Karno mendengar cerita fiktif tentang dirinya itu. Mungkin tidak. Ia sudah siap mendengar tuduhan yang bermacam-ragam, termasuk ”anti-Islam”, karena pandangannya yang kritis tentang perilaku umat Islam di Indonesia. Meskipun demikian, Bung Karno membantah. Dengan tenang sekali. ”Saya bukan anggota Ahmadiyah,” demikian ditulisnya dalam suratnya bertanggal 25 November tahun itu, yang bisa kita temukan dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi. Karena ia bukan anggota, kata Bung Karno pula, ”Mustahil saya mendirikan cabang Ahmadiyah atau menjadi propagandisnya.” Apalagi untuk wilayah Sulawesi: ia tak akan sampai ke sana. Sebagai orang yang diasingkan dan diawasi pemerintah kolonial Belanda, Bung Karno bahkan tak akan diizinkan untuk ”pelesir ke sebuah pulau yang jauhnya hanya beberapa mil sahaja dari Ende”. Tapi dari peristiwa ini tampak: Islam di Indonesia punya problem yang tiap kali seperti didaur ulang. Tahun 1936, seperti 2010: ada kecurigaan kepada orang yang mengemukakan pendapat lain tentang Islam. Tahun 1936, seperti 2010: ada sikap berseteru terhadap gerakan dan keyakinan Ahmadiyah.

Di tahun surat Bung Karno ditulis itu, permusuhan terhadap Ahmadiyah sudah sekitar tujuh tahun umurnya. Meskipun mulamula tak ada gejolak apa pun. Pada awalnya sekitar 20 pemuda Islam dari Sumatera Barat datang ke India untuk belajar agama di Qadian. Tahun 1925: mubalig pertama Ahmadiyah Qadian sampai ke Tapaktuan, Aceh. Ia kemudian ke Sumatera Barat. Pada 1926, organisasi Jemaat Ahmadiyah berdiri. Sampai di sini, belum ada konflik yang tercatat, meskipun kalangan Ahmadiyah Qadian percaya bahwa Mirza Ghulam Ahmad seorang pembaharu dan sekaligus ”nabi” tapi nabi yang tak membawa syariat baru. Konflik pertama justru terbuka di Yogya, dan ini berhubungan dengan Ahmadiyah Lahore, yang tak meng anggap Mirza Ghulam Ahmad seorang nabi, melainkan seorang mujaddid (pembaharu). Awalnya sebuah ukhuwah. Tahun 1924, dua pendakwah gerakan ini, Mirza Wali Ahmad Baig dan Maulana Ahmad, datang ke Yogya. Djojosugito, sekretaris Muhammadiyah, mengundang mereka untuk berpidato di muktamar, dan menyebut Ahmadiyah sebagai ”organi sasi saudara Muhammadiyah”. Tapi, setelah sebuah perdebatan, Muhammadiyah melarang paham Ahmadi. Pada Muktamar Muhammadiyah ke-18 di Solo, pada 1929, dinyatakan bahwa ”orang yang percaya akan Nabi setelah Muhammad SAW adalah kafir”. Djojosugito dipecat. Ia mendirikan Gerakan Ahmadiyah Indonesia, 4 April 1930. Takutkah Bung Karno dikaitkan dengan paham ini? Dari nada suratnya, tidak. ”Saya tidak percaya bahwa Mirza Ghulam Ahmad seorang nabi dan belum percaya ia seorang mujaddid,” katanya. Tapi Bung Karno memuji pelbagai buku dan tulisan dari kalangan Ahmadi. ”Saya dapat banyak faedah daripadanya.” Salah satunya, yang dalam bahasa Belanda disebut Het Evangelie van den daad, oleh Bung Karno disebut ”brilliant, berfaedah bagi semua orang Islam”. Apalagi Bung Karno melihat ada tenaga yang positif dari

kalangan Ahmadiyah: ”… pada umumnya ada mereka punya ’features’ yang saya setujui: mereka punya rationalisme, mereka punya kelebaran penglihatan (broadmindedness), mereka punya modernisme, mereka punya hati-hati terhadap hadits, mereka punya streven Qur’an sahaja dulu, mereka punya systematische aannemelijk making van den Islam.” Bung Karno bukannya menyetujui semua. Ia menolak ”pengeramatan” Mirza Ghulam Ahmad dan ”kecintaan” kalangan Ahmadi ”kepada imperialisme Inggris”. Tapi, tulis Bung Karno pula, ia ”merasa wajib berterima kasih” kepada pandangan yang termaktub dalam karya-karya mereka. Di masa itu, seperti tampak dari Surat-surat Islam dari Endeh, (korespondensinya dengan T.A. Hassan, tokoh ”Persatuan Islam” di Bandung), Bung Karno memang sudah menunjukkan keinginannya. Ia hendak mendorong umat Islam ke masa depan, bukan berbalik ke masa lalu. ”Kenapa kita mesti kembali ke zaman ’kebe saran Islam’ yang dulu-dulu? Hukum Syariat?” tulis Bung Karno dalam surat bertanggal 22 Februari 1936. ”Islam itu kemajuan!” Maka tak mengherankan bila ”kemajuan” itu yang ia lihat pada gerakan Ahmadiyah. Tapi, lebih dari itu, Bung Karno tak mungkin mengabaikan apa yang dibawa sejarah: benturan dan pertemuan pelbagai buah pengalaman. Dalam kaitan itu, Bung Karno melihat ”cacat” ”Persatuan Islam” yang dipimpin T.A. Hassan, yaitu ”sektarisme”: hanya paham sendiri yang dianggap benar; gagasan lain dimusuhi. Padahal, dengan ”membuka semua pintu budi akal kita bagi semua pikiran,” kata Bung Karno di akhir suratnya, akan lahir Islam yang ”tiada kolot dan mesum”, yang bukan ”hadramautisme”. Akan lahir Islam yang ”cinta kemajuan dan kecerdasan”. Mengapa saya ingat Bung Karno, Ahmadiyah, tahun 1936?

Memang aneh bahwa saya harus mengutip surat tua itu untuk berbicara tentang ”kemajuan dan kecerdasan” bagi umat Islam di Indonesia. Mungkin justru karena kedua hal itu makin dibiarkan terjerumus ke dalam ”sektarisme”. Hari-hari ini, ”sektarisme” itu bahkan ditegaskan dengan kekerasan. ~Majalah Tempo Edisi Senin, 02 Agustus 2010~

Anak Juli 26, 2010 Hampir tiap hari kita menyaksikan anak-anak yang dihilangkan. Orang-orang dewasa telah menguasai mereka. Di layar televisi, mereka dibikin menyanyi seperti para biduan komersial menyanyi, berkhotbah seperti para kiyai berkhotbah, bersaing seperti para pecundang dewasa bersaing. Mereka dicetak. Model mereka bukan datang dari imajinasi sendiri. Mereka dikepung. Di rumah, di sekolah, di tempat ibadah, anak-anak harus mengikuti apa yang dipetuahkan. Si bocah mesti menuruti tatanan simbul-simbul yang dijadikan sendi kehidupan ibu-bapa. Tentu, masih ada dunia fantasi mereka sendiri. Tapi inipun sebagian besar sudah dibentuk oleh selera orang-orang yang punya pengaruh: pemilik taman hiburan, entrepeneur baju dan sepatu, industri mainan, produser acara TV, pengelola jasa-jasa iklan, pengarah kindergarten dan sekolah dasar. Lewat itu semua, tiap hari anak-anak sedang hendak dihilangkan. Mungkin ini tanda-tanda dua masa yang cemas. Yang pertama masa ketika kita cemas kalau-kalau sebuah generasi baru akan meninggalkan tradisi — sisa simptom masyarakat petani yang berubah. Dalam masyarakat agraris, ketika perubahan teknik dan nilai-nilai hampir tak terasa, orang bisa bertahan dengan ingatan dan masa lalu kolektif. Mereka gentar

kepada yang baru, malah mungkin tak merasa butuh dengan yang baru. Tapi masa ini juga masa ketika modal, persaingan, perbedaan, dan perubahan mendesak. Merasa dilecut, orang-orang tua dengan agak gugup dan tak sabar mempersiapkan anak mereka untuk masuk ke dunia yang baru – tapi yang sebenarnya bukan dunia anak-anak. Di tengah kecemasan itu, anak hanya diberi, tapi dengan sikap mendua. Sang pemberi, si orang tua, merasa diri berkorban, dan dengan pengrobanan itu memposisikan diri lebih mulia.. Saya kira ambivalensi itulah yang tercermin dalam satu sajak Amir Hamzah yang ditulis di tahun 1930-an: Anak lasak mengisak panjang Menyabak merunta mengguling diri Kasihan ibu berhancur hati Lemah jiwa karena cinta Sajak itu mencerminkan pandangan orang tua: si bocah dinilai lasak dan manja, dan orang tua dinyatakan penuh ikhlas melayani. Tapi tak ada peluang si anak untuk menampilkan sudut pandangnya. Amir Hamzah, seperti banyak sastrawan Indonesia lain, tak menghadirkan karya dengan perspektif anak-anak yang menggugat kearifan orang dewasa – satu hal yang kita temukan dalam Pangeran Kecil Antoine de Saint-Exupèry. Maka bukan hal yang mengherankan anak-anak disisihkan tiap hari. Tapi agaknya bukan hanya Indonesia yang menyaksikan ketersisihan itu. Di awal abad ke-20, ketika kapitalisme industri makin kukuh, Eropa merasakan hilangnya saat-saat anak –hilangnya suasana ketika kita bisa, (dalam kata-kata Tagore), ”duduk di atas debu, bermain dengan ranting patah sepanjang pagi”.

Kian lama kehidupan kian ditentukan oleh “hasil”, “guna”, “perhitungan”, “efisiensi”, dan aturan-aturan yang pakem. Orang ingin terus menerus menguasai ruang dan waktu. Maka, yang semula hidup dibuat beku. Cara pun jadi formua, alam jadi proyek, ibadah jadi ritual, yang disembah jadi berhala, kesenian jadi klise, dan benda yang akrab ke dalam hatiku cuma jadi benda yang tiap saat bisa dipertukarkan dengan benda lain. Mungkin inilah yang disebut Hegel sebagai “kehidupan yang bergerak sendiri tapi sebenarnya tersusun dari bentuk-bentuk yang mati,” ein sich in sich selbst bewegende Leben des Todes. Pada saat itulah kalkulasi jadi paradigma. “Orang dewasa,” kata sang Pangeran Kecil dalam karya de Saint-Exupéry itu, “menyukai angka-angka”. Orang dewasa (sebuah kiasan untuk “orang modern” atau lebih tepat “borjuis”) hanya mampu melihat setangkai mawar sebagai eksemplar dari mawar yang lain. Dengan kata lain, “mawar” telah jadi konsep yang abstrak, bukan kehadiran yang singular dan tak terbandingkan. Pangeran Kecil sebenarnya sebuah penyesalan. De SaintExupéry menyesali hilangnya sebuah dunia di mana imajinasi bebas jadi paradigma. Imajinasi bebas itu, bagi para penyair, ditauldankan oleh keasyikan anak-anak. Sebelum Tagore dan de Saint-Exupéry, Rilke sudah mengemukakan hal itu, di tahun 1901: hanya anak, bukan orang dewasa, yang dapat menemukan keindahan “dalam sekuntum bunga, dalam sekerat batu, dalam kulit kayu, atau di sehelai daun birka”. Orang dewasa tak mungkin merayakan bendabenda sepele itu. Mereka, tulis sang penyair, hanya “berkisar dalam urusan dan kecemasan, seraya menyiksa diri sendiri dengan segala detail.” Tapi Rilke juga menyadari: pada gilirannya anak-anak berubah. Kita telah mengubah mereka. Kita telah menggantikan pandang mereka yang intuitif dengan pandang yang rasional. Mereka kita dorong memandang bunga, batu, daun sebagai benda mati yang

bisa dimanfaatkan. Maka hadirlah kebekuan. Rilke mengungkapkannya dalam Elegi ke-8 dari seri Elegi Duino yang terkenal itu: … sebab telah kita balikkan arah anak-anak memandang Hingga ia menatap ke belakang, ke arah apa yang mapan Bukan ke sana yang terbuka, yang tersembunyi Dalam tatapan hewan: bebas dari kematian. Dan hampir tiap hari kita menyaksikan anak-anak yang dihilangkan. ~Majalah Tempo Edisi Senin, 26 Juli 2010~

14 Juli 1789 Juli 19, 2010 Tak ada apa-apa hari itu. Dan Louis XVI pun mencatat dalam buku hariannya: ”rien”. 14 Juli 1789. Di Istana Tuileries yang ia diami sejak ia didesak meninggalkan Versailles dan pindah ke Paris, Raja Prancis itu tak tahu yang terjadi beberapa belas kilometer dari kursinya. Menjelang senja yang panjang hari itu, Penjara Bastille direbut rakyat. Tembak-menembak berlangsung sejak lewat tengah hari. Sebelumnya, di depan halaman luar penjara itu, sekitar 900 warga Paris berhimpun: tukang kayu, pembikin gembok, penjahit, pembuat topi, pedagang anggur, pengusaha cabaret, pemilik pabrik bir, dan tentara yang diam-diam meninggalkan induk pasukan. Sebenarnya mereka cemas. Sebagaimana dikisahkan kembali oleh Simon Schama dalam Citizens, kecemasan itu berjangkit sejak malam sebelumnya. Ada desas-desus, pasukan disiapkan untuk memadamkan para pembangkang yang menentang Raja. Keadaan genting. Orang ma rah di mana-mana. Harga roti mencekik. Di Lyon terbit kerusuhan.

Di Paris beberapa kali kantor cukai diserbu. Tentara disiagakan untuk mengawal pasar penjualan gandum atau konvoi yang mengangkut tepung. Awal Juli juga mencekam penduduk mis kin, sebab itulah masa ketika segala utang & sewa harus dibayar. Sehari sebelum tanggal 7, ketika terme tiba, tampak keluarga-ke luarga meninggalkan tempat sewaan, membawa kain yang biasa mereka sambung sambung untuk turun dari jendela kamar mereka semula. Mereka berjalan di sepanjang kota dalam eksodus yang tak jelas. Akhirnya orang pun mencari biang keladi. Dugaan beredar bahwa di balik semua itu ada siasat kaum aristokrat. Para bangsawan ini membuat rakyat lapar karena ingin menyingkirkan Jacques Necker, menteri keuangan, seorang bankir asal Swiss yang dianggap mampu menyelamatkan Prancis dari kebangkrutan. Dugaan itu tak benar, tapi Necker memang dimusuhi kelas atas itu. Dalam catatan sejarah, ia cakap dan jujur. Ia bahkan siap mengorbankan hartanya untuk jadi jaminan impor pangan dari Amsterdam. Tapi semuanya terlambat. Prancis menanggungkan musim dingin yang ganas. Selain transportasi yang rusak, perang Turki-Rusia dan konflik politik di Baltik membuat suplai pangan tak mudah. Ibu kota makin rusuh. Ketakpuasan menjalar kekalang an militer yang lebih memihak letroisieme état, penduduk yang bukan dari kalangan aristokrat ataupun Gereja. Sementara itu, milisia yang dibentuk untuk me nertibkan kerusuhan, gardes françaises, yang terdiri atas anak-anak muda dari pedesaan, ikut tak setia. Bersama penduduk, mereka akhirnya jadi bagian dari ”penakluk Bastille”. Penjara ini sebenarnya sudah tak berfungsi penuh lagi. Pemerintah sedang merencanakan akan merobohkan gedung nomor 232 di rue Saint-Antoine itu. Dibangun pada akhir abad ke14 sebagai benteng, bangunan 4½ lantai itu diubah jadi penjara pada abad ke-17. Di sanalah dikurung anak nakal yang diminta

keluarganya agar disekap, atau para penulis yang dianggap menghasut atau cabul. Voltaire sudah dua kali dikurung sebentar. Marquis de Sade termasuk penghuni terakhir. 14 Juli itu, hanya tinggal tujuh yang di dalam. Empat orang adalah penipu. Seorang bangsawan nakal yang dimasukkan atas permintaan keluarga sendiri. Dua yang lain orang gila. Tak ada lagi pembangkang. Kondisi penjara itu juga tak buruk amat. Marquis de Sade (dari mana kata ”sadisme” berasal, dan sebab itu ia disekap), diperbolehkan membawa berjenis-jenis pakai an, sarung beledu buat bantal, tiga macam pewangi, dan 133 buku. Ia bahkan memanfaatkan kesempatan yang unik: ia naik ke jalur menara, dan dengan memakai pe ngeras suara yang dibuat dari ketopong logam penadah kencing, ia berpidato ke arah jalan raya tentang kekejam an yang dialaminya. Ia tak diapa-apakan. Ia bahkan bebas seminggu sebelum 14 Juli. Tapi Bastille tak bisa me ngelakkan diri dari konflik dan ketegangan yang akhirnya meledak hari itu. Gubernur penjara, de Launay, cemas akan keadaan yang makin rusuh di Paris, memperlengkapi Bastille dengan 250 barel amunisi dan 15 kanon di delapan menara setinggi 20 meter itu. Ada tiga pucuk lagi yang terarah ke gerbang. Lebih dari 12 senjata api lain, yang bisa menembakkan peluru setengah kilogram, disiapkan di tembok. Orang ramai yang datang hari itu sebenar nya cuma hendak mengambil amunisi dan kanon itu. Me reka takut semua itu akan dipakai untuk membungkam mereka. Tapi perundingan berlangsung alot. Akhirnya bentrokan tak terelakkan. Para penjaga Bastille tak bisa bertahan. De Launay ditangkap. Tapi ia tak menyerah. Ia berte riak, ”Biarkan aku mati!” dan menendang orang seki tar nya. Ia segera tewas oleh pelbagai senjata tajam. Sese orang memotong lehernya dengan pisau saku. Kepalanya diarak. Apa yang terjadi sebenarnya? Raja bertanya kepada orang

yang melaporkan kejadian hari itu: ”Pemberontakan?” Sang pelapor menjawab, ”Bukan, Paduka, revolusi.” Tak jelas sebenarnya apa bedanya. Meskipun banyak yang dilebih-lebihkan dalam kisah perebutan Bastille, kata ”revolusi” mendapatkan auranya tersendiri. Sebuah événement telah menemukan nama yang menggugah. Sejak itu orang tak berpaling dari apa yang mengimbau dari aura itu. ”Revolusi” disebut sampai abad-abad ber ikutnya, jadi penanda hasrat untuk menghadirkan apa yang diserukan di Prancis hari-hari itu: kemerdekaan, kesetaraan, dan persaudaraan bagi siapa saja dan kapan saja—sesuatu yang menjangkau yang tak terhingga. Mungkin sebab itu 14 Juli itu penting: yang tak terhingga itu lahir dari sejarah, bukan dari ketiadaan, ex nihilo, bukan pula dari titah Tuhan. ~Majalah Tempo Edisi Senin, 19 Juli 2010~

Atheis Juli 12, 2010 Beberapa menit sebelum ia roboh tertembak, Hasan masih membandingkan dirinya dengan ”Hamlet Si Tukang Sangsi”. Kita ingat Hasan. Ia tokoh utama Atheis—sebu ah novel yang tak bisa dilupakan sejak terbit pada 1949. Penulisnya, Achdiat K. Mihardja, meninggal pekan lalu di Canberra, Australia. Pengarang kelahiran Garut ini mencapai usia 99. Tapi, seperti nasib tiap sastrawan yang punya karya yang berarti, usia sepanjang itu masih akan kalah lanjut ketimbang apa yang ditulisnya. Terutama karena Atheis, lebih dari 60 tahun setelah pertama kali beredar, pantas jadi sebuah klasik. Prosa Achdiat masih terasa segar, cara berceritanya sama sekali tak aus, frase-frasenya masih bisa mengejutkan. Di samping itu, Hasan ”Si Tukang Sangsi” tetap tokoh yang tak ada duanya dalam sastra Indonesia. Lebih lagi: ia bisa melintasi zamannya sendiri.

Mungkin karena apa yang ada dalam zaman itu, masa akhir 1930-an, belum juga mati pada hari ini: perubah an besar dalam sejarah mo dern yang terkadang tak tertanggungkan guncangannya, baik bagi seorang yang sederhana maupun pada hal-hal yang luhur dan sakral. Hasan seorang sederhana. Di akhir cerita, ia ditembak pasukan Jepang, tapi ia bukan se orang pelawan. Pada jam malam di Bandung itu ia lari dari hotel tempatnya menginap karena ia kalap, galau, marah dan cemburu, ketika mengetahui istrinya pernah menginap di hotel itu bersama temannya, Anwar. Ia lari. Lari terus. Di sekitarnya jalan sepi. Orang sudah diperintahkan menyingkir dan lampu-lampu dipadamkan. Ia tak peduli. Teriak hatinya bersilang selisih dengan teriak peringatan petugas keamanan. Akhirnya tembakan dilepaskan. Paha kirinya tembus. Ia terguling. Ia ditangkap, karena disangka mata-mata. Tubuhnya yang TBC itu disiksa Kempetai. Di suatu hari pada 1945 itu ia mati di tangan pasukan pendudukan yang sudah kalah perang. Bukan sebagai pelawan. Hasan terlampau rapuh untuk jadi pelawan. Ia seorang yang tergerus oleh, tapi juga terasing dari, proses yang membentuk dirinya. Apa mau dikata: proses itu selalu diduduki pihak lain. Pada waktu ia muda, orang tua, Tuhan, dan horor meng huni seluruh dirinya. Putra ménak bergelar raden dari sebuah kampung di Garut itu pada usia remaja memutuskan untuk mengikuti jejak ayahnya: ”menganut ilmu mistik”. Mungkin karena ia terpengaruh ayahnya yang alim. Tapi terutama karena ia takut. ”Sebagai anak kecil aku sudah dihinggapi perasaan ta kut kepada neraka,” tuturnya. Dari para pembantu ru mah tangga keluarga itu ia dapatkan cerita-cerita siksa Tuhan yang tak alang kepalang. Maka, katanya pula, ”Aku sangat taat menjalankan perintah Ayah dan Ibu ten tang agama.”

Ia pernah berpuasa tujuh hari tujuh malam, mandi di Ka li Cikapundung 40 kali dalam semalam, mengunci di ri di kamar selama tiga hari tanpa makan, tidur, dan bica ra. Tapi semua bukan tumbuh dari kerinduan kepada Yang Maha Mempesona, tapi dari kengerian kepada Yang Maha Ngeri. Kengerian itu merundungnya sampai saat-saat akhir. Ia tenggelam dalam tata simbolik yang diwakili ”Ayah” (dan ”Tuhan”) yang membentuk fiilnya dengan deretan kata ”tidak boleh”. Iman dan Islam-nya adalah rasa waswas. Agama jadi garis demarkasi. Ia memproteksi diri, dan sebagai akibatnya ia terjepit dalam liang perlindung annya sendiri. Apa yang tinggal dari dirinya bukan lagi sebuah subyek yang bebas, melainkan obyek yang tersisih, terasing, dari hidup. Itu sebabnya ia tak mudah tegak. Ia rentan ketika berhubungan dengan dunia di luar garis itu. Bekerja di jawatan air minum kota praja Bandung, pa da suatu hari ia bertemu dengan Rusli, sahabatnya di masa kecil. Dari Rusli ia berkenalan dengan Kartini, pe rempuan 20 tahun yang mengubah hidupnya. Atau lebih tepat, karena ia jatuh cinta kepada gadis itu, ia masuk ke sebuah kancah yang mengguncangkan hidupnya. Rusli. Kemudian Anwar, seorang seniman anarkis. Kemudian Parta, seorang aktivis politik sayap kiri. Merekalah orang yang merasa me wakili sebuah masa depan: modernitas yang yakin, seperti diucapkan Parta, bahwa ”tek nik lah Tuhan kita”. Bagi mereka, tentu saja mengutip Marx, agama adalah ”madat” yang dibutuhkan orang banyak karena kondisi kehidupan yang nes tapa. Hasan tak mampu menghadapi atau me nangkis argumen seperti itu—karena ia memang tak pernah bergulat dengan pertanyaan dan keraguan tentang iman dan agamanya. Karena ia merasa tak kuasa. Karena ia sudah jadi obyek, bukan subyek, agama. Tak terbiasa jadi diri yang merdeka dalam hati dan pikiran, ia

akhirnya mengikut saja pandangan Rusli yang menyatakan diri ”atheis”. Tapi pergeseran pandangannya lebih didorong oleh rasa tertariknya kepada Kartini ketimbang keyakinan yang timbul—keyakinan sebagai hasil renungan yang digeluti dan menggelutinya. Maka, sampai akhir ceritanya, ia terombang-ambing an tara memilih untuk mengingkari Tuhan dan kembali ke ajaran tarekatnya. Ia sendiri tahu ia bahkan lebih pe nge cut ketimbang Hamlet dalam lakon Shakespeare. Ia tetap kecut disebut ”atheis” bukan karena ia tak bisa hidup tanpa Tuhan, tapi karena, sekali lagi, ia takut siksa neraka. Hasan sebagai tokoh novel unik, tapi ia agaknya bukan satu perkecualian. Saya kira Marx keliru jika ia hanya menganggap agama sebagai ”suara keluh (der Seufzer) dari orang-orang yang tertindas”. Yang tak dialami ba nyak orang seperti Hasan adalah agama yang mengeks presikan suara yang terpesona, gentar, dan bersyukur—atau agama sebagai pengakuan bahwa kita ada, dalam kemerdekaan yang bersahaja, bersama dengan yang tak kekal namun tak terhingga. Sumbangan novel Atheis kepada zaman ini adalah mengisahkan tragisnya sebuah iman yang sebenarnya sebuah ketakutan. ~Majalah Tempo Edisi Senin, 12 Juli 2010~

Repetisi Juli 5, 2010 Pada suatu hari saya berjalan dalam sebuah mall, di sepanjang deretan etalase. Seakan-akan melangkah di atas ruas jalan yang telah dipindahkan dari tengah kota ke sebuah interior, saya tertegun. Beberapa detik lamanya, saya tak tahu saya sedang di mana. Di saat itu saya sadar, sebuah mall bukanlah sebuah titik dalam

peta bumi. Ia bukan sebuah lokasi; berada jauh dari langit dan tanah, ia seakan-akan tak tersentuh waktu + unsur alam. Di mana pun letaknya, ia sesuatu yang generik: sebuah atau serangkaian bangunan besar yang berisi pelbagai toko dan restoran. Untuknya, konteks tak diperlukan. Mungkin karena mall adalah sebuah pengulangan. Saya bisa berpindah dari yang satu ke yang lain dan mengalami hal yang sama. Toko-toko itu memajang merek yang sama pula dari satu bangunan ke bangunan lain. Baik di Oxford Road, Singapura, ataupun di Senayan, Jakarta; baik di Brunswick, Melbourne, ataupun di Queensway, Hong Kong, model-model yang ditampilkan di pelbagai tempat itu praktis serupa—setidaknya dengan potongan tubuh dan gaya yang tak berbeda—dengan kaca-kaca etalase yang bermiripan. Repetisi tampaknya punya peran tersendiri di sini. Ia perpanjangan dari sifat fashion. Fashion, atau mode, tiap kali memang memperbarui diri, tetapi sebenarnya ia merupakan cerminan pengulangan. Ia hidup dengan membuat keinginan datang berulang kali untuk memperoleh merek favorit itu lagi, lagi, dan lagi. Ia juga perlu mengulang-ulang kehadirannya karena ia adalah penanda yang ingin diingat. Sebagai keseluruhan, etalase-etalase dengan manekin dan poster yang itu-itu juga ingin meninggalkan bekas di bawah sadar kita, agar mereka (Zara, Prada, Giorgio Armani, Versace…) terkait secara permanen sebagai penanda kemolekan, ketampanan, kemutakhiran, yang makin memenuhi angan-angan kita. Di dalam etalase mall itulah agaknya pelbagai komoditas, diwakili manekin berdandan dan poster wajah + tubuh yang memikat, ”seakan-akan sosok-sosok yang otonom” yang hadir ”dengan kehidupan mereka sendiri”, seperti dikatakan Marx ketika ia berbicara tentang ”fetisisme komoditas” dalam Das Kapital. Benda-benda itu bukan lagi seperti produk dan kreasi orang.

Mereka berhubungan dengan sesama mereka, selain dengan umat manusia. Demikianlah di kaca-kaca yang tak kunjung habis itu mereka bersaing, tapi semua melihat ke arah kita, mengajak kita masuk ke dalam dunia di mana mereka jadi pusat. Kaca itu seakan-akan menyediakan diri sebagai cermin. Dan sebagaimana layaknya cermin, ia menyajikan ilusi tentang diri yang utuh. Ia juga mendorong kita untuk melihat diri sendiri silih berganti antara ”tampan” dan ”kurang tampan”. Dalam peralihan itu, lahirlah hasrat. Hasrat adalah tanda manusia sebagai kekurangan. ”Menghasratkan,” kata Gabriel Marcel, yang menulis sebuah telaah fenomenologis yang terkenal tentang ”punya” (l’avoir), ”adalah punya tanpa mempunyai.” ”Punya” mengandung ketegangan, antara yang empunya dan yang dipunyai, antara qui dan quid. Di satu pihak, sesuatu yang dipunyai, quid, adalah sesuatu yang di luar aku yang empunya, qui. Tapi di lain pihak, ia bagian dari diriku. Itu sebabnya, kata Marcel, ”Ada semacam penderitaan atau perasaan terbakar yang merupakan satu bagian hakiki dari hasrat”—satu kesimpulan yang berabad-abad sebelumnya telah disebutkan Sang Buddha dalam kata dukha. Termasuk dalam penderitaan, ketakseimbangan, keterasingan itu adalah convoitise, sebuah sikap yang dalam bahasa Jawa disebut mélik. Dalam Baoesastra Djawa yang dihimpun W.J.S. Poerwadarminta (1939), kata itu berarti ”hasrat atau keinginan untuk mengambil, memiliki”. Salah satu sifat mélik: ia tak punya obyek tertentu. Keinginan itu lebih merupakan keinginan mempunyai tanpa sasaran yang sudah dipilih sebelumnya. Ada unsur rasa cemburu dan gelora hati di dalamnya yang berbau busuk. Sebuah kata-kata mutiara Jawa yang terkenal memperingatkan bahaya itu: mélik nggéndhong lali—hasrat dan kecemburuan untuk memiliki membawa dalam dirinya sikap melupakan perilaku yang baik.

Tapi mall demi mall, etalase demi etalase, pada akhirnya adalah kuil-kuil di mana fetisisme komoditas jadi ritual, dan mélik jadi ketaatan. Tentu, tak semua menyebabkan lahirnya perilaku buruk. Kapitalisme, yang melembagakan hasrat dan iri hati, pada akhirnya menggerakkan dunia. Bahkan Marx sendiri mengatakan bahwa manusia, sebagai makhluk yang dibentuk dari tubuh yang melihat, menghidu, menyentuh, mencicip, dan mendengar, yang haus dan lapar, adalah makhluk yang menderita (leidendes Wesen) dan sebab itu, dengan gairah, dengan semangat, ia mendapatkan kekuatan menggapai obyeknya. Tapi saya ingat sebuah lukisan kaca dari Jawa Tengah: Petruk (seperti mengacu ke parodi wayang terkenal, Petruk Jadi Raja) duduk di kursi, memangku seorang perempuan, salah satu tangannya memegang botol minuman. Ruangan besar, ada tandatanda kekayaan yang untuk ukuran sang pelukis rakyat sangat mewah. Di gambar itu tertulis huruf-huruf Jawa: mélik nggéndhong lali. Hasrat dan convoitise pada akhirnya bukan saja melahirkan nafsu tubuh, tapi juga hilangnya batas pengertian milik. Milik yang selalu berarti privat, bergerak ke luar. Dari sinilah akumulasi terjadi: menghimpun modal jadi kekuasaan, menguasai puluhan rumah secara sah dan tak sah, menyimpan harta dari penyalahgunaan milik publik. Tapi di mana akhirnya? Mall demi mall, etalase demi etalase, akan selalu mengulangi ritualnya. Manusia hanya bisa bebas jika ia melintasi obsesi ini: milikku, milikku, milikku.… ~Majalah Tempo Edisi Senin, 05 Juli 2010~

Rumah Juni 28, 2010 DI ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut, sebuah dusun di Flores Barat mencoba mengingat. Di Desa Wae Rebo itu, orang membangun kembali rumah adat

mereka yang berbentuk kerucut—setelah entah berapa lama hanya empat yang tertinggal dari tujuh yang pernah berdiri, setelah pohon kayu worok tak mudah lagi didapat untuk bahan tiang utama, setelah sawah ladang tak cukup bisa membuat surplus. Generasi silih berganti selama 1.000 tahun; mereka membentuk sejarah, dibentuk sejarah. Kebutuhan baru datang, dan desa didefinisikan oleh kekurangan yang dulu tak ada. Pada abad ke-21, ingatan tak lagi berwibawa: hanya sebuah gudang berisikan hal-hal yang aus. Waktu memang bukan teman untuk Wae Rebo—sebagai nama yang dicoba disimpan dalam ingatan dan dilambangkan oleh rumah adat. Waktu bukan teman bagi banyak dusun tua lain di Indonesia, di mana rumah pernah memiliki ”kosmisitas”, di mana (jika saya tafsirkan pengertian Bachelard ini) orang bisa merasakan getar dari tiang yang menjulang, seakan-akan tiap saat bumi menjangkau yang kosmis. Kita, hidup di kota yang makin padat, mungkin bahkan tak lagi sempat mempedulikan yang kosmis nun di atas. Yang vertikal di tempat tinggal dan tempat kerja kini dilambangkan oleh bangunan bertingkat yang tiap lantai bisa didatangi dengan lift. Ia jadi sesuatu yang horizontal. Tubuh kita tak mendaki. Berbeda dengan nenek moyang orang Wae Rebo, kita tak berteman dengan ruang. Penghuni Wae Rebo yang hidup di antara gunung itu menyadari mereka bagian dari tamasya yang lebih luas ketimbang dusun. Sementara itu, di Jakarta, para pembangun rumah susun memaksa ruang atau dipaksa ruang; konstruksi mereka lahir dari impuls geometris. Impuls ini—”geometrisme”, kata Bachelard—menggariskan batas yang lurus-kaku, dan dengan itu memisahkan apa yang di luar dan di dalam. Di hampir semua segi kehidupan, ruang terbuka dianggap serasa ancaman, karena akan datang yang ajaib dan tak dapat dikalkulasi. Manusia tak takut klaustrofobia; mereka menanggungkan agorafobia. Tapi barangkali akan berlebihan bila kita terus-menerus

mengeluhkan kota-kota zaman ini dan menyesali modernitas. Modernitas, yang memacu dan dipacu waktu, mendorong X, Y, Z ke masa lalu, dan kemudian mengubah semua itu jadi nostalgia. Namun nostalgia justru menunjukkan bahwa kita terpaut pada masa kini: kita memandang X, Y, Z dari posisi manusia masa sekarang yang sedang takut kepada lupa. Maka nostalgia adalah ingatan yang memperindah ingatan. Sebab itu kita tak perlu mencemoohnya: ia bagian yang memperkaya hidup kita sekarang, karena mengakui ada dari masa silam yang begitu penting, begitu bagus, dan kita ingin tahu. Maka jika sejumlah arsitek muda dari Jakarta pada suatu hari di tahun 2009 berjalan berjam-jam mendaki ke Dusun Wae Rebo, dan di sana mengagumi konstruksi rumah adat itu, jika mereka kemudian membentuk sebuah yayasan buat menghidupkan lagi kepiawaian arsitektural di pelosok-pelosok Indonesia, jika kemudian ada dermawan yang membiayai usaha untuk mensyukuri tanah air dengan cara yang kreatif itu—itu semua menunjukkan bahwa nostalgia itu adalah bagian dari pencarian hal-hal yang baru dan berbeda. Buku yang kemudian mereka terbitkan, Pesan dari Wae Rebo (editor Yori Antar, terbitan Gramedia Pustaka Utama, 2010) adalah rekaman semua itu. Rasa ingin tahu itu sebenarnya mengandung kritik. Di situ ia sebenarnya bagian dari modernitas, yang tak mau hanya menerima apa yang ada. Dan modernitas bergerak karena kritik itu juga tak jarang ia tujukan ke dalam dirinya sendiri. Salah satu otokritik yang terkenal menunjuk kepada ketakmampuan kita untuk merasakan tempat kita tinggal sebagai bagian dari Hidup yang tiap kali membuat takjub. Kini kita kehilangan pesona dunia: harum kembang, suara burung, warna fajar, telah jadi ”pengetahuan”. Rumah telah jadi kamar persegi panjang. Heidegger, yang dengan suara berat melakukan otokritik kepada abad ke-20, mengingatkan kita akan makna kata bauen.

Baginya, makna kata itu bukan saja mengacu kepada ”membangun”, tapi juga hidup di bawah langit, hidup di antara semua yang fana, tapi juga bagian dari apa yang tumbuh—baik karena benih sendiri atau diolah jadi kebudayaan. Tapi di mana kini kita bisa bicara seperti itu? Ini abad ke-21. Otokritik itu juga perlu kritik. Manusia tak lagi, untuk menggunakan kalimat penyair Hölderlin di Jerman abad ke18, ”berdiam secara puitis” (dichterisch wohnet der Mensch). Di kota-kota Indonesia yang padat, manusia berhubungan dengan ruang hidupnya sebagai prosa dengan angka-angka di akta tanah. Tapi tak hanya itu. ”Berdiam secara puitis” agaknya hanya bisa diutarakan oleh mereka yang punya rumah yang sejuk dan tenang, mungkin bahkan dengan hutan dan sungai di dekatnya. Tak semua orang punya privilese itu. Kuli bangunan yang menginap dari tempat ke tempat, para pemulung yang membuat kereta-kotak jadi kamar tinggal mereka yang bisa diparkir di mana saja, punya pengertian lain tentang ”rumah”. Pada akhirnya, rumah adalah respons kepada kebutuhan tubuh, yang berkembang jadi rencana dan imajinasi. Ingatan tentang rumah masa lalu hanya penting jika ia bagian dari respons itu. Di situlah rumah adat dan rumah darurat punya titik temunya. Bukan dalam bentuk, tapi dalam kreativitas: kemampuan menemukan cara yang pas, di suatu masa, di suatu tempat, di sebuah kondisi berkelebihan dan berkekurangan. Maka kita akan dapat sesuatu yang berharga jika dari Desa Wae Rebo kita temukan sesuatu yang baru di dalam bentuk fisik yang tampak lama. Kita mengingat, tapi kita tak mengulangi. Sejarah tak bisa diulangi. Sejarah berubah. Antara lain melalui kreasi. ~Majalah Tempo Edisi Senin, 28 Juni 2010~

Pemimpin

Juni 21, 2010 … dia menebarkan ketakutan di benak para musuh kami, dia memberi kekuatan yang lebih hebat ketimbang 1.000 bek dan 10.000.000 kiper.”— Ri Myong-guk, penjaga gawang Korea Utara, menjelang pertandingan di Piala Dunia. Tuhan dan Kim Jong-il tak datang ke Afrika Selatan. Tapi tiap kesebelasan yang bertanding di Sokkerstad yang mirip belanga Afrika itu harus mengerahkan kekuatan apa saja, termasuk yang gaib, untuk menang. Bagi kiper Korea Utara, Ri Myong-guk, yang gaib adalah kepala negaranya, Kim Jong-il. ”Dia pemain terpenting kami,” katanya tentang tokoh sakit-sakitan yang malam itu mungkin sedang terbaring di Istana Presiden di Pyongyang, 12.447 kilometer jauhnya dari Johannesburg. Syahdan, pada malam dingin menggigit itu, Ri dan 10 kawannya berjuang. Ratusan juta penonton di seluruh dunia menyaksikan bagaimana tim Korea Utara bermain gigih, rapi, efektif. Tapi mereka melawan Brasil, juara dunia lima kali. Mereka kalah: 2-1—meskipun kalah dengan bangga, karena mereka telah menunjukkan permainan yang mengesankan. Dunga, manajer tim Brasil, mengakui, ”Sangat berat menghadapi lawan yang begitu gigih dan begitu defensif.” Kata Ri, yang memimpin lini belakang, ”Saat menjaga gawang rasanya seperti menjaga gerbang tanah airku.” Kalimat itu hiperbolik, memang. Kita tak tahu, tuluskah Ri atau tidak. Sepak bola di Piala Dunia punya daya yang ganjil. Ia bisa membuat orang (pemain atau penonton) merasa bagian dari sebuah puak besar yang berapi-api, dari rambut sampai kuku kaki, mendukung sebuah tim nasional. Ketika sebelum pertandingan Aegukka, lagu kebangsaan Korea Utara, dinyanyikan, (”Tekad yang teguh, dipertaut Kebenaran, akan maju tegap ke dunia.”), Jong Tae-se, pemain nomor 8, menangis. Antara tulus dan tak tulus, antara ekspresi yang berlebihan dan

tidak, tampaknya tak ada garis yang jelas di Korea Utara. Korea Utara bukan lagi sebuah bangsa; ia sebuah umat. Marxisme-Leninisme sudah bertransformasi jadi agama. Sebagaimana agama, ia membentuk struktur yang direkatkan oleh doktrin. Agama juga butuh batu-sangga yang menopang dan mempertautkan bagian-bagian ba-ngunan itu. Bagi agama pada umumnya, batu-sangga itu Tuhan; bagi ajaran juche sebagai ideologi Korea Utara, batu itu Kim Il-sung. Setelah Kim tua wafat dan putra-nya, Kim Jong-il, menggantikan peran itu. Maka sejak masa kanak, rakyat Korea dibentuk untuk memuja Kim. Sebuah studi yang dikutip The Christian Science Monitor menunjukkan besarnya dana untuk itu. Sementara pada 1990 biaya untuk pemujaan sang pemimpin meliputi 19 persen anggaran nasional, pada 2004 naik jadi 38,5 persen. Pada masa krisis, ketika alokasi buat pertahanan dan kesejahteraan rakyat diperkecil, dana untuk sekolah ideologi justru naik. Biaya itu meliputi perawatan 30.000 monumen Kim, festival olahraga, film, buku, billboard, mural, dan seterusnya. Belum lagi buat pendidikan sekolah. Di sini, indoktrinasi untuk memuja sang Ketua sangat intensif: antara 304 dan 567 jam pelajaran. Para murid SD harus mempelajari sejarah masa kecil Kim Il-sung 152 jam dan Kim Jong-il juga demikian. Di Universitas Kim Il-sung di Pyongyang ada enam fakultas yang khusus mengajarkan riwayat dan pemikiran kedua Kim Bapak dan Kim Putra. Dalam sejarah pemerintahan partai komunis, ini melebihi takaran. Tapi sesuatu yang sebelumnya hanya terdapat pada zaman Nazi Hitler dan Fasisme Mussolini ternyata bisa terjadi di kubu sosialis. Di Uni Soviet, muncul fenomena Stalin, yang memimpin Uni Soviet sejak 1922 sampai wafat pada 1953. Di Cina: Mao Zedong, yang jadi Ketua Partai sejak 1943 hingga 1976. Tentang Stalin, seorang penyair menulis, dengan hi-perbol lain: Wahai, Stalin yang agung

Tuan-lah yang menyuburkan tanah Tuan-lah yang memulihkan abad Tuan-lah yang mengembangkan bunga di Musim Semi Tentang Mao, seorang prajurit yang diangkat jadi manusia tauladan oleh Partai, Li Feng, menulis catatan ha-riannya yang terdiri atas 200.000 kata. Hampir semuanya penuh pujaan: ”Bagiku, karya Ketua Mao ibarat makanan, senjata, dan kemudi. Kita harus makan dan dalam berperang kita harus bersenjata. Tanpa kemudi, kita tak dapat mengen-darai mobil, dan tanpa mempelajari karya Mao Zedong orang tak dapat menempuh karier revolusioner.” Barangkali manusia selalu butuh pujaan—Tuhan, Nabi, atau Sang Pemimpin. Mungkin juga kultus itu merupakan respons dari suasana cemas akan terjadinya disintegrasi, yang pada 1960-an tampak juga di Indonesia, dengan Bung Karno sebagai Pemimpin Besar Revolusi. Tapi ada kombinasi yang ampuh yang menyebabkan kultus sang pemimpin berkembang: paduan antara kekuasaan politik dan kata-kata yang mendukungnya. Namun ada batas dan bahaya. Ketika untuk meneguhkan sebuah kekuasaan sederet kata jadi doktrin, dan doktrin jadi slogan, dan slogan jadi mantra, manusia hidup terasing dari proses bahasa. Ia hanya menghafal. Ia makin tak pasti dengan makna kata yang diucapkannya. Ia juga makin kurang yakin akan tafsir yang datang dari dirinya sendiri, karena makna ditentukan para penguasa. Pada gilirannya, para penguasa (elite Partai, misalnya) juga mengalami keterasingan, karena dalam keseragaman slogan, mereka tak tahu di mana kata-kata sendiri. Walhasil, akhirnya perlu satu Kata: apa yang disabdakan Sang Pemimpin. Dan lahirlah hiperbol: sindrom rasa cemas kepada makna, karena makna tak dikuasai lagi. Dengan kalimat yang berlebihan,

seseorang mencoba meyakinkan diri dan pendengarnya bahwa bahasa harus diberi tenaga ekstra, agar sedikit kembali berarti. Demikianlah Kim Jong-il muncul di kepala dan mulut Ri Myongguk. Ia Tuhan yang mencemaskan. Ia juga Tuhan yang menenangkan. ~Majalah Tempo Edisi Senin, 21 Juni 2010~

Juni Juni 14, 2010 Juni adalah bulan Bung Karno—kesempatan kita mengenang yang kecil dan yang besar dari tokoh ini. Ada satu kejadian dalam riwayat yang direkam Cindy Adams: ketika Bung Karno pertama kali menikah, ketika ia jadi mempelai bagi Utari. Utari adalah putri H.O.S. Tjokroaminoto, pemimpin Sarekat Islam, yang menampung Soekarno sewaktu anak kepala sekolah dari Blitar itu berumur 14 tahun dan datang ke Surabaya untuk masuk HBS, sekolah menengah Belanda. Hubungan antara Soekarno dan Tjokroaminoto makin lama makin erat. Pemuda ini praktis jadi kadernya dalam pergerakan. Ia tinggal di rumah keluarga itu sampai 1920, sampai ia lulus dari HBS dan melanjutkan ke Technische Hooge School di Bandung. Tapi, sebelum itu, Nyonya Tjokroaminoto wafat. Kesedihan merundung suaminya, yang ditinggal dengan beberapa anak yang masih remaja. Mereka dan anak-anak yang indekos, termasuk Soekarno, pun pindah ke rumah lain. Tapi Tjokroaminoto tak terlipur penuh. Untuk meringankan hati orang tua itu, Soekarno memutuskan untuk menikahi Utari—meskipun masih merupakan ”perkawinan gantung”, sebab Utari masih 16 tahun dan Soekarno sendiri baru 20. Yang menarik kisah Bung Karno tentang hari pernikahan itu. Sang mempelai—seorang yang suka berdandan—datang dengan

mengenakan jas, pantalon, dan dasi. Melihat itu, penghulu berkeberatan. ”Anak muda,” katanya, ”dasi adalah pakaian orang yang beragama Kristen… tidak sesuai dengan kebiasaan kita dalam agama Islam.” Soekarno membela diri. Cara berpakaian kini ”sudah diperbaharui”. Sang penghulu membentak, pembaharuan itu hanya terbatas pada pantalon dan jas buka, katanya. Menghadapi suara keras itu, Soekarno membalas. Ia tak sudi. Tuturnya: biar ”Nabi sendiri sekalipun tak kan sanggup menyuruhku untuk menanggalkan dasi”. Maka ia bangkit dari kursi dan mengancam membatalkan akad nikah, jika ia harus mencopot dasi. Ketika penghulu tak mau mundur, mempelai yang kelak jadi tokoh utama pergerakan politik untuk kemerdekaan itu berkata: ”Persetan, tuan-tuan semua. Saya pemberontak dan saya akan selalu memberontak. Saya tak mau didikte orang di hari perkawinan saya.” Suasana tegang. Tapi akhirnya akad nikah dilakukan bukan oleh si penghulu, melainkan oleh seorang alim yang ada di antara tamu…. Insiden ini bukan hanya menunjukkan watak Bung Karno, melainkan juga problem Indonesia zaman itu: bagaimana membebaskan diri dari penjajahan dan sekaligus dari apa yang disebut Bung Karno ”pendirian yang kolot”. Orang ada yang melawan para penjajah Eropa dengan ambil posisi kembali ke akar yang tertanam di masa lalu. Tapi pemuda Soekarno tak begitu. Juga Hatta, Tan Malaka, dan sebelumnya Tjipto Mangunkusumo dan Soewardi Soerjaningrat. Pergerakan menentang kolonialisme Belanda telah melahirkan sebuah nasionalisme yang lain: melihat ke depan. Nasionalisme itu berkait dengan agenda modernitas. Bung Karno, dengan prosanya yang penuh api, pernah

mencemooh para ”oude-cultuur maniak” yang ”pikiran dan anganangannya hanya merindui candi-candi, Negarakertagama, Empu Tantular dan Panuluh, dan lain-lain barang kuno”. Tan Malaka menegaskan bahwa pendapatnya yang dirumuskan sebagai ”Madilog” (Materialisme, Dialektika, Logika) berlawanan dengan segala yang berhubungan dengan mistik dan kegaiban. Tan Malaka, seorang Marxis yang bertahun-tahun mengembara di Eropa, menyebut semua yang ditentangnya itu ”ketimuran”. Bagi Hatta, sebagaimana dikatakannya pada 1924 di Belanda, Indonesia yang muda harus memutuskan semua hubungan dengan masa lampau ”untuk membangun kehidupan nasional baru yang sesuai dengan tuntutan peradaban modern”. Sebuah konfrontasi tak bisa dielakkan. Nasionalisme itu tak hanya memutuskan kaitan dengan masa silam yang setengah feodal, yang sering disebut ”kebudayaan daerah” atau segala yang dikibarkan sebagai bendera identitas lokal. Nasionalisme itu juga ingin melepaskan diri dari adat yang mengikat kebebasan, lembaga lama yang menindas perempuan, keyakinan yang tak membuat orang mencari informasi baru. Bagi nasionalisme ini, kolonialisme harus dihadapi dengan cara yang jadi sumber kekuatan ”Barat”. Para perintis kemerdekaan Indonesia melihat Jepang sebagai tauladan dan Turki baru sebagai inspirasi. Dalam sebuah tulisan panjang tentang Turki pada 1940, Bung Karno mengutip sebagai pembuka: ”Kita datang dari Timur. Kita berjalan menuju Barat.” Syahdan, pada 1939 ada sebuah berita tentang Bung Karno: ia meninggalkan sebuah rapat Muhammadiyah sebagai protes. Bung Karno tak setuju karena ada tabir yang dipasang di sana untuk membatasi tempat perempuan dengan tempat laki-laki. Maka koresponden Antara pun mewawancarainya. Bung Karno menegaskan: tabir tampaknya ”soal kecil, soal kain yang remeh”. Tapi sebenarnya ”soal mahabesar dan mahapenting”, sebab menyangkut posisi sosial perempuan. ”Saya ulangi: tabir adalah

simbol dari perbudakan kaum perempuan!” Bagi Bung Karno, tabir adalah aturan agama yang lahir dalam sejarah sosial. Seperti halnya kolonialisme, ”perbudakan” seperti itu bukan hasil dari sabda yang kekal. Ia akan berubah. Ia bisa diubah. Itu sebabnya nasionalisme Indonesia mengandung optimisme. Hatta, misalnya, percaya kepada dialektika sejarah yang berakar pada Marxisme: tiap keadaan ”menimbulkan syarat yang mesti mengubah keadaan itu sendiri”. Tentu, optimisme semacam ini tak selamanya terbukti benar. Tapi sejak awal abad ke-20 zaman terasa bergerak. Entah ke mana, tapi banyak hal yang tak tumbuh jadi membatu, jadi benda antik atau ditinggalkan. ~Majalah Tempo Edisi Senin, 14 Juni 2010~

Untuk Rachel Corrie Juni 7, 2010 Salah satu dari flotilla enam kapal yang mencoba menembus blokade Israel di Gaza itu, dan diserang marinir Israel hingga sekitar sembilan korban tewas, diberi nama ”Rachel Corrie”. Tulisan ini dimuat kembali untuk mengenang pengorbanan mereka, orang-orang asing, dari pelbagai agama dan tanah air, yang mati untuk rakyat Palestina. lll Rachel Corrie yang ada di surga, selalu kembalilah namamu. Semoga selalu kembali ingatan kepada seseorang yang bersedia mati untuk orang lain dalam umur 23 tahun, seseorang yang memang kemudian terbunuh, seakan-akan siap diabaikan di satu Ahad yang telah terbiasa dengan kematian. Hari itu 16 Maret yang tak tercatat. Hari selalu tak tercatat dalam kehidupan orang Palestina, orang-orang yang tahu benar, dengan ujung saraf di tungkai kaki mereka, apa artinya

”sementara”. Juga di Kota Rafah itu, di dekat perbatasan Mesir, tempat hidup 140 ribu penghuni—yang 60 persennya pengungsi—juga pengungsi yang terusir berulang kali dari tempat ke tempat. Pekan itu tentara Israel datang, seperti pekan lalu, ketika 150 laki-laki dikumpulkan dan dikurung di sebuah tempat di luar permukiman. Tembakan dilepaskan di atas kepala mereka, sementara tank dan buldoser menghancurkan 25 rumah kaca yang telah mereka olah bertahun-tahun dan jadi sumber penghidupan 300 orang—orangorang yang sejak dulu tak punya banyak pilihan. Tentara itu mencari ”teroris”, katanya, dan orang-orang kampung itu mencoba melawan, mungkin untuk melindungi satudua gerilyawan, mungkin untuk mempertahankan rumah dan tanah dari mana mereka mustahil pergi, karena tak ada lagi tempat untuk pergi. Saya bayangkan kini Rachel Corrie di surga, sebab hari itu ia, seorang perempuan muda dari sebuah kota yang tenang di timur laut Amerika Serikat, memilih nasibnya di antara orang-orang di Rafah itu: mereka yang terancam, tergusur, tergusur lagi, dan tenggelam. Hari itu ia melihat sebuah buldoser tentara Israel menderu. Sebuah rumah keluarga Palestina hendak dihancurkan. Dengan serta-merta ia pun berlutut di lumpur. Ia mencoba menghalangi. Tapi jaket jingga terang yang ia kenakan hari itu tak menyebabkan serdadu di mobil perusak itu memperhatikannya. Prajurit di belakang setir itu juga tak mengacuhkan orang-orang yang berteriak-teriak lewat megafon, mencoba menyetopnya. Buldoser itu terus. Tubuh itu dilindas. Tengkorak itu retak. Saya bayangkan Rachel Corrie di surga setelah itu; ia meninggal di Rumah Sakit Najar. lll Rachel yang di surga, selalu kembalilah namamu. Korban dan kematian di hari ini menjadikan kita sebaya rasanya. Kau terbunuh

di sebuah masa ketika tragedi dibentuk oleh berita pagi, dan makna kematian disusun oleh liputan yang datang dan pergi dengan sebuah kekuasaan yang bernama CNN. Tahukah kau, di seantero Amerika Serikat, tanah airmu, tak terdengar gemuruh suara protes yang mengikuti jenazahmu? Tentu kita maklum, bukan singkat ingatan semata-mata yang menyebabkan sikap acuh tak acuh setelah kematianmu di hari itu. Bayangkanlah betapa akan sengitnya amarah orang dari Seattle sampai dengan Miami, dari Gurun Mojave sampai dengan Bukit Capitol, seandainya kau, seorang warga negara Amerika, tewas di tangan seorang Palestina yang melempar batu. Tapi kau tewas di bawah buldoser tentara Israel; kau berada di pihak yang keliru, anakku. Itulah memang yang diutarakan beberapa orang di negerimu ketika mereka menulis surat ke The New York Times. Mereka menyalahkanmu. Sebab kau datang, bersama tujuh orang Inggris dan Amerika lain, untuk menjadikan tubuhmu sebuah perisai bagi keluarga-keluarga Palestina yang menghadapi kekuatan besar pasukan Israel di kampung halaman mereka. Kau melindungi teroris, kata mereka. Meskipun sebenarnya kau datang dari Olympia, di dekat Teluk Selatan Negara Bagian Washington, bergabung dengan International Solidarity Movement, untuk mengatakan: ”Ini harus berhenti.” Kau salah, Rachel, kata mereka. Tapi kenapa? Dalam sepucuk e-mail bertanggal 27 Februari 2003 yang kemudian diterbitkan di surat kabar The Guardian, kau menulis, ”Kusaksikan pembantaian yang tak kunjung putus dan pelan-pelan menghancurkan ini, dan aku benar-benar takut…. Kini kupertanyakan keyakinanku sendiri yang mendasar kepada kebaikan kodrat manusia. Ini harus berhenti.” Saya bayangkan Rachel di surga, saya bayangkan ia agak sedih. Ia dalam umur yang sebenarnya masih pingin pergi dansa, punya pacar, dan menggambar komik lagi untuk teman-teman

sekerjanya. Tapi di sini, di Rafah, ada yang ingin ia stop; bersalahkah dia? Beberapa kalimat dalam surat kepada ibunya menggambarkan perasaannya yang intens: ”Ngeri dan tak percaya, itulah yang kurasakan. Kecewa.” Ia kecewa melihat ”realitas yang tak bermutu dari dunia kita”. Ia kecewa bahwa dirinya ikut serta di kancah realitas itu. ”Sama sekali bukan ini yang aku minta ketika aku datang ke dunia ini,” tulisnya. ”Bukan ini dunia yang Mama dan Papa inginkan buat diriku ketika kalian memutuskan untuk melahirkanku.” Apa yang mereka inginkan, Rachel, dan apa yang kau minta? Berangsur-angsur kau pun tahu: kau tak menghendaki sebuah rumah yang begitu nyaman, begitu ”Amerika”, hingga si penghuni tak menyadari sama sekali bahwa ia sebenarnya berpartisipasi secara tak langsung dalam sesuatu yang keji, yakni ”dalam pembantaian”. lll Itulah sebabnya kau berangkat ke Palestina. ”Datang ke sini adalah salah satu hal yang lebih baik yang pernah kulakukan,” begitu kau tulis pada 27 Februari 2003. ”Maka jika aku terdengar seperti gila, atau bila militer Israel meninggalkan kecenderungan rasialisnya untuk tak melukai orang kulit putih, tolong, cantumkanlah alasan itu tepat pada kenyataan bahwa aku berada di tengah pembantaian yang juga aku dukung secara tak langsung, dan yang pemerintahku sangat ikut bertanggung jawab.” Ia menuduh dirinya sendiri ikut bersalah. Tapi ia meletakkan kesalahan yang lebih besar pada pemerintahnya. Rasanya ia betul. Saya kira ia bahkan bisa juga menggugat jutaan orang Amerika lain yang senantiasa membenarkan apa yang dilakukan Ariel Sharon—hingga dalam keadaan perang dengan Irak sekalipun, dari Washington, DC, datang tawaran satu triliun dolar untuk bantuan militer langsung kepada Israel, di celah-celah berita tentang orang Palestina yang ditembak dan dihalau, di

antara kabar tentang anak-anak Palestina yang tewas. Bukan main—cuma beberapa hari setelah seorang Amerika tewas ditabrak buldoser di Kota Rafah! Jika ada kepedihan hati di sana, kau pasti mengetahuinya lebih intim, Rachel. Dari lumpur Kota Rafah itu kau pasti mengerti apa yang jarang dimengerti orang Amerika: kekerasan bisa muncul di puing-puing itu, sebagai bagian dari usaha untuk, seperti kau katakan dalam suratmu, ”melindungi fragmen apa pun yang tersisa”. Kau akan bisa menunjukkan bahwa Usamah bin Ladin dan Saddam Hussein, dengan wajah mereka yang setengah gelap, menjadi penting karena mereka bisa bertaut dengan gaung Palestina di mana segalanya telah direnggutkan. Sampai hari ini, yang terdengar sebenarnya adalah sebuah gema dari geram bertahun-tahun yang terkadang kacau, terkadang keras, dan senantiasa kalah. Senantiasa kalah—di Yerusalem, di Kabul, di Bagdad. Tapi adakah kalah segala-galanya? Tidak, kau pasti akan bilang, semoga tidak. Dalam suratmu bertanggal 28 Februari, kau ceritakan kepada ibumu sesuatu yang menyebabkan engkau merasa lebih mantap sedikit, di antara perasaan pahitmu menyaksikan hidup yang dibangun oleh ketidakadilan. Tak semuanya ternyata hanya ngeri, tak percaya, dan kecewa. Di celah-celah luka yang merundung penghuni Palestina yang kau kenal di Rafah, kau menemukan sesuatu yang tidak pernah kau lihat dalam hidupmu sebelumnya: ”…satu derajat kekuatan dan kemampuan dasar manusia untuk tetap menjadi manusia”. Dan kau punya sepatah kata untuk itu: dignity. Tapi apa kiranya yang bisa didapat dari dignity, dari harga diri, yang menyebabkan manusia tak melata di atas debu sebelum menggadaikan segala-galanya? Tak banyak, juga sangat banyak. Yang lemah akan tetap roboh. Tapi di depan tubuh yang tergeletak di lumpur, tubuh yang terjerembap dan menuding

ketidakadilan, kemenangan sang superkuat sekalipun akan terhenti: ia hanya ibarat sebuah buldoser yang sekadar menghancurkan. Genggaman itu kosong. Penaklukan itu ilusi. Ya, Rachel yang ada di surga, semoga namamu selalu akan kembali. Kini memang saya bimbang. Tapi masih ingin saya percaya bahwa tak mustahil akan ada sebuah ruang di mana yang lemah tak terusir, dan yang lain bisa sewaktu-waktu berteriak ”Stop kau!”—dan sebab itu merdeka. ~Majalah Tempo Edisi Senin, 07 Juni 2010~ – Kolom ini pernah dimuat di Tempo edisi 30 Maret 2003.

Waiçak Mei 31, 2010 Bayi yang kemudian jadi Buddha itu lahir ketika sang ibu memegangi sebatang dahan pohon Sal di Kebun Lumbini. Adakah ini lambang pertautan antara bayi yang suci itu dengan kehidupan yang bersambung ke ranting dan daun—dari mana oksigen menyebar dan di mana burung pengembara menemukan tempat jeda? Saya tak tahu. Orang besar yang lahir lebih dari 2.500 tahun yang lalu akan selalu tumbuh dengan legenda, dan tiap legenda punya pertanyaan yang tak pernah putus. Tapi beberapa ”data” dari kehidupan Buddha agaknya bisa jadi bahan percakapan—setidaknya antara saya, yang bukan Buddhis, dan para pembaca, yang mungkin di antaranya Buddhis. Sang Buddha, seperti kita tahu, lahir sebagai Pangeran Siddharta. Ayahnya, Suddhodhana, adalah Raja Kapilavastu, wilayah di kaki Himalaya. Keluarga ini bagian dari klan Gautama, yang termasuk wangsa Shakya. Dari kitab Jataka kita dapat sedikit cerita tentang kehidupan para aristokrat itu. Siddharta hidup di tiga istana, terlindung dari dunia luar yang

tak secantik dan setenteram Keraton Kapilavastu. Ada 40.000 penari untuk menghiburnya. Ketika ia dewasa, 5.000 wanita dikirim ke hadapannya untuk dipilih. Dan Siddharta pun menikah. Ia jadi ayah yang hidup mewah dan nyaman. Tapi kemudian ada kisah yang termasyhur itu: dalam sebuah perjalanan di luar istana, sang pangeran melihat dunia yang selama ini tertutup dari dirinya: seorang tua, seorang yang sakit, dan seorang yang mati. Siddharta terkejut, ia tersadar: ternyata manusia, juga dirinya, akan jadi tua, bisa sakit, dan akan meninggal. ”Semua ke riangan masa mudaku tiba-tiba raib,” tutur sang pa ngeran kemudian. Sejak itu ia pun mencari jawab tentang kodrat ”usia tua, sakit, kesedihan, dan ketakmurnian”—keadaan yang tak akan bisa dielakkan siapa pun yang lahir di dunia. Ia pun merasa perlu ”menemukan yang tak dilahirkan”. Dan itu adalah ”puncak kedamaian Nirwana”. Cerita itu begitu terkenal hingga kita lupa untuk bertanya: pada saat itu, di manakah agama yang bisa menjawab kegelisahan Siddharta? Mungkin tak ada. Di bawah Pegunungan Himalaya, sekitar 400 tahun Sebelum Masehi, tampaknya orang tak mendengarkan kitab suci lagi. Upanishad digugat, para pendeta dicemooh. Dalam salah satu jilid The Story of Civilization, Will Durant mengutip Chandogya Upanishad, yang menyamakan para Brahmana ortodoks dengan barisan anjing: masing-masing memegang ekor anjing sebelumnya. Swasanved Upanishad bahkan menyatakan tak ada tuhan (dewa), tak ada surga, neraka, dan reinkarnasi. Kitab-kitab Veda dianggap cuma karangan orangorang geblek yang congkak; khalayak ramai patuh karena dibuai kata yang berbunga-bunga untuk menopang dewa, kuil, dan orang ”suci”. Saat itu, para penghujat dewa dan pendeta beredar di manamana: para Nastik, kaum nihilis, para Sangaya. Satu kelompok besar Paribhajaka (”Pengembara”) berjalan dari kota ke kota,

dusun ke dusun, mencari murid atau lawan filsafat. Mereka mengajarkan logika sebagai kiat membuktikan pendapat, atau menunjukkan bahwa Tuhan tak pernah ada. Di samping mereka, ada kaum Charvaka, atau kaum ”materialis”, yang menertawakan kepercayaan bahwa Veda itu ilham para dewa. Bagi me reka, yang bisa diyakini ada hanya yang dapat diketahui lewat pancaindra. Materi adalah satu-satunya. Realitas. Tak ada keabadian. Tak ada kelahiran kembali. Tujuan hidup adalah hidup itu sendiri. Agama hanya pengisi rasa kekosongan. Mereka inilah yang pelan-pelan menguras sudut-sudut India dari pengaruh kitab-kitab suci. Sekaligus melumpuhkan pengaruh kasta Brahmana di masyarakat. Dari sini pula tumbuh keyakinan baru, dimulai oleh kasta lain, para kesatria, yang tak bersandar pada struktur kependetaan dengan teologi yang berpusat pada adanya Yang Maha Pencipta. Bagi keyakinan baru ini, ada atau tak adanya Tuhan bukan persoalan penting. Ketika Siddharta berangkat dewasa, suasana pasca-Veda itulah yang berkembang. Tak mengherankan bila ia tak mengandalkan kitab apa pun untuk menjawab ke gundahannya. Dan tak mengherankan pula bahwa ketika ia mendapat ”pencerahan” dan jadi Buddha, ajarannya bergema cepat. Para pengikut datang mungkin juga karena Sang Buddha bisa menunjukkan jalan bagi sebuah masyarakat di mana samsara bukan saja sebuah konsep filsafat. Ke sadaran tentang itu bertolak dari hidup sehari-hari. Di India, apalagi pada masa itu, lahir, sakit, tua, dan mati bukanlah peristiwa asing di jalan-jalan. Tapi itu bukanlah akhir cerita. Buddhisme bukan seluruhnya sebuah negasi agung. Sang Guru mengumandang kan sesuatu yang mampu melampaui tema kesedihan pasca-kelahiran itu: dalam ajarannya tak ada patah-arang yang radikal terhadap hidup. Buddha tak menganjurkan sikap asketis yang ekstrem; ia menolak bunuh diri sebagai pilihan. Dalam arti tertentu, ia masih melihat hidup mengan dung

harapan—justru ketika manusia bebas dari pengharapan. Saya bukan seorang Buddhis. Bagi saya harapan yang tanpa pengharapan itu terletak dalam kemungkinan kita menerima dunia dan segala isinya—yang menderita—sebagai apa yang dalam bahasa Jawa disebut bebrayan, ”pertalian kebersamaan”. Ketika kita menghayati hidup sebagai keadaan yang bisa sakit, tua, dan mati, kita pun akan lebih peka terhadap rapuh dan rentannya siapa saja yang ada dalam keadaan itu. Semacam perasaan senasib tumbuh. Dengan kata lain, nasib bukanlah ”kesunyian masing-masing” seperti dikatakan Chairil Anwar. Hidup meletakkan masing-masing sebagai bagian dari sebuah keseluruhan—seperti akar, kulit, dahan, ranting, dan daun pohon Sal. Bahkan pohon itu juga bagian dari perjalanan burung-burung dan peserta dalam lingkungan ke mana selalu ia embuskan oksigen pada hari terik. Untuk siapa saja. Harapan, dengan kata lain, ialah karena kita tak bersendiri. ~Majalah Tempo Edisi Senin, 31 Mei 2010~

Proletariat Mei 3, 2010

— Hari Buruh, 2010 PADA suatu hari di tahun 2010, seorang perempuan dari Utara membayar lebih dari satu juta dolar untuk membeli beberapa ekor anjing. Dan kita tercengang: Cina bukan lagi Mao. Saya tak tahu masih adakah orang di sana yang ingat Mao Zedong yang pernah berbicara berapi-api tentang ”proletariat”, ”proletariat gelandangan”, dan ”semi-proletariat”, kelompok miskin yang akan membebaskan Cina dari ”keadaan setengah feodal dan setengah kolonial”. Tampaknya kini yang membebaskan—atau yang

menjerat?—adalah uang dan hasrat, dan dengan itu banyak batas diterobos. Perempuan dari Utara itu, seperti ditulis China Daily, pada hari itu mengirimkan 30 mobil Mercedes-Benz ke bandara untuk menjemput hewan yang dipesannya. Ia pasti salah seorang dari 835.000 orang miliarwan yang ada di Republik Rakyat yang berpenduduk sekitar 1.330.000.000 ini. Ia pasti bagian dari 0,06 persen warga yang hidup berkelimpahan dan tak merasa berdosa atau rikuh di negeri yang setengah abad yang lalu diguncang ”Revolusi Kebudayaan Proletar” itu. Setengah abad yang lalu itu para pengikut Mao yang militan bahkan siap membunuh seekor babi yang dimiliki tetangga dengan granat; babi itu tanda kelas ”borjuis”. Pada awal abad ke-21 sekarang orang berduit membayar dengan harga mahal anjing jenis Mastiff Tibet. Walhasil, kita tak pernah paham benar bahwa Cina masih menganggap diri ”komunis” tapi hidup dengan ketimpangan sosial yang demikian tajam. Tentu harus dicatat, indeks Gini, yang menunjukkan ketimpangan itu, di Cina sudah mulai menurun. Kini angkanya sekitar 40,8. Tetapi dibandingkan dengan itu, Indonesia sedikit lebih baik: 39,4. Tak meratanya pembagian kekayaan di Cina bahkan kurang-lebih sama dengan keadaan di negeri kapitalis yang paling timpang, yakni Amerika Serikat, dan jauh lebih buruk ketimbang Inggris, yang mencatat koefisien Gini 36. Agaknya bayang-bayang Marx tak pernah berkelibat lagi di Mausoleum Mao di Beijing. Marx menganggap milik privat (anjing Mastiff, mobil Mercedes-Benz, babi kurus, atau sepetak tanah) sebagai sumber keterasingan manusia dari proses kerja. Ia pernah mengumandangkan bahwa justru kaum buruh—yang tak punya apa-apa, kecuali ”rantai yang membelenggunya”—yang akan jadi pelopor penggerak ke masa depan yang bebas dari keterasingan. Tapi di Cina kini Marxisme telah jadi benda museum prasejarah. Dan kita tak tahu lagi di mana pula mereka, proletariat.

Sejak mula sebenarnya ”proletariat” memang sebuah kelas sosial yang ganjil di Cina. Dalam sebuah tulisan pada 1926, ”Analisis Kelas dalam Masyarakat Cina”, Mao mengakui, proletariat hanya berjumlah dua juta. Buruh industri itu terutama bekerja di kereta api, pertambangan, pengangkutan laut, tekstil, dan pembuatan kapal, ”dan sejumlah yang sangat besar di antaranya diperbudak dalam perusahaan modal asing”. Tapi, sebagaimana layaknya seorang Marxis sejati, Mao percaya, kelas buruh ini ”yang paling progresif” pantas jadi ”kekuatan memimpin dalam gerakan revolusioner”. Sebab, berbeda dengan kalangan lain, buruh industri tinggal dan bekerja memusat, di sekitar lokasi yang sama. Lebih penting lagi, tulis Mao, ”mereka telah kehilangan alat produksinya, tinggal punya dua tangan saja…”. Tapi persoalan yang timbul segera setelah itu: bagaimana kelas buruh, dalam posisi bukan mayoritas, dapat menggunakan cara pandang mereka yang menurut Marxisme bersifat istimewa, untuk jadi standar masyarakat umumnya? Kita tahu, Mao—setelah Lenin—menganggap penting bukan hanya buruh, tapi juga peran petani untuk menggerakkan Revolusi. Mao tak akan mengatakan orang-orang pedalaman itu bagian dari apa yang disebut Marx sebagai ”kedunguan dusun”. Tapi para petani, juga yang paling tak berpunya, selalu ingin punya tanah. Mereka bagaimanapun tak ingin merayakan heroisme kaum yang tak punya apa-apa. Hasrat itu, ”borjuis” sifatnya, pada akhirnya memang tak teredam. Kita tak bisa mengatakan bahwa kodrat manusia adalah ingin empunya dan makin rakus, tapi Marx punya kesalahan ketika ia menganggap milik pribadi dengan sendirinya penyebab alienasi manusia, ketika manusia mengutamakan apa yang jadi miliknya dan tak lagi jadi tuan dari benda dan kerja. Dalam perkembangan politik Cina, alienasi justru berlangsung ketika manusia merunduk di hadapan buah tangannya sendiri yang

lain—kali ini bukan milik diri sendiri, melainkan justru sesuatu yang hampir sepenuhnya sosial: tata simbolik—kata, slogan, dan doktrin. Juga organisasi, baik dalam bentuk kontrol kehidupan sehari-hari dari unit tetangga maupun, lebih agung lagi, Partai Komunis. Di Cina, kediktatoran proletariat berbeda dari yang dibayangkan Marx. Ketika ia menyusun teori sejarahnya, Marx memperhitungkan bahwa pada suatu tahap perkembangan kapitalisme, proletariat akan jadi golongan yang melimpah. Borjuis kecil akan dicaplok borjuis besar dan, seperti kaum buruh, akhirnya tak punya apa-apa lagi. Yang papa jadi mayoritas. Tapi, dengan jumlah kaum buruh industri yang begitu kecil di tengah kaum yang lain, yang terjadi adalah kediktatoran yang cemas. Ia harus defensif dan ofensif sekaligus. Ia harus meyakinkan. Ia harus ketat, dalam manajemen tubuh dan pikiran orang ramai. Akhirnya ia jebol juga. Partai boleh tetap berkuasa, tetapi etos proletariatnya telah dihapus. Pembebasan ternyata bukan datang dari mereka yang tak punya apa-apa, tapi dari punya dan keinginan untuk punya. Bersama itu, segala yang ganjil dan gila-gilaan pun bisa terjadi, juga sebuah alienasi lain: 30 mobil Mercedes-Benz untuk menjemput anjing…. Mungkin sesekali kita perlu bertanya, bagaimana dengan milik dan bukan-milik manusia bisa bebas. ~Majalah Tempo Edisi Senin, 03 Mei 2010~

Buku April 26, 2010 Buku bisa bertaut dengan trauma, setidaknya dalam pengalaman saya. Ketika saya berumur hampir enam, tentara pendudukan

Belanda menangkap ayah dan menggeledah seisi rumah. Di hari itu, setelah bapak diikat tangannya dan dinaikkan ke atas truk, kami sekeluarga duduk ketakutan. Satu kejadian masih saya ingat: dua orang serdadu mengangkut sejumlah buku dari kamar kerja ayah dan melemparkan jilid-jilid itu ke dalam sumur. Saya tak tahu buku apa yang dibuang, dan kenapa. Yang penting bagi saya hanya ini: seorang serdadu mematahkan bedil kayu mainan saya dan membuangnya juga ke dalam sumur. Buku dan senapan mainan: tanda permusuhan? Beberapa puluh tahun kemudian seorang kakak saya yang dekat dengan ayah (saya agak jauh dari beliau) ingat bahwa di perpustakaan bapak ada buku dengan sampul bergambar Karl Marx. Mungkin kitab macam itu yang harus ditiadakan. Juga senjata, serius ataupun tidak. Sebab ada beberapa buku yang tak disentuh. Di antaranya sebuah kamus Wesbter terbitan 1939 bersampul hitam (di halaman pertama ada tandatangan bapak dengan pena celup) dan sebuah buku sejarah Inggris. Dari kamus tebal itu saya temukan sebuah ilustrasi: empat orang mengangkat sebuah kotak. Karena saya tak mengerti apa fungsi sebuah kamus, saya duga di sana digambarkan orang yang harus mengangkat mayat. Kelak saya tahu, gambar itu hendak memperjelas arti kata palanquin. Buku yang satu lagi bersampul hijau daun. Di dalamnya banyak gambar berwarna. Saya tak pernah lupa dua di antaranya. Pertama, ilustrasi yang teliti mirip foto, yang menggambarkan seorang lelaki tertidur dengan pakaian lengkap, sementara dua lelaki bermantel merah berdiri menatap wajahnya yang pulas. Waktu itu saya menafsirkannya sebagai gambar seorang lelap yang dikunjungi dua hantu. Setelah saya bisa membaca bahasa Inggris, saya tahu, itu adalah adegan dari sejarah Inggris abad ke17: Raja Charles I semalam sebelum dibawa ke Menara London untuk dipenggal. Salah satu “hantu” dalam gambar itu mungkin

kepala penjara. Gambar kedua: seorang lelaki tergeletak di sebuah medan yang sunyi. Seorang perempuan duduk di sampingnya; tangannya yang satu menahan darah ke luar dari luka lelaki yang telentang itu, tangannya yang lain mengepalkan tinju kemarahan. Bercak darah merah tampak. Kemudian saya tahu, itu adalah lukisan pembantaian orang Skot oleh pasukan Inggris di wilayah Glen Coe pada 13 Februari 1692. Wanita itu meneriakkan dendam. Pembantaian, amarah, orang yang didatangi hantu, empat pengusung mayat, buku-buku yang dibuang ke sumur sementara ayah diikat…Saya tak tahu sedalam apa trauma itu membekas. Mungkin ia memperoleh ekspresi lain: rasa gairah saya kepada buku dengan sampul tebal. Saya dan kakak juga menemukan buku-buku bersampul kukuh karya Karl May tentang Winnetou. Kami tak tahu milik siapa, sebab ayah agaknya lebih suka Karl Marx ketimbang Karl May. Di dalamnya ada ilustrasi tokoh Apache itu di tengah rimba yang magis danidyllic. Tergerak oleh bentuk buku yang mengesankan tapi tak bisa kami nikmati isinya itulah kami mulai memesan Winnetou Gugur dan Suku Mohawk Tumpas (yang terakhir ini terjemahan atas karya James Fennimore Cooper The Last of the Mohicans ) dari Noordoff Kolff di Jakarta, cabang dari penerbit yang berkantor di Groningen, Belanda. Hari datangnya buku pesanan lewat pos selalu hari yang ditunggu dengan tegang: kami hampir selalu berebut siapa yang akan membaca lebih dulu. Seperti halnya pada anak lain, pada saya buku adalah pesawat ajaib: tinggal di kota kecil tanpa gedung bioskop, hanya dengan buku saya memasuki dunia lain yang sebenarnya tak pernah tertembus. Tiap kali, dunia itu berubah, berbeda, berkembang, namun selalu terasa akrab.

Saya tak pernah bisa sepenuhnya membayangkan sosok Winnetou, tapi saya menangis ketika menjelang pertempuran terakhir, ia tahu ia akan “pergi ke padang perburuan yang kekal”. Saya menangis untuk Si Jamin dan Si Johan yang teraniaya di sebuah sudut Batavia yang jauh. Saya sedih untuk Si Dul yang hidup di Jakarta yang belum pernah saya lihat, ketika ayahnya, seorang sopir, mati kecelakaan dan ketika ia dicerca habis-habisan oleh engkongnya karena di hari Lebaran ia berpakaian pandu, dengan topi dan sepatu, bukan sarung dan songkok. Air mata saya keluar untuk Sampek dan Engtai yang mati dalam cerita yang saya ikut dengarkan waktu beberapa buruh pabrik rokok di rumah sebelah membacanya dalam bahasa Jawa bergiliran dari sebuah buku tulis. Setelah saya dewasa, saya bisa mengaitkan trauma masa lalu itu dengan pengalaman selanjutnya dengan buku. Saya bisa menyimpulkan: buku mati karena ia dihentikan di perjalanan ke dalam hidup kita, seperti ketika ia hilang dilemparkan ke dalam sumur. Tapi cerita tak berakhir. Sejak 1958, Presiden Sukarno mengubah Indonesia jadi “demokrasi terpimpin” dan “ekonomi terpimpin”. Atas nama “Revolusi” (kata yang memukau itu), Negara mengambil alih dunia penerbitan. Apalagi yang terkait dengan modal asing. Oktober 1962 penerbit seperti Noordoff Kolff dihentikan; ia digantikan perusahaan negara yang disebut “Noor Komala”. Yang memimpin seorang birokrat. Balai Pustaka, yang bisa bersaing dengan bagus menghadapi penerbit milik asing, sejak itu dikendalikan seorang jenderal. Ketika kertas, percetakan, transportasi dan hampir seluruh kehidupan ekonomi jadi “terpimpin”, banyak hal macet. Usaha penerbitan dalam negeri yang terkemuka, seperti Djambatan, yang menerbitkan sebuah atlas yang monumental, terjerembab dan tak pernah bisa pulih lagi sejak itu. Arus buku berantakan. Tak ada lagi buku yang sampulnya terasa hangat dan bau kertasnya berwibawa tapi ramah. Jenisnya kian kehilangan ragam. “Demokrasi Terpimpin” juga memulai

sejarah kekuasaan yang dengan sekali gebrak melarang sederet buku – sejarah yang berlanjut hingga kini. Waktu itu, satu-satunya penghibur adalah karya berjilid tebal terbitan Uni Soviet yang dijual murah di toko buku milik PKI. Masih ada Dostoyewski, Turgenev dan Tolstoy – dalam terjemahan Inggris dan diterbitkan oleh Moscow Foreign Publishing House — tapi tak lengkap. Tak saya dapatkan The Brothers Karamasov atau Fathers and Sons. Moskow punya sensornya sendiri. Saya teringat pagi di tahun 1947 itu: dua tentara pendudukan membuang sejumlah jilid ke sumur. Tapi saya juga tak bisa melupakan para buruh rokok yang membaca cerita bergiliran dari sebuah buku tulis. Buku mati, tapi tak bisa mati semuanya. Ia punya trauma dan nostalgianya sendiri. Ia punya cerita yang selalu muncul kembali. ~Majalah Tempo Edisi Senin, 26 April 2010~

Diri April 19, 2010 Di hari ketika Aimee Dawis meluncurkan buku Orang Indonesia Tionghoa-Mencari Identitas pekan lalu di Jakarta, saya berada di Singapura. Tuan rumah saya, seorang pebisnis, berbicara tak henti-henti. Saya diam dengan sopan. Akhirnya pada menit ke-40 ia minta pendapat saya. Dengan catatan: ”Anda ini orang Jawa, tentu Anda akan mengatakannya tak terus terang….” Saya ketawa masam. Jawab saya: ”Saya tak tahu apa kah saya orang Jawa, atau bukan orang Jawa.” Dia bingung. Tapi saya mengerti kenapa dia bingung. Berada di Singapura (atau Malaysia) saya sering sekali menemui percakapan macam itu: orang akan secara tersirat atau tersurat menyebut seseorang dan mengaitkannya dengan ”bangsa Cina” atau ”bangsa Melayu” atau ”bang sa” apa saja dengan suatu sifat yang mereka

anggap khas pada ”bangsa” itu. Berada di dua negeri ini, di mana ethnisitas menguasai kebijakan politik dan kehidupan sehari-hari, tendensi itu tampak sudah jadi bagian bahasa yang otomatis. Tak mengherankan bila di sana saya selalu dipandang dan diletakkan dalam satu kotak identitas. Khususnya yang terkait de ngan ”perkauman”. Kalau saya bergerak dari kotak itu, orang hilang akal. Seperti halnya tuan rumah saya malam itu. Di Indonesia agak lain soalnya. Bagi saya, yang mengganggu di sini adalah bagaimana identitas diterjemahkan dengan istilah yang seakan-akan keramat, yakni ”jati diri”. Saya selalu berkeberatan tentang ini, karena tak ada yang keramat di dalamnya. Bahkan ketika orang mengatakan telah menemukan ”jati diri”, orang sebenarnya tak tahu bahwa ”diri” yang ”(se)-jati” mustahil didapat. ”Diri” atau ”aku” lahir selamanya tak pas, bahkan terbelah. Pendekar psikoanalisis Prancis, Lacan, menemukan bahwa kesadaran akan ”aku” dimulai ketika seorang bocah berada dalam ”tahap cermin”. Si bocah melihat bayangannya di cermin, dan ia diberi tahu bahwa itulah dirinya: utuh, rata, stabil. Padahal, pada ketika itu juga, dan untuk seterusnya, ada yang tak tampak pada cermin: bawah-sadarnya, gejolak biologisnya, kedalaman impian dan traumanya. Cermin mengeliminasi itu semua. Sebuah kesatuan atau Gestalt pun muncul. Itulah yang, kata Lacan, ”melambangkan posisi permanen dari ‘aku’”. Ketika kemudian si bocah diberi nama oleh si ayah bapak yang menguasai bahasa identitas pun dikukuhkan. Tapi dengan itu identitas sebenarnya tak pernah datang sendiri. Ia dirumuskan oleh nama dan bahasa sebuah bangunan simbol yang disusun masyarakat. Identitas tam pak sebagai perbedaan, dan perbedaan tampak karena perbandingan. Perbandingan selamanya mirip mata rantai yang tak putus-putusnya antara X dan

lain-lain di dunia. Di sini, saya selalu ingat James Baldwin. Pengarang da ri New York ini ia hitam, gay, dan melarat mening galkan Amerika dan hidup selama 10 tahun di Eropa. Kemudian tulisnya: ”Aku bertemu dengan banyak sekali orang selama di Eropa. Aku bahkan berjumpa dengan diriku sendiri.” Kesadaran akan diri sendiri itu sekaligus kesadaran akan orang lain. Bahkan sifatnya mengandung antagonisme. ”Identitas ditanya hanya ketika ia terancam,” kata Baldwin, ”… atau ketika si orang asing datang memasuki gerbang.” Dalam Mein Kampf, ada satu cerita Hitler. Ketika ia masih muda, pada suatu malam ia berjalan di pusat kota Wina. Di sana ia bertemu dengan sesosok bayangan berkaftan hitam dan berambut hitam dikepang. ”Yahudikah ini?” Hitler bertanya pada diri sendiri. Setelah ia amati lebih jauh, ia bertanya kembali dalam hati: ”Orang Jermankah ini?” Hitler tak bertanya apakah si bayangan itu seorang seniman atau seorang profesor. Ia mempersoalkan identitas ethnisnya karena baginya itulah yang terpenting. Tapi dengan itu ia menganggap identitas adalah sesuatu yang dibawa dari lahir karena antagonisme yang diyakininya adalah sesuatu yang permanen. Baldwin, yang terlunta-lunta, orang yang dipojokkan dalam kerangkeng identitas (hi tam, gay, asing), menampik itu. Baginya iden titas lebih mirip ”garmen yang menutupi ketelanjangan diri”. Baginya, lebih baik gar men itu dikenakan dengan agak longgar, seperti pakaian di padang pasir: akan tampak, atau akan dapat diperkirakan, diri yang telanjang yang terbungkus di sana. Bahkan bagi Baldwin, orang harus punya ”kekuatan untuk mengganti jubahnya”. ”Anda orang Jawa…,” kata tuan rumah saya, dan saya tersenyum masam. Saya seperti Baldwin: bagi saya, yang penting bukanlah identitas, yang menyetrap saya dalam sebuah kotak dan

seperangkat baju resmi. Bagi saya, yang penting adalah manusia sebagai agency, pelaku. Politik identitas sejak 1970-an punya peran dalam pembebasan orang hitam dan perempuan dan mungkin minoritas lain yang tak diakui. Tapi politik identitas selamanya mengacaukan kenyataan bahwa identitas itu se sekali perlu (ketika ia ”terancam”) tapi tak pernah benar-benar hadir. Ia konstruksi atas multiplisitas yang inkonsisten, yang serabutan. Untuk meminjam kata-kata Alain Badiou da lam konteks lain, identitas adalah hasil ”compter-pou run”, ”menghitung buat jadi satu”. Dengan kata lain, dengan meneguhkan identitas, aku meletakkan diri sebagai pemersatu dari segala yang carut-marut dan tak terduga dalam diriku. Maka aku pun jadi Sang Tunggal: di luarku, terkadang terasa mengancam, bergelombang perbedaan-perbedaan yang membentuk hidup nun di sana dan hidup dalam hidupku. Dan identitas itu adalah bagian dari paranoiaku. ~Majalah Tempo Edisi Senin, 19 April 2010~

Sopir Maret 15, 2010 W, perempuan berumur 43 tahun itu, menyukai hening, bukan karena hening punya makna religius yang dalam, tapi karena hening, di kota besar ini, semacam ruang yang bisa bebas dari kolonisasi suara yang menjerit-je rit: dominasi enam pengeras suara sehabis subuh dan knal pot ribuan sepeda motor yang melintas tak jauh dari rumahnya. Hening itu sebentar, tapi begitu berharga dan mengejutkan—seperti anggrek putih yang sendirian di kebun di sebelah kamarnya itu, kebun dengan tiga batang pohon dan 3 x 3 meter persegi petak rumput. Anggrek itu di sana tampak yang paling beda, sebuah selingan, sebuah surprise. Kalau hidup tanpa surprise, apa jadinya dengan Penciptaan? W

bertanya pada diri sendiri. Ia ingat seseorang mengutip Kant: ”Die Schöpfung ist niemals vollendet”. Penciptaan tak pernah usai. Pagi bukanlah serangkaian repetisi. Ia memang merasa bisa bersyukur, pagi ini yang ia da patkan adalah sejuk yang baru. Mungkin karena setelah beberapa malam yang gerah dan pengap, kebun itu memberinya oksigen yang seakan-akan datang buat pertama kali. Atau mungkin karena burung-burung. Tanpa me nge nal mana yang prenjak dan mana yang kutilang, ia de ngarkan kicau sehabis gelap itu seperti harapan yang kembali. Ternyata tak semua bisa digusur gedunggedung kota yang mengalahkan pepohonan tempat beberapa makhluk hinggap dan hidup. Seperti halnya tak semua dibinasakan oleh bising. Biarpun cuma beberapa menit. Kata akhir mengenai kehidupan ini belum bisa diucapkan. Tapi benarkah? Benarkah selingan dan surprise ringkas itu punya makna yang lebih besar dalam hidup—terutama hidup di kota yang luas tapi berjubel itu? Bisakah ia masih berharap dari manusia, bukan dari burung dan kembang? Pengantar koran datang. Ia malas membaca halaman pertama: terlalu banyak kabar dan statemen buruk. Ia malas membaca halaman opini: terlalu banyak tulisan yang tak memberinya jawab terhadap yang diucapkannya tadi tentang kebencian. Ia hanya membaca halaman iklan, kemudian melupakannya. Setelah sarapan kecil, ia putuskan untuk pergi lebih pagi ke kantor. Ia tinggalkan secarik kertas dengan pesan kepada suaminya yang baru akan pulang siang nanti dari Yogya, menengok T, anak mereka yang bersekolah di sana: ”Makanan sudah aku siapkan di kulkas”. Lalu ia berjalan ke ujung gang, menunggu taksi. Sopir taksi itu mengenal betul jalan ke arah kantornya di Kemang Timur. Sambil duduk di jok belakang, W mencoba mengirim beberapa pesan pendek lewat telepon genggamnya ke asistennya. Tapi tiba-tiba matanya tertarik ke sebuah foto keluarga

yang tak lazim tertempel di dasbor: sepasang suami-istri dan seorang anak perempuan. Pasti sopir itu dan keluarganya. ”Ini anak saya, Bu,” tiba-tiba sopir itu berkata, tahu bahwa penumpang di belakangnya memperhatikan foto itu. ”Dia besok akan dioperasi otaknya,” katanya lagi. ”Kenapa, Pak?” ”Dia sering pingsan. Dia sudah SMA, anaknya pinter, rapornya bagus. Tapi dia sering pingsan dan harus berhenti bersekolah. Kata dokter, ada cairan dalam otaknya yang mengganggu. Mungkin karena sering jatuh dulu waktu kecil.” ”Dia anak kami satu-satunya, Bu. Saya bikin apa saja supaya dia bisa sembuh. Saya orang miskin. Tapi dia harus selamat.” ”Pasti mahal sekali biayanya, Pak?” ”Saya berusaha dapat surat keterangan tanda miskin, Bu. Aduh, bukan main susahnya. Saya datang bolak-balik ke kantor Kecamatan Balaraja—kami tinggal di Tangerang—dan selalu ditolak. Malah nggak dilayani. Delapan kali, Bu. Delapan kali saya ke sana, menghadap. Membawa surat lengkap dari RT, RW, kelurahan….” ”Sampai sekarang belum dapat surat itu?” ”Akhirnya saya marah, Bu. Saya meledak, begitulah. Saya bilang pada ibu-ibu petugas yang menerima surat-surat itu, ’Apa ibu-ibu nggak pernah punya anak, nggak pernah anaknya sakit?’ Saya bilang, ’Baca, nih, Bu, baca: apa yang tertulis di surat dari lurah saya….’” ”Akhirnya mereka baca….” ”Lalu?” tanya W. ”Ternyata ibu-ibu itu masih punya hati, Bu. Mereka nangis setelah membaca. Mereka kasih saya surat keterangan itu. Jadi alhamdulillah, saya bisa bawa anak saya ke dokter untuk dioperasi tanpa bayar….”

”Syukurlah, Pak, saya ikut senang,” sahut W. Tiba-tiba nada suara sopir itu berubah. ”Tapi saya nyesel, Bu, saya jadi sedih banget.” ”Saya sedih banget kok saya sampai marah-marah kepada para petugas di kecamatan itu. Itu kurang patut, kan, Bu. Sewenang-wenang, namanya….” W terdiam. Ia ingat sejuk tadi pagi, setelah malam yang gerah. Ia ingat burung. Ia ingat kembang anggrek. Ia merasakan sesuatu yang mengguncangkan hatinya. Ia bersyukur berjumpa dengan seorang yang seperti jadi jawab untuk doanya tadi pagi. Tapi sengajakah Tuhan membuat keadaan begitu muram hingga selingan seperti kisah sopir itu jadi sangat berarti? Bila demikian apa kehendakNya? W turun dari taksi. Sopir itu berkata: ”Doakan, ya Bu, anak saya supaya selamat.” Di kantor, di mejanya, ia berdoa. Untuk seorang anak perempuan yang tak dikenalnya. Tapi ia makin tahu Tuhan tak bisa diduga. Mungkin Ia pertama-tama adalah pengguncang hati. Selebihnya Penciptaan berjalan. Belum selesai. ~Majalah Tempo Edisi Senin, 15 Maret 2010~

Percakapan Maret 8, 2010 Dua orang duduk berdekatan. Dalam lakon Menunggu Godot Samuel Beckket ini mereka berbicara: Gogo: Lalu apa? Didi: Ah! Kita akan bercakap-cakap! (mereka pun saling mendekat, sampai sekitar 10 kaki). Yah, kurang pelan, mungkin. Begitulah jalannya. Gogo: Memangnya jalan?

Didi: Ya. Harus. Percakapan memang terjadi, dan seperti kata Didi, harus “jalan”. Tapi buat apa? Menunggu Godot menjawab dengan kering: kata-kata yang bersahut-sahutan itu bagian dari laku menunggu yang tak berkesudahan. Mungkin tak seorang pun bertanya: Do we need a point? Apa kita memang perlu ada ide atau pikiran yang ingin dikemukakan, jika kita masuk ke dalam sebuah percakapan? Menunggu Godot adalah teater yang mengabarkan bahwa “kabar” selamanya akan “kabur”. Ini memang sebuah teater, dan di atas pentas diharapkan ada dialog. Tapi justru dalam teater ini dialog dan percakapan sendiri perlu diragukan. Itu sebabnya Gogo skeptis: “Memangnya jalan?”. Syahdan, sejarah mencatat hubungan antar manusia yang putus, perang dan kekerasan tak henti-hentinya terjadi. Orang sadar, percakapan “harus jalan”. Tapi juga orang sadar, bahasa adalah himpunan prisma yang berkabut, terkena uap mulut para pembicara (lengkap dengan pelbagai baunya yang aneka ragam), sementara yang terpancar dari sana adalah dispersi makna yang bersinar ke arah mana saja. Beckett melukiskan ambruknya komunikasi manusia dengan menggelikan tapi juga murung. Kita seakan-akan dibawa untuk menyaksikan sebuah dunia di mana permufakatan tak akan pernah terjadi… Tapi benarkah tak akan terjadi? Belum tentu, Dari lakon Beckett itu kita juga bisa dapat kesan, orang-orang yang “menunggu Godot” itu akhirnya diam-diam sepakat: mereka barus di sana bersama-sama. Ketika dalam kebersamaan itu kata hanya bunyi, tak lebih dan tak kurang, pertengkaran, (sebagaimana persetujuan), tak terjadi. Kita bahkan bisa menyimpulkan: ajaib, dalam suasana negatif itu, ternyata masih ada sesuatu yang bisa diterima orang yang berbeda-beda. Semacam konsensus tercapai, walaupun bahasa tak punya arah.

Mungkin dari sini ada harapan: dalam kebersamaan manusia, kalaupun tak ada sesuatu yang universal, toh masih ada yang dapat ditumbuhkan jadi universal, yang tak ditampik pihak-pihak yang punya mulut dan abab berbeda-beda. Itulah harapan politik. Yang saya maksudkan dengan “politik” di sini sedikit kuno: ikhtiar untuk merawat pertalian sosial. Tak jarang ikhtiar itu melalui persaingan, konflik, dan adu kekuatan, tapi tak hanya itu. Politik bukan pembasmian. Bila antagonisme saja yang jadi dasarnya, pertalian sosial selamanya akan mencemaskan; tak akan ada sebuah masyarakat yang mampu terus menerus menanggungkan itu. Politik bukan hanya “kami” menghadapi “mereka”, tapi juga (atau justru) “kami” yang berusaha terus menerus membentuk “kita”. Tapi selama ini, orang bingung. Apa landasan yang membuat “kita” tak mustahil? Dari mana datangnya “yang universal” yang memungkinkan “kami” dan “mereka” bisa jadi “kita”? Zaman ini memang menolak mengakui bahwa nilai-nilai yang universal datang dari luar sejarah manusia, dari sesuatu yang transenden, misalnya agama yang diwahyukan Tuhan. Bahkan Habermas, seraya percaya akan kemungkinan konsensus, berbicara tentang perlunya “de-transendentalisasi”. Para pemikir yang menolak yang transenden, dan meneguhkan “imanensi”, sejak Marx sampai Delueze, mencoba menjelaskan bahwa nilai-nilai “universal” mengikuti riwayat manusia dengan tubuh dan kehidupan sosialnya: berubah-ubah. Para pemikir “postmodern” malah menunjukkan, yang “universal” hanya kedok bagi asumsi dunia modern yang memegang dominasi. Tapi bila begitu, harapan politik untuk membentuk “kita” akan selalu kandas, atau hanya berhasil karena kekuatan senjata, orang ramai, dan kekayaan. Politik, seperti yang akhir-akhir ini terasa di Indonesia, akan hidup dengan defisit ethis. Tak adakah kemungkinan lain? Barangkali. Sebab tanpa bersandar pada apa yang transenden,

kita toh bisa lihat, (mengikuti Karl-Otto Apel), ada yang “transendental” dalam hidup kita – sesuatu yang tumbuh dari satu tempat dan satu masa, tapi juga mengatasi tempat dan masa itu. Yang “tak adil” memang bisa berbeda-beda dinyatakan dan dirasakan, tapi kehendak melawan kekejaman tumbuh di manamana. Apel berbicara tentang “ethika wacana”, Diskursethik : ia tak menganggap penilaain moral semata-mata subyektif, dan segala hal jadi nisbi. Tapi ia tak bertolak dari dasar yang dirumuskan Descartes, “aku berpikir” – yang akhirnya hanya berkutat dengan “aku”. Apel mengajukan alternatif: “aku berargumen”. Dengan kata lain, “aku” menggunakan bahasa, walaupun pata-patah, dan ada subyek lain yang diajaknya bicara. Dalam proses itu mau tak mau ada asumsi bahwa yang diajak bicara akan menerima sesuatu yang bisa ditumbuhkan jadi nilai bersama: sebuah prinsip “universalisasi”. Percakapan, betapapun sulitnya, bukan untuk saling membunuh. Kita tak tahu bagaimana bentuk dan akhir percakapan itu — kita tak tahu bagaimana sang Godot — tapi kita tetap melakukannya. Sebuah pragmatisme sehari-hari. Do we need a point? Kita memang perlu sesuatu yang jangan-jangan tak ada – tujuan yang tunggal, tafsir kata-kata yang bersepakat — tapi kita tetap saja saling bicara. Dalam suasana muram Menunggu Godot, kita tak melihat sebuah politik yang dengan sinis ingin menyingkirkan, atau membeli, orang lain. ~Majalah Tempo Edisi Senin, 08 Maret 2010, dengan sedikit revisid ari penulisnya~

Sang Militan Maret 1, 2010 Jika kita memandangnya sebagai sebuah sistem dan prosedur

bagaimana keputusan politik diambil, kita akan melihat bahwa demokrasi bertolak dan berakhir dalam keadaan yang tak pernah utuh. Situasi yang dihadapi adalah situasi serba tergantung, serba mungkin. Di sini, yang membentuknya sering bukan ”kebenaran”, melainkan ”kebetulan”. Castoriadis benar ketika ia mengatakan, demokrasi adalah sebuah ”rezim yang tragis”. Demokrasi bermula dari pengakuan bahwa nun di atas yang paling atas di dunia ini, dan juga nun di dasar paling dasar dari kehidupan, yang ada adalah sebuah growongan tanpa penghuni, tanpa isi. Sang otoritas yang dulu dianggap punya hak yang abadi, yang didesain Allah, telah terbukti bisa disingkirkan. Fondasi yang semula dianggap kekal telah ditiadakan. Sejarah revolusi-revolusi menunjukkan itu. Siapa pun yang kemudian mengisi liang kosong itu akan tahu, ia tak identik dengan growongan itu. Ia memegang otoritas, tapi ia tak bisa menyatakan diri dialah sang penentu sepenuhnya. Posisi itu tak sama dan sebangun dengan dirinya. Kehidupan beragam dan berubah, tak mungkin itu-itu-saja, mustahil untuk jadi tunggal. Otoritas yang ada bisa (bahkan dengan sendirinya) goyah. Atau, seperti Ayatullah Khomeini, sang otoritas tetap seorang manusia yang usianya terbatas. Dengan demikian memang pada akhirnya harus dikatakan, demokrasi adalah kekurangan yang juga keniscayaan. Tak ada alternatif yang lebih pas untuk ketidaksempurnaan riwayat manusia. Dalam hubungan itulah demokrasi bertolak dari asas bahwa mereka, demos, yang berada di luar pemegang otoritas, itulah yang menentukan. Tapi demos pun sebuah ketakpastian. Hanya sebagai pengertian yang abstrak demos itu bisa dianggap tunggal dan kekal. Dalam pengalaman konkret, cuma sesekali ”rakyat” bisa dihitung sebagai ”satu”. Agaknya sebab itu pertanyaan para pemikir politik sejak Hobbes hingga Habermas adalah bagaimana tersusunnya sebuah

tata, bagaimana terbangunnya sebuah tertib? Bagaimana manusia dalam sebuah negeri bisa akur, hingga kehidupan bisa berjalan rapi dan nyaman? Ada yang menjawab—terutama yang memandang manusia dengan muka muram—bahwa tata dan tertib hanya bisa terbangun jika ada Leviathan, sebuah kekuasaan besar yang memaksakannya. Ada yang lebih optimistis: mereka yakin bahwa manusia adalah makhluk yang tak hidup dengan subyektivitasnya sendiri, melainkan dengan ”inter-subyektivitas”. Dan ”intersubyektivitas” itu sudah sejak mula dikukuhkan dalam bahasa. Kita tak bisa mengelak dari bahasa, kita dibentuk oleh bahasa, dan bahasa bukanlah sebuah produk monolog. Apalagi jika ditambahkan keyakinan: ada rasionalitas yang membuat manusia bisa mencapai mufakat. Tapi mufakat tak dengan sendirinya sama dengan ”kebenaran”. Dalam bentuknya yang terbaik, mufakat hanyalah jejak-jejak yang menandai ada kebenaran, tapi kebenaran yang tak kunjung hadir. Demokrasi sebenarnya hanya mendapatkan jejak itu, yang lahir dari proses tawar-menawar dan kompromi. Proses itu, apa boleh buat, bergantung kepada keadaan saat itu: perimbangan kekuatan, kehendak masing-masing pihak, dan informasi yang tersedia. Itu sebabnya, mufakat tak akan mewakili kebenaran yang universal. Demokrasi adalah sebuah rezim yang tragis, karena ia terpaksa harus bekerja dengan dasar-dasar yang tak kuat, yang tak berlaku selama-lamanya dan diterima di mana saja. ”Kebenaran”, jika hasil konsensus bisa disebut demikian, hanya buah pertimbangan praktis. Kita sepakat karena kita tak bisa terus-menerus bertengkar untuk menentukan bahwa A adalah A. Besok kita harus bekerja untuk hidup, dan untuk itu harus ada stabilitas tertentu. Ketika kita berkompromi, sering kita tak 100% puas dan tak 100% yakin akan benarnya kesimpulan yang dimufakati. Apalagi tak jarang kompromi itu merupakan hasil kemenangan si kuat yang

disamarkan. Demokrasi yang seperti itulah yang kini dijalankan, juga di Indonesia. Dengan gaya yang berbeda-beda, dalam demokrasi ini yang diharapkan adalah prosedur bertukar-pikiran yang sehat, bertolak dari rasionalitas yang praktis. Tapi jika demikian, di mana gerangan ada kebenaran yang diyakini? Di mana kita temukan makna yang sangat berarti bagi hidup kita, yang akan kita pertahankan mati-matian? Bagaimana akan ada semangat yang militan untuk meneguhkan A adalah benar-benar A? Bagaimana bila semua nilai jadi nisbi dan kita hanya bekerja separuh hati untuk hidup yang lebih baik, sebab yang ”lebih baik” itu juga tak amat meyakinkan? Sang militan akan mati. Atau ia harus jadi seorang yang melihat politik seraya melupakan sifat tragis demokrasi. Ia bisa mengikuti semangat Badiou, yang tergugah penuh oleh kebenaran sebagai sesuatu yang mengimbau tak terhingga, tak hanya dibatasi oleh jejaknya sendiri. Sebab militansi hanya bisa bangkit oleh sesuatu yang diakui luhur oleh semua orang selamanya. Tapi sang militan bisa jadi sang fanatik. Kecuali bila ia bersedia melihat kebenaran bagaikan energi dari petir: gelegar dan cahayanya menggetarkan tapi tak akan pernah menetap. Di situlah demokrasi, tanpa ambisi mencapai yang ”benar”, tetap penting. Sistem ini memberikan peluang bagi kerendahan hati. Atau kearifan: dalam meraih kebenaran, kita tahu hidup terdiri atas kesementaraan dan pelbagai kebetulan. ~Majalah Tempo Edisi Senin, 01 Maret 2010~

Émile Februari 22, 2010 11 Juni 1762, di halaman Gedung Mahkamah Pengadilan, Paris, sebuah buku dibakar. Karya itu berbentuk novel, tapi sebenarnya ditulis untuk membahas soal pendidikan anak. Dengan

Émile itu Jean-Jacques Rousseau dinilai telah bersalah karena “menganggap semua agama sama-sama baik”. Seorang pejabat berpidato di depan Parlemen untuk melontarkan tuduhan itu; dalam ini buku, ujarnya, Rousseau telah “berani mencoba menghancurkan kebenaran Kitab Suci dan nubuatnya”. Ia “mengejek dan menghujat agama Kristen….” Maka Parlemen memutuskan agar bukan saja buku itu dirobek dan dibakar, tapi juga agar Rousseau ditangkap. Sang pengarang melarikan diri ke Swiss. Dua hari sebelum bukunya dibakar, Rousseau sudah meninggalkan Prancis dengan bantuan teman-temannya. Setiba di wilayah Bern ia turun dari kereta, bersujud dan mencium tanah: “Yang Maha Tinggi, pelindung kebajikan, terpujilah tuan; hamba menyentuh sebuah negeri kebebasan!”. Tapi betapa cepatnya ia berharap. Ia menetap sebulan lamanya di rumah seorang teman di wilayah Bern itu. Ia berpikir untuk pindah ke Jenewa. Tapi di kota yang dikuasai 25 aristokrat adminstrator itu – disebut “Dewan Yang Duapuluh-Lima” – karya Rousseau juga dinyatakan dilarang. Émile dan Du contrat social dianggap “penuh dengan hujatan dan cercaan terhadap agama”. Dan sebagaimana Parlemen Paris yang menyuarakan kuasa Katolik mengutuknya, di Jenewa penguasa kota yang Protestan Calvinis itu juga memerintahkan agar buah pikiran Rousseau itu dibasami. Pengarangnya, yang sesungguhnya seorang warga Jenewa, harus ditangkap. Rousseau pun tetap tinggal di wilayah Bern. Tapi tak lama. Sebulan kemudian Senat wilayah itu memerintahkannya untuk pergi. Rousseau pun pindah ke sebuah dusun di gunung-gunung Swiss, Môtiers-Travers. Ia ingin hidup damai di sini, tak hendak menulis apa-apa lagi kecuali surat-menyurat. Ia bahkan masuk ke dalam jemaat Protestan setempat. Ia menyambung hidupnya dengan jadi

penyalin partitur musik dan menyulam. Seraya demikian ia tampil tak biasa: ia memilih berpakaian Armenia, juga ketika ke gereja. Tak jelas apakah orang percaya betul kepada Rousseau sebagai seorang Krsiten yang alim. Suatu hari ia mengunjungi seorang aristokrat. Tuan rumahnya menyambutnya dengan ucapan, “Assalamualaikum”. Para pastor Calvinis di ibukota daerah itu telah memaklumkan pengarang Émile sebagai “orang murtad”. Di saat itu pun gereja Protestan dan Katolik bertemu menghadapinya. Agustus 1762, Uskup Agung Paris menulis 29 halaman kutukan terhadap Émile. Tapi benarkah buku itu menodai agama? Dalam prakatanya, Rousseau mengatakan, tujuan Émile adalah untuk menawarkan sebuah sistem pendidikan, buat jadi pertimbangan para aulia, bukan untuk para ayah dan ibu. Seperti Plato, Rousseau ingin memisahkan anak dari pengaruh orang tua yang datang dari generasi yang salah didik. Tapi pendekatannya tak radikal. Seraya meyakini – seperti kalimatnya yang termashur dalam Du contrat social– bahwa “manusia dilahirkan merdeka dan di mana-mana ia terikat rantai” — dalam Émile Rousseau menunjukkan jalan agar manusia bisa menerima ikatan sosial dengan bebas. Di situlah peran agama. Ketika Si Émile, tokoh anak yang jadi pusat cerita ini berumur 18, ia mulai bisa diberi pendidikan agama. Rousseau mengecam atheisme. Dalam novel ini ada seorang padri dusun, vicaire savoyard, dari pegunungan Alpen Italia, yang sebenarnya meragukan wahyu para nabi dan mukjizat para santo. Tapi padri dusun itu tak mau menuturkan keraguannya kepada jemaat. Dengan taat ia jalani ritual Gereja Roma. Sementara itu ia terus berbuat yang sebaikbaiknya kepada orang lain. Ia menolak doa yang meminta-minta; doa baginya adalah lagu puja bagi Tuhan dan ekspresi kita yang merunduk pada Iradat-Nya. Sang padri tahu, meskipun agama melahirkan kekejaman dan represi, manfaatnya lebih besar. Agama

adalah sebuah karunia. Tapi justru sebab itu tak perlu kita risau melihat perpecahan dalam agama Kristen. Semua agama baik sepanjang ia memperbaiki fi’il manusia dan merawat harapan. Sungguh menggelikan untuk menganggap iman, sesembahan, dan kitab suci yang berbeda dari agama kita sebagai hal yang “terkutuk”. Kata sang padri: “Seandainya hanya ada satu agama saja di muka bumi, dan semua yang di luar pengaruhnya akan dijatuhi hukuman abadi…maka Tuhan dari agama itu akan merupakan Tuhan yang paling kejam dan tak adil.”. Di sini kita temukan kembali, dalam ekspresi yang lebih lunak, pandangannya dalam Du contrat social. Dalam uraiannya tentang negara imajiner yang diidamkannya, Rousseau menyatakan diri yakin akan kepercayaan dasar Kristen – dan ia tak berkebaratan bila ada agama yang jadi “dogma positif” bagi masyarakat. Tapi ia hanya akan mentolerir agama yang menunjukkan toleransi kepada agama lain. Bagi Rousseau, siapa yang mengatakan “di luar Gereja tak ada penyelamatan” – siapa yang mempersetankan agama lain — harus dibuang ke luar dari negerinya. Dibaca di abad ke-21, apa yang dicita-citakan Rousseau tak mengejutkan lagi; kini makin tampak bagaimana tak adilnya (dan juga tak mudahnya ) manusia membersihkan sebuah negeri dari perbedaan iman dan tafsir. Di abad ke-18, ketika ia hidup sebagai orang yang terusir dari kota ke kota, pendirian Rousseau memang sebuah pengganggu bagi mereka yang bertopang pada iman sebagai kekuasaan. Tapi berangsur-angsur sang pengganggu itu makin tampak tak bisa lagi dibantah. Makin tampak pula bukan dia yang menodai agama, melainkan lawan-lawannya.

Benda-benda

Februari 15, 2010 – Konghucu Benda-benda makin lama makin membuat jarak dari kita. Beras, air minum, dan bantal itu kita konsumsi dan kita pakai setiap hari—mungkin kita nikmati—tapi di manakah kita? Hari ini kita pergi ke sebuah mall di Jakarta. Di deretan etalase yang gilang-gemilang itu benda-benda diletakkan dengan jarak tertentu. Kalau bukan jarak fisik, ia jarak dari keseharian kita. Mereka tampak mengimbau karena mereka, seperti satu adegan film Avatar, bukan bagian dari malam dan siang kita yang lazim. Dan ketika kita ketahui harga mereka yang tak dapat diraih kebanyakan orang, makin jelas bagaimana benda-benda itu telah berubah. Marx pernah berbicara tentang ”festishisme komoditas”: ketika komoditas jadi jimat, benda yang dianggap punya kesaktian, atau, dalam bahasa Portugis, feitiço. Pada waktu ia menulis itu, dalam jilid pertama Kapital, Marx belum melihat gaun Max Mara, tas Louis Vuitton, stoking Pierre Mantoux, jaket Gucci, yang dipamerkan dengan iklan besar atau dipasang di tubuh manekin langsing. Marx baru berbicara tentang beberapa potong kayu yang dijadikan meja, dan meja yang dijual di pasar. Syahdan, meja itu kemudian terlepas dari tangan sang pembuat yang berkeringat. Si meja kini seakan-akan berjalan sendiri, tampil untuk dipertukarkan dengan benda lain yang juga lepas dari tenaga sang produsen. Pada saat itu, hubungan yang terjadi praktis bukan lagi hubungan antara manusia. Manusia di luarnya. Di depan etalase Emiglio Zegna, yang memajang kemeja dan pantalon yang necis, kita tak tahu siapa Emiglio Zegna. Kita tak peduli apakah itu nama sang desainer atau nama seorang aktor yang dipinjam untuk jadi merek. Kita mungkin kagum kepada desainnya, tapi tak peduli siapa yang merancang. Kita bahkan tak merasa perlu tahu siapa yang punya toko. Di pikiran kita hanya

sederet pantalon, sederat jas, sederet hem. Apa yang dikatakan Marx tepat di sini: benda-benda itu kini menampilkan ”sifat metafisik yang halus” dan ”kesantunan theologis”. Tapi ada yang tak disebut Marx: kita datang ke mall itu bukan dengan kepala kosong. Kita bukan tabula rasa. Kita memilih pergi ke sana dan tertarik karena kita hidup di antara fantasi, mimpi, hasrat, yang sudah mengisi diri kita, bertaut dengan hal-hal yang telah membentuk impian sosial. Antara aku dan benda dalam etalase itu ada satu proses perantaraan, terutama oleh media—majalah Dewi, Esquire, Kosmopolitan, film ala Hollywood, sinetron ala Raam Punjabi, dan entah apa lagi—yang membentuk pelbagai markah: merek, gaya, potongan bentuk, bahkan mall itu seluruhnya menandai ”kecantikan” atau ”kegantengan” atau ”kepatutan”. Berangsung-angsur, markah-markah itu jadi bagian dari kesadaran kita. Merekalah wakil atau representasi dari hal-hal yang sebenarnya tak akan dapat dihadirkan (bagaimana kita bisa menghadirkan ”kecantikan”?), tapi terus-menerus kita hendak menjangkau. Dengan kata lain, markah-markah itu jadi penanda yang tak dihadiri oleh yang ditandai. Tapi mereka begitu kuat hingga kita ingin menyatukan diri dengan mereka. Penyatuan itu terjadi dalam ”milik”: kita ingin memiliki mereka, sementara kita juga dimiliki mereka. Artinya, kita bukan dalam situasi Konghucu. Beras, air minum, dan bantal itu sudah berubah. ”Apa yang dulu dialami dalam hidup secara langsung kini telah hanya jadi representasi,” tulis Guy Debord, seorang Marxis yang masygul. Baginya, sejarah kehidupan sosial adalah sejarah merosotnya ”ada” jadi ”milik” dan ”milik” jadi ”penampilan”. Kita hidup, kita ada, tetapi dalam kenyataannya kita dibentuk oleh ”penampilan” yang mendorong kita memiliki. Kita hidup dalam ”masyarakat tontonan”, la socièté du spectacle. ”Tontonan”, yang punya akar pada kata Jawa ”ton”,

menemukan contohnya pada mall itu. Tontonan, tulis Debord, ”bukanlah sebuah himpunan imaji, melainkan persesuaian sosial antara orang-orang, yang diperantarai oleh imaji-imaji.” Debord, seperti saya singgung tadi, menilai keadaan ini sebagai kemerosotan. Bukunya, La socièté du spectacle, adalah tafsir yang lebih jauh atas sinyalemen Marx bahwa di bawah kapitalisme, manusia sebenarnya hidup dalam ”alienasi”, dalam ”keterasingan”: aku terasing dari tenaga kerjaku sendiri ketika tenaga kerja itu jadi komoditas yang tak aku kuasai; aku terasing dari benda yang aku hasilkan, ketika benda itu diperjualbelikan; aku terasing dari orang lain yang akan membeli dan menggunakan benda itu. Dalam analisis Debord, keterasingan manusia, sebagai penonton, ada dalam posisi yang agak berbeda: ketika sang penonton (alias sang konsumen) makin meletakkan diri dalam dominasi markah-markah yang menandai kebutuhan, ia akan makin kurang ada bersama eksistensinya sendiri. Ia minum kopi, baca koran, mengunyah kue, pergi main golf, pergi ke mall: tontonan itu ada di mana-mana. Dan sang penonton? Ia bersama mereka, di mana-mana. Ia tak berumah. Tapi saya tak bisa mengatakan ia tak bersukacita. Mungkin tak seperti Konghucu. Mungkin itu kebahagiaan hidup yang palsu. Tapi adakah yang asli yang bisa kita temui tanpa representasi? Terutama ketika kapitalisme membangun markah terus-menerus untuk menunjukkan tentang apa yang kita butuhkan? Kita boleh berharap kapitalisme akan runtuh kelak. Tapi harus diakui, harapan itu makin tipis. Maka apa yang harus dilakukan? Mungkin bersahaja: kita harus ingat, kita punya subyektivitas yang cukup untuk mencoba merebut kembali ”ada” dari ”milik” dan ”penampilan”. Kita sesekali perlu sejenak jadi Konghucu. ~Majalah Tempo Edisi Senin, 15 Februari 2010~

Cap Februari 8, 2010 KADANG-KADANG orang menjepit orang lain dengan kata, menjerat diri dengan kata. Sejarah politik Indonesia modern bisa ditulis sebagai sejarah bekerjanya jepit dan jerat kata dari masa ke masa. Pada tahun 1960-an, di bawah demokrasi terpimpin, jepit dan jerat itu misalnya terbentuk dalam kata kontra-revolusioner. Kata ini, bila dikenakan kepada seseorang, satu kelompok, atau satu pola sikap, dapat membuat yang dikenai seakan-akan tertangkap. Dalam posisi itu, ia berubah jadi sasaran untuk diserang atau dalam kata yang dominan waktu itu diganyang. Kata kontrarevolusioner sama artinya dengan musuh Republik, pengkhianat tanah air, penentang Revolusi, dan segala usaha yang sedang digerakkan oleh Sang Pemimpin Besar Revolusi yang tak bisa dibantah. Dalam varian kontra-revolusioner ini ada kata PSI dan Masyumi–dua partai politik yang dibubarkan Bung Karno, Pemimpin Besar Revolusi. Kedua partai itu juga dimusuhi oleh dua kekuatan pendukung, PKI dan ABRI. Para pemimpin PSI dan Masyumi dipenjarakan. Surat kabar mereka ditutup. Dan melalui serangan verbal lewat media massa, PSI dan Masyumi (kemudian juga Manikebu) segera jadi kata yang menjepit dan menjerat siapa saja yang dianggap musuh politik. Buat digebuk. Pada tahun 1970-an, di bawah Orde Baru, kata yang dengan lebih buas menjepit dan menjerat adalah PKI dan G30S atau Gestapu. Dengan kata itu, orang langsung tak dapat bergerak dan tak mungkin bicara. Acap kali mereka dipenjarakan dan dibunuh, tanpa bekas. Seperti pada masa sebelumnya, daya jerat dan jepit kata PKI dan lain-lain itu juga dilahirkan oleh kampanye media massa, yang dikobarkan dengan penuh kebencian. Dengan teror dan ketakutan.

Demikianlah sepatah kata menjadi stigma. Stigma adalah cap. Kata ini berasal dari bahasa Yunani untuk menyebut semacam tanda yang diterakan dengan luka bakar atau tato ke kulit seorang hukuman, pelaku kriminal, budak, atau pengkhianat. Dengan cap yang melekat di jangat itu, stigma akan menandai orang yang tak diinginkan. Stigmatisasi terjadi bersama penyingkiran. Pada zaman komunikasi kata-kata ini, cap itu tak melekat di jangat. Ia hanya jadi metafor. Ia berbentuk bunyi, penanda yang dikumandangkan ke dalam bahasa. Sebagai bagian dari bahasa, ia masuk ke kepala dan hati orang ramai, membentuk persepsi dan bahkan sikap dan laku mereka. Kata sebagai stigma berkembang dalam pusaran kesadaran kita bagaikan racun. Racun ini kemudian bisa disemburkan ke tiap sosok yang jadi sasaran. Sebagai racun, ia bergabung dengan racun jiwa yang lain: purbasangka dan paranoia. Maka dengan mudah ia bisa dipergunakan untuk menyebarkan permusuhan. Yang menakjubkan, stigma bisa bertahan lama. Setelah demokrasi terpimpin runtuh, kata PSI dan Masyumi masih merupakan stigma yang berlanjut. Ketika pada Januari 1974 terjadi gerakan yang membakar dan merusak mobil, motor, dan gedung di jalan-jalan Jakarta, pihak penguasa menggunakan media untuk menuduh bahwa yang jadi dalang kekerasan itu PSI dan Masyumi. Sejumlah orang yang sering diberi label PSI dan Masyumi dipenjarakan. Banyak di antaranya tanpa diadili. Segera sesudah itu, sebuah buku propaganda diterbitkan dalam bentuk mewah, ditulis oleh seorang wartawan, Marzuki Arifin. Dakwaan terhadap PSI dan Masyumi, dua partai yang sudah dibubarkan 14 tahun sebelumnya, dikumandangkan lagi. Bahasa membentuk endapannya sendiri. Kata-kata ikut bercampur dengan bawah-sadar, dan diubah-ubah maknanya oleh apa yang bergolak dalam percampuran itu. Oleh hasrat dan dalam hasrat. Oleh kengerian dan dalam kengerian. Makna tak lagi jelas

dan transparan. Dan tak ingin untuk demikian. Apa arti PSI? Masyumi? Manikebu? PKI? Gestapu? Tak penting lagi dikaji apa sebenarnya arti kata-kata itu. Orang tak peduli lagi apa yang terkandung dan tak terkandung di dalamnya. Sebagai salah satu perumus Manifes Kebudayaan (yang diubah jadi Manikebu, sebagai langkah awal stigmatisasi), saya sering takjub: sampai hari ini manifesto yang diganyang habis-habisan pada tahun 1960-an itu masih dianggap mendukung paham “seni untuk seni”. Endapan racun itu memang berumur panjang. Tak mengherankan jika paranoia masih mencengkam ketika orang dengar kata ‘komunis’ dan ‘Marxis’, juga 20 tahun setelah Partai Komunis terbesar di dunia jatuh. Agaknya kini pun orang sedang memproduksi dan mengawetkan stigma sendiri: ‘neoliberal’, ‘liberal’, ‘sekuler’, ‘fundamentalis’ dan dengan itu pertukaran pendapat tak bisa lagi jernih, bahkan jadi mustahil. Akhir-akhir ini, dalam kasus Bank Century, bahkan meningkat suasana yang mempermudah stigmatisasi itu: orang bicara, dan racun bertaburan di antara tiap bunyi, tiap rangkaian huruf, tiap penanda. Stabilitas yang dikukuhkan pada stigma seperti itu berbareng dengan berlanjutnya politik sebagai ajang kebencian dan intoleransi. Bahasa adalah arus yang tak henti-hentinya memelesetkan makna, dan orang memerlukan apa yang disebut psikoanalisis Lacan point de capiton agar ada pegangan, biarpun sementara, untuk mematok makna kata. Tapi point de capiton itu bisa menjepit dan menjerat bukan hanya musuh kita, tapi juga kita sendiri. Pada saat itulah bermula kecurigaan jadi rumus, kebencian jadi doktrin. Kita hanya bisa membebaskan diri dari jerat dan jepit itu bila kita ingat bahwa pada tiap stigma ada racun yang melumpuhkan semuanya. ~Majalah Tempo Edisi Senin, 08 Februari 2010~

Atticus Februari 1, 2010 PENDUDUK kota kecil itu, Maycomb, bukan orang yang keji, tapi ada sesuatu yang menakutkan di pengadilan itu. Tom Robinson tak terbukti bersalah, tapi hampir seluruh penduduk bersepakat dengan diam-diam atau berteriak: Tom harus dihukum mati. Dan para juri memutuskan ia memang telah memperkosa Mayella Ewell. Dan vonis itu dibacakan hakim. Dan Tom dimasukkan ke sel penjara, menunggu, tapi putus asa, mencoba melarikan diri, dan ditembak mati. Novel terkenal To Kill a Mockingbird, ditulis oleh Harper Lee dan terbit pada 1960, mungkin akan selalu mengingatkan kita bahwa ketidakadilan dapat dilakukan atas nama keadilan bagi orang banyak. Orang banyak itu penduduk kulit putih yang tak ingin dipermalukan seorang buruh kulit hitam, justru karena si negro tak bersalah dan dengan demikian ayah dan ibu si gadis yang bersalah, berdusta—dan bukan cuma itu, sebab dari pengadilan itu tampak bahwa Mayella itu yang mencoba merayu Tom, bukan sebaliknya. Pengacara yang lurus hati itu, Atticus Finch, telah ikut mempermalukan mereka. Ia, duda yang senantiasa berpakaian lengkap itu, seharusnya di pihak orang ramai, kaumnya, sebab ia juga berkulit putih. Tapi tidak. Atticus Finch memutuskan untuk membela Tom Robinson. Tanpa dibayar. Tanpa ragu meskipun ia harus menghadapi para tetangganya, bahkan disesali kakak kandungnya sendiri. Dan meskipun ia tahu ia tak boleh banyak berharap, dari sebuah mahkamah di kota di pedalaman selatan Amerika, untuk melihat seorang hitam sebagai sesama manusia. ”Kasus ini,” kata Atticus Finch kepada anaknya, ”kasus Tom Robinson ini, sesuatu yang merasuk ke hati nurani, Scout. Aku tak akan sanggup pergi ke gereja dan menyembah Tuhan jika aku tak

menolong orang itu.” Apa sebenarnya yang disebut ”hati nurani”, kita tak tahu. Tapi ada dorongan untuk kurang-lebih tak palsu. Atticus Finch mungkin bukan seorang yang tiap kali membaca Injil, tetapi ia merasa harus ada hakim yang terakhir, sebuah kekuatan yang tahu persis kebenaran dan keadilan, ketika manusia begitu galau, tak tahu persis apa yang terjadi, tapi ikut berteriak-teriak, ”Salibkan dia!” Atticus dimusuhi tetangganya. Di luar gedung pengadilan, seseorang datang, dan meludahi mukanya. Orang itu Ewell, ayah Mayella, pemabuk yang suka memukuli anaknya sendiri. Dan Atticus berkata, ”Nah, kalau meludahi mukaku dan mengancam-ancamku dapat menyelamatkan Mayella dari pukulan tambahan, aku dengan senang hati menerima diludahi.” Di kota kecil Maycomb yang sedang menanggungkan depresi ekonomi, ketika orang dirundung cemas, Atticus Finch berdiri: ia jadi merasa kuat, justru ketika ia merasa bahwa yang ditanggungkannya bukan apa-apa jika dibandingkan dengan Mayella yang dipukuli dan Tom yang difitnah dan dizalimi oleh kekuasaan yang seharusnya melindunginya. ~Majalah Tempo Edisi Senin, 01 Februari 2010~

Kata Januari 25, 2010 Jika bedil sudah disimpan… – Chairil Anwar, ”Catetan Th. 1946” PERANG (atau kekerasan) punya batas. Ia akan berakhir, betapapun panjang rentang waktunya. Kalaupun berlanjut, ia tak bisa menjawab segala soal. Jika bedil sudah disimpan, dan hancurmenghancurkan telah jadi kenangan yang berdebu, kita akan melihat bahwa masyarakat manusia juga mengandung benih-benih perkawanan. Tak cuma antagonisme.

Sebab itu, ”Kita memburu arti…,” kata Chairil Anwar dalam sajak yang saya kutip di pembuka tulisan ini. Memburu ”arti” dalam hal ini mencoba mencari makna dan nilai dari luka dan rasa terhina, dari pengalaman brutal dan getir yang telah terjadi. Perbuatan baik atau burukkah yang telah kita lakukan? Untuk sesuatu yang berhargakah ia atau cuma sia-sia? Berharga buat apa, buat siapa? Kita pun bergulat untuk menjawab deretan pertanyaan itu. Kekerasan dalam bentuk pengalaman pra-diskursif kita ganti dengan wacana. Discourse, atau wacana, yang menggunakan kata-kata, merupakan pilihan yang lebih sedikit ongkosnya ketimbang mesin kekuasaan dan senjata. Orang tak bisa selamanya dan sepenuhnya akur dengan orang lain hanya karena ia tunduk kepada aura sebuah otoritas. Atau ia tunduk karena takut dibinasakan. Setelah bedil disimpan, orang hanya bisa setuju karena pada saling bicara. Dalam sajaknya di atas Chairil berseru kepada zaman pascaperang: … jangan mengerdip, tatap dan penamu asah, Tulis…! Tapi benarkah saling bicara, dengan tatapan mata yang lurus dan dengan pena yang baru diasah itu, bisa menjawab problem dasar politik—”politik” dalam arti proses penyelenggaraan kehidupan manusia sebagai makhluk sosial? Dalam catatan sejarah, komunikasi memang bagian dari kelahiran demokrasi. Ketika para penghulu agama dan raja bukan lagi otoritas yang menguasai wacana, di tempat yang kosong itu yang berperan adalah percaturan pendapat. Muncul kelompokkelompok yang kian leluasa mengajukan pikiran alternatif, dengan media massa jadi perantaranya. Ini terutama terjadi di Eropa, tapi juga kita mengalaminya: ketika pemegang monopoli kebenaran

runtuh, orang ”memburu”, dan bukan hanya ”menerima”, arti. Tapi betapa tak mudah. Demokrasi adalah sistem yang membuat mereka yang pegang kekuasaan dan hegemoni menyadari bahwa status mereka tergantung-gantung dalam kontingensi. Dalam keadaan yang tak permanen itu, bagaimana ”arti” yang tetap dapat ditegakkan, dan bagaimana ”arti” itu dirumuskan sebagai kaidah? Dalam ketiadaan tempat berpegang itu orang umumnya menunjuk kepada ”kebenaran”. Veritas non auctoritas facit legem. ”Kebenaran”, bukan auctoritas, itulah yang membuat kaidah. Tapi tak dengan sendirinya itu gampang. Persoalan klasik kita, bagaimana sanggup ”kebenaran” jadi kaidah, bila ”kebenaran” itu sendiri jangan-jangan dibentuk oleh kekuasaan? Bagaimana menetapkan kebenaran itu, bila ibarat kata pepatah, ”kepala sama berbulu, pendapat berlainan”? Ada yang percaya, mengikuti Habermas, aksi komunikatif akan mencapai konsensus. Ada yang percaya, terdapat hubungan yang lempang antara rasionalitas, rembukan—sebagai proses pertimbangan—dengan ”kebenaran”. Pandangan ini optimistis sekali. Katakanlah ini optimisme epistemik: ia berpegang pada satu premis bahwa ada sesuatu dalam bahasa manusia yang menyebabkan sebuah argumen dapat berpengaruh tanpa dipaksakan. Itulah daya komunikatif. Habermas mengibaratkan daya komunikatif sebagai sebuah kekuatan yang mengepung, bukan mengambil alih: daya itu hanya mempengaruhi sekeliling arena tempat berlangsungnya penilaian dan keputusan politik dan bukan menaklukkan arena itu. Daya aksi komunikatif yang sejati menang tanpa ngasoraké. Bahkan kata ”menang” itu tak pas untuk dipakai, sebab tak ada yang dikalahkan. Konsensus bukanlah kekalahan. Saya tak seoptimistis itu. Tentu saja saya mengakui, konsensus bukan sesuatu yang mustahil di akhir sebuah proses politik. Demokrasi ”deliberatif”—yang membuka diri pada rembukan dan

saling mempertimbangkan—dengan prosedur yang benar akan bisa mencapai mufakat. Setidaknya mufakat dalam pengertian Übereinstimmung yang dipakai Habermas: bukan sepaham, tapi mencapai titik pertemuan yang cocok. Tapi saya tak yakin—seraya mengasah pena dan menulis, seraya menggunakan bahasa—dengan sendirinya kita melakukan aksi komunikatif ke titik pertemuan itu. Kita tak bisa jadi pengarah. Justru kata dan bahasa itulah yang mempergunakan kita, bukan sebaliknya. Seperti dikatakan sebuah sajak Subagio Sastrowardojo: Kita takut kepada momok karena kata Kita cinta kepada bumi karena kata Kita percaya kepada Tuhan karena kata Nasib terperangkap dalam kata Dengan kata lain, dalam bahasa, kita terbelah. Kita hanya mengulang—termasuk mengulang sebutan dari praduga masa lalu, ide yang sudah lama atau bahkan mati, acuan yang telah lewat. Tapi pada saat itu pula, dalam berkomunikasi kita ingin semua signatum yang sudah ada mengutarakan apa yang sedang ada pada saat ini. Makna pun berubah tiap kali. Tak ada yang siap. Sebab itu aksi komunikatif bukanlah untuk menyampaikan makna, melainkan untuk membentuknya. Rasionalitas yang komunikatif sekalipun ikut ”terperangkap dalam kata”. Maka berbahaya bila politik dalam demokrasi dikerahkan untuk merumuskan ”kebenaran” dan dengan ”kebenaran” itu disusun akidah. Politik dalam demokrasi pada akhirnya harus mengakui bahwa aksi komunikatif yang terbaik bukanlah dengan bahasa yang sudah terang-benderang, tapi bahasa yang terbentuk karena krisis, konflik, kekurangan, dalam kehidupan. Sebaris lagi dari Chairil: ”Tulis karena kertas gersang dan

tenggorokan sedikit mau basah.” ~Majalah tempo Edisi Senin, 25 Januari 2010~

Januari Januari 18, 2010 Tiap generasi ingin punya revolusinya sendiri. Di bulan Januari. 15 Januari 1974. Jakarta guncang, tegang, dan suasana menakutkan. Ribuan orang berdemonstrasi, menyusuri jalan, membakar puluhan mobil dan ratus-an sepeda motor, membumihanguskan pusat belanja di kawasan Senen (yang waktu itu termasuk megah), dan merusak apa saja yang memakai logo perusahaan Jepang. Sudah beberapa lama sebelumnya—pada masa ketika pers belum dijerat ketat oleh penguasa—para aktivis mahasiswa dan intelektual menyuarakan kecaman mereka kepada modal Jepang. Dan hari itu aksi massa meledak. Revolusi? Mungkin itulah yang dibayangkan para pelakunya. Tapi, bagi saya, hari itu yang terjadi sebuah laku tanpa ide. Terbiasa membaca Lenin, saya cenderung melihat ”revolusi” sebagai langkah untuk perubahan radikal yang bukan hanya disertai aksi massa, tapi juga berkait dengan sebuah ”teori” atau gagasan yang tak cuma datang dari batok kepala, melainkan dari benturan dengan keadaan. Revolusi Lenin bahkan bertolak dari telaah tentang keadaan sosial dan ekonomi. Dari telaah itu disusun ”program umum” dan ”program khusus”. Dalam strategi dan taktik itu perebutan kekuasaan politik jadi soal penting. Jelas juga pihak yang akan memimpin, jelas pula sistem politik & ekonomi yang akan diterapkan. Revolusi Oktober 1917 di Rusia jadi teladan. Revolusi Prancis memang tak tampak berangkat dari ”program” apa pun, tapi, seperti dikatakan Lenin, itu juga sebuah revolusi besar: dengan itu dasar baru masyarakat diletakkan dan tak bisa diubah lagi. Perebutan kekuasaan—sang raja dipenggal—bahkan

jadi tanda zaman baru: tak ada lagi yang kekal di takhta itu. Revolusi Prancis juga tak hanya meletus dari konflik sosial, dan sebab itu melibatkan orang ramai. Ia sambungan cita-cita yang lahir dari konflik sosial itu, yang dirumuskan oleh para pemikir dan disaripatikan dalam semboyan liberté, egalité, fraternité. Dengan sedikit penyesuaian, kita bisa mengatakan, yang terjadi di tahun 1945 di Indonesia (dan 17 Agustus hanya salah satu penanda waktu yang penting) juga sebuah ”revolusi”. Sebab sejak itu, sejak kekuasaan berpindah tangan dari Hindia Belanda dan Jepang, Indonesia tak bisa ditarik kembali ke kerangkeng kolonialisme. Bertahun-tahun sebelumnya, gagasan tentang sebuah bangsa dicanangkan dan sejak 1945 bangsa itu bersedia mati untuk merdeka. Dari kancah mereka yang bersedia mati itu Pramoedya Ananta Toer, dalam Di Tepi Kali Bekasi, bersaksi tentang sebuah ”epos revolusi jiwa”. Revolusi: awal transformasi yang tak dapat dibalikkan. Januari 1966. Saya tak tahu bagaimana keadaan waktu itu. Saya tak ada di Indonesia. Dari sebuah kota kecil di Eropa saya hanya dapat kabar secara sporadis (antara lain dari surat-surat almarhum Soe Hok Gie, salah satu aktivis yang militan masa itu) tentang aksi mahasiswa yang tak henti-hentinya. Sekembali di Tanah Air, saya kemudian tahu bahwa ada kerja sama para mahasiswa itu dengan militer; ada pembantaian dengan korban para anggota PKI atau yang dicurigai jadi pendukung. Ya, ada hal-hal yang mengerikan dan busuk. Pelan-pelan tampak bahwa militer mengambil alih gerak perubahan politik yang dipelopori mahasiswa ke arah sebuah rezim baru yang antidemokrasi. Tapi membaca surat kabar waktu itu, terutama Kompas dan Ha-rian Kami, saya bisa tahu, ada hasrat demokratisasi yang kuat di tahun 1966, ketika para aktivis merobohan sistem ”demokrasi terpimpin” Bung Karno. Suara untuk mengukuh-kan hak-hak asasi manusia terdengar nyaring, usaha me-negakkan kemerdekaan pers dan rule of law serius.

Apa yang dicita-citakan itu kemudian memang dikhia-nati. Namun yang terjadi bukan hanya kemarahan. Juga bukan hanya rencana per-ubahan kekuasaan. Yang terjadi adalah gerakan untuk gagasan yang datang dari mulut yang tercekik, perut yang tak tenang. Setelah 1966, demokrasi memang dibalikkan jadi kediktatoran, tapi ada yang sejak itu tak dapat dibalikkan lagi: sistem ”ekonomi terpimpin” ditinggalkan—30 tahun lebih sebelum Cina dan Vietnam meninggalkan sistem ”ekonomi sosialis”. Revolusi? Mungkin ya, mungkin bukan. Kata itu barangkali tak disebut. Tapi ia punya pukaunya sendiri: dalam historiografi populer Indonesia, ”revolusi” dikaitkan dengan sepatah kata yang ganjil tapi mempesona: ”angkatan”. Kata ini tak jelas asal-usulnya dan sebetulnya membingungkan maknanya. Namun ia dipakai terus. Ia berarti ”ge-nerasi”, tapi ia mengandung juga kesan ”perjuangan” dan ”kekuatan” yang gagah (yang juga kita temukan dalam ”angkatan bersenjata”). Maka ”Angkatan ’45” disebut, dan orang pun latah: ”Angkatan ’66” menyusul. Untung, setelah 15 Januari 1974, tak ada lagi yang ditahbiskan dengan sebutan ”angkatan”. Peristiwa yang disebut ”Malari” itu tak punya dampak sosial yang berlanjut. Bahkan bisa disebut, amuk hari itu hanya bagian sebuah operasi intelijen, selapis tabir untuk menutupi konflik antara para jenderal pendukung Soeharto, lengkap dengan dusta dan propagandanya—sebuah fragmen sejarah yang kelak perlu lebih jelas diungkapkan. Tapi bahwa itu terjadi, di sebuah Januari, menunjukkan betapa mudahnya revolusi ditiru. Meskipun harus dicatat: revolusi seperti puisi: sekali dilahirkan, ia tak bisa diulang. Amarah yang meledakkannya dan gairah yang menyertainya tak bisa cuma repetisi. Tiap usaha mengulangnya akan tampak sok-pahlawan dan absurd. Saya teringat kalimat Marx dalam Brumaire Ke-18 Louis Bonaparte—dan di sini saya ubah sedikit: ”Kejadian besar dalam sejarah bisa diulangi; kali pertama berupa tragedi, kali kedua berupa banyolan.”

~Majalah Tempo Edisi Senin, 18 Januari 2010~

Gus Dur Januari 11, 2010 Ketika Mahatma Gandhi wafat, ia—yang selama hidupnya antikekerasan dimakamkan dengan upacara militer. Ironis, mungkin juga menyedihkan: bahkan seorang Gandhi tak bisa mengelak dari protokol kebesaran yang tak dikehendakinya. Seorang tokoh besar yang wafat meninggalkan bekas yang panjang, seperti gajah meninggalkan gading. Kadang-kadang ia hadir sebagai ikon: sebuah tanda yang memberikan makna yang menggugah hati karena melebihi kehendak kita sendiri. Kadangkadang sebagai simbol: sebuah tanda yang maknanya kita tentukan, tak perlu menggugah hati lagi, namun berguna untuk tujuan kita yang jelas. Sebuah ikon adalah sebuah puisi. Sebuah simbol: alat. Keduanya saling menyilang tak henti-hentinya. ”Pahlawan mati hanya satu kali,” kata orang hukuman dalam lakon Hanya Satu Kali, yang disebutkan sebagai terje-mahan sebuah karya John Galsworthy tapi yang tak pernah saya ketahui yang mana. Gus Dur bisa disebut seorang pahlawan: ia tak akan meninggalkan kita lagi, begitu jenazahnya dikuburkan. Terutama ketika yang hidup tak akan meninggalkan apa yang baik yang dilakukannya. Tapi dalam arti lain pahlawan mati hanya satu kali karena ia tak lagi bagian dari kefanaan. Tak lagi bagian dari kedaifan. Tak lagi bagian dari pergulatan untuk menjadi baik atau bebas yang membuat sejarah manusia berarti. Hanya dalam pergulatan itu, Gus Dur tampak sebagai yang tak sempurna, tapi melakukan tindakan yang sesederhana dan semenakjubkan manusia: dari situasinya yang terbatas ia

menjangkau mereka yang bukan kaumnya, melintasi gerbang dan pagar, jadi tak berhingga, untuk menjabat mere-ka yang di luar itu. Terutama mereka yang disingkirkan, dicurigai, atau bahkan dianiaya: bekas-bekas PKI, minoritas Tionghoa, umat Ahmadiyah. Kita tahu ia melakukan itu dengan nekat tapi prinsipiil—keberanian yang hampir tak terdapat pada orang lain. ”Saya dan Romo Mangun berbeda agama, tapi satu iman,” kata Gus Dur suatu kali. Iman bagi Gus Dur bukanlah sebuah benteng: sebuah konstruksi di sebuah wilayah. Benteng kukuh dan tertutup, bahkan dilengkapi senjata, untuk menangkis apa saja yang lain yang diwaspadai. Bangunan itu berdiri karena sebuah asumsi, juga kecemasan: akan ada musuh yang menyerbu atau pecundang yang menyusup. Iman bagi Gus Dur bukanlah sebuah benteng, melainkan sebuah obor. Sang mukmin membawanya dalam perjalan-an menjelajah, menerangi lekuk yang gelap dan tak dikenal. Iman sebagai suluh adalah iman seorang yang tak takut menemui yang berbeda dan tak terduga. Terkadang nyala obor itu redup atau bergoyang, tapi ia tak pernah padam. Bila padam, ia menandai perjalanan yang telah berhenti. Saya membayangkan Gus Dur tak pernah berhenti. Ada sebuah nyanyian Fairouz yang digemari Gus Dur, dikutipkan oleh Mohammad Guntur-Romly, bersama liriknya. Petilannya, saya coba terjemahkan: Pernahkah kau terima hutan seperti aku terima hutan, sebagai rumah tinggal, bukan istana Pernahkah kau buat rumput jadi ranjang dan berselimutkan luasnya ruang, merasa daif di hadapan yang kelak, dan lupa akan waktu silam yang hilang Sering saya berpikir kenapa Gus Dur dengan tanpa ragu tak

ikut mengutuk novel Salman Rushdie, The Satanic Verses. Saya duga karena ia menemukan dalam novel itu empat unsur yang tak terpisahkan: kenakalan, kecerdasan, provokasi, dan humor. Gus Dur tak keberatan dengan keempat unsur itu karena ia yakin Tuhan tak sama dengan mereka yang terusik oleh kenakalan dan humor. Saya kira Tuhan bagi Gus Dur bukanlah Tuhan yang terbayang dalam Perjanjian Lama, Tuhan yang menggelisahkan puisi Amir Hamzah: Tuhan yang ”ganas” dan ”cemburu”. Yang ganas dan cemburu akan menampik kenakalan dan humor. Tuhan yang antihumor itulah yang diyakini Jorge, kepala biara dalam novel Umberto Eco, Il nome della Rosa. Di biara Italia abad ke-14 itu beberapa rahib ditemukan tewas. Kemudian diketahui bahwa mereka telah terkena racun ketika membuka sebuah buku terlarang di dalam perpustakaan; sebuah buku tentang tertawa. Satu paragraf yang tak terlupakan: ”Mungkin misi mereka yang mencintai umat manusia adalah untuk membuat orang menertawakan kebenaran, untuk membuat kebenaran tertawa, sebab satu-satunya kebenaran terletak dalam belajar membebaskan diri kita dari kegandrungan gila-gilaan kepada kebenaran”. Saya lebih bangga punya seorang Gus Dur yang bukan pre-siden, ketimbang seorang Gus Dur di atas takhta. Betapapun keinginannya, ia tak pernah cocok di sana. Sebab ia bagian yang wajar dari sesuatu yang bagi saya sangat berharga—ketidakmauan untuk tunduk kepada yang kuasa dan yang beku— semacam anarkisme yang jinak dan jenaka. Seorang intelektual publik terkadang yakin bahwa memasuki kehidupan politik (dan memperoleh kekuasaan) itu perlu. Yang sering dilupakan ialah bahwa ”yang perlu” belum tentu ”yang niscaya”, dan bahwa politik, sebagai panggilan, sebenarnya

sebuah panggilan yang muram, sedih. Dalam kesedihan itu kita seharusnya bertugas. ~Majalah Tempo Edisi Senin, 11 Januari 2010~

Usinara Januari 4, 2010 ALKISAH, seekor burung deruk yang luka terbang, panik, ketakutan, dan putus asa. Di belakangnya seekor lang memburu. Terdesak, deruk itu pun menerobos masuk lewat sebuah tingkap, dan terjatuh di sebuah bilik yang lengang. Di ruang puri itu, Raja Usinara sedang duduk, membaca, hanya ditemani dua orang abdi. Burung malang yang terlontar di kaki baginda itu berkata, ”Tolonglah saya!” Suaranya lamat-lamat. Usinara melihat tubuh unggas itu berdarah. Burung itu pun diangkatnya, dan disuruhnya salah satu abdi membawa air dan obat. Ketika ia bersihkan luka itu dengan hati-hati, tiba-tiba terdengar suara yang membentak, berat dan gelap, dari arah jendela: ”Kembalikan ia kepadaku!” Di bendul jendela itu dilihatnya seekor lang besar dengan pandang yang liar. ”Deruk itu milikku!” lang itu berkata. ”Aku telah berhasil menggigitnya: itulah tanda ia mangsaku. Hukum perburuan menentukan demikian. Berikan kembali ia kepadaku. Lihat, aku gemetar. Aku lapar. Sudah sepekan aku tak memangsa apa-apa.” Untuk beberapa saat Usinara yang terkejut itu kehilangan katakata. Tapi akhirnya raja yang lembut hati itu—yang juga melihat bagaimana lang itu memang gemetar karena lapar—menawarkan sebuah jalan lain: ia akan memberikan daging apa saja yang diminta burung buas itu asal deruk itu dibebaskan. ”Kau bilang daging apa saja?” ”Ya, apa saja yang kau minta.”

Tak terduga-duga, lang itu berkata, ”Kau gantikan daging deruk itu dengan dagingmu sendiri.” Usinara terhenyak. Ia sadar ia terjebak janji yang sulit. Tapi ia tak hendak ingkar. ”Berapa banyak?” tanyanya. ”Seberat tubuh deruk itu saja,” jawab si lang. Maka dacin pun disiapkan dan belati yang tajam dihunus. Burung kecil itu pun ditimbang, juga kemudian daging dari tubuh Usinara yang dikerat. Dalam jumlah kati yang sama daging segar itu disajikan ke depan si lang, yang memakannya dengan lahap. Tapi begitu serpihan daging terakhir lenyap di paruhnya yang menakutkan, burung buas itu berkata, ”Aku masih lapar.” Dan ia menuduh Usinara ingkar janji. ”Kau berdusta. Daging yang kau berikan pasti masih kurang dibanding dengan berat badan deruk mangsaku. Ia harus ditimbang lagi!” Mendengar itu, Usinara pun menyuruh tubuh deruk itu diletakkan di dacin kembali. Ternyata benar: badan unggas itu jauh lebih berat dari semula. Bahkan hampir seberat tubuh sang raja. Meski terkejut dan pucat, Usinara mengambil belati dan merenggutkan jangatnya sendiri, sepotong demi sepotong. Darah membasah di ruang itu. Tampak baginda menahan sakit, tubuhnya kian lama kian lemah, dan akhirnya rubuh…. Dalam kisah yang terselip di antara ribuan seloka Mahabharata ini (yang saya ceritakan kembali dengan variasi saya sendiri), Usinara tidak mati. Lang pemangsa dan mangsanya yang luka itu sebenarnya dewa-dewa; mereka datang untuk menguji amal sang raja…. Tapi bagi saya, kehadiran para dewa justru tak penting dalam kisah ini. Yang membuat kita terpukau ialah bahwa Usinara tak tahu apa yang akan terjadi dengan dirinya. Ia masuk ke dalam situasi itu begitu saja semata-mata untuk menyelamatkan seekor burung yang tak berdaya. Kisah Usinara adalah kisah pengorbanan diri yang radikal.

Dalam Mahabharata, tokoh Bhisma juga sebuah tauladan pengorbanan: putra mahkota itu berjanji tak akan naik takhta, juga tak akan kawin dan punya anak, demi kebahagiaan ayahnya. Tapi Bhisma telah meniadakan masa depannya untuk seorang yang sedarah. Usinara sebaliknya: ia berikan raga dan nyawanya untuk keselamatan makhluk lain yang tak ia kenal. Ia melakukan yang tak berhingga. Ia kerelaan tak berbatas. Maka kita terpana—juga karena yang dilakukan Usinara sesuatu yang sama sekali baru. Keputusannya tak dianjurkan adat dan tak diatur hukum. Justru ia melampaui hukum, melebihi moralitas—dan mencapai dasar yang ”ethikal”, yakni semacam kebaikan budi, atau cinta kasih, yang memberikan segalanya, menanggungkan segalanya, demi liyan: bagi yang bukan bagian diriku, bukan kaumku, melainkan ia yang terpuruk di luar pintuku, yang tak kukenal—yang tak akan memberikan apa pun kepadaku, tapi terancam, ketakutan, tertindas, menderita. Dan Usinara memberikan dirinya bukan karena patuh kepada aturan atau taat kepada Tuhan. Usinara tak dikendalikan pamrih, tak menuruti kalkulasi dosa & pahala yang sering dilakukan orang beragama dalam tata buku moral mereka. Lakunya adalah laku kemerdekaan. Apa gerangan yang mendorongnya? Adakah imbauan dari yang ”ethikal” hanya terjadi pada tokoh dongeng? Mungkinkah kebaikan budi itu menggerakkan hati orang pada umumnya? Tak setiap orang Usinara, tentu. Tapi dalam pengalaman manusia ada perbuatan yang, meskipun tak dramatis, paralel dengan yang dilakukan raja itu: satu hal yang menyebabkan kita berpikir, mengikuti postulat Kant, bahwa dalam diri manusia ada yang menyebabkan dirinya—dengan otonomi penuh, dengan kemauan bebas—menghormati dan mematuhi panggilan ”hukum moral”: diam-diam seorang wartawan menampik bayaran uang untuk menulis fitnah, menolak juga godaan untuk jadi pahlawan. Diam-diam seorang pejabat memilih diberhentikan ketimbang

mematuhi perintah atasan yang melanggar hukum…. Tapi apa itu sebenarnya, dari mana datangnya das Faktum der Vernunft itu? Tak bisa dijelaskan. Faktum itu tak mungkin ditunjukkan di dunia empiris. Kita, kata Kant, hanya ”mengerti ketidakmungkinannya untuk dimengerti”. Mungkin justru sebab itu kita takjub: Usinara tak bertolak sebagai ”aku” yang telah merumuskan apa itu kebaikan budi. Ia bukan ”aku” di pusat situasi. Kita takjub karena ia mengatasi keterbatasan dirinya justru ketika ia merasa, di saat yang konkret itu, imbauan makhluk yang terancam itu adalah segala-galanya. Selebihnya, juga dirinya sendiri, hanya turahan. ~Majalah Tempo Edisi Senin, 04 Januari 2010~

Trowulan Desember 28, 2009 SEBUAH kota abad ke-13 yang hilang di pelosok Jawa Timur mungkin bisa bicara tentang kita. Sisa-sisanya ditemukan di sebuah tanah lapang di Kecamatan Trowulan, Mojokerto. Di area seluas 63 x 63 meter persegi itu, di bawah atap rendah, berderet petak galian, semuanya cuma sekitar setengah meter dalamnya. Tapi warna gelap bumi seakan-akan melindungi apa yang hanya sedikit terungkap di sana: bekas-bekas rumah, pola lantai halaman, gerabah yang halus, tangga, lorong parit, gobang, ribuan artefak…. Rumah, bukan candi, bukan gerbang, bukan tempat ritual keagamaan. Arkeolog Mundardjito, guru besar dari UI yang telah bertahun-tahun bekerja dalam ekskavasi besar ini, menunjukkan betapa pentingnya yang ditemukan di sana: sebelum Trowulan, para arkeolog belum pernah menemukan sisa-sisa sebuah kota. Dengan kata lain, inilah buat pertama kalinya mereka berhasil. Inilah sebuah pintu baru ke masa silam!

Tak urung, saya (yang tak pernah berpikir sebelumnya tentang itu) tertular oleh semangat itu dan pergi ke Trowulan—mengikuti Mundardjito berjalan dari situs ke situs, menggali, menelaah, membuat hipotesis. ”Kalau di lapangan, umur saya bukan 73, tapi 37,” katanya, setengah bergurau. Umur + energi tambahan memang diperlukan untuk kerja besar ini, yang sebenarnya dimulai pada 1924, ketika Bupati Mojokerto, Kromodjojo Adinegoro, bersama Arsitek Henry MacLaine Pont mendirikan Oudheidkundige Vereeneging Majapahit (OVM). Mundardjito bersama para arkeolog yang lebih muda adalah penerus ikhtiar OVM—mungkin dengan gairah dan rasa ingin tahu yang berbeda. Masa lalu memang sederet panjang tanda tanya. Di wilayah sekitar 100 kilometer persegi, di mana lapangan ekskavasi tadi terletak, sejarah Majapahit terpendam. Tapi kenapa terpendam? Kenapa Majapahit yang berdiri di abad ke-13 kini tak bersisa, sedangkan Cordoba dan masjidnya, yang mulai dibangun kerajaan Islam di Spanyol di abad ke-8, masih bisa utuh? Kenapa Majapahit, yang kurang-lebih seumur Cambridge University di Inggris, kini hanya bekas yang terserak dan tersembunyi? Mungkin perang telah merusak semuanya, hingga kota itu ditinggalkan dan pelan-pelan rubuh. Mungkin iklim merapuhkan bahan-bahan yang membentuknya. Mungkin gempa atau wabah. Tidak atau belum ada penjelasan. Tapi bahwa ia tak mampu bertahan terus (sebuah kronologi Jawa menyebutnya ”sirna ilang”) menunjukkan sebuah kelemahan dasar: di kota itu tampaknya tak ada kekayaan sosial—dalam bentuk harta dan pemikiran—yang secara kontinu bisa merawat, merenovasi, dan merekonstruksi diri. Bila sebuah catatan dari Cina abad ke-15 menggambarkan Majapahit, yang dicatatnya adalah istana: bersih dan terawat, dikelilingi tembok bata merah setinggi lebih dari 10 meter. Dalam kompleks istana, bangunan bertiang kayu yang besar setinggi 1013 meter. Atap bangunan terbuat dari sirap. Atap rumah rakyat dari

ijuk atau jerami. Itu semua memang bahan yang tak tahan lama, tapi akan bisa diperbaharui terus-menerus seandainya kekuasaan dan struktur masyarakatnya punya basis ekonomi yang luas, bila mereka tak cuma tergantung kepada satu poros. Tapi mungkin Majapahit benar-benar cuma tergantung kepada satu poros. Mungkin Majapahit satu contoh yang disebut Marx sebagai ”despotisme timur”: sang baginda punya kuasa yang absolut; ia tak mengizinkan kekuatan sosial-ekonomi di luar dirinya. Dalam despotisme ini, tak boleh ada satu lapisan elite yang kuranglebih mandiri. Aceh, di bawah Sultan Iskandar Muda di abad ke-17, adalah sebuah kerajaan yang dahsyat. Sultan yang perkasa ini—yang dengan kekuatan militernya mengalahkan sebuah armada Portugis dan menaklukkan pelbagai kerajaan di Semenanjung—memegang dengan ketat monopoli perdagangan. Dengan itu ia buat ”orang kaya”, satu lapisan elite yang sedang tumbuh, tergantung kepada belas kasihnya. Di Mataram abad ke-17, Amangkurat I bertindak mirip: ia menampik saran seorang tamu Belanda agar baginda membuat rakyatnya kaya. Jika mereka berharta, kata raja Mataram yang bengis itu, ”mereka bisa melawanku”. Tapi dengan demikian kekuasaan para sultan seakan-akan berdiri di atas pedestal yang tinggi tapi sendiri. Ketika takhta guncang, ketika para raja kehabisan sumber kekayaan dan gagasan, tak ada penyangga sosial lain. Tak ada kelompok masyarakat yang mandiri seperti halnya kaum burger dalam sejarah kota-kota Eropa. Dari kalangan ini—yang kemudian disebut bourgeoisie—lahir kekuatan yang memperkukuh kota. Tak aneh bila di Eropa, kota dilambangkan sebagai ”tembok”. Kata tuin dalam bahasa Belanda lama juga berarti pagar. Tapi saya tak tahu tepatkah kiasan itu berlaku untuk ibu kota Majapahit. Kitab Negarakartagama yang ditulis di masa itu hanya menyebut ”kuwu”:

unit permukiman yang dikelilingi tembok. Tapi tak jelas, adakah dengan demikian kota pun lahir sebagai sebuah wilayah yang merdeka. Atau ia hanya sebuah tempat ”di mana kita tak usah berjalan melalui sawah”. Artinya tak ada batas yang tegas antara ”kota” dan ”di luarnya”. Jangan-jangan itulah yang terjadi—yang secara tak sadar berlanjut hingga kini: orang berpindah dari luar ke dalam kota tanpa membuat hidupnya berubah. Perilaku dan nilai-nilai ”udik” merembes ke kehidupan urban—dan begitu juga sebaliknya. Yang ”udik” menyebabkan gerak jadi lamban, karena harmoni harus dijaga dan orang saling menunggu. Sebaliknya yang ”udik” membuat hidup lebih santai dan bisa berbagi. Walhasil, harmoni bisa memperkuat sebuah kota, tapi juga bisa memperlemahnya. Itukah barangkali riwayat kota yang hilang di Trowulan itu: dirawat tumbuh dengan harmoni + serasi, dan tak siap untuk hidup tanpa harmoni + tak serasi? ~Majalah Tempo Edisi Senin, 28 Desember 2009~

Macbeth Desember 21, 2009 Politik, seperti halnya tragedi, tak akan punya arti tanpa kesangsian. Mungkin itulah sebabnya Macbeth, tragedi Shakespeare, tak mudah dilupakan, juga oleh seorang presiden. Pada suatu malam sastra di Gedung Putih, Presiden Clinton bercerita bahwa perkenalan pertamanya dengan puisi berlangsung di SMP, ketika gurunya memintanya menghafal baris-baris solilokui dalam Macbeth. Lalu ditambahkannya, setengah melucu: untuk memasuki kehidupan politik, membaca Macbeth bukanlah awal yang baik. Ketika acara selesai dan hadirin bergiliran menjabat tangannya, seseorang bertanya masih ingatkah presi-den itu baris-baris Macbeth itu. Di saat itu Clinton pun membacakannya dengan

bagus: … here upon this bank and shoal of time, We’d jump the life to come. But in these cases We still have judgement here, that we but teach Bloody instructions which, being taught, return To plague th’inventor. Kalimat itu diucapkan Macbeth, ketika tokoh lakon ini sendirian, merenung dalam kebimbangan. Panglima perang itu berniat membunuh rajanya, Duncan, mes---kipun ia tahu baginda menyayanginya dan mempercayainya: Duncan telah menghadiahinya wilayah ke-kuasaan yang lebih luas dan bersedia datang meng-inap di kastilnya. Tapi Macbeth berniat membunuhnya, ka-rena ada ramal-an tiga nenek sihir bahwa ia akan jadi raja. Dan tak kalah penting, karena Lady Macbeth, istrinya yang perkasa, mendesaknya, meyakinkannya. Malam itu Macbeth pun membunuh raja, ketika tamu agung itu tengah tidur. Untuk menghapus jejak, ia tuduh dan ia bunuh para penjaga. Darah yang mengalir tak berhenti di sana…. Tapi sesaat itu, ketika ia sangsi, ketika ia merasa berada ”di tebing dan laut waktu”, Macbeth bukan seorang yang keji. Ia merasa ada yang tak patut bila ia jalankan- niatnya: ia mengkhianati rajanya dan membantai se-orang ”lemah lembut” (meek), yang ”kebajikannya akan mengimbau bagaikan malaikat”, hingga akan jatuh kutuk ketika ia dipaksa meninggalkan dunia. Memang tak jelas benar apa yang membuat Macbeth bimbang: seperangkat nilai-nilai, sebuah tatanan moral, atau hanya ketakutan pembalasan. Kita dengar baris yang dibacakan Clinton: siapa yang membawa ajar-an berdarah, kata Macbeth, akan mendapatkan yang sama, yang berbalik, merongrong ia yang memulanya.

Mungkin dalam ambivalensi itu antara bisikan moral dan dagdig-dug ketakutan dengan mudah bujukan Lady Macbeth menjeratnya. Menjerat: sebab Duncan mati, Macbeth jadi raja, tapi sejak itu yang ada hanya pembunuhan demi pembunuhan. Macbeth tragis karena kita sebenarnya bisa melihat apa yang baik dalam diri-nya tapi nujum dan nasib tak ditolaknya. Ia jadi keji. Bukan karena nujum dan nasib itu sebegitu sakti. Macbeth, dengan kemauannya sendiri, memilih nujum dan nasib dan bukan yang lain. Dia juga yang bolak-balik datang meminta nujum dari tiga nenek sihir itu, bahkan mencoba mengubah ramalan yang tak disukai-nya. Macbeth tragis, sebab kita menyaksikan bagaimana kekuasaan meringkus semuanya. Termasuk meringkus saat-saat sangsi di depan ”tebing dan laut waktu” sebelum seseorang meloncat ke masa depan saat-saat ketika bisikan yang lain masih bisa terdengar. Saya tak kunjung takjub apa sebabnya hasrat ke kekuasaan mampu meringkus semua itu. Apa yang istimewa dalam kekuasaan? Mengapa segala cara dikorbankan untuk mendapatkannya? Akhirnya ada yang lebih destruktif ketimbang pembunuhan—yakni sejenis nihilisme, yang menegaskan bahwa kita tak perlu sangsi karena kita tak perlu nilai-nilai. Tak ada dorongan yang gigih untuk mempertahankan apa yang baik. Seperti kita lihat di Indonesia kini, uang, jual-beli pengaruh, lewat lobi dan media, itulah yang akhirnya menentukan apa dan siapa yang salah dan apa dan siapa yang tidak. Selebihnya: nihil. Apa lagi gerangan yang dikenang seorang presiden seperti Clinton setelah membaca Macbeth? Clinton sendiri mungkin tak perlu merenungkan jauh; ia tak perlu bergulat dengan dilema yang dahsyat. Ia seorang presiden yang dapat naik dan turun takhta tanpa melalui pembunuhan. Maka menarik untuk menyimak apa yang dikatakan Clinton kepada Stephen Greenblatt yang kemudian menuliskan kesannya

dari malam sastra di Gedung Putih itu dalam The New York Review of Books, 12 April 2007. Karya Shakespeare itu, kata Clinton, adalah kisah tentang seseorang dengan ambisi yang amat besar yang ”obyeknya secara ethis tak memadai”. Ada yang baru di sini: bukan si Macbeth yang ”secara ethis tak memadai”, melainkan sasarannya: kekuasaan. Mungkin yang dimaksud Clinton bukan kekuasaan pada umumnya (rasanya ia tak hendak berpikir demikian tentang kekuasaan seorang Presiden Amerika), melainkan kekuasaan yang direbut Macbeth. Dalam lakon ini, kekuasaan bukan saja tampak tak sah, tapi juga tak ada tujuannya. Atau lebih tepat: kekuasaan dipertahankan demi menyembunyikan sifatnya yang tak sah. Macbeth adalah cerita tentang nihilisme dalam bentuknya yang mengerikan dan menyedihkan, karena seorang baik telah mengikuti nujum dan nasib, dan tenggelam dalam kekejian—seraya menyimpulkan bahwa hidup hanyalah ”kisah yang dibawakan seorang dungu, penuh amarah dan suara seru, yang tak punya arti apa-apa”. Suaranya sebenarnya murung. Di saat itu Macbeth justru menunjukkan: nihilisme tak bisa mutlak. Dengan getir ia sendiri merasakan ada yang hilang di dunia ketika hanya kekuasaan yang tak menyebabkannya hidup tenteram telah jadi satu-satunya perkara yang dipertaruhkan. Syahdan, di kamarnya yang gelap, setelah pembu-nuhan terjadi, Lady Macbeth tiba-tiba merasa melihat ada darah di tangannya. Berjam-jam ia coba basuh, ta-pi tak terhapus juga. Jejak kejahatan itu tetap bau. Dan akhirnya ia tahu: ”seluruh parfum dari Arabia tak akan dapat mengharumkan tangan kecil ini”. ~Majalah Tempo Edisi Senin, 21 Desember 2009~

Recehan Desember 14, 2009 Di Jakarta yang macet, jalan menampik alasannya sendiri.

Sejak Daendels membentangkan 1400 km “La Grande Route” di Jawa di abad ke-18, sampai dengan ketika dinas pekerjaan umum Republik Indonesia membuka jalur-jalur baru di abad ke-21, jalan diasumsikan sebagai ruang untuk mobilitas, peringkas waktu tempuh. Ia bagian dari arah dan gerak, dari dunia modern yang dinamis dan tak tergantung langsung pada alam. Tapi apa yang kita alami kini? Dengan lekas bisa anda jawab: di Jakarta, jalan sama dengan kelambatan dan hambatan; jalan adalah bagian kota yang rentan pada gangguan alam. Jalan adalah lahan banjir. Ada lagi yang menampik alasannya sendiri: mobil. Kendaraan ini berkembang biak dengan cepat. Dan dengan cepat pula mobil, sebuah tanda modernitas yang lain – teknologi dengan dinamika tinggi — telah terbalik posisinya: ia malah jadi simptom kesumpekan. Kita bisa hitung berapa meter persegi wilayah jalan yang diambil oleh satu mobil, dan berapa jadinya jika ada 500.000 buah jenis kendaraan itu, dibandingkan dengan betapa kecilnya bagian kota yang tersedia untuk penghuni baru itu. Saya gemar mengutip Hirsch di dalam soal ini: inilah kongesti, inilah “batas sosial dari pertumbuhan (ekonomi)”. Mungkin menarik untuk meneliti atau memperkirakan dengan rada persis bagaimana akibat kongesti ini bagi hidup kejiwaan. Berapa banyak orang makin naik tekanan darahnya jika tiap hari mereka terjebak macet dan harus menempuh jarak lima kilometer dalam satu jam, terutama sekitar pukul tujuh malam hari? Atau jangan-jangan telah berkembang sikap sabar yang tak terhingga? Bagi saya, macet memang memberi kesempatan tidur lelap di jok mobil. Atau menulis sajak. Tapi saya tak tahu bagaimana orang lain memanfaatkan kemacetan itu — yang mengambil kira-kira tiga jam dalam hidupnya sehari, atau sekitar 18 jam seminggu, atau sekitar tiga hari kerja dalam sebulan. Yang agaknya jelas adalah implikasinya bagi kehidupan bersama. Kongesti itu – berjubelnya mobil di jalan-jalan Jakarta tiap hari itu – adalah sebuah gejala perpecahan sosial.

Kongesti mendorong orang untuk melihat orang lain yang di sebelah, di depan, dan mungkin juga di belakangnya sebagai pihak yang tak diinginkan. Kompetisi, bahkan antagonisme, berlangsung diam-diam (kadang-kadang dengan teriak: pakai mulut atau klakson). Menutup mata tidur juga bisa jadi sikap tak mengacuhkan orang yang di luar sana. Kemacetan lalu lintas lantaran mobil juga akibat dari yang disebut Hirsch, dalam The Social Limits to Growth, sebagai ”the tyranny of small decisions”: keputusan individual yang tak bertautan satu sama lain dalam mengadakan transaksi di pasar. Jika saya membeli mobil, saya tak memikirkan apa dampaknya bagi kelancaran lalu lintas atau bagi bersihnya cuaca—hal-hal yang merupakan bagian kebersamaan. Itu sebabnya, di jalan-jalan, masyarakat – yang biasa dibayangkan sebagai sebuah bangunan utuh — tak hadir. Polisi lalu lintas – jika pun ada – memperkuat raibnya keutuhan sosial itu, ketika ia menggunakan kekuasaannya untuk menarik uang sogok.Sebagaimana banyak orang menghayati mobil dan ruas jalan sebagai milik privat,polisi itu juga memberlakukan otoritasnya sebagai kekuasaan privat.Saya selalu mengatakan, korupsi adalah privatisasi kekuasaan yang didapat dari orang banyak. Kita akhirnya melalaikan bahwa manusia selalu perlu barang dan jasa masyarakat yang, dalam kata-kata Marx, “dikomunukasikan, tapi tak pernah dipertukarkan; diberikan, tapi tak pernah dijual; didapat, tapi tak pernah dibeli.” Di kemacetan jalan Jakarta, kita tak lagi bertanya, tak lagi peduli, di mana gerangan hukum, kelancaran, dan udara bersih. Berangsur-angsur, tiap orang pun merasa bisa mengabaikan public spirit, moralitas dan semangat untuk kepentingan publik. Ada ikhtiar untuk menangkal kecenderungan itu dengan mengendalikan kapitalisme dari bahaya “tirani keputusankeputusan kecil”. Itulah inti dari “kompromi Keynesian”, cara Keynes untuk menyelamatkan kapitalisme dari fragmentasi yang

berkelanjutan. “Kompromi Keynesian” mengakui bahwa tak semua bisa diserahkan kepada pasar. Diakui bahwa public spirit selamanya perlu. Ketika zaman neoliberal kini ditinggalkan, ketika “kompromi Keynesian” diangkat untuk dijadikan kebijakan lagi, timbul lagi keyakinan bahwa perilaku pasar tak bisa dijadikan tauladan bagi seluruh perilaku sosial. Ada pengakuan bahwa kekuatan yang bukan-pasar (Negara dan para teknokratnya) harus – dan bisa — memiliki ketahanan untuk mengembangkan nilai yang berbeda, khususnya nilai yang tak membenarkan manusia memaksimalkan kepentingan diri. Tapi benarkah asumsi yang tersirat dalam “kompromi Keynesian” itu, bahwa para para pejabat Negara yang jadi pengelola sistem sosial-politik dan ekonomi niscaya punya nilai tersendiri? Kenyataannya di Indonesia, institusi yang berkuasa tak dengan sendirinya bebas dari “tirani keputusan-keputusan kecil”. Di atas saya telah sebutkan korupsi sebagai privatisasi kekuasaan. Maka kita pun bertanya dengan murung: masih adakah tempat bekerjanya apa “yang-sosial”, apa yang menampik nafsi-nafsi? Mungkin jawabnya bukan di kantor pemerintah dan pos polisi di pojok perempatan. Mungkin jawabnya bukan di jalan-jalan yang macet di mana orang saling hendak menyisihkan. Jawabnya ada di dekat kita sendiri. Ketika Prita didenda Hakim – yakni petugas Negara yang tak adil – kita secara spontan berduyun-duyun datang untuk bersama perempuan yang dizalimi itu. Kita datang dengan uang recehan – fragmen dari sebuah kesatuan yang tak nampak — yang justru menunjukkan sesuatu yang mengagumkan: kita belum menyerah kepada “tirani keputusan-keputusan kecil”. Kita adalah bebrayan: sesama yang bisa punya saat bersama. Setidaknya sampai hari ini. ~Majalah Tempo Edisi Senin, 14 Desember 2009~

Pintu Desember 7, 2009 Mereka saling tak kenal, tapi masing-masing mereka berjalan ke sebuah pintu yang jauh. Ada seorang perempuan tua yang memetik tiga butir biji kopi di perkebunan negara. Ada seorang lelaki setengah baya yang mengambil dua batang ketimun di kebun orang. Ada seorang perempuan yang dituduh memfitnah karena mengeluh di surat kabar sore kota itu. Mereka berjalan dari sudut-sudut yang tak dekat. Ketika mereka tiba di gerbang yang berbeda-beda itu, masing-masing dicegat penjaga. ”Mau ke mana?” tanya juru pintu. ”Ketemu Hukum,” sahut mereka, sebuah jawaban yang sama, dengan logat yang berbeda-beda, di tempat yang berjauhan. ”Belum boleh masuk,” kata sang penjaga. Sebelum saya lanjutkan, para pembaca tentu tahu, saya sedang meminjam dari Kafka untuk cerita ini; maksud saya, saya akan memakai—dengan diubah di sana-sini—parabelnya yang ganjil dan muram, Vor dem Gesetz (”Di Depan Hukum”), karena meskipun ditulis di Praha di awal abad ke-20, kali ini rasanya ia diceritakan untuk kita. Di depan Hukum, pintu terbuka, tapi perempuan itu, tak bisa melangkah masuk. Ia mencoba melihat sedikit ke dalam, tapi mengurungkan niatnya, ketika penjaga pintu itu berkata: ”Kalau kamu ingin masuk, meskipun sudah aku larang, silakan saja. Tapi di balik pintu ini ada pintu lain, dan di baliknya lagi, ada pintu lagi, demikian seterusnya. Tiap pintu ada penjaganya, yang makin lama makin perkasa dan makin angker. Bahkan di pintu ketiga saja, si penjaga begitu rupa wajahnya hingga aku sendiri tak berani melihat.” Perempuan itu diam. Si penjaga menerima suap, dengan

alasan: ”Supaya nyonya tak merasa ada yang ketinggalan,” tapi perempuan itu memutuskan akan menunggu saja. Ia pun duduk di depan pintu. Dan ia duduk di sana bertahun-tahun, hingga ia hafal bagaimana gerak tangan penjaga itu menabok nyamuk, membersihkan kutu. Ia bahkan hafal berapa ekor kutu tiap hari naik ke topi itu. Sampai akhirnya perempuan itu tua, rabun, dan mati. Tapi beberapa saat sebelum mati, ia melihat seberkas cahaya bersinar dari bagian dalam gerbang. Hanya sebentar. Ketika dengan kupingnya yang besar si juru pintu menangkap bunyi napas itu melemah, ia pun mendekat. Ia berdiri mengangkangi jasad si nenek yang tergolek. Pada detik-detik terakhir, masih didengarnya bisik itu bertanya: ”Tuan, katakan, kenapa selama bertahun-tahun ini, tak ada orang lain yang datang kemari? Kecuali saya?” Penjaga itu melepaskan topinya sebentar, membersihkannya dari kutu No. 72, dan menjawab: ”Orang lain tak ada yang kemari, karena pintu ini memang dibuat hanya untuk kamu.” Dan ajal pun menjemput perempuan yang datang dari jauh beberapa puluh tahun yang lalu itu. Dan pintu itu ditutup. Siapa penjaga itu gerangan? Adakah ia aparat penghambat untuk membuat Hukum, yang ditulis dengan huruf ”H”, merupakan sesuatu yang melarang dan sekaligus terlarang—semacam firman suci yang bilang ”jangan” dan seketika itu jadi kata-kata yang tak boleh disentuh? Ataukah ia bagian dari façade yang menyembunyikan rahasia bahwa Hukum sebenarnya tak pernah ada? Perempuan itu memutuskan tak jadi masuk. Ia hanya menunggu. Menunggu. Entah sabar atau gentar, entah tawakal atau putus asa. Kita tak tahu sudah pernahkah ia dinyatakan bersalah sebelum datang ke sana. Kita tak tahu merasakah ia bahwa dirinya tak layak, hingga tanpa digertak lebih lanjut, ia patuh. Yang kita tahu: dilakukannya itu dengan kemauan sendiri.

Tapi mungkin ia sebenarnya tak bebas. Menunggu adalah sebuah situasi antara bebas dan tak bebas—terutama menunggu Hukum, yang ditulis dengan ”H”. Tapi mungkin juga perempuan itu telah terkecoh. Ia menyangka Hukum adalah Keadilan. Sangkaannya berlangsung sampai akhir: ia melihat (tapi benarkah ia melihat?) berkas cahaya yang sejenak itu, dan barangkali merasa diyakinkan bahwa di balik itu ada Keadilan itu sendiri. Tapi Hukum tak identik dengan Keadilan. Hukum bahkan ruang tertutup, dan Keadilan tak selamanya betah di dalamnya. Dalam novel Kafka, Der Proseß, ada tokoh, Titorelli namanya, seorang perupa yang aneh, yang menggambar Keadilan dengan sayap pada tumit kaki. Keadilan selamanya akan terbang dari satu tempat yang terbatas, terutama ketika hukum merasa jadi Hukum, begitu angkuh, kukuh, dan kaku, bahkan akhirnya jadi bagaikan berhala yang membuat manusia jeri. Berhala: patung bikinan manusia yang disembah manusia—seakan-akan benda itu bebas dari tangan manusia, seakan-akan ada roh di dalamnya, atau seakan-akan ia bisa mewakili sang roh seutuhnya. Padahal mustahil. Sebab itu ada selalu akan datang para ikonoklas, yang dengan niat baik memperingatkan: berhala hanyalah berhala. Hukum hanya hukum. Yang transendental tak ada di sana. Dan para ikonoklas pun akan menetakkan kapak ke batu atau kayu atau logam itu…. Jika Keadilan adalah sesuatu yang transendental, memang mustahil ia diwakili oleh hukum yang disusun di ruang para legislator, dicoba di depan mahkamah, dan dijaga jaksa dan polisi dengan sel-sel penjara yang sumpek. Sesuatu yang transendental bukan produk dari dunia ini, meskipun ia meraga—dari kata ”raga”—di dunia. Perempuan itu mungkin telah terpengaruh oleh ideologi yang bertahun-tahun mengatakan bahwa Hukum justru sesuatu yang harus angker, mengandung misteri, hingga tak mudah dimasuki.

Atau jangan-jangan karena cerita ini tak berasal dari Indonesia, melainkan dari sebuah negeri tempat hukum dibuat oleh Negara yang dibayangkan Hegel, dengan rasa kagum kepada Republik Plato: sebuah kesatuan politik, etik, hukum, dan budaya yang utuh. Tapi bagi kita di Indonesia, apa yang bisa dikatakan tentang ”Negara”, selain sebagai lapisan penjaga pintu yang jangan-jangan hanya menjaga sesuatu yang praktis kosong, karena tak jelas? Menjaga ”Hukum”, yaitu ketidakpastian? ~Majalah Tempo Edisi Senin, 07 Desember 2009~

Melodrama November 30, 2009 Politik terkadang butuh melodrama. Pada saat-saat tertentu ia sebuah melodrama tersendiri bahkan. Seperti dalam sinetron yang silih berganti kita saksikan di TV—lakon-lakon yang itu-itu juga, Kitsch yang tanpa malu memperdagangkan ajaran budi pekerti yang simplistis—politik sebagai melodrama bisa juga bicara tentang ”moral” dan pada saat yang sama, tak meyakinkan. Melodrama dibangun oleh ”monopati”. Kata ini saya pungut dari Oliver Marchand yang menulis satu esai yang bagus tentang politik sebagai teater dan teater sebagai politik (Marchand meminjamnya dari Robert Heilman). Monopathy adalah ”kesatuan perasaan yang membuat seseorang merasakan diri utuh”. Tokoh-tokoh dalam sebuah melodrama ”tak punya konflik yang mendasar dalam dirinya”—berbeda dari tokoh-tokoh tragis, yang terobek-robek antara nasib dan kebebasan, antara kewajiban besar dan gelora hati. Melodrama adalah konflik manusia dengan manusia lain, sedang tragedi menghadirkan tokoh seperti Hamlet dan Oedipus, dan dengan demikian tragedi adalah konflik di dalam diri manusia. Maka melodrama bergantung pada permusuhan dengan sesuatu yang di luar sana—si jahat atau bakhil, ideologi yang memusuhi atau kekuasaan yang akan menindas, alam yang destruktif, dan lain-lain. Dalam melodrama, dunia hanya hitam atau putih.

Maka benar juga jika dikatakan, melodrama mirip politik, tragedi mirip agama—kecuali bila agama pun jadi proyek politik, bukan lagi merupakan ruang persentuhan aku dan Tuhan, melainkan ruang persaingan atau benturan antara ”kami” dan ”mereka”. Revolusi adalah model yang bisa jadi acuan jika kita bicara tentang politik se-bagai melodrama. Dramawan Peter Brooks menunjukkan hal ini. Melodrama, katanya, adalah ”genre dan ucapan dari moralisme revolusi”. Dalam revolusi pesan moral diutarakan tanpa ambiguitas: di sini kaum revolusioner yang mulia, di sana kaum kontrarevolusioner yang keji. Tiap revolusi menyangka, atau menyatakan diri, membawa sesuatu yang baru. Revolusi Prancis menyatakan tahun permulaan kekuasaan baru sebagai ”tahun nol”. Revolusi Rusia mengubah nama-nama kota terkenal (”St. Petersburg” jadi ”Leningrad”), juga Revolusi Indonesia menolak nama ”Batavia” dan menjadikannya ”Jakarta”. Bahkan Bung Karno mengubah nama orang yang me-ngandung nama ”Belanda”: Lientje Tambayong jadi ”Rima Melati”, Jack Lemmers jadi ”Jack Lesmana”. Para sejarawan mungkin tak akan melihat apa yang ”baru” bisa sedemikian absolut. Tarikh baru bisa dimaklumkan, nama baru bisa diterima umum, tapi senantiasa akan ada endapan dari masa lampau dalam peristiwa revolusioner yang mana pun. Lagu Revolusi Oktober yang dinyanyikan dengan menggetarkan oleh paduan suara Tentara Merah menggunakan melodi yang sama dengan nyanyian Selamat Tinggal, Slavianka yang digubah pada 1912—yang juga dinyanyikan untuk membangkitkan semangat pasukan Tsar menjelang perang di Balkan. Sudah tentu, bagi kaum militan yang muncul menegaskan diri dalam revolusi, apa yang ”baru” itulah yang menyebabkan mereka maju dan yakin. Badiou, yang menyebut Revolusi Prancis dan Rusia sebagai ”kejadian”, l’evénement, mengklaim bahwa kejadian itu adalah sebuah proses ”kebenaran”, dan ”kebenaran”, (berbeda dari ”pengetahuan”) bersifat ”baru”. Mungkin seperti puisi yang lahir

dan—meskipun menggunakan bahasa yang ada—bisa dihayati sebagai baru sama sekali. Persoalannya, sebuah revolusi (sebagai ”kejadian” yang dahsyat sekalipun) bukan hanya menerobos sebuah ”situasi”, bukan sesuatu yang datang dari luar sejarah, melainkan juga datang dari sebuah ”situasi”, dari sebuah keadaan yang terkadang disebut status quo. Saya kira Marx lebih benar ketimbang Badiou: revolusi bagi Marx tak akan terjadi bila tak ada keadaan obyektif, bila tak terjadi penguasaan total alat produksi di masyarakat oleh kaum borjuis dan makin meluasnya mereka yang tak punya apa pun, kecuali tenaga. Dengan kata lain, politik dan revolusi sebagai melodrama bukanlah lakon seru yang tak dirundung ambiguitas dalam dirinya. Tiap perubahan besar sebuah masyarakat selamanya mengandung sifat yang tragis: kita bersengketa dengan diri kita sendiri, gerak terasa mundur dan jadi antiperubah-an, tak pastinya proses yang biasa diba-yangkan dalam pidato-pidato ”moralisme revolusioner”. Politik yang tetap tak ingin melihat diri sebagai melodrama akan dengan cepat jadi komedi atau bahkan farce. Para pejuang yang bukan lagi pejuang tapi terus mengklaim kesucian motif dalam dirinya dan kemurnian semangat dalam kepejuangannya, akan tampak menggelikan, atau semakin tak meyakinkan para penonton. Terutama dalam keadaan ketika elan perubahan telah bercampur dengan rasa kecewa dan hilangnya keyakinan yang meluas. Tapi melodrama selalu tersimpan dalam sebuah masyarakat. Hidup terkadang terlalu penuh warna abu-abu hingga orang menginginkan gambar yang tegas dan sederhana. Yang tragis menakutkan. Kita pun membuat kisah seperti Ramayana dengan akhir yang jelas dan bahagia: Sita kembali mendampingi suaminya setelah Dasamuka yang jahat itu mati. Tak ada dalam cerita kita bahwa Sita harus dibakar untuk membuktikan dirinya ”suci” setelah bertahun-tahun hidup di bawah kuasa lelaki lain.

Melodrama, dalam pentas dan dalam politik, memang mengasyikkan, dengan atau tanpa air mata. Tapi memandang politik dengan sikap pengarang sinetron akan cenderung menampik kesadaran akan yang tragis dalam sejarah—dan kita hanya akan jadi anak yang abai dan manja. Hidup tak bergerak dengan monopati. ~Majalah Tempo Edisi Senin, 30 November 2 009~

Cesare November 23, 2009 Pernah ada sebuah zaman ketika agama, zina, kekuasaan, uang, nepotisme, jual beli jabatan, perang, pembunuhan, dan moralitas campur baur. Itulah abad ke 16 di Italia, ketika Paus Aleksander VI naik Takhta Suci. Ketika Kardinal Rodrigo Borgia dipilih dengan suara bulat dalam pertemuan para uskup tanggal 10 Agustus 1492, Paus baru ini memilih nama ”Aleksander”—tokoh sejarah ”yang tak terkalahkan”, katanya, mengacu ke sebuah nama penakluk yang tak pernah mengenal Yesus. Upacara penobatannya meriah. Roma menyaksikan dengan penuh kegembiraan barisan panjang kuda putih, 700 pastor dan kardinal berpakaian warna warni, deretan ksatria dan pasukan panah, parade permadani dan lukisan. Di ujung prosesi itu Aleksander kemudian tampak: dalam usia 61 ia tetap gagah, tubuhnya tinggi, penuh energi, dengan sikap percaya diri yang mengesankan. Di masa itu, tak banyak yang berkeberatan dengan kemewahan itu. Juga tak ada yang mengungkit kehidupan pribadi Sri Paus: ia naik jenjang karier sampai jadi kardinal dalam usia 25 tahun. Tentu saja jalur cepat itu karena Paus Calixtus III adalah pamannya. Yang tak bisa dilupakan adalah bahwa Kardinal Borgia yang pandai memimpin Kuria itu, yang unggul dalam administrasi dan politik, juga ganteng, hangat, bijak bestari, dan memikat hati para

perempuan. Pada umur 29 tahun, sang kardinal punya anak gelap pertama. Enam tahun kemudian, seorang perempuan lain jadi ibu dari empat anak yang baru, antara lain Cesare. Itu memang zaman ketika kehidupan seksual para pe-tinggi Gereja berlangsung tanpa diributkan. Itu juga zaman ketika kedudukan kepausan bisa dimanfaatkan -untuk mengumpulkan dana dan memberi tempat bagi sanak keluarga. Paus Aleksander memperoleh 30 ribu du-kat uang untuk memberi izin perceraian seorang raja Hunga-ria, menerima bayaran 120 ribu dukat dari 12 kardinal yang dipromosikannya. Sebuah sajak satire pernah ditulis tentang itu: ”Aleksander menjual kunci, altar, dan Kristus.…” Sang Paus tak peduli. Ia tak mendengarkan apa yang dikatakan orang ramai tentang dirinya. Ia mengukuhkan takhta kepausan, dan untuk itu segala cara ditempuh. Ia beruntung. Ia mendapatkan bantuan dari putranya, Caesar Borgia, sang penakluk yang berhasil memperluas wilayah kepuasan—terutama setelah anak muda itu, dalam usia 22 tahun, melepaskan jabatannya sebagai kardinal dan terjun memimpin peperangan. Cesare, yang tak kalah rupawan ketimbang ayahnya, bertubuh jangkung dan berambut pirang, adalah lelaki perkasa yang konon mampu membengkokkan sepatu kuda dengan tangan telanjang. Ia bisa merobohkan se-ekor banteng dengan sekali tebas. Ia tak mengenal takut. Ia periang dan cerdik. Perempuan mengaguminya tapi tahu bahwa mereka hanya akan dipergunakan sebentar. Nafsu utama lelaki ini hanya satu: kekuasaan. Ia bisa brutal dan keji, ia bisa cerdik dan culas. Tapi ia bisa me-nenangkan rakyat di bawahnya. Ia hidup menyendiri di Roma, setengah tersembunyi, hingga begitu banyak desas desus beredar bagaimana ia meracun musuh politiknya, atau memenjarakan orang penting untuk kemudian dilepaskan setelah membayar ribuan dukat. Tak pernah jelas tercatat dalam sejarah, benarkah semua itu dilakukannya. Bagaimanapun juga, ia memang penguasa yang tegas dan efektif,

dalam menipu, menjebak, dan membinasakan mereka yang menghambat jalannya. Tapi juga dalam memerintah, ia bisa mengambil hati mereka yang hidup di bawah. Sejarah kekuasaannya, sebagaimana kekuasaan ayahnya, me-nimbulkan perdebatan sampai hari ini, dan tak hanya di Italia: tak adakah dorongan lain dalam dinamika kekuasaan politik, selain mendapatkan dan menggunakan kekuasaan politik? Machiavelli, yang menulis Il Principe, menggambarkan perilaku Cesare Borgia dengan penuh pujian: ”Ia dianggap kejam… tapi kekejamannya bisa menggabungkan kembali Roamagna, menyatukannya, dan memulihkannya ke dalam suasana damai dan setia….” Cesare bisa menimbulkan rasa takut, tapi juga rasa cinta, dari orang lain. Bagi Machiavelli, seorang penguasa yang harus memilih antara dicintai atau ditakuti, lebih baik memilih yang terakhir. Ia harus bisa mengorbankan cinta. Salahkah Machiavelli? Hegel memuji pemikir politik Italia dari abad ke 16 itu dalam hal ”kesadarannya yang tinggi tentang hal hal yang niscaya dalam membentuk sebuah negara”. Semuanya harus bisa diperalat, juga agama. Machiavelli mengambil teladan dari Numa Pompilius yang memimpin Roma: untuk menjinakkan sebuah masyarakat yang ganas dengan cara yang damai, Numa memakai agama sebagai ”penopang yang paling perlu dan pasti bagi tiap masyarakat yang beradab”. Tapi tampak, bagi Machiavelli dorongan pertama bukanlah dorongan religius, bukan untuk mendekatkan diri kepada Kebaikan yang Kekal, melainkan dorongan politik: berkuasa dan melahirkan ketertiban. Nilai nilai yang dianjurkan Tuhan tak penting kecuali untuk itu. Tak mengherankan bila seorang pengagumnya menyebut dia irrisor et atheos, ”seorang atheis yang membawakan satire” dalam filsafatnya tentang kekuasaan. Machiavelli tak salah: ia membongkar apa yang nyata dalam kehidupan politik, bukan apa yang seharusnya. Sebab apa yang seharusnya (yang berdasarkan sesuatu yang transendental) pada

akhirnya ditentukan tafsirnya oleh siapa yang di dunia ini menang atau ingin menang. Tapi kita dengan mudah bisa menunjukkan, Machiavelli tak lengkap. Hidup tak hanya tumbuh dalam ketertiban dan kekuasaan. Pengalaman menunjukkan, hidup juga punya momen yang transendental. Ada yang menggugah entah kenapa dari saat yang ”ethikal”: ketika kita merasa bertanggung jawab untuk adil, terutama kepada orang lain, terutama kepada yang menderita. ~Majalah Tempo Edisi Senin, 23 November 2009~

Watchmen November 16, 2009 Ketika polisi tak ada, dan keadilan terasa asing, muncullah Watchmen. Dalam cerita bergambar karya Alan Moore dan Dave Gibbons ini, sejumlah orang luar biasa perkasa menyamar sebagai vigilante: penyelamat kota dari kekejian, penyelamat Republik dari musuh, bahkan penyelamat dunia dari perang besar Armageddon. Rorschach, salah seorang dari mereka, memulai cerita ini dengan menulis dalam catatan hariannya, 12 Oktober 1985: ”Kota ini takut kepadaku. Aku telah melihat mukanya yang sebenarnya.” Bagi Rorschach, yang menutup wajahnya dengan topeng putih berbecak-becak hitam, jalanan kota telah jadi ”selokan memanjang” yang ”penuh darah”. Ia merasa unggunan najis ”seks dan pembunuhan” akan menggenang membusa sampai pinggang, dan ”semua cabo dan politisi akan memandang ke atas dan berteriak, ’Selamatkan kami.’” Rorschach adalah suara yang tajam getir, yang bergetar di atas garis yang jelas: ”Sebab ada kebaikan dan ada mala, dan mala harus dihukum. Bahkan sampai di hadapan Armageddon aku tak akan berkompromi dalam perkara ini.” Berbeda dari Rorschach adalah Eddie Blake, ”The Comedian”. Ia menertawakan hidup dengan sinisme yang dalam. Ia tahu masa

depan, yang bergerak cepat, tak punya tempat berlindung: dunia, seraya meneruskan lukanya yang busuk, hidup di bawah ancaman perang nuklir. ”Blake mengerti,” kata Rorschach tentang kawannya ini. ”Ia melihat wajah abad ke-20… dan memilih untuk jadi sebuah cerminan dan sebuah parodi tentang abad ini.” Maka Blake adalah kebrutalan. Ia mencoba memerkosa rekannya sendiri dalam kelompok vigilante The Minutemen. Ia ikut dalam Perang Vietnam, tapi cepat-cepat meninggalkan Saigon ketika musuh mulai meringsek; ketika seorang perempuan setempat yang dihamilinya marah karena ia begitu tak bertanggung jawab, ditembaknya perempuan itu dari jarak dekat di tempat umum. ”Blake itu menarik,” kata Dr. Manhattan. ”Aku belum pernah bertemu dengan orang yang seperti dia: dengan sengaja tak bermoral.” Di Vietnam, orang macam ini cocok, karena ”kegilaan itu, pembantaian yang seenaknya itu.” Tak begitu jelas bagi saya, mengapa The Comedian bergabung dengan tokoh-tokoh bertopeng atau setengah bertopeng yang penuh niat baik untuk menyelamatkan kota dari kebusukan. Tak begitu jelas apa yang baik dan adil dan apa yang tidak bagi orang ini. Tapi jika ada yang menyebabkan cerita bergambar Watchmen punya arti lain adalah justru kemampuannya menampilkan betapa tak murninya kebaikan, sebagaimana betapa tak murninya kejahatan. Tokoh yang paling berbudi dalam cerita ini adalah Dr. Manhattan. Seorang ilmuwan muda yang cemerlang, Jon Osterman, terjebak dalam ruang eksperimen dan kecelakaan dahsyat terjadi. Ia berubah jadi manusia yang punya daya yang ajaib. Ia bisa mengendalikan struktur atom. Ia mampu menghancurkan tank dengan mengarahkan energi dari telunjuknya. Ia sanggup melayang langsung ke Mars. Ia juga dapat memindahkan tubuh manusia dari jarak jauh. Tapi ia tak berbuat apa-apa ketika di hadapannya, Blake menembak perempuan Vietnam itu. ”Kau bisa mengubah pistolku jadi uap…,” kata Blake ketika Dr. Manhattan menegurnya. ”Tapi kau tak menggerakkan

jarimu sama sekali.” Adrian Veidt juga istimewa. Orang mengatakan dialah manusia paling cerdas di dunia. Mundur dari kelompok vigilante, ia membangun kekayaan yang tak tanggung-tanggung. Dengan itulah ia membangun sebuah pusat di Kutub Selatan—dan dari sana, ia membinasakan ribuan orang di Kota New York. Dengan itu, ia berhasil mengalihkan dua negara superkuat, Amerika Serikat dan Uni Soviet, dari permusuhan. Keduanya jadi sekutu, karena merasa ada kekuatan lain dari luar bumi yang mengancam. Adilkah tindakannya? ”Jon,” katanya kepada Dr. Manhattan menjelang cerita berakhir, ”aku tahu orang menganggap aku tak punya perasaan lagi…. Apa yang penting adalah bahwa aku tahu aku telah bergulat menyeberangi tubuh orang-orang tak bersalah yang terbunuh untuk menyelamatkan umat manusia…. Tapi harus ada seseorang yang menanggung beban berat kejahatan yang keji tapi perlu itu.” Benarkah? Veidt sendiri tak yakin. Ia masih bertanya, ”Jon… apa yang kulakukan benar, bukan? Semuanya berakhir baik.” Tapi Osterman hanya menjawab, ”Tak ada yang berakhir, Adrian. Tak akan ada yang pernah berakhir.” Juga keputusan tentang kebaikan dan kekejian tak akan berakhir. Rorschach merasa ada konfrontasi yang tegas antara kebaikan dan mala, tapi ia sendiri meletakkan garis itu pada kekerasan yang brutal. Tapi mungkin dengan itu ia ingin memperingatkan bahwa baik otoritas moral yang diwakili lembaga resmi—polisi, pengadilan, hukum—maupun dirinya, seorang vigilante, bermula sebagai kekerasan. Seperti dialami para tokoh Watchmen, tiap kali kita bersikap bahwa kebaikan diri kita tak sedikit pun terkontaminasi kejahatan, akan terjadi kesewenang-wenangan. Sebab itu, perlu dekonstruksi. Dekonstruksi adalah keadilan, kata Derrida: membuka diri kita kepada yang di sana yang berbeda dan dibungkam. Termasuk bagian diri sendiri yang cacat.

Itu sebabnya keputusan untuk adil tak bisa bertolak hanya dari hukum yang ada. Keputusan yang adil perlu menggunakan aturan tapi juga meniadakannya. Tiap kali harus ada peninjauan kembali. Tiap kali harus ada kerendahan hati. Apa yang menakutkan dari Watchmen adalah bahwa manusiamanusia itu, yang menyamar, sebenarnya juga setengah menutup mata. ”Kota ini takut kepadaku,” kata Rorschach. ”Aku telah melihat mukanya yang sebenarnya.” Tapi bisakah ia melihat mukanya sendiri yang sebenarnya? ~Majalah Tempo Edisi Senin, 16 November 2009~

Cicak & Buaya November 9, 2009 Dan metafor pun menang. Mungkin itu tak disadari ketika kata cicak melawan buaya dipakai pertama kalinya dalam pertentangan yang kini disebut sebagai konflik antara KPK dan Polisi. Saya yakin Komisaris Jenderal Polisi Susno Duadji tak memperhitungkan betapa ampuhnya perumpamaan yang dipakainya dalam majalah Tempo, 16 Juni 2009: Jika dibandingkan, ibaratnya, di sini buaya, di situ cicak. Cicak kok melawan buaya. Dari sana, muncullah dalam gambaran pikiran kita dua pelaku yang bertentangan dan tak seimbang. Yang satu reptil kecil. Ia tak lebih dari 10 sentimeter panjangnya, hidup di celah-celah rumah kita, tak mengganggu, dengan suaranya yang berbisik. Ia bahkan menyenangkan: mangsanya nyamuk-nyamuk yang menggigiti jangat kita. Anakanak menyanyikan lagu yang riang tentang dia, (Cicak-cicak di dinding) dan pada umumnya ia tak membuat takjub siapa pun, kecuali orang dari Eropa yang tak pernah melihat kadal kecil dari khatulistiwa itu. Yang seekor lagi reptil besar. Ia bisa sampai 8 meter

panjangnya. Kulitnya kasar keras, moncongnya menakutkan, dan meskipun matanya seakan-akan tertidur, ia mendadak bisa menyerang. Kecuali ketika diternakkan atau dikurung di kebun binatang, habitatnya jarang didatangi manusia. Ia pembunuh. Mangsanya hewan lain, juga kita. Dalam bahasa Indonesia, buaya umumnya sebuah metafor untuk sesuatu yang punya sifat tak baik: buaya darat, misalnya. Ada memang kata buaya kroncong, yang barangkali dipakai untuk mengesankan sifat penggemar yang amat doyan jenis musik itu dan penggemar itu tak gampang puas. Maka memang aneh, kenapa justru seorang jenderal polisi mengumpamakan dirinya–mungkin juga korpsnya–dengan seekor reptil yang ganas. Besar kemungkinan ia hanya melihat dalam diri buaya faktor kekuatan yang handal. Atau mungkin juga kepintaran yang agresif. Dalam wawancara yang saya kutip tadi, Susno Duadji melihat pihak sana, yakni KPK, sebagai cicak yang ‘masih bodoh’. Pihaknya, si buaya, sebenarnya sudah berusaha ‘memintarkan’, tapi sang cicak tak kunjung pandai. Si kecil itu telah diberi kekuasaan, kata Susno Duadji, tapi ‘malah mencari sesuatu yang enggak dapat apa-apa’. Dari semua itu tampak, metafor Susno–seperti halnya metafor pada umumnya–tidak berperan sebagai ornamen. Memang ada yang menganggap sebuah metafor cuma sebingkai hiasan, karena selalu mengandung sesuatu yang penuh warna dan rupa (dengan kata lain: sesuatu yang tercerap pancaindra). Tapi orang yang menganggap bahasa metaforik hanyalah hiasan untuk memperindah sebuah gagasan sebenarnya tak tahu, bahwa bahasa tak dimulai dari ide. Bahasa bermula dari tubuh. Bahasa berpangkal dari proses indrawi. Itu sebabnya acap kali bunyi mendahului pemberian arti. Dan ini berlaku sejak kata seru seperti ‘Wah!’ sampai kata benda yang mengandung bunyi yang menimbulkan imaji dan asosiasi tertentu di dalam pikiran kita. Kata sulur, misalnya, mengandung bunyi lur

yang kita dapatkan dalam julur, salur, balur: sebuah bunyi yang menimbulkan imaji tentang sesuatu yang memanjang tapi tak meregang. Dari sesuatu yang konkret seperti itulah (bunyi dan imaji), dan bukan sesuatu yang rasional dan kognitif, metafor dilahirkan dan dipergunakan. Metafor memang mirip simbol. Baik metafor maupun simbol memakai sesuatu yang konkret untuk menyampaikan sebuah pengertian. Tapi antara keduanya ada beda yang fundamental. Simbol: kita menemukannya dalam pohon beringin yang dipilih untuk merumuskan cita-cita Partai Golkar; atau palu-arit untuk menghadirkan dasar kelas sosial dan ideologi PKI. Tapi bila simbol dipilih dengan rencana yang sadar, metafor lahir lebih spontan; ia lebih bergerak ke arah asosiasi ketimbang ke arah konsep. Pungguk merindukan bulan adalah sebuah metafor, bukan simbol, sebab yang muncul dari kalimat itu adalah imaji seekor burung buruk muka yang hinggap di sebuah dahan ketika malam mengagumi purnama. Antara si pungguk dan rembulan itu ada kontras yang jelas–juga jarak yang tak akan terjangkau. Metafor itu lebih memantulkan situasi yang melankolis ketimbang mengikhtisarkan sebuah ide tentang cinta yang tak sampai. Juga ketika kata cicak dan buaya dengan spontan dipakai: saya kira yang berperan bukan sebuah konsep yang dipikirkan. Bahkan ada anasir dari bawah sadar yang bekerja. Dipakai dalam sebuah suasana konflik, kedua kata itu menyugestikan bahwa yang terjadi tak berbeda dari perseteruan di alam bebas, di mana penyelesaiannya bukanlah atas dasar hukum sebagai aturan bersama, melainkan ditentukan oleh kekuatan. Memang Susno Duadji tak melanjutkan cerita tentang cicak-lawanbuaya itu dengan cerita bentrokan. Ia mengatakan, sang buaya tak marah, –cuma menyesal–karena menurut penilaiannya si cicak masih tetap saja bodoh. Namun dengan mengambil ibarat dari dunia hewan, kekerasan dan kebuasan jadi demikian tampak

penting ketika sebuah pertentangan harus diputuskan. Mungkinkah itu yang sebenarnya tersimpan di kepala: bahwa konflik antarlembaga negara hanya selesai karena kekuatan fisik, bukan karena aturan yang sudah ada dan rasionalitas dalam manajemen pemerintahan? Ataukah metafor yang kini dipakai secara luas itu memang menunjukkan sebuah pengakuan bahwa hukum selalu punya dimensi konflik politik? Bahwa pengertian keadilan sesungguhnya ditentukan melalui sebuah persaingan hegemoni atas bahasa dan makna? Apa pun jawabnya, sebuah metafor telah menang. Ia bahkan lepas dari keinginan sang pemakai pemula. Ia ramai-ramai dipungut, mungkin karena imaji yang muncul dari dunia hewan itu mengasyikkan seperti sebuah fabel. Tapi bukankah dongeng yang kita sukai bisa bercerita tentang hasrat dan cemas kita yang tersembunyi? ~Majalah Tempo Edisi Senin, 09 November 2009~

Eumenides November 2, 2009 Kita kira-kira tahu dari mana datangnya hukum, tapi tahukah kita dari mana datangnya keadilan? Hukum memang dimaksudkan sebagai aktualisasi dari “rasa keadilan”. Kata “rasa” di sini sebenarnya lebih dekat ke arah “kesadaran”. Dengan catatan: kesadaran akan keadilan itu tak hanya sebuah produk kognitif, hasil proses pengetahuan, melainkan juga tumbuh melalui proses penghayatan. Dengan kata lain, sebagai aktualisasi, hukum adalah ibarat realisasi dari hasrat yang kita sebut “rasa keadilan” itu. Tapi “rasa keadilan” punya sejarah yang rumit, separuhnya gelap yang mungkin belum juga selesai. Ada masanya “keadilan” kurang-lebih sama dengan pembalasan simetris, sesuatu yang kita dapatkan dalam cerita silat

Hong Kong abad ke-20 atau riwayat Keris Empu Gandring dari Jawa abad ke-11: Ken Arok membunuh Tunggul Ametung, dan atas nama keadilan, Ken Arok dibunuh Anusapati, kemudian Anusapati dibunuh Tohjaya. Pendek kata, pelbagai versi lex talionis yang mengharuskan, untuk memakai rumusan Perjanjian Lama, “satu mata dibalas satu mata”. Tapi jika “keadilan” yang sama artinya dengan dendam itu kita temukan dalam pelbagai cerita, juga dalam Mahabharata, agaknya hanya dalam sebuah karya Aeschylus di Yunani abad ke-5 Sebelum Masehi kita temukan bagaimana “keadilan” itu mengalami transformasi. Dalam lakon Oresteia yang terdiri dari tiga bagian itu, Agamnenon membunuh anaknya yang perempuan, dan sebagai pembalasan ia dibunuh isterinya sendiri, ibu si gadis. Dalam kisah berikutnya, si ibu dibunuh oleh Orestes, anak kandungnya. Memang kepada sahabatya, Pylades, ia bertanya: “Apa yang kulakukan? Membunuh ibu sendiri, betapa mengerikan!”. Tapi atas nama hukum Zeus dan Apollo, ia akhirnya melakukan hal yang mengerikan itu juga. Tak ayal, para dewi pembalasan yang disebut ?????? – yang dalam bahasa Inggris disebut “the furies” – mengejarnya. Orestes harus membayar perbuatannya dengan nyawanya. Namun trilogi ini berakhir dengan sebuah transformasi yang radikal: lex talionis digantikan dengan sebuah proses peradilan. Dewi Athena datang dan memanggil sebuah dewan juri buat mengambil keputusan dengan pemungutan suara. Athena sendiri memberikan suara untuk membebaskan Orestes. Lalu diubahnya para peri pembalasan jadi peri budi baik, eumenides. Dalam kisah ini, mereka ditanam di bawah gedung pengadilan untuk selamalamanya. Boleh dikatakan ini adalah lakon lahirnya hukum yang proses dan sikapnya berbeda sama sekali: prosedur hukum inilah (yang mencoba menterjemahkan “keadilan”) yang agaknya yang jadi

tauladan di Eropa dan Amerika kemudian, sampai hari ini Tapi di situ tampak juga, betapa hukum meringkas dan meringkus. Hukum yang diletakkan dasarnya oleh Athena memotong ingatan; kejahatan masa lampau tak bisa dikenang terus sepenuhnya. Tak ada dendam tujuh turunan. Hukum itu juga meringkus: ia tak mengijinkan perasaan pribadi seseorang bergejolak jadi pedoman memutuskan “pembalasan”. Inilah awal pandangan yang disebut “positivisme hukum”: para hakim tak boleh menggunakan perasaan dan nilai-niai pribadinya. Mereka hanya harus mengikuti apa yang digariskan undangundang – biarpun itu dirasakan tak adil. Dalam sebuah lakon terkenal Sophocles di masa sesudah Aeschylus, Antigone, positivisme itulah yang jadi prinsip Raja Kreon. Ia melarang salah seorang putra Oedipus yang tewas dikuburkan di dalam makam Thebes. Pemuda itu mati dalam peperangan yang melawan tanahairnya sendiri. Ia pengkhanat. Menurut undang-undang yang berlaku, mayatnya harus dibiarkan tergeletak dimakan gagak di luar dinding kota. Bagi Antigone, saudara sekandung pemuda yang mati itu, hal itu tak bisa diterima. Untuk itu Antigone siap melawan dan mengorbankan diri, karena ia percaya ada hukum yang lebih luhur, yakni hukum dari dewa-dewa. Sebaliknya bagi Kreon, yang baru saja selesai berperang: negara tak akan kukuh hukumnya bila ia guyah — meskipun putranya sendiri, tunangan Antigone, membela gadis yang membangkang itu. Tapi dari kedua lakon Yunani kuno itu kita bisa tahu: di dasar hukum, di awal hukum, ada kekerasan yang disembunyikan. Para dewi pembalasan yang tertanam di bawah mahkamah adalah semacam bawah-sadar hukum positif. Dan kita lihat: hukum Kreon adalah kelanjutan dari peperangan. Bahkan hukum mengandung kekerasan sejak awal, ketika undang-undang mereduksikan hidup seseorang yang unik dan khas jadi oknum yang bisa dikenai hukum yang berlaku umum.

Derrida menyebut reduksi ini “kekerasan klasifikasi”. Dengan kekerasan itu, di manakah keadilan? Jika keadilan telah diubah jadi sesuatu yang tak lagi pembalasan dendam, dari manakah keadilan datang? Antigone berbicara tentang hukum dewa-dewa yang lebih adil, sebab para dewa tahu bahwa seorang manusia tak bisa dianggap sebagai sekedar sebuah kasus legal. Tapi pada saat yang sama kita tahu para dewa Yunani kuno ikut dalam percaturan yang berdarah antara manusia. Rasanya tak ada mereka digerakkan oleh rasa keadilan. Dalam agama Abrahami, Tuhan disebut maha adil, tapi kita tak paham mengapa, dalam Alkitab, Tuhan menyengsarakan Ayub walaupun lelaki yang baik dan soleh ini tak berbuat aniaya. Persoalan seperti ini menyebabkan riwayat keadilan tak selamanya jelas, dan mungkin memang tak akan jelas. Tapi tiap kali kita tahu, ketika rasa keadilan kita terkoyak, kita melihat ke sebuah arah, sebuah cakrawala, yang mengimbau kita dan mungkin mengubah kita jadi seseorang yang berteriak: “Keadilan, atau kehancuran!”. Seakan-akan keadilan punya dewi pembalasan yang tak bisa dibenamkan oleh bangunan mahkamah manapun. Hukum selamanya sebuah kekurangan. ~Majalah Tempo Edisi Senin, 02 November 2009~

Erasmus Oktober 26, 2009 Ini akhir pekan Erasmus. Saya diminta bicara tentang humanisme dalam pandangan Indonesia untuk ulang tahun tokoh humanisme Eropa yang lahir 27 Oktober 1466 itu di Erasmus Huis, Jakarta. Saya tak tahu banyak tentang humanisme abad ke-15 Eropa, dan yang pertama kali saya ingat tentang Erasmus adalah apa yang dikatakan Luther tentang dia. Bagi Luther, pemula Protestantisme yang pada akhirnya mengambil posisi yang tegas

keras menghadapi Gereja itu, Erasmus ibarat ”belut”. Licin, sukar ditangkap. Erasmus memang tak selamanya mudah masuk kategori, tak mudah menunjukkan di mana ia berpihak, ketika zaman penuh hempasan pertentangan keyakinan theologis. Pada mulanya ia membela Luther, ketika pembangkang ini diserang dan diancam, tapi kemudian ia menentangnya, ketika Luther dianggapnya semakin mengganas dalam menyerang Roma. Dalam sepucuk suratnya kepada Paus Adrianus VI, Erasmus sendiri mengatakan, ”Satu kelompok mengatakan hamba bersetuju dengan Luther karena hamba tak menentangnya; kelompok lain menyalahkan hamba karena hamba menentangnya….” Bagi Erasmus, sikapnya menunjukkan apa yang disebut di zamannya sebagai civilitas. Dalam kata-kata sejarawan Belanda terkemuka, Huizinga, itulah ”kelembutan, kebaikan hati, dan moderasi”. Perangai tokoh humanisme abad ke-15 ini agaknya seperti sosok tubuhnya. Kita hanya bisa melihat wajahnya melalui kanvas Holbein di Museum Louvre: kurus, pucat, wajah filosof yang meditatif dan sedikit melankolis. Tetapi ia—yang merupakan pengarang terlaris di masanya ini (seorang penjual buku di Oxford pada 1520 mengatakan, sepertiga bukunya yang terjual adalah karya-karya Erasmus)—juga seorang yang suka dipuji. Dan di balik sikapnya yang santun, ada kapasitas untuk menulis satire yang sangat berat sebelah yang menyerang Paus Julius II. Dalam satire ini, Santo Petrus bertanya kepada Julius di gerbang akhirat: ”Apa ada cara mencopot seorang Paus yang jahat?” Jawab Julius: ”Absurd!” Pada akhirnya memang tak begitu jelas bagaimana ia harus diperlakukan. Ia meninggal di Basel, Swiss, pada 1536, tanpa disertai seorang pastor, tanpa sakramen Gereja. Tapi ia dapat kubur di katedral kota itu. Agaknya itu menggambarkan posisinya: seorang yang

meragukan banyak hal dalam agama Kristen, tapi setia kepada Gereja. ”Aku menanggungkan Gereja,” katanya, ”sampai pada suatu hari aku akan menyaksikan Gereja yang jadi lebih baik.” Mungkin itulah sebabnya yang selalu dikagumi orang tentang pemikir ini adalah seruannya untuk menghadapi perbedaan pikiran dengan sikap toleran dan mengutamakan perdamaian. ”Tak ada damai, biarpun yang tak adil sekalipun, yang tak lebih baik ketimbang kebanyakan perang.” Dari sini agaknya orang berbicara tentang ”humanisme Kristen” bila berbicara tentang Erasmus—atau, dalam perumusan lain, ”rasionalisme religius”. Dalam jenis ”rasionalisme” ini, skeptisisme dan rasa ingin tahu, curiositas, diolah dengan baik, tapi pada akhirnya tetap dibatasi oleh apa yang ditentukan agama. Tak mengherankan bila Ralf Dahrendorf menyebut posisi Erasmus sebagai ”leise Passion der Vernunft”, gairah yang lembut untuk akal budi. Dalam hal itu, Erasmus memang tak bisa diharapkan akan mengatasi pikiran yang umum di zamannya—yang tak amat leluasa dan luas. Di abad ke-21 sekarang, rasa ingin tahu yang dikendalikan oleh iman bukanlah sikap ilmiah maupun filsafat. Itu hanya sikap yang membuat pemikiran buntu. Dalam kasus lain, Erasmus juga bisa tidak konsisten. Pernah untuk menghadapi kritik pedas Ulrich von Hutten—seorang tokoh Reformasi Jerman yang teguh tapi sengsara—Erasmus ikut bersama para tokoh Gereja di Basel untuk mengusir orang itu dari kota. Dalam kasus lain, Erasmus memang penganjur jalan damai menghadapi Turki, tapi ia tetap memandang ”Turki” sebagai yang tak setara dengan Eropa yang Kristen. Pendek kata, pada diri Erasmus ada nilai-nilai yang mengagumkan dari humanisme, tapi juga ada unsur yang menyebabkan humanisme itu dikecam. Humanisme ini sejak mula—dengan kegairahannya mempelajari khazanah yang tak hanya terbatas pada kitab agama, tapi juga karya-karya Yunani

kuno yang ”kafir”—yakin bahwa kita, sebagai manusia, dapat menangkap dunia obyektif dengan menggunakan akal budi. Di dalamnya tersirat asumsi bahwa (tiap) manusia adalah identitas yang tetap, atau ”diri” dan ”subyek” yang utuh dan tak berubah. Subyek ini menentukan makna dan kebenaran. Pikiran manusia menangkap dunia sebagaimana adanya dan bahwa bahasa merupakan representasi dari realitas yang obyektif. Dalam perkembangannya kemudian, pandangan seperti ini terbentur kepada apa yang jadi tajam sejak abad ke-19 Eropa. Dan itu ketika manusia, sebagai subyek yang ulung, jadi penakluk ”yang-lain” di sekitarnya. Ternyata sang subyek tak seluruhnya bisa dikatakan utuh, tetap, dan rasional. Tak berarti manusia sia-sia. Erasmus sendiri menulis sebuah karya satire yang termasyhur, Encomium Moriae, yang dalam bahasa Inggris terkenal sebagai The Praise of Folly. Di dalamnya, folly atau laku yang gebleg, yang tak masuk akal, dipujikan. ”Tak ada masyarakat, tak ada kehidupan bersama, yang dapat jadi nyaman dan awet tanpa sikap gebleg.” Dengan sikap gebleg itulah manusia mencintai, bertindak berani, termasuk berani menikah, apalagi cuma sekali, dan dengan sikap yang tak masuk akal pula ia percaya kepada apa yang diajarkan agama. Mungkin manusia selalu harus mengakui ada yang lain yang menyertai satu sisi dari dirinya dan satu bagian dari dunianya. Yang lain dan yang tak cocok bahkan tak senonoh itu tak dapat dibungkam—atau manusia hilang dalam kepongahan dan ketidakadilan. ~Majalah Tempo Edisi Senin, 26 Oktober 2009~

Des Oktober 19, 2009 Des Alwi adalah seonggok sejarah Indonesia dalam miniatur yang padat. Juga berwarna-warni. Jika kita lihat lelaki ini duduk di

bawah pohon ketapang berumur 100 tahun yang menaungi halaman hotelnya di Bandaneira, jika kita ingat sosok yang tambun tinggi itu (kini dalam umur 83 tahun) sudah ada di tempat itu pada 1936 dan, sebagai anak kecil, melihat Hatta dan Syahrir jadi orang buangan yang turun dari kapal dengan paras pucat, kita bisa iri kepadanya: begitu banyak yang telah dilihatnya, begitu beragam pengalamannya, begitu pas ia di pulau Maluku itu. Begitu ”Indonesia”. Des Alwi seperti Bandaneira: elemen yang sering tak diingat, tapi saksi penting dari riwayat Indonesia—dalam hal ini Indonesia sebagai sebuah perjalanan kemerdekaan. ”Di sini,” kata Rizal Mallarangeng, yang telah dua kali ke Bandaneira dengan rasa kagum kepada para perintis kemerdekaan yang dibuang ke pulau itu, ”bermula apa yang kemudian menjadikan Indonesia.” Dia benar: di sini berawal kolonialisme dan antitesisnya. Kita bisa baca: di Banda-lah pada 1529 usaha kolonisasi Eropa dipatahkan; di sini kontingen orang Portugis terus-menerus diserang hingga mereka batal membangun sebuah benteng. Hampir seabad kemudian, pada 1609, ketika sepasukan Belanda mencoba memperkuat Benteng Nassau, para pemimpin Banda, disebut ”orang kaya”, membunuh laksamana asing itu dengan segenap stafnya. Banda mencatat konflik seperti itu sampai ke dalam abad ke20: para penentang VOC (kemudian Hindia Belanda) diasingkan ke sini silih berganti. Kita tahu sebabnya: pada mulanya adalah rempah-rempah, terutama pala, yang di dunia hanya ditemukan di Banda, yang menggerakkan perdagangan internasional paling awal, seperti minyak bumi pada zaman ini. Dan bersama perdagangan, datang peradaban. Juga kebiadaban. Sebelum orang Portugis masuk ke Maluku pada abad ke-16, letak Banda yang kaya rempah itu dirahasiakan para saudagar Arab (atau ”Mur”) yang membawa barang berharga itu ke Eropa. Kemudian penakluk dari Semenanjung Iberia masuk, kemudian

Belanda dan Inggris. Perjalanan jauh dan berbahaya, tapi mereka selalu datang. Untuk laba yang 300 kali lipat dari jual-beli pala, bahkan yang bengis siap dihadapi dan diberlakukan. Di Bandaneira ada sebuah monumen kecil. Di Parigi Rante itu ada sebuah sumur di sepetak halaman. Di sanalah, 8 Mei 1621, seregu samurai Jepang didatangkan Jan Pieterszoon Coen (Gubernur Jenderal VOC yang terkenal itu) ke Neira. Mereka disewa untuk menyembelih 40 orang pemuka masyarakat Banda yang menolak klaim Belanda dalam monopoli niaga pala. Tubuh ke-40 orang itu dicincang, kepala mereka dipancangkan di deretan tiang. Di dinding di belakang perigi itu juga tertulis sederet nama orang dari pelbagai penjuru Nusantara yang dibuang ke pulau itu sejak abad ke-19: dari Pontianak, Yogya, Kutaraja, Cirebon, Serang, Blitar. Pada abad ke-20 ada nama yang kini lebih dikenal: Cipto Mangunkusumo, Iwa Kusumasumantri, Hatta, Syahrir. Tak akan mengherankan bila dari kepulauan ini sejarah tampak berbeda: kita tak akan mengatakan bahwa yang berlangsung selama lebih dari 350 tahun di Nusantara adalah 350 tahun penjajahan. Dari Banda kita jadi tahu: sejarah Nusantara adalah 500 tahun perlawanan. Dan Des Alwi, yang lahir 7 November 1927 di Neira dan sejak kecil mengenal Cipto, Hatta, dan Syahrir—orang-orang hukuman yang mengubah hidup Des—mungkin saksi terakhir dari rangkaian perjuangan panjang itu. Saya menyadari itu ketika sore itu saya dan beberapa teman duduk di dekatnya, mendengarkan ceritanya, di petak atap Benteng Belgica yang berumur 400 tahun. Seakan-akan pada sore itu, sejumlah abad bertemu. Benteng yang menjulang hitam di bukit ini dibangun Belanda pada 1611. Letaknya dipilih pada posisi yang bisa mengawasi seantero selat dan laut. Sejak didirikan, empat menara pengintainya menyaksikan armada-armada Eropa datang, meriammeriam ditembakkan, destruksi dan pembunuhan berkecamuk: 200

orang Belanda dihabisi pasukan Inggris di Pulau Ai pada 1615, ratusan orang Inggris dibantai Belanda sebagai pembalasan. Dari sini pula tampak kapal-kapal Inggris meninggalkan Pulau Run setelah pulau itu ditukar-guling dengan Pulau Manhattan milik Belanda di New York pada 1667. Tapi seratus tahun lebih kemudian, pada 1810, marinir Inggris merebut Benteng Belgica. Abad demi abad, energi dicurahkan, dan uang diperebutkan dengan gigih dan ganas hingga dunia berubah. Kekuasaan pun tegak dan runtuh, kemerdekaan ditindas atau dilahirkan…. Hari mulai gelap ketika Des berkisah tentang kemerdekaan yang dicoba digagalkan tapi dilahirkan kembali: Indonesia yang tak mudah. Des bukan sejarawan, bukan pula pelaku utama, tapi—dan ini lebih menarik—ia saksi yang terlibat. Jika kita baca bukunya yang baru, Friends and Exiles, yang diterbitkan Cornell University, kita dapatkan bukan saja kisah kelahiran Indonesia, tapi juga kisah seorang yang ”menjadi Indonesia”, sejak dari darah dan dagingnya, sampai dengan ketika ia terlibat, sengaja atau tidak, dalam peristiwa-peristiwa besar yang mengguncang dan membentuk tanah airnya. Des Alwi Baadila—yang orang tuanya berdarah Cina dan ”Mur” (nama ”Baadila” ditemukan di Maroko dan Spanyol), yang masa kecilnya dibentuk Hatta dan Syahrir, yang masa mudanya ikut bertempur dan terluka di Surabaya 10 November 1945—adalah contoh bahwa Indonesia ”men-jadi” dengan riwayat seperti pantai pulau-pulau Banda: kekerasan bisa meletup, tapi inilah negeri yang tak merasa perlu memberi batas mutlak tentang ”luar” dan ”asing”. Kecuali ketika yang ”luar” dan ”asing” itu menegaskan diri dengan senjata dan pemaksaan. Dan kita melawan. ~Majalah Tempo Edisi Senin, 19 Oktober 2009~

Kastil Oktober 12, 2009

SEORANG gubernur mengeluh. Saya kebetulan mendengarnya. Maka tahulah saya ada yang ganjil yang jadi rutin dalam pemerintahan kota yang dipimpinnya, seakan-akan sang gubernur dan administrasinya muncul dari novel Kafka, seakanakan Kafka bukan hidup di Praha di awal abad ke-20 melainkan di Jakarta, mungkin di sekitar Gambir, sejak empat dasawarsa ini. Tapi cerita ini bukan buah imajinasi seorang sastrawan: pada suatu hari di tahun 1990-an gubernur itu memang mengirim surat dinas ke direktur kebun binatang di Ragunan. Berhari-hari ia tak menerima jawaban dari bawahannya itu. Kemudian baru ia ketahui, surat yang ditandatanganinya itu perlu waktu tiga bulan untuk keluar dari kantor gubernuran. Berminggu-minggu kertas itu diteruskan dari biro satu ke biro lain di dalam kantor yang sama, sebelum akhirnya dikirim ke alamat yang dimaksud. Gubernur itu, seorang perwira tinggi angkatan darat yang lurus hati yang diberi jabatan itu baru satu tahun, bertanya seakan-akan pada dirinya sendiri: ”Kantor macam apa ini?” Seorang wali kota juga mengeluh. Atau mungkin lebih tepat terenyak. Ia seorang mantan pengusaha sukses yang dipilih dengan penuh harapan oleh rakyat di kota Jawa Tengah itu. Tapi pada hari pertama ia masuk kantor balai kota, ia lihat ratusan orang duduk di dalamnya: para pegawai. Sebagian besar baca koran. Sebagian lagi main catur. Bahkan ada seorang pegawai perempuan asyik merajang sayur. Sang wali kota pun pulang ke rumahnya dan termangu di hari pertama masa jabatannya: ”Kantor macam apa itu?” Jawabannya sangat mengejutkan: itu adalah kantor yang biasa saja, Pak—kantor pemerintah. Itu adalah kantor di mana mesin yang disebut birokrasi hadir, nongkrong, seakan-akan untuk membatalkan tesis Max Weber dan mengukuhkan gambaran yang absurd dalam karya-karya fiktif Kafka—meskipun cerita birokrasi Indonesia tak sepenuhnya bisa dijelaskan dengan kemuraman Kafka.

Max Weber, kita ingat, mempertautkan birokrasi dengan keniscayaan dunia modern. Berbeda dari kaki tangan raja-raja di zaman lampau, yang bekerja berdasarkan perpanjangan kharisma Yang-Dipertuan-Agung, birokrasi merupakan alat sebuah otoritas yang bersifat ”legal-rasional”. Dalam tesis Weber, birokrasi membawa dalam dirinya aturan dan hierarki yang jelas. Organisasi itu punya arah atau sasaran yang terfokus, dan ia dengan sadar bersifat impersonal. Seluruh bangunan itu punya rasionalitas yang mantap. Tapi apa kiranya yang ”rasional” di kantor sang gubernur dan sang wali kota? Gubernur kita tak tahu, wali kota kita tak tahu, saya juga tak tahu. Tapi jangan-jangan inilah ”rasionalitas” itu: birokrasi itu adalah sebuah agregat yang lahir dari argumen bahwa ia diperlukan. Birokrat, kata Hannah Arendt dengan sedikit mencemooh, adalah ”the functionaries of necessity”. Dengan catatan: necessity itu, keperluan yang tak bisa dielakkan itu, pada awal dan akhirnya ditentukan oleh dinamika organisasi itu sendiri. Birokrasi tak perlu punya sasaran untuk dicapai. Mesin itu berjalan mandiri. Di sinilah yang absurd berlangsung—sesuatu yang dibuat alegorinya oleh Kafka dalam cerita pendeknya yang termasyhur, Di Koloni Hukuman. Di pulau itu, seorang opsir menjelaskan kepada seorang pengunjung tentang proses eksekusi yang akan dijalani seorang terhukum. Ia akan diletakkan telungkup di bawah sebuah mesin yang bekerja seperti sehimpun jarum tato raksasa, mesin yang akan menusuki si terhukum dan dengan itu akan tertulis sebuah kalimat perintah di tubuhnya. Setelah 12 jam, si terhukum mati. Yang menarik dari penceritaan Kafka adalah bahwa yang jadi fokus bukan si terhukum; orang ini cuma diam saja, bahkan tak tahu atau peduli apa kesalahannya. Melalui sang Opsir, tokoh utama yang muncul adalah mesin yang ganjil, brutal, dan rumit itu. Ketika sang Opsir yang mengoperasikan mesin itu tahu

penggunaannya tak akan diizinkan lagi, ia membiarkan dirinya jadi korban. Mesin ada, dan sebab itu harus didapatkan sasarannya. Birokrasi juga menyatakan diri perlu, tapi kita tak tahu apa fungsinya ketika ia hadir, dalam jumlah yang berlebih dan tak bekerja untuk satu hasil. Dalam aturan yang berlaku, sang wali kota tak boleh memecat pegawainya—meskipun ia sanggup bekerja dengan 20% saja dari tenaga yang ada. Bahkan tiap tahun ia harus menerima 700 pegawai baru. Memang harus ditambahkan di sini: berbeda dari mesin yang digambarkan Kafka, aparat pemerintahan di kantor-kantor negara tak tampak mengerikan. Bahkan mungkin alegori Di Koloni Hukuman tak tepat dipakai. Mereka yang duduk menganggur di kantor wali kota itu tak punya ciri-ciri mesin yang efektif. Jika kita harus memakai kiasan Kafka—mungkin satu-satunya novelis yang dengan imajinatif menggambarkan dunia modern yang harus menanggungkan organisasi—maka birokrasi kita lebih mirip sebuah kastil. Dalam novel Das Schloß, (artinya ”kastil” dan juga ”gembok”), kita dipertemukan dengan sebuah konstruksi yang mendominasi lanskap desa. Kastil itu menguasai wilayah itu, tapi tak tampak siapa yang punya. Ketika K datang untuk menghadap, yang disebut hanya seorang administrator yang bernama Klamm (dalam bahasa Cek berarti ”ilusi”) yang tak pernah bisa ditemuinya. Kekuasaan itu tak jelas, tapi terasa, kadang-kadang muncul, melalui lapisan staf dan telepon yang berdering dan tak disahut. Birokrasi yang impersonal itu pada akhirnya tak menjawab dan tak jelas kepada siapa ia bertanggung jawab. Di balik bangunan besar itu, mungkin sebenarnya hanya ada khaos. Gubernur itu menyerah. Wali kota itu menyerah. ~Majalah Tempo Edisi Senin, 12 Oktober 2009~

KPK

Oktober 5, 2009 Semua bermula di Hong Kong, kurang-lebih. Seorang teman yang telah menonton film baru sutradara Wong Jing mengingatkan: film I Corrupt All Cops (produksi 2009) menunjukkan bahwa bentrok antara komisi pemberantasan korupsi dan pejabat polisi bukan hanya cerita Indonesia. Tentu saja I Corrupt All Cops bukan cukilan sejarah. Film ini menceritakan pergulatan beberapa petugas Independent Commission Against Corruption (ICAC) melawan sejumlah perwira polisi Hong Kong yang korup. Wong Jin berusaha untuk tak norak, kata teman itu, tapi filmnya akhirnya hanya menyajikan sepotong kisah yang disederhanakan. Sejarah ICAC, yang didirikan pemerintah Hong Kong pada 1974, dan akhirnya jadi sebuah ikhtiar yang berhasil (dan dicontoh oleh Indonesia untuk membentuk KPK), memang bukan potonganpotongan cerita yang lurus. ICAC mencatat prestasi ketika lembaga baru ini memenjarakan Peter Fitzroy Godber, perwira tinggi polisi yang tak bisa menjelaskan dari mana uang US$ 600 ribu ada di rekening banknya. Godber melarikan diri ke Inggris dengan bantuan rekanrekannya. Dengan gigih, ICAC berhasil mengekstradisi sang buaya kembali ke Hong Kong. Ke dalam kurungan. Tapi dengan segera HKPF, angkatan kepolisian kota itu, merasa terancam. Pada 28 Oktober 1977, beberapa puluh anggotanya menyerbu memasuki kantor ICAC. Ketegangan terjadi. Akhirnya kepala pemerintahan Hong Kong (dulu disebut ”Governor”) memutuskan untuk memberikan amnesti kepada hampir semua anggota polisi yang korup yang melakukan kejahatannya sebelum 1977. Wibawa ICAC pun merosot. Tapi kemudian terbukti, kebijakan pemerintah berbuah. Sejak amnesti itu polisi Hong Kong memperbaiki diri. Bahkan HKPF membiarkan pembersihan besar-besaran dalam dirinya oleh ICAC pada 2008. Dari sini tampak, kekuasaan—apa pun asal-

usulnya—tak pernah berada di sebuah ruang politik yang konstan. Kekuasaan ICAC yang luas dan dijamin hukum tak dengan sendirinya lepas dari gugatan hukum. Wewenangnya untuk menyadap pembicaraan telepon tak selamanya direstui peradilan. April 2005, seorang hakim pengadilan distrik tak mau menganggap rekaman yang dihasilkan ICAC sebagai barang bukti. Alasan: tak ada prosedur yang legal yang mengatur penyadapan itu. Tiga bulan kemudian, seorang wakil hakim pengadilan distrik menganggap ICAC telah melanggar ”secara terang-terangan” hak empat terdakwa, dengan memberikan tugas kepada seorang bekas tertuduh merekam percakapan mereka. ICAC, sebagaimana KPK, tentu bisa mengatakan, dirinya adalah tanda keadaan genting. Ia tak akan ada seandainya polisi, jaksa, dan pengadilan bekerja penuh, sesuai dengan tugas mereka, seandainya mereka membangun sebuah situasi yang disebut ”normal”. Tapi di Hong Kong sebelum 1980-an, sebagaimana di Indonesia sampai sekarang, korupsi menyakiti tubuh masyarakat di tiap sudut. Ada korupsi model Godber, yang mempergunakan kekuasaannya yang tinggi; ada yang dilakukan pemadam kebakaran yang memungut uang sebelum bertugas mematikan api; ada pula para pelayan rumah sakit yang di tiap sudut, dari ruang ke ruang, meminta uang. Dalam situasi itu, kejahatan terbesar korupsi adalah menghancurkan ”modal sosial”—sebuah sikap masyarakat yang percaya bahwa orang lain bukanlah buaya. Korupsi menyebabkan kepercayaan itu rusak. Ejekan yang memelesetkan singkatan ICAC (jadi ”I can accept cash”, atau ”I corrupt all cops”) adalah indikasi hancurnya ”modal sosial”. Negeri telah jadi sederet labirin yang membusuk. Maka ICAC, terlebih lagi KPK, lahir dengan kekuasaan yang abnormal: ia mekanisme penyembuhan yang juga sebuah perkecualian. Kekuasaannya lain dari yang lain. Wewenang KPK

bahkan lebih besar ketimbang ICAC. Di Hong Kong komisi itu tak punya wewenang menuntut. Di sini, KPK mempunyainya. KPK juga tak hanya harus bebas penuh dari dikte kekuasaan mana pun. Di Hong Kong, ICAC bekerja secara independen namun bertanggung jawab kepada ”Chief Executive”, yang dulu disebut ”Governor”. Di Indonesia, KPK tak bertanggung jawab kepada Presiden. Keluarbiasaan itu mungkin kini tak hendak dibicarakan. Tapi mungkin tak bisa dilupakan: keadaan yang melahirkan kekuasaan sebesar itu ibarat (untuk memakai kata-kata Agamben) ”daerah tak bertuan antara hukum publik dan fakta politik”. Dengan kata lain, kekuasaan itu lahir dari kehendak subyektif yang menegaskan kedaulatan. Tapi pada akhirnya kedaulatan itu bertopang pada legitimasi yang contingent. Tak ada dasar yang a priori yang membuat kedaulatan itu, dan para pemegang kekuasaan istimewa itu, datang begitu saja. Dengan kata lain, di ”daerah tak bertuan”, kekuasaan justru semakin perlu pembenaran. Apalagi kekuasaan yang diperoleh ICAC dan KPK bersifat derivatif: bukan datang dari pilihan rakyat—sumber mandat sebuah demokrasi—melainkan dari badan-badan yang dipilih rakyat. Ia terus-menerus butuh pihak di luar dirinya. Ia butuh sekutu, dengan segala risikonya. Bahwa tugas ICAC maupun KPK merupakan tugas luhur yang mengatasi kepentingan sepihak, tak berarti politik (”the political”) berhenti. Kekuasaan selalu ada bersama resistansi terhadap dirinya. Maka konflik bukanlah sesuatu yang mengejutkan. Sengketa bahkan bisa lebih panjang ketimbang sebuah cerita film Hong Kong. Adegannya mungkin kurang brutal dan dramatis, tapi akan ada korban manusia yang bersalah atau tak bersalah. Sebab, di ”daerah tak bertuan”, perjuangan melawan korupsi adalah perebutan tiap jengkal ruang strategis yang tersedia. Tiap benteng harus dikuasai, bukan dikosongkan. Tiap langkah adalah

kesetiaan, dengan kegemasan, tapi juga dengan organisasi yang dipersiapkan untuk perang 100 tahun. ~Majalah Tempo Edisi Senin, 05 Oktober 2009~

Perajam September 28, 2009 INI sebuah cerita yang telah lama beredar, sebuah kisah yang termasyhur dalam Injil, yang dimulai di sebuah pagi di pelataran Baitullah, ketika Yesus duduk mengajar. Orang-orang mendengarkan. Tiba-tiba guru Taurat dan orang Farisi datang. Mereka membawa seorang perempuan yang langsung mereka paksa berdiri di tengah orang banyak. Perempuan itu tertangkap basah berzina, kata mereka. ”Hukum Taurat Musa memerintahkan kita untuk melempari perempuanperempuan yang demikian dengan batu,” kata para pemimpin Yahudi itu pula. Mereka tampak mengetahui hukum itu, tapi toh mereka bertanya: ”Apa yang harus kami lakukan?” Bagi Yohanes, yang mencatat kejadian ini, guru Taurat dan orang Farisi itu memang berniat ”menjebak” Yesus. Mereka ingin agar sosok yang mereka panggil ”Guru” itu (mungkin dengan cemooh?) mengucapkan sesuatu yang salah. Saya seorang muslim, bukan penafsir Injil. Saya hanya mengira-ngira latar belakang kejadian ini: para pakar Taurat dan kaum Farisi agaknya curiga, Yesus telah mengajarkan sikap beragama yang keliru. Diduga bahwa ia tak mempedulikan hukum yang tercantum di Kitab Suci; bukankah ia berani melanggar larangan bekerja di ladang di hari Sabbath? Mungkin telah mereka dengar, bagi Yesus iman tak bisa diatur pakar hukum. Beriman adalah menghayati hidup yang terus-menerus diciptakan Tuhan dan dirawat dengan cinta-kasih. Tapi bagi para pemimpin Yahudi itu sikap meremehkan hukum Taurat tak bisa dibiarkan. Terutama di mata kaum Farisi yang, di

antara kelompok penganut Yudaisme lain, paling gigih ingin memurnikan hidup sehari-hari dengan menjaga konsistensi akidah. Maka pagi itu mereka ingin ”menjebak” Yesus. Tapi Yesus tak menjawab. Ia hanya membungkuk dan menuliskan sesuatu dengan jari-jarinya di tanah. Dan ketika ”pemimpin Yahudi itu terus-menerus bertanya,” demikian menurut Yohanes, Yesus pun berdiri. Ia berkata, ”Barangsiapa di antara kamu yang tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu.” Lalu Yesus membungkuk lagi dan menulis di tanah. Suasana mendadak senyap. Tak ada yang bertindak. Tak seorang pun siap melemparkan batu, memulai rajam itu. Bahkan ”satu demi satu orang-orang itu pergi, didahului oleh yang tertua.” Akhirnya di sana tinggal Yesus dan perempuan yang dituduh pezina itu, kepada siapa ia berkata: ”Aku pun tak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang.” Tak ada rajam. Tak ada hukuman. Kejadian pagi itu kemudian jadi tauladan: menghukum habis-habisan seorang pendosa tak akan mengubah apa-apa; sebaliknya empati, uluran hati, dan pengampunan adalah laku yang transformatif. Tapi bagi saya yang lebih menarik adalah momen ketika Yesus membungkuk dan menuliskan sesuatu dengan jarinya ke atas tanah. Apa yang digoreskannya? Tak ada yang tahu. Saya hanya mengkhayalkan: itu sebuah isyarat. Jika dengan jarinya Yesus menuliskan sejumlah huruf pada pasir, ia hendak menunjukkan bahwa pada tiap konstruksi harfiah niscaya ada elemen yang tak menetap. Kata-kata—juga dalam hukum Taurat—tak pernah lepas dari bumi, meskipun bukan dibentuk oleh bumi. Kata-kata disusun oleh tubuh (”jari-jari”), meskipun bukan perpanjangan tubuh. Pasir itu akan diinjak para pejalan: di atas permukaan bumi, memang akan selalu melintas makna, tapi ada yang niscaya berubah atau hilang dari makna itu.

Di pelataran Bait itu, Yesus memang tampak tak menampik ketentuan Taurat. Ia tak meniadakan sanksi rajam itu. Tapi secara radikal ia ubah hukum jadi sebuah unsur dalam pengalaman, jadi satu bagian dari hidup orang per orang di sebuah saat di sebuah tempat. Hukum tak lagi dituliskan untuk siapa saja, di mana saja, kapan saja. Ketika Yesus berbicara ”barangsiapa di antara kamu yang tak berdosa”, hukum serta-merta bersentuhan dengan ”siapa”, bukan ”apa”—dengan jiwa, hasrat, ingatan tiap orang yang hadir di pelataran Bait di pagi itu. Para calon perajam itu bukan lagi mesin pendukung akidah. Mendadak mereka melihat diri masing-masing. Aku sendiri tak sepenuhnya cocok dengan hukum Allah. Aku sebuah situasi kompleks yang terbentuk oleh perkalian yang simpang-siur. Kemarin apa saja yang kulakukan? Nanti apa pula? Dan di saat itu juga, si tertuduh bukan lagi hanya satu eksemplar dari ”perempuan-perempuan yang demikian”. Ia satu sosok, wajah, dan riwayat yang singular, tak terbandingkan—dan sebab itu tak terumuskan. Ia kisah yang kemarin tak ada, besok tak terulang, dan kini tak sepenuhnya kumengerti. Siapa gerangan namanya, kenapa ia sampai didakwa? Perempuan itu, juga tiap orang yang hadir di pelataran itu, adalah nasib yang datang entah dari mana dan entah akan ke mana. Chairil Anwar benar: ”Nasib adalah kesunyian masingmasing”. Dalam esainya tentang kejadian di pelataran Baitullah itu, René Girard—yang menganggap mimesis begitu penting dalam hidup manusia—menunjukkan satu adegan yang menarik: setelah terhenyak mendengar kata-kata Yesus itu, ”satu demi satu orangorang itu pergi….” Pada saat itulah, dorongan mimesis—hasrat manusia menirukan yang dilakukan dan diperoleh orang lain—berhenti sebagai faktor yang menguasai perilaku. Dari kancah orang ramai itu muncul individu, orang seorang. ”Teks Injil itu,” kata Girard, ”dapat dibaca hampir secara alegoris tentang

munculnya ke-person-an yang sejati dari gerombolan yang primordial.” Tapi kepada siapakah sebenarnya agama berbicara: kepada tiap person dalam kesunyian masing-masing? Atau kepada ”gerombolan”? Saya tak tahu. Di pelataran itu Yesus membungkuk, membisu, hanya mengguratkan jarinya. Ketika ia berdiri, ia berkata ke arah orang banyak. Tapi sepotong kalimat itu tak berteriak. ~Majalah Tempo Senin, 28 September 2009~

Nama Itu September 21, 2009 PADA pertengahan abad ke 18, seorang yang menjelajah kepulauan ini—dan melihat penghu-ni-nya yang berkulit sawo matang seperti orang Polinesia—bertanya kepada diri sendiri: Apa nama manusia ini? Apa nama kepulauan yang mereka diami? Kemudian pengelana Inggris itu, George Samuel Windsor Earl, memutuskan: ”Indu nesia”. Tapi segera ia berubah pikiran. ”Malayanusia” lebih baik, katanya. Ternyata sebutan ini pun tak lama. Seorang rekannya, James Logan, memilih nama ”Indonesia”. ”Indonesia” sejak itu memasuki sejarah. Dalam The Idea of Indonesia: A History dari R.E. Elson (sebuah buku yang terbit pada 2008 dan membentuk dokumen paling lengkap tentang gagasan kebangsaan kita), dikisahkanlah bagaimana nama itu hidup dengan saga sendiri. Nama ternyata tak hanya jadi penanda. Nama bukan hanya dibuat dan dikonstruksi. Ia juga mengkonstruksi. Nama mengukuhkan sebuah identitas. Tapi nama tak seluruhnya lahir dari niat membuat konsep. Orang tak cuma menyebut ”Indonesia” dengan sebuah definisi. Nama bukan indeks yang abstrak. Robot dalam film Star Wars diberi label ”R2D2”, tapi akhirnya kita mengingatnya sebagai si ”Artuditu”. Label itu jadi nama, ketika yang menyandangnya hidup, bergerak, menampakkan emosi,

berperilaku manusia. Nama menyarankan adanya personifikasi, seperti gamelan disebut ”Kyai Tunggul”. Ia menghadirkan sebuah imaji di kepala kita, menimbulkan semangat atau rasa gentar, gugup atau harap harap cemas Nama ”Indonesia” juga seakan akan sesosok person. Ia tak hanya menandai sebuah tempat. Ketika Bung Karno menyebut pidato pembelaannya di depan mahkamah kolonial ”Indonesia menggugat”, nama itu mengacu ke sesuatu yang menderita sakit karena ketidakadilan, tapi juga mengidamkan sebuah hari esok yang bebas. Tak begitu jelas batas ”sesuatu” itu, tapi ia mengandung energi yang dahsyat yang membuat Bung Karno berani masuk sel penjara dan banyak pemuda tak gentar mengorbankan diri. ”Indonesia” telah jadi sebuah ”penanda kosong” ala Laclau. Tak ada yang dengan sendirinya mampu secara tuntas dan penuh mengisikan sebuah makna ke dalamnya. Yang terjadi hanya: masing masing orang atau pihak memaknainya, dengan bersaing atau bersengketa. Buku Elson adalah riwayat pengisian ”penanda kosong” yang berbunyi ”Indonesia” itu. Bagi para peneliti antropologi pada abad ke 19, dari Prancis, Inggris, Jerman, dan Belanda, ”Indonesia” adalah sebuah konsep praktis buat kerja. Tapi orang Belanda umumnya tak memahami ini. Salah seorang dari mereka di sidang Volksraad berpendapat, nama ”Indonesia” lebih cocok untuk merek cerutu. Sebaliknya bagi para pemuda yang datang dari tanah jajahan ke Nederland. Di tanah asing itu tumbuh rasa kebersamaan tersendiri, baik di kalangan yang datang dari Aceh maupun Ambon, yang keturunan Cina atau Jawa. Dari kebersamaan itu, nama ”Indonesia” jadi sederet bunyi yang mempersatukan, dan dengan persatuan itu mereka menuntut kemerdekaan. Mula mula mereka tak menyetujui membentuk cabang Budi Utomo (karena terbatas ”orang Jawa”). Mereka membentuk ”Indische Vereniging” (IV). Kemudian jadilah ”Indonesisch Verbond van Studeerende” (IVS).

Para politikus kolonial yang konservatif seperti H. Colijn mencoba menunjukkan bahwa persatuan Indonesia mustahil, karena perbedaan suku dan ras yang ada. ”Indonesia” bagi orang orang ini hanya ilusi. Tapi pandangan ini tak berjejak. Dalam sebuah pertemuan IV, pemuda dari Minahasa, G.S.S.J. Ratu Langie, menegaskan perlunya ”persaudaraan” pelbagai suku dan ras di ”Indonesia”. Buku Elson juga mencatat, dalam sebuah pertemuan IVS pada 1920, putra mahkota Kesultanan Yogyakarta menyebut diri sebagai ”seseorang yang dalam batas tertentu mewakili orang Jawa, dan dengan demikian juga bagian dari Indonesia”. Lalu ia pun menutup pidatonya dengan seruan, ”Hidup Indonesia!” Dari sejarah itu tampak, saya kira, yang paling berhasil mengisi makna ”Indonesia” adalah dua tokoh sebuah partai radikal, Indische Partij. Yang pertama Suwardi Suryaningrat, yang kelak jadi Ki Hajar Dewantara. Dalam majalah Hindia Poetra yang diterbitkan kembali pada 1919, aktivis itu menyatakan: ”… orang Indonesia adalah siapa saja yang menganggap Indonesia tanah airnya, tak peduli apakah ia Indonesia murni ataukah ia punya darah Cina, Belanda, dan bangsa Eropa lain dalam jasadnya.” Yang kedua adalah E. Douwes Dekker, yang kemudian dikenal sebagai Setiabudi. Aktivis berdarah Eropa ini menulis surat terbuka ke Ratu Wilhelmina pada April 1913: ”Bukan, Paduka Yang Mulia. Ini bukan tanah air Paduka. Ini tanah air kami….” Dan ketika dua teman seperjuangannya, Cipto Mangun-kusumo dan Suwardi, ditangkap dan dibuang oleh pemerintah kolonial, ia menulis, dengan rasa sedih, tapi dengan sikap teguh: ”Kami berdiri, bukan hanya… berdampingan satu sama lain, tapi juga di dalam satu sama lain.” Kata kata Suwardi dan Dekker terbukti jadi kenyataan 100 tahun kemudian, pada hari ini. Indonesia bukan sekadar multi kultural, tapi juga inter kultural: tiap orang jadi Indonesia karena

memasukkan kebudayaan yang lain ke dalam dirinya. Sebab Indonesia bukanlah ke bhineka an yang bersekat sekat seperti dalam rezim apartheid. Indonesia adalah sebuah proses yang eklektik, bercampur, berbaur dengan bebas. Dengan itu, Indonesia, si ”penanda kosong” ini, mengimbau siapa saja tak putus putusnya, menggerakkan ”kami” jadi ”kita”. Ia tak pernah sempit. Ia hidup dalam ruang dan waktu, tapi ia terasa tak berhingga. ~Majalah Tempo Edisi Senin, 21 September 2009~

Nama Itu September 21, 2009 PADA pertengahan abad ke 18, seorang yang menjelajah kepulauan ini—dan melihat penghu-ni-nya yang berkulit sawo matang seperti orang Polinesia—bertanya kepada diri sendiri: Apa nama manusia ini? Apa nama kepulauan yang mereka diami? Kemudian pengelana Inggris itu, George Samuel Windsor Earl, memutuskan: ”Indu nesia”. Tapi segera ia berubah pikiran. ”Malayanusia” lebih baik, katanya. Ternyata sebutan ini pun tak lama. Seorang rekannya, James Logan, memilih nama ”Indonesia”. ”Indonesia” sejak itu memasuki sejarah. Dalam The Idea of Indonesia: A History dari R.E. Elson (sebuah buku yang terbit pada 2008 dan membentuk dokumen paling lengkap tentang gagasan kebangsaan kita), dikisahkanlah bagaimana nama itu hidup dengan saga sendiri. Nama ternyata tak hanya jadi penanda. Nama bukan hanya dibuat dan dikonstruksi. Ia juga mengkonstruksi. Nama mengukuhkan sebuah identitas. Tapi nama tak seluruhnya lahir dari niat membuat konsep. Orang tak cuma menyebut ”Indonesia” dengan sebuah definisi. Nama bukan indeks yang abstrak. Robot dalam film Star Wars diberi label ”R2D2”, tapi akhirnya kita mengingatnya sebagai si ”Artuditu”. Label itu jadi nama, ketika

yang menyandangnya hidup, bergerak, menampakkan emosi, berperilaku manusia. Nama menyarankan adanya personifikasi, seperti gamelan disebut ”Kyai Tunggul”. Ia menghadirkan sebuah imaji di kepala kita, menimbulkan semangat atau rasa gentar, gugup atau harap harap cemas Nama ”Indonesia” juga seakan akan sesosok person. Ia tak hanya menandai sebuah tempat. Ketika Bung Karno menyebut pidato pembelaannya di depan mahkamah kolonial ”Indonesia menggugat”, nama itu mengacu ke sesuatu yang menderita sakit karena ketidakadilan, tapi juga mengidamkan sebuah hari esok yang bebas. Tak begitu jelas batas ”sesuatu” itu, tapi ia mengandung energi yang dahsyat yang membuat Bung Karno berani masuk sel penjara dan banyak pemuda tak gentar mengorbankan diri. ”Indonesia” telah jadi sebuah ”penanda kosong” ala Laclau. Tak ada yang dengan sendirinya mampu secara tuntas dan penuh mengisikan sebuah makna ke dalamnya. Yang terjadi hanya: masing masing orang atau pihak memaknainya, dengan bersaing atau bersengketa. Buku Elson adalah riwayat pengisian ”penanda kosong” yang berbunyi ”Indonesia” itu. Bagi para peneliti antropologi pada abad ke 19, dari Prancis, Inggris, Jerman, dan Belanda, ”Indonesia” adalah sebuah konsep praktis buat kerja. Tapi orang Belanda umumnya tak memahami ini. Salah seorang dari mereka di sidang Volksraad berpendapat, nama ”Indonesia” lebih cocok untuk merek cerutu. Sebaliknya bagi para pemuda yang datang dari tanah jajahan ke Nederland. Di tanah asing itu tumbuh rasa kebersamaan tersendiri, baik di kalangan yang datang dari Aceh maupun Ambon, yang keturunan Cina atau Jawa. Dari kebersamaan itu, nama ”Indonesia” jadi sederet bunyi yang mempersatukan, dan dengan persatuan itu mereka menuntut kemerdekaan. Mula mula mereka tak menyetujui membentuk cabang Budi Utomo (karena terbatas ”orang Jawa”). Mereka membentuk ”Indische Vereniging” (IV).

Kemudian jadilah ”Indonesisch Verbond van Studeerende” (IVS). Para politikus kolonial yang konservatif seperti H. Colijn mencoba menunjukkan bahwa persatuan Indonesia mustahil, karena perbedaan suku dan ras yang ada. ”Indonesia” bagi orang orang ini hanya ilusi. Tapi pandangan ini tak berjejak. Dalam sebuah pertemuan IV, pemuda dari Minahasa, G.S.S.J. Ratu Langie, menegaskan perlunya ”persaudaraan” pelbagai suku dan ras di ”Indonesia”. Buku Elson juga mencatat, dalam sebuah pertemuan IVS pada 1920, putra mahkota Kesultanan Yogyakarta menyebut diri sebagai ”seseorang yang dalam batas tertentu mewakili orang Jawa, dan dengan demikian juga bagian dari Indonesia”. Lalu ia pun menutup pidatonya dengan seruan, ”Hidup Indonesia!” Dari sejarah itu tampak, saya kira, yang paling berhasil mengisi makna ”Indonesia” adalah dua tokoh sebuah partai radikal, Indische Partij. Yang pertama Suwardi Suryaningrat, yang kelak jadi Ki Hajar Dewantara. Dalam majalah Hindia Poetra yang diterbitkan kembali pada 1919, aktivis itu menyatakan: ”… orang Indonesia adalah siapa saja yang menganggap Indonesia tanah airnya, tak peduli apakah ia Indonesia murni ataukah ia punya darah Cina, Belanda, dan bangsa Eropa lain dalam jasadnya.” Yang kedua adalah E. Douwes Dekker, yang kemudian dikenal sebagai Setiabudi. Aktivis berdarah Eropa ini menulis surat terbuka ke Ratu Wilhelmina pada April 1913: ”Bukan, Paduka Yang Mulia. Ini bukan tanah air Paduka. Ini tanah air kami….” Dan ketika dua teman seperjuangannya, Cipto Mangun-kusumo dan Suwardi, ditangkap dan dibuang oleh pemerintah kolonial, ia menulis, dengan rasa sedih, tapi dengan sikap teguh: ”Kami berdiri, bukan hanya… berdampingan satu sama lain, tapi juga di dalam satu sama lain.” Kata kata Suwardi dan Dekker terbukti jadi kenyataan 100 tahun kemudian, pada hari ini. Indonesia bukan sekadar multi

kultural, tapi juga inter kultural: tiap orang jadi Indonesia karena memasukkan kebudayaan yang lain ke dalam dirinya. Sebab Indonesia bukanlah ke bhineka an yang bersekat sekat seperti dalam rezim apartheid. Indonesia adalah sebuah proses yang eklektik, bercampur, berbaur dengan bebas. Dengan itu, Indonesia, si ”penanda kosong” ini, mengimbau siapa saja tak putus putusnya, menggerakkan ”kami” jadi ”kita”. Ia tak pernah sempit. Ia hidup dalam ruang dan waktu, tapi ia terasa tak berhingga. ~Majalah Tempo Edisi Senin, 21 September 2009~

Yudhistira September 7, 2009 Pada tahun ke-13 masa pembuangan, di suatu hari yang terik di hutan pekat itu, Yudhistira menemukan keempat adiknya tewas. Di tepi sebuah danau tergeletak dua saudara kandungnya seibu, Bhima dan Arjuna. Lebih ke utara terdapat jenazah Nakula. Lalu ia temukan juga mayat Sadhewa. Keduanya adik yang lain: putra Pandhu dari Ibu Madrim. Yudhistira terhenyak. Keempat saudaranya mati tanpa bekas pertempuran. Apa yang terjadi? Sementara pikirannya galau, ia dengar suara berat yang tak tampak sumbernya. Suara itu mengatakan, keempat kesatria tersebut mati karena melanggar larangan: mereka telah diberi tahu agar tak meminum air telaga itu, tapi mereka—dengan penuh percaya diri, bahkan angkuh—melawan pantangan tersebut. Yudhistira sebaiknya tak melakukan hal yang sama, kata suara gaib itu. Ia harus menjawab lebih dulu beberapa pertanyaan sebelum ia boleh mereguk air danau. Yudhistira bersedia. Dalam Mahabharata ada beberapa pertanyaan yang dimajukan, tapi di sini saya kutip saja yang terakhir, yang paling menentukan.

Kata suara gaib: ”Salah satu dari adikmu akan segera kuhidupkan kembali. Siapa yang kau kehendaki, Yudhistira?” Yudhistira terdiam. Ia pejamkan matanya, dan pilihan-pilihan yang sulit bertabrakan dalam gelap. Akhirnya sahutnya lirih: ”Nakula.” ”Nakula?” suara itu heran. ”Bukan Bhima, saudara kandungmu yang kau sayangi, yang kekuatannya setara dengan puluhan gajah? Bukan Arjuna, sang pemanah piawai?” ”Bukan,” jawab Yudhistira, kata-katanya semakin mantap. ”Sebab yang melindungi manusia bukan senjata, bukan kekuatan. Pelindung utama adalah dharma. Nakula aku pilih karena aku, yang selamat dan hidup, adalah putra Kunthi. Sudah sepatutnya putra Madrim juga harus ada yang hidup seperti diriku.” Mendengar jawaban itu, suara itu pun raib, dan muncullah Batara Yama di depan Yudhistira. Dewa Maut itu dengan mesra memeluknya. Kahyangan terpesona akan kata-kata putra sulung Pandhu tersebut. Tak ayal, keempat jenazah itu—tak hanya Nakula—dihidupkan kembali. Ketika saya baca lagi fragmen Mahabharata ini, saya merasa Yudhistira, seorang penjudi yang gagal, sadar: ketika ia memilih, ia ibarat melempar dadu. Tiap lemparan adalah pengakuan bahwa hidup adalah kecamuk kebetulan-kebetulan. Tak jelas alasannya. Tak jelas arahnya. Absurd. Sebab di tepi telaga itu Yudhistira sebenarnya tak tahu, muka mana dari dadu yang akan muncul dan apa yang menyebabkannya. Kupilih Nakula, tapi aku tak tahu apa yang akan terjadi nanti dengan sisa hidupku di hutan ini. Aku tak tahu, tapi aku tak takut. Aku siap. Pada saat itu ia jadi manusia yang mendekati Zarathustra dalam puisi Nietzsche: baginya keluasan langit ibarat meja para dewa tempat dadu kahyangan dilontarkan. Baginya hidup ibarat angkasa yang murni: terlepas dari jaring-jaring akal yang

mematoknya dengan tujuan dan menambatnya ke dalam hubungan kausalitas. Dalam hidup, yang bergerak adalah ketidakpastian. Yudhistira menerima itu. Dalam pengertian Deleuze, ia bukan ”pemain dadu yang buruk”. Pemain dadu yang buruk masuk gelanggang dengan bersenjata teori probabilitas. Yudhistira tidak. Itukah sebabnya, 13 tahun yang lalu, ia terima tantangan para Kurawa untuk bermain dadu, dengan sikap tawakal yang membingungkan? Itukah sebabnya ia mau menghadapi lawan judi yang tangguh dan curang, Sengkuni? Mahabharata tak begitu jelas di sini. Yang kita ketahui, Yudhistira datang ke meja pertaruhan yang fatal itu—yang kelak jadi benih perang besar keluarga Bharata. Ia tak berhitung dengan kalkulasi kemungkinan. Tak ada strategi mendapatkan tampilan dadu yang pas dengan yang ditebaknya. Ia cuma memandang ke langit-langit gelap, merasa tiap lontaran tak pernah sama, biarpun berkali-kali. Tiap kali dadu jatuh itu adalah kebetulan yang niscaya tak dapat diperhitungkan. Teori probabilitas terlampau menyederhanakannya. Yudhistira berani, tapi ia bersalah. Ia jadikan hartanya, kerajaannya, adik-adiknya, bahkan dirinya, dan akhirnya istrinya, barang taruhan. Semuanya jatuh ke tangan lawan. Memang ia tampil dengan askesis yang kukuh: sanggup menerima absurditas seraya menghilangkan diri sebagai subyek yang menguasai hal ihwal. Tapi dalam tawakal itu ia tak tergerak oleh liyan, tak terpanggil untuk memikirkan sesama yang lain. Kemudian ia berubah. Dari adegan di tepi telaga itu tampak, hari itu Yudhistira bukan lagi pelontar dadu yang lembek di depan Sengkuni. Nasib dan Kelak tak dapat dikuasainya, tapi ia tak pasif. Ia bukan seonggok otomaton. Ia memilih dengan sepenuh hati: Nakula. Ia kor bankan cintanya kepada Bhima dan harapannya kepada Arjuna. Artinya, ia hadir dalam subyektivitas yang kuat. Tapi saat itu dharma-nya bukanlah aktualisasi ”aku yang te guh”, melainkan

sesuatu yang membuat hidup terasa tak terhingga, memeluk sesama, melalui batas asal-usul. Ia rasakan kasih dan harapan, justru dalam cemas dan ketidaklengkapan. Mungkin itu sebabnya dalam Mahabharata, Yudhistira adalah kesatria yang ganjil. Ia raja yang menganggap diri pendosa; begitu banyak manusia dibunuh agar Kerajaan Indraprasta kembali ke tangan keluarga Pandhu. Bagi nya, perilaku para kesatria, kasta pendekar perang, mirip tingkah anjing yang memperebutkan sisa makanan. Ia tahu posisi raja dan panggilan dharma selalu akan bertentang an—dharma-caryã _ca rãjyam nityam eva virudhyate. Dengan demikian ia memang tak mematuhi aturan kitab suci tentang manusia, kasta, dan perannya. Tapi, seperti dikatakannya kepada suara gaib di tepi danau itu, (saya ku tip dari penceritaan Nyoman S. Pendit), ”orang tak menjadi bijaksana hanya dengan mempelajari kitab-kitab suci”. ~Majalah Tempo Edisi Senin, 07 September 2009~

Krisis September 7, 2009 Ia hadir tapi ia asing di kantor itu: seorang bekas ge rilyawan di kehidupan yang ditentukan oleh daftar absen. Oleh pukul 8-13. Oleh lajur lurus di permukaan kertas. Dalam film Lewat Jam Malam, Iskandar (dimainkan dengan bagus oleh A.N. Alcaff) akhirnya hanya duduk: bi ngung tak tahu mau apa, malu pada diri sendiri dan nyaris putus asa. Revolusi sudah tak ada lagi, debur jantung menghadapi mati atau hidup, kalah atau menang, menye rah atau berkorban, kini jauh. Yang disaksikannya cuma kemenangan yang diborong si culas dan korban yang jatuh tanpa ada hubungannya dengan usaha kemerdekaan. Apa arti hari ini? Film yang dibuat pada 1954 ini agaknya merumuskan zamannya: si ”bekas pejuang” (kata itu lazim waktu

itu) makin tampak sebagai bekas, dan arti ”pejuang” makin jadi kabur. Iskandar pada akhirnya seperti ampas: ia tak melakukan hal yang berbahaya tapi tertembak mati oleh polisi militer republik yang ditegakkannya. Pada 1950-an, republik itu tengah ingin jadi republik yang ”normal”, dan normalisasi memang membasmi yang dianggap ganjil dan asing. Rasa kecewa pun meluas di antara mereka yang tersisih. Kelesuan berkecamuk. Juga rasa ngilu, lelah, dan pedih, dengan kenangan tentang sebuah masa yang penuh suspens tapi telah hilang—perasaan yang oleh Ramadhan K.H. disebut ”royan”, mirip yang dialami seorang ibu sehabis melahirkan, seperti dilukiskannya dalam novelnya Royan Revolusi. Pada suasana itu, ada satu kata yang tak putus-putusnya diutarakan: ”krisis”. Koran dan majalah di Jakarta masa itu gemar menyebutnya—seakan-akan Indonesia seperti tergambar dalam film Krisis yang dibuat Usmar Ismail pada 1953: ruang hidup yang sesak, hubungan manusia yang getir tapi menggelikan, dan tak ada jalan keluar. Para cendekiawan juga bicara. Soedjatmoko menulis dalam majalah kebudayaan yang baru terbit pada Agustus 1954, Konfrontasi, dengan kalimat seperti ini: Pada hakikatnya krisis politik yang dialami oleh rakyat kita sekarang ini tidak lain merupakan gambaran dari apa yang terlihat di lapangan kebudayaan dan kesusastraan… gejala-gejala… kekacauan, kelemahan, kehilangan kepercayaan, dan lenyapnya nilai-nilai. Mulanya ia berbicara tentang ”krisis” dalam sastra Indonesia, tapi keadaan sekitar juga ia lihat gawat tampaknya. Kini kita tak mudah membayangkannya. Seorang cende kiawan lain, Boejoeng Saleh, tak sepenuhnya menyetujui tulisan di Konfrontasi itu. Dalam

majalah Siasat pada bulan yang sama ia membantah Soedjatmoko. Tapi ia juga bicara tentang ”krisis”. Untuk memajukan kesusastraan agar lebih mendekati keinginan-keinginan kita (yang akan selalu bertambah besar), perlu diadakan krisis ekonomi, politik, dan sosial yang ada saat ini…. Kita bisa melihat, kedua suara itu praktis paralel. Keduanya bersungguh-sungguh. Dengan catatan: dalam banyak hal Boejoeng Saleh lebih unggul. Argumennya menunjukkan ia punya acuan ke sejarah sosial Indonesia. Pilihan katanya disertai tanggung jawab; ia tak cuma latah dengan kata ”krisis”. Bahasa Indonesianya hidup dan lebih segar (ia pakai perumpamaan ”pisang berkubak” dan ia perkenalkan kata ”gawai”). Dan bila Soedjatmoko bicara tentang ”krisis kesusastraan” tanpa menunjukkan contoh, Boejoeng Saleh menangkisnya dengan menyebut sederet judul roman Indonesia mutakhir. Jalan keluar dari krisis yang ditawar -kan Boejoeng Saleh juga terasa lebih tegas. Ia, seorang pendukung PKI yang piawai, mengatakan perlunya ”mengendalikan revolusi nasional demokratis kita”. Soe djatmoko, yang tak datang dengan perlengkapan teori Marxis-Leninis tentang ”dua-tahap-revolusi”, hanya menawarkan imbauan normatif yang sudah biasa: ”pengerahan tenaga nasional yang bulat”, dengan ”melepaskan diri dari pertengkaranpertengkaran”. Ia terlampau gampang menganggap masyarakat bisa ”bulat” dan hidup tanpa pertengkaran. Tapi di sisi lain Boejoeng Saleh punya kelemahan seperti Soedjatmoko: kedua cendekiawan tahun 1950-an ini memandang sejarah sebagai satu feuilleton. Riwayat manusia mereka lihat sebagai sebuah kontinuitas dengan ruas-ruas yang tegas terpisah. Bila mereka bicara tentang ”krisis”, mereka bicara tentang sebuah ruas yang buruk dari cerita bersambung yang sama. Saya kira akan lain analisisnya seandainya mereka

memandang sejarah sebagai cerita pendek yang berhamburan. Masing-masing punya ”krisis”-nya, tapi juga punya yang ”bukankrisis” dan ”kontra-krisis”. Tiap cerita mencoba, dengan sia-sia, menyatukan multiplisitas yang tak tepermanai itu, tapi ragam yang ada senantiasa tak konsisten. Mengabaikan ragam itulah yang membuat orang bicara tentang ”krisis” atau ”keadaan terpuruk” seraya melihat ”kini” sebagai satu totalitas, sambil membandingkannya dengan totalitas sebelumnya. Bila mereka mengeluh, keluhan itu diterjemahkan sebagai ingatan. Nostalgia berkuasa: jika kita bicara tentang orang masa lalu (Bung Karno, Bung Hatta, Sjahrir, dan seterusnya), mereka selalu dikatakan lebih baik ketimbang generasi hari ini. Tak aneh jika banyak orang duduk, terhenyak, melihat kini bukan sebagai kini, melainkan sebagai masa silam yang cacat. Seperti Iskandar, mereka tak berbuat apa-apa. Sampai lewat jam malam yang tak mereka tentukan. Sampai korban jatuh, kadangkadang tak sengaja. ~Majalah Tempo Edisi Senin, 14 September 2009~

Modernitas Agustus 31, 2009 DI kesunyian Pulau Buru, Pramoedya Ananta Toer menonton wayang. Atau ia memperhatikan orang menonton wayang. Saya bayangkan malam itu. Di koloni tahanan politik itu, di sepetak lapangan, layar dipasang dan batang pisang dibaringkan. Deretan wayang kulit tertancap. Sebuah blencong (atau bola lampu 100 watt?) menyala di atasnya. Orang berkerumun. Juga prajurit yang berjaga. Dalang siap, tanpa beskap, tanpa keris. Para pangrawit mulai memainkan gamelan yang seadanya. Dan semua orang tahu, di balik kebersahajaan itu ada ambisi dan proses kerja yang luar biasa: di pengasingan itu para tahanan menatah sendiri wayang mereka dari

kulit sapi yang mereka ternakkan, dengan pahat kecil yang diraut dari besi sisa peralatan. Selebihnya: imajinasi. Saya tak tahu apa lakonnya. Tapi Pramoedya tak begitu bergembira. Di catatan di Pulau Buru bertanggal akhir Januari 1973, yang dimuat dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu jilid I, ia anggap wayang—juga gamelan dan tembang—”membawa orang tertelan oleh dunia ilusi yang menghentikan segala gerak….” Bagi Pramoedya, dalam wayang, kahyangan terlampau dominan. Padahal manusia-lah yang harus mengambil peran, bukan para dewa: Jam tujuh pagi baru selesai: tancep kayon. Pukulan gong penghabisan. Selesai segala-galanya! Para dewa, brahmana dan satria kembali masuk ke kampus ki dalang. Akal dan perasaan bertambah jenuh dengan pengalaman ulang. Dengan bersinarnya matahari kembali terhalau para dewa, brahmana dan satria dalam perspektif bentuknya sendiri. Lakon memang tak layak dilanjutkan. Khayal wayang ”memukau, memesonakan, mensihir, mematikan kesadaran, mematikan akal, membebalkan”. Dan setelah itu tak ada pembebasan. Seorang buruh tani yang ikut menonton mungkin akan masygul seandainya tahu pandangan sastrawan besar itu. Tapi Pramoedya tak sendiri; ia seperti lazimnya cendekiawan Indonesia yang tumbuh ketika gagasan kemajuan dan emansipasi sosial (dengan Marxisme) bergema keras bersama cita-cita kemerdekaan nasional. Pada 1943, Tan Malaka juga mencemooh cerita Sri Rama. Baginya, telah tiba zaman yang mengharuskan bangsanya

memasuki dunia ilmu empiris (”Ilmu Bukti”). Tan Malaka menganggap kisah anak panah Sri Rama ”yang bisa menjelma jadi Naga” hanya ”menggelikan hati”. Bahkan bisa membuat marah. Sebab, ”…kepercayaan pada kesaktian semacam itu, yang bisa diperoleh manusia, pada urat akarnya memadamkan semua hasrat dan minat terhadap Ilmu Bukti.” Tan Malaka berseru untuk teknologi. ”Ciptakan teropong 100 inci,” katanya dalam Madilog, ”yang bisa melihat kesemua penjuru alam 500.000.000 tahun sinar jauhnya…!” Kini, 2009, kita bisa sedikit mengejek iman yang begitu kuat kepada modernitas itu. Pramoedya dan Tan Malaka begitu saja menyamakan imajinasi dengan takhayul yang meremehkan rasionalitas. Seakan-akan sejarah tak dibangun juga oleh kerja dan fantasi penatah wayang, energi dalang yang berkisah, hasrat tubuh dan kesepian, yang membuat riwayat manusia dari abad ke abad tak lurus, tak tunggal, tak konsisten—tapi juga selalu bisa tak terduga-duga, tak pernah kering. Di Indonesia yang ingin meninggalkan ”keterbelakangan”, sikap Pramoedya dan Tan Malaka sikap yang lumrah. Mereka tak mengalami sebuah situasi ketika ”kemajuan” justru tampak sebagai gerak yang merusak dan meninggalkan unggunan puing, seperti dalam gambaran ”Malaikat Sejarah” Walter Benjamin. Benjamin, yang bunuh diri di Eropa menjelang Perang Dunia II, menyaksikan modernitas yang muram: hidup yang melangkah dengan blueprint dan perhitungan, akal yang hanya jadi instrumen untuk menaklukkan alam & dunia kehidupan. Dengan itu prestasi modernitas memang dahsyat. Tapi orang bisa juga melihatnya sebagai progresi ke arah hidup yang bak disekap ”kerangkeng besi”, tunduk kepada kalkulasi dan tuntutan efisiensi.

Kaum kiri menganggap semua ini akibat kapitalisme. Mereka benar. Tapi kaum Marxis-Leninis kemudian juga ikut pola ”kemajuan” itu: mereka ubah waktu jadi ruas-ruas homogen dan terukur. ”Rencana Lima Tahun” dilaksanakan dengan gemuruh. Mereka bentang ruang jadi bidang yang abstrak agar bisa diformat apa saja. Akal ditentukan oleh hasil, bahkan seni dan imajinasi harus ikut rancangan. Masyarakat sosialis dibangun bagaikan alam semesta dijadikan dalam Genesis baru—tapi bersama itu, sebuah ”kerangkeng besi” mengungkung semuanya. Kritik kepada modernitas berangkat dari sini. Bahkan sejak dua abad sebelumnya. ”Postmodernisme” hanya memberinya tenaga baru. Tapi sementara kritik ini dimamah-biak berkali-kali, dengan kutipan dari Benjamin atau Adorno, Derrida atau Foucault, belum ada yang menjawab: bisakah kita mengalahkan dorongan yang melahirkan modernitas ala Eropa itu—yang menjanjikan kemajuan yang mempesona, meskipun gawat? Jangan-jangan riwayat manusia tak bisa mengelakkan itu. Jangan-jangan yang bisa dilakukan hanya memulihkan kembali pengalaman sebagai sesuatu yang utuh dan berdegup—seperti ketika kita membaca puisi—dan menebusnya sejenak dari cengkeraman rasionalitas sang penakluk. Atau kita bekerja tanpa ilusi bisa lepas dari arus keras modernitas, namun terus dengan (dalam kata-kata Benjamin) ”daya messianik yang lemah”, schwache messianische Kraft. Di sana kita sesekali menemukan harapan pembebasan, dan kita pun berjuang kembali, meskipun tak bisa selamanya kukuh…. Dan kita pun pergi menonton wayang, menemui Karna yang terbelah, Kunti yang tak setia tapi ibu yang teguh, Bhisma yang membuang Amba tapi berbuat sesuatu yang luhur: serpihan kisah penebusan, ketika Messiah tak juga datang. Meskipun Pramoedya tak menyukainya. ~Majalah Tempo Edisi 31 Agustus 2009~

Padri Agustus 24, 2009 Pada bulan puasa tahun 1818, Thomas Standford Raffles memasuki pedalaman Minangkabau. Ia ingin menemukan kerajaan Pagaruyung. Menurut cerita, kerajaan ini tegak sebelum Islam datang, tapi sejak orang Portugis mendatanginya di tahun 1648 ia tak pernah lagi diketahui orang luar. Pagaruyung hidup bagaikan sebuah kerajaan dongeng, berlanjut sampai hari ini. Syahdan, Raffles praktis tak menemukan petilasan apa pun. Yang dilihatnya cuma seonggok puing yang dibatasi pohon buah dan nyiur. Tapi, seperti ditulis dengan menarik oleh Jeffrey Hadler dalam Muslims and Matriarchs, (NUS Press, 2009), Raffles mampu merekonstruksi sebuah masa lalu dari fantasi hingga jadi sejarah, mungkin melalui “a feat of archeological alchemy”. Maka lahirlah Pagaruyung yang megah tapi tak bersisa. Konon ia tiga kali terbakar dan reruntuhannya terabaikan selama Perang Padri yang waktu itu baru tiga tahun berlangsung. Bagi Raffles, (ia masih Letnan-Gubernur Inggris di Bengkulu), tema itu penting. Ia seorang Inggris yang tertarik kepada apa saja yang “India”, dan ingin membuktikan adanya kekuasaan HinduMelayu yang kemudian runtuh karena datangnya Islam. Tersirat dalam pandangannya, Islam adalah kekuatan pendatang yang tak membangun apa-apa. Apalagi Islam, bagi Raffles, adalah Islam sebagaimana ditampakkan kaum Padri: sejumlah orang berjubah putih dan bersorban dalam pelbagai bentuk, berjanggut pula, dan jadi variasi lokal dari kaum Wahabi yang keras dan sewenang-sewenang di gurun pasir Arabia. Pandangannya tentang Islam tak ramah tapi dalam satu hal Raffles tak sepenuhnya salah. Kaum Wahabi yang menguasai Mekkah sejak 1806 sampai dengan 1812 mengumandangkan ajaran yang menampik tafsir apapun tentang Qur’an. Mereka

dengan keras menuntut agar kaum muslimin kembali ke teks kitab suci dan Hadith, (seakan-akan sikap mereka sendiri bukan sebuah tafsir), dan di Hijaz mereka bakar kitab, mereka hancurkan kubur dan tempat ziarah, dan mereka habisi orang-orang yang tak sepaham. Di masa itulah tiga orang haji dari Minangkabau pulang. Mereka tak bisa lagi menerima kebudayaan Minangkabau yang matriarkat. Penampikan mereka radikal. Haji Miskin, salah seorang dari ketiga haji itu, mendirikan desa-desa yang dilingkari tembok, dan mencoba menerapkan sejenis budaya Arab di wilayah pedalaman Sumatra Barat itu. Sikap radikal itu membuka jalan kekerasan. Dalam buku Hadler dikutip laporan bagaimana Tuanku nan Renceh membunuh bibinya sendiri. Jihad pun dimaklumkan terhadap lapisan sosial yang matriarkal, rumah-rumah gadang dibumihanguskan dan para pemimpin adat dibunuh. Pada 1815, dengan pura-pura mengundang berunding, kaum Padri membinasakan keluarga kerajaan Pagaruyung di dekat Batusangkar. Baru pada 1821 kekuasaan kolonial Belanda masuk ke kancah sengketa. Tapi konflik bersenjata itu masih panjang, dan barus habis setelah 27 tahun. Apa sebenarnya yang didapat? Kerusakan, tentu, tapi juga satu titik, ketika orang menyadari bahwa tiap tatanan sosial dibentuk oleh kekurangannya sendiri. Kaum Padri bisa mengatakan bahwa Islam adalah sebuah jalan lurus. Tapi jalan yang paling lurus sekali pun tetap sebuah jalan: tempat orang datang dari penjuru yang jauh dan dekat, berpapasan, tak menetap. Yang menentukan pada akhirnya bukanlah bentuk jalan itu, melainkan orang-orang yang menempuhnya. Islam jalan lurus, tapi Minangkabau akhirnya tak seperti yang dikehendaki kaum Padri. Orang yang cukup arif untuk menerima ketidak-sempurnaan itu adalah Tuanku Imam Bonjol. Muslims and Matriarchs — yang dipuji Sejarawan Taufik Abdullah sebagai salah satu buku terbaik tentang

Minangkabau selama dua dasawarsa terakhir – menampilkan segi yang menarik dalam hidup tokoh ini. Imam Bonjol bukanlah tokoh paling agresif dalam gerakan Padri. Tapi sudah sejak awal 1800-an ia ikut membentuk sebuah bentang Padri di Alahan Panjang. Kemudian ia pindah ke Bonjol, yang jadi pusat yang kaya karena berhasil mengumpulkan hasil jarahan perang. Dari sini ia mengatur pembakaran di Koto Gadang dan peng-Islam-an masyarakat Batak di Tapanuli Selatan. Imam Bonjol ulung dalam pertempuran, juga ketika menghadapi pasukan Belanda, karena ia menguasai sumber padi dan tambang emas yang menjamin suplai yang tetap bagi pasukannya. Tapi ia bukan seorang yang membabi buta dalam soal ajaran. Memoarnya, Naskah Tuanku Imam Bonjol, menyebutkan bagaimana pada suatu hari ia bimbang: benarkah yang dijalankannya sesuai dengan Qur’an? Selama delapan hari ia merenung dan akhirnya ia mengirim empat utusan ke Mekkah. Pada 1832 utusan itu kembali dengan kabar: kaum Wahabi telah jatuh dan ajaran yang dibawa Haji Miskin dinyatakan tak sahih. Maka Imam Bonjol pun berubah. Ia mengundang rapat akbar para tuanku, hakim, dan penghulu. Ia mengumumkan perdamaian. Ia kembalikan semua hasil jarahan perang. Ia berjanji tak akan mengganggu kerja para kepada adat. Sebuah kompromi besar berlaku. Di tahun 1837, administratior Belanda mencatat bagaimana masyarakat luas menerima formula yang lahir dari keputusan Imam Bonjol itu: “Adat barsan di Sarak dan Sarak barsan di Adat”. Akhirnya, syariat Islam ternyata tak bisa berjalan sendiri – juga seandainya perang Padri diteruskan. Paguruyung tersisa atau tidak, kerajaan pra-Islam itu hanya mitos atau bukan, tapi ada sesuatu yang tetap bertahan dari masa lampau – sesuatu yang tak tertangkap oleh hukum apapun, sesuatu Entah yang ada bersama sejarah. ~Majalah Tempo Edisi 24 Agustus 2009~

Indonesia Agustus 17, 2009 KADANG-KADANG saya berpikir, apa gerangan yang ada dalam pikiran bapak saya beberapa saat sebelum ia ditembak mati. Kadang-kadang saya ingin membayangkan, ia menyebut nama ”Indonesia” di bibirnya, atau ”Indonesia merdeka”, tapi tentu saja ini satu imajinasi klise, dan sebab itu tiap kali muncul cepat-cepat saya stop. Bukan mustahil bapak ketakutan di depan regu tembak pasukan pendudukan Belanda itu. Atau ia pasrah? Yang agaknya pasti, beberapa puluh menit, atau beberapa puluh detik kemudian, seluruh ketakutan (atau sikap pasrah, atau jangan-jangan kecongkakan yang tampil seperti keberanian) pun punah: pelurupeluru menembus batok kepalanya. Darah muncrat, ia roboh, tak akan pernah pulang lagi. Di tengah perkabungan, seluruh keluarga kami ketakutan dan menangis. Hanya ibu yang teguh: seperti tiang rumah yang ajaib. Ia menangis tapi ia menenangkan kami semua dan mengambil alih persiapan pemakaman dan perkabungan yang tergesa-gesa itu. Kini saya mencoba mengerti kenapa ibu dapat demikian kuat. Ia mungkin sudah tahu, hidup suaminya akan berakhir seperti itu, atau sedikit lebih baik ketimbang ditembak mati. Ibu telah menyaksikan bapak keluar-masuk penjara; ia bahkan menyertai bapak ke pembuangan nun di Digul, di Papua, yang tak terkirakan jauhnya. Adakah ia ikhlas? Ibu tak pernah berbicara tentang suaminya dengan kekaguman kepada seorang pejuang; ia hanya sesekali berbicara tentang sikap keras hati laki-laki itu: ada saatsaat ia seperti bertapa buat menetralisir musuh-musuhnya (yang tak pernah dijelaskan kepada saya siapa), ada saat-saat ia meninggalkan rumah untuk sebuah rapat gelap di atas perahu, ada saat-saat ia tak putus-putusnya mendengarkan radio. Selama itu, ibu tak pernah berbicara tentang ”Indonesia”. Barangkali karena bagi generasi aktivis politik masa itu—yang

terlibat langsung dalam pergerakan nasional sejak awal abad ke20—”Indonesia” sudah dengan sendirinya hadir dalam pikiran, sehingga mulut tak perlu mengucapkannya lagi. Atau kata ”Indonesia” dengan sendirinya sebuah perlawanan bagi kata ”Hindia Belanda”. Karena setiap saat dalam aktivitas politik masa itu adalah perlawanan, kata ”Indonesia” sudah tersirat ketika orang siap masuk penjara. Atau dibuang. Atau ditembak mati. Ibu membesarkan sisa anak-anaknya yang belum dewasa dengan praktis: mereka harus makan dan bersekolah. Hampir hanya itu. Dalam percakapan keluarga kami sama sekali tak ada pesan untuk cinta tanah air. Tapi saya tumbuh, dan saya kira juga saudara-saudara sekandung saya, dengan ingatan tentang bapak—dan bersama itu, diam-diam, ”Indonesia” pun menongkrongi diri kami, melibatkan kami. Artinya jadi sangat berarti. Setidaknya saya tak bisa membayangkan diri saya hidup tanpa pertautan dengan ”Indonesia”. Saya yakin, saya tak sendirian. Bersama yang lain-lain, saya tak akan bisa merumuskan dengan fasih apa arti ”Indonesia” bagi saya. Tapi saya melihat teman-teman saya yang tanpa merumuskan apa pun berdiri menyanyikan Padamu Negeri seraya siap untuk melakukan tindakan besar bagi orang banyak di negerinya—misalnya melawan mereka yang menindas. Saya melihat Upik dan Udin yang berangkat ke Aceh untuk membantu mereka yang terhantam tsunami dan memasang bendera merahputih kecil di ransel mereka. Saya mengenal Tati dan Toto yang—meskipun tak menyukai apa saja yang ”politik”—berkacakaca matanya ketika mendengar Indonesia Raya dengan musik yang agung. Apa yang mendorong mereka demikian? Mungkin karena tanah air adalah ingatan dan harapan yang menyangkut tubuh: harum padi yang terkenang, rasa rempah yang membekas, deras arus yang tak bisa dilupakan, suara ayah yang memuji, lagu ibu yang sejuk, batuk kakek, dan cerita-cerita kanak yang mengendap dalam kesadaran. Juga harapan: rumah kelak akan dibangun, anak-anak

akan beres bersekolah, karier akan dicapai. Juga harapan akan melakukan sesuatu yang berarti. Tapi tentu saja ada mereka yang menolak itu semua—atau tak merasa terpaut dengan tanah air yang mana pun. Saya kira, mereka yang bersetia kepada gagasan ”Darul Islam” yang tak berpeta bumi itu adalah contoh yang baik; mereka berpindah dari satu wilayah ke wilayah lain, tanpa bertaut ke masing-masing tempat. Mereka tak bertanah air, sebab tanah air adalah bagian dari bumi dan badan, sedang mereka yakin bahwa hukum—yang bagi mereka adalah segala-galanya—tak terpaut pada bumi dan badan, ruang dan waktu tertentu. Tak akan mengherankan bila ”Indonesia” bagi mereka tak berarti apa-apa. Geografi mereka sederhana: sebuah tempat adalah bagian dari wilayah musuh atau wilayah diri. Tak ada yang lain. Kita tahu mereka siap untuk mati, untuk ditembak mati. Tapi betapa berbedanya dengan mereka yang merasa terpaut dengan sebuah tempat hidup dan tempat mati. Mungkin sekali di depan regu tembak itu bapak saya tak menyebut nama ”Indonesia” dengan tekad utuh. Mungkin sekali ibu saya bekerja dengan tekad untuk anak-anaknya bukan untuk masa depan negeri ini. Tapi bagi saya mereka seperti kebanyakan kita: bagian dari sesama, yang hidup fana, di sebuah masa, di sebuah tempat, dan tak pernah bisa ditiadakan dengan hukum dan senjata. ~Majalah Tempo Edisi 17 Agustus 2009~

Rendra, (1935-….) Agustus 10, 2009 SAYA tak bisa mengerti bagaimana Rendra ”pergi selamalamanya”, kecuali bahwa jasad itu dimakamkan, 7 Agustus 2009, dalam umur hampir 74. Rendra tak pernah mati: ia telah memberi kita puisi. Lalu terdengarlah suara

di balik semak itu sedang bulan merah mabuk dan angin dari selatan. Sajak seperti ini ditulis sekitar setengah abad yang lalu. Tapi deskripsinya yang bersahaja dan terang tetap menyembunyikan sesuatu yang seakan-akan baru terungkap secara mendadak buat pertama kalinya hari ini. Rendra menghadirkan yang tak terhingga. ”Tujuh pasang mata peri/terpejam di pohonan”. Imaji seperti itu terus-menerus tak bisa dibekukan oleh tafsir. Puisi tentu saja bisa beku, juga puisi Rendra. Ini terjadi ketika apa yang tumbuh dan hidup dari dalamnya—yaitu yang fantastis, yang ganjil, yang misterius—ditiadakan. Ini yang terjadi ketika puisi diambil alih perannya oleh ajaran, dengan niat bisa berguna secara efektif. Dan zaman bisa membutuhkan itu: karena keadaan, kita dengan brutal menuntut puisi untuk mati suri. Saya tak ingin Rendra, yang sebagai penyair rela mengorbankan banyak hal—termasuk apa yang terbaik dari dirinya—harus dikorbankan berkali-kali. Sebab itu, ketika kini Rendra hanya diingat sebagai suara kritik dan kearifan sosial yang menggugah, saya ingin mengenangnya lebih dari sekadar itu. lll Di sekolah menengah pertama sekitar tahun 1955, saya terpesona membaca sajak Litani Domba Yang Kudus di majalah Kisah. Sajak Rendra ini melantunkan pengulangan yang berbunyi seperti dalam doa, tapi juga seperti permainan anak-anak yang tangkas, dengan imaji yang datang dari khazanah yang terasa akrab—yang datang dari latar agama Katolik yang membesarkan sang penyair. Seperti sebuah sajak lain dari masa ini, yang ditulisnya sekitar hari sakramen pernikahannya dengan Sunarti Suwandi: Di gereja St Josef

tanggal 31 Maret 1959 di pagi yang basah seorang malaikat telah turun. Seorang malaikat remaja dengan rambut keriting berayun di lidah lonceng. Maka sambil membuat bahana indah dinyanyikan masmur yang mengandung sebuah berita yang bagus. Dan kakinya yang putih indah terjuntai Suara itu sungguh berbeda dari corak umum puisi tahun 1950an lain. Puisi Rendra adalah sebuah kecenderungan naratif yang unik, lincah, cerah, dan acap kali amat manis. Seorang kritikus, Subagio Sastrowardojo, menunjukkan bahwa dalam sajak-sajak Rendra terdapat pengaruh kuat puisi penyair Spanyol Federico Garcia Lorca, yang di Indonesia waktu itu diperkenalkan dengan bagus oleh Ramadhan K.H. Tapi orang juga bisa mengatakan, dalam puisi Rendra masa itu bergema lagu dolanan anak-anak Jawa. Bagi saya itu menunjukkan, tak seperti Chairil Anwar dan Rivai Apin yang berseru memilih laut dan meninggalkan daratan, Rendra—seperti Lorca, seperti dolanan anak-anak dusun—lebih akrab dengan lanskap yang terdiri dari bukit, jalanan, rumpun, daun, dan burung-burung. Dalam buku Empat Kumpulan Sajak, ada kutipan sepucuk suratnya kepada sahabatnya, D.S. Moeljanto, bertahun 1955, yang menyatakan bahwa ia ingin ”tetap bergantung pada daun-daun, dan air sungai” Bagi Chairil, Rivai, dan Asrul Sani—mungkin karena mereka datang dari lingkungan yang terbentuk oleh adat merantau—laut

adalah kemerdekaan, dengan risiko menghadapi malapetaka dan kesendirian. ”Apa di sini,” kata Rivai Apin memaki tanah asal dalam salah satu sajaknya, ”batu semua!” Puisi Rendra, sebaliknya, tak merayakan laut, tak menggambarkan diri sebagai kelasi yang hanya singgah di bandar asing dengan perempuan yang cukup dipeluk untuk beberapa saat. Pada 1953, dalam sebuah pidato tentang Chairil Anwar di hadapan ”sastrawan-sastrawan muda Surakarta”, ia mengecam para seniman yang meniru-niru ”jalang”-nya Chairil Anwar. Para pembuntut macam itu, kata Rendra, hanya ”menjalang dengan otak babinya”. Rendra tak terbatas mengkritik para epigon Chairil Anwar. Terhadap sikap Chairil sendiri ia menarik garis. ”Konsekuensi dari ajakan melepas nafsu Chairil dalam sajaknya Kepada Kawan,” demikian kata Rendra, ”adalah penghapusan undang-undang, yang berarti lebih dahsyat dari bom atom.” lll Pandangan itu kemudian berubah; kita memang tak bisa berbicara tentang satu Rendra. Ia kemudian mempesona kita ketika ia berbicara tentang peran soal ”orang urakan”: orang-orang yang, seperti Ken Arok dalam sejarah, berada di luar ketertiban hukum, bahkan merupakan antitesis dari ketertiban sebagai ideologi yang berkuasa, dan dengan posisi itu, para ”urakan” justru berperan untuk pembaharuan, transformasi sosial, dan pembebasan. Pada akhirnya, posisi ”urakan” bagi Rendra lebih penting dan lebih menarik ketimbang posisi pembela ketertiban. Meskipun ia tak pernah memaki tanah asal sebagai ”batu semua!” sebagaimana Rivai Apin, ia tak pernah tergerak untuk mensakralkan tempat tinggal, rumah, dan negeri asal. Hubungannya dengan tradisi, dalam hal ini tradisi Jawa, tak akrab. Baginya kebudayaan Jawa adalah sebuah ”kebudayaan

kasur tua”: sebuah tempat mandek yang hanya enak buat tidur nyenyak. Tapi ia melihat tradisi dan masa lalu tak satu. Masa lalu yang dikecamnya adalah ”kebudayaan Jawa baru, yang kira-kira dimulai abad ke-18 atau akhir abad ke-17”. Ada masa lalu lain, yang menurut Rendra dilupakan orang Jawa sendiri. Dalam ”tembangtembang kuno,” katanya, ”ada ajaran yang mengajak kita untuk mandiri, untuk berdiri sendiri, untuk mengada.” Rendra tak menyebut dengan jelas ”tembang kuno” mana yang mengajarkan demikian. Ia hanya menyebut kisah Dewa Ruci, kisah tentang Bhima yang mencari dan kemudian menemukan ”dirinya sendiri”. Agaknya yang jadi soal bukanlah tradisi itu sendiri, tapi kemandekan yang mencekik individu. Dalam kebudayaan tradisional yang ada, kata Rendra, ”individu belum diketemukan”. Pada 1967 ia pergi ke Amerika Serikat, dan hidup di Kota New York. Dari sana datang beberapa puisinya yang matang dan memukau, yang terkumpul dalam Blues Untuk Bonnie. Dalam sepucuk surat yang ditulisnya dari sana, bertanggal 29 Mei 1967, ia mengatakan, ”Perubahan terjadi di dalam saya…. Adapun yang paling memberikan kesan pada kesadaran saya dewasa ini ialah ilmu pengetahuan. Saya merasakan ini sebagai imbangan yang sehat untuk kesadaran mistik dan seni yang ada dalam diri saya”. Dari sini ia berbicara untuk melaksanakan ”firman modernisasi”. Ia bersuara tentang agar orang Indonesia ”melawan alam”. Ini ditandaskannya kembali ketika ia, bersama awak Bengkel Teater Yogya memperingati Hari Sumpah Pemuda pada 1969. Ia berpidato dengan teks yang ditulis tangan. Ia berbicara bagaimana di Barat kehidupan diatur oleh mesin bikinan manusia, dan bagaimana di Indonesia individu bagaikan sekrup dan gotri yang ditentukan perannya oleh semacam mesin lain, yakni alam. Individu tak bisa merdeka, katanya, karena seluruh hidupnya hanya merupakan onderdil yang sudah ditetapkan status dan tugasnya dalam tradisi. Panggilan zaman yang sekarang adalah

melawannya, kata Rendra. Di sini ada gema yang kembali dari pemikiran yang dibawakan para sastrawan pada 1930-an, terutama oleh S. Takdir Alisjahbana. Suara itu kemudian dilanjutkan Soedjatmoko ketika menulis pengantar buat majalah Konfrontasi pada 1955: ia menjelaskan kenapa harus ada ”konfrontasi” dengan ”faktor-faktor kebudayaan” yang tidak mendukung pembangunan bangsa. Rendra meneruskan ”firman modernisasi” itu. Tapi dunia modern, sebagaimana dicemaskan Sanusi Pane, seorang penganut Theosofi yang memuja masa lalu India, punya sisi gelap. Tak ada yang baru di sini: Max Weber meramalkan bahwa ”akal instrumental” yang memacu dunia modern pada akhirnya akan membawa manusia ke dalam ”kerangkeng besi”. Mazhab Frankfurt melihat ”Pencerahan” yang membawa ”firman modernisasi” pada akhirnya melahirkan penindasan. Sanusi Pane memandang sisi gelap itu seraya memegang gambaran tentang ”Timur” dalam idealisasi kaum Orientalis. Akhirnya, sebagai kelanjutan sikap ”anti-Barat”, penyair Madah Kelana itu memuja semangat Jepang yang fasistis. Berbeda dari Sanusi, kaum intelijensia Indonesia yang hidup dalam dasawarsa 1970 dan 1980 punya acuan lain. Inilah masa ketika Soedjatmoko, yang agaknya terpengaruh oleh Schumacher, dan Schumacher yang terpengaruh oleh Buddhisme, berbicara tentang perlunya ”teknologi madya”. Ini juga masa ketika Arief Budiman mengedepankan ”teori dependenzia” yang mengecam ”ketergantungan” Dunia Ketiga kepada modal. Ini juga masa ketika Rendra mementaskan Mastodon dan Burung Kondor serta Perjuangan Suku Naga, yang mengkritik ”pembangunanisme” kekuasaan ”Orde Baru”. Tampak ada perubahan yang tajam dari seruan ”modernisasi” dan ”melawan alam” yang ditulisnya pada akhir 1960-an. Saya tak tahu, adakah perubahan itu mendasar sifatnya dan akan menetap. Dunia sedang bergeser lagi. Semangat ”teknologi madya” yang

merupakan ”Gandhisme baru” tampaknya tak bergema lagi, mungkin karena dari ide itu tak ada jawaban bagaimana negerinegeri miskin akan bertahan menghadapi negeri yang memakai teknologi tinggi. Teori ”dependenzia” sudah ditinggalkan para teoretikusnya sendiri di Amerika Latin. Pembangunan sosialis model RRC zaman Mao digantikan pembangunan ala borjuis dengan gegap-gempita dan mencengangkan dunia. Rendra belum menjawab pergeseran besar ini. Tapi ia telah memberi kita sebuah kearifan yang boleh dibilang inti dari ”firman modernisasi” yang sering dilupakan. Kearifan itu tersirat dari katakatanya: ”Kreativitas saya adalah kreativitas orang yang bertanya pada kehidupan.” lll Puisi bukanlah sebuah pertanyaan, tapi puisi tak ingin menjebak kita dengan jawaban. Seorang penyair akan merasakan gundah ketika orang ramai menuntutnya jadi pemberi fatwa. Rendra—di pentas selalu karismatis, suaranya memukau—akan dengan gampang berada dalam status itu: seorang penyair yang jadi intelektual publik karena keadaan yang tertekan memaksanya demikian, dan seorang intelektual publik yang kata-katanya berubah jadi khotbah karena orang ramai—dengan dorongan tersendiri— mendesaknya. Saya kira ada kegundahan itu dalam Khotbah, salah satu sajak yang akan kekal dalam sejarah kesusastraan mana pun. Fantastis. Di satu Minggu siang yang panas di gereja yang penuh orangnya seorang padri muda berdiri di mimbar. Wajahnya molek dan suci matanya manis seperti mata kelinci dan ia mengangkat kedua tangannya

yang bersih halus bagai leli lalu berkata: ”Sekarang kita bubaran Hari ini khotbah tak ada”. Tapi orang-orang tak beranjak. Mereka tetap berdesakdesakan. Mata mereka menatap bertanya-tanya. Mereka ingin benar mendengar. Mereka pun berdesah, barbareng, dengan suara aneh. Padri itu menyaksikan semua itu dengan cemas: ”Lihatlah aku masih muda. Biarkan aku menjaga sukmaku. Silakan bubar. Ijinkan aku memuliakan kesucian. Aku akan kembali ke biara Merenungkan keindahan Ilahi.” Tapi orang banyak itu tak membiarkannya. Mereka tak mau bubar. Mereka akhirnya mendesak, dan dalam sebuah orgi yang buas dan bernafsu, memperkosa sang padri, mencincang dagingnya, memakannya, dalam suara gemuruh, ”cha-cha-cha, cha-cha-cha…” Fantastis. Jakarta, 8 Agustus 2009 ~Majalah Tempo Edisi 8 Agustus 2009~

Si Buntung Agustus 3, 2009 JANGAN bicara kepada saya tentang jihad. Hari ini saya sudah tak tahu lagi apa maksudnya. Tuan bisa berkata, jihad bukanlah kekerasan. Tapi berbareng dengan itu orang lain berkata jihad itulah yang membenarkan bila

orang yang dianggap kafir atau murtad dibunuh. Tiap tafsir bisa dibantah tafsir lain. Kepada siapa saya bisa minta kata akhir tentang apa sebenarnya yang diperintahkan agama? Maka jangan bicara kepada saya tentang jihad. Terorisme tak perlu dan tak bisa diterangkan dengan sabda atau fatwa. Bom yang diledakkan untuk membunuh dan bunuh diri itu justru mungkin akan lebih jelas bila dilihat sebagai sesuatu yang tak dapat diutarakan oleh (dan dalam) sabda dan fatwa. Siapa yang melihat hubungan antara terorisme dan ajaran, apalagi ideologi, melupakan bahwa ada sesuatu yang lebih dahulu, dan lebih bisu, ketimbang ajaran dan ideologi—yaitu luka. Yang menyedihkan dalam sejarah ialah bahwa luka itu tampaknya tak terelakkan. Akan ada selalu orang-orang buntung. Kata ini tak menunjukkan luka potong yang harfiah; di sini, ”buntung” adalah lawan kata ”beruntung”. Seorang teman di Bonn tadi pagi mengirim sebuah tulisan Hans Magnus Enzensberger dan di sana saya menemukan apa yang saya maksud. Dalam bahasa Jerman Enzensberger menyebut si buntung ”Verlierer”; dalam bahasa Inggris ”loser”. Si buntung—dan ia tak hanya seorang—lahir dari semacam kecelakaan yang niscaya ketika manusia mengorganisasi dirinya sendiri. Enzensberger menyebut ”kapitalisme”, ”persaingan”, ”imperium”, dan ”globalisasi”, tapi kita bisa menambahkan bahwa terbentuknya negara-bangsa atau lembaga agama—bahkan dalam sejarah kota dan banjar—juga menyebabkan ada orang-orang yang terbuncang, tertinggal, kalah, bahkan separuh atau seluruhnya hancur. Mereka yang luka. Si buntung. Sejarah juga mencatat, si buntung bisa memilih untuk menerima nasib. Si korban bisa menuntut pampasan. Si kalah bisa menunggu kesempatan lain. Tapi ada yang oleh Enzensberger disebut sebagai ”si buntung radikal”: ia yang mengisolasi diri, menjadikan dirinya tak kelihatan, merawat khayal atau phantasmanya, menyimpan tenaga, dan menanti sampai saatnya datang.

Tapi saat itu bukanlah saat untuk menebus nasibnya yang parah. Si buntung radikal, menurut Enzensberger, mengatakan kepada dirinya sendiri: ”Aku buntung, dan tak bisa lain selain buntung.” Ia tak melihat hidupnya berharga, dan tak memandang hidup orang lain berharga pula. Maka ketika saat itu tiba dan ia menggebrak, si buntung siap membinasakan orang lain sekaligus dirinya sendiri. Tapi agak berbeda dari Enzensberger, saya tak menganggap bahwa seluruh momen penghancuran itu sebuah pernyataan keberanian yang putus asa. Yang meledak juga bukan hasrat terpendam untuk mengekalkan ke-buntung-an. Bukankah pada saat itu, seperti dikatakan Enzensberger sendiri, akhirnya si buntung radikal bisa melihat dirinya jadi ”tuan dari hidup dan kematian”? Ia jadi seorang militan. Ia jadi subyek. Sejenak ia membebaskan diri dari statusnya yang celaka: untuk memakai kata-kata dalam sebuah sajak Chairil Anwar, ”sekali berarti, sudah itu mati.” ”Ber-arti”, atau mendapatkan harga dan makna, itulah yang diberikan oleh ajaran atau ideologi. Tentu saja karena ada kecocokan antara si buntung radikal dan ajaran atau ideologi itu: petuah dan petunjuk itu, tentang jihad atau perang, lahir dari tafsir yang diutarakan dari sebuah situasi luka. Enzensberger memaparkan luka itu—dalam sejarah Islam—sebagaimana yang umumnya sudah diketahui. Jika ”Islam” adalah nama bagi sebuah peradaban, yang terjadi adalah sebuah riwayat panjang tentang arus yang surut. Enzensberger mengutip sajak penyair muslim kelahiran India, Hussain Hali (1837-1914), yang menggambarkan bagaimana peradaban yang pernah jaya pada abad ke-8 itu akhirnya ”tak memperoleh penghormatan dalam ilmu/tak menonjol dalam kriya dan industri”. Yang kemudian berlangsung adalah Islam yang hanya memungut, cuma meminjam, dan tak bisa lagi memperbaharui. Terutama di dunia Arab, yang pada satu sisi bangga telah jadi

sumber dari sebuah agama yang menakjubkan tapi di sisi lain terus-menerus menemukan kekalahan. Enzensberger menulis: ”Bagi setiap orang Arab yang peduli untuk merenungkannya, tiap benda yang kini hampir mutlak dipakai di kehidupan sehari-hari … mewakili sebuah penghinaan yang tak diucapkan—tiap kulkas, tiap pesawat telepon, tiap colokan listrik, tiap obeng, apalagi produk teknologi tinggi”. Bahkan terorisme—dari gagasan, gaya, serta peralatannya—datang pada abad ke-20 dari ”Barat” yang mereka haramkan. Lingkaran setan tak dapat dielakkan lagi. Yang terpuruk jadi merasa tambah terpuruk justru ketika ingin membebaskan diri. Dalam lingkaran itu kebencian pun berkecamuk—gabungan antara kepada ”mereka” dan juga kepada diri sendiri. Tak mengherankan, di wilayah ini, si buntung radikal berkelimun. Akankah ada pembebasan? Mungkinkah pembebasan? Saya percaya, jadi buntung bukanlah hukuman yang kekal. Tapi untuk itu agaknya diperlukan sebuah lupa. Si buntung perlu tak mengacuhkan lagi luka sejarah. Ia perlu melihat kekalahannya sebagai bagian dari pengalaman dan memandang pengalaman itu sebagai, seperti kata petuah lama, guru yang baik. Tapi saya sadar, si buntung radikal akan sulit untuk bersikap demikian. Terutama ketika ia menerima ajaran bahwa lukanya adalah luka di luar sejarah. Maka bom diledakkan, surga yang kekal dijanjikan, jihad ke kematian jadi langkah awal dan akhir. Dan selebihnya beku. ~Majalah Tempo Edisi 3 Agustus 2009~

Politesse Juli 27, 2009 Di sebuah TPS, pada pukul 9 pagi: para tetangga datang, saling menyapa, saling senyum, bercakap-cakap agak lirih, duduk menunggu dengan tertib, kemudian bergiliran masuk ke ruang

kotak suara, mencontreng, mencelupkan jari ke tinta hitam, lalu melangkah ke luar, menyambung senyum dan percakapan, tentang tetangga yang sudah pindah, tentang anak yang baru menikah, tentang selokan yang belum diperbaiki, tentang segala hal—kecuali tentang partai atau tokoh yang telah dan akan dipilih hari itu. Politik: apa gerangan ia sebenarnya? Di TPS itu tak ada gelora yang berapi-api. Para militan dan partisan sedang mengubah diri jadi warga RT (jangan lupa, artinya, ”Rukun Tetangga”). Politik seakan-akan berhenti jika politik, (das Politische, kata Carl Schmitt) adalah sebuah arena kekuasaan, sengketa, dan antagonisme. Tapi benar kah? Berhari-hari sebelumnya kampanye memang menderu seganas deretan panser dalam perang yang, dengan bendera yang angkuh, menembakkan kata-kata yang ingin menghancurkan. Tapi pada hari itu, di TPS itu, para tetangga yang bertentang an dalam menentukan pilihan dengan serta-merta tampak jinak: orang-orang yang saling mengucapkan selamat pagi. Mereka seperti saling mengerti: pilihanmu adalah pilihanmu, pilihanku pilihanku. Nanti, menjelang sore hari, mereka akan dengan tegang menanti hasil penghitungan suara, tapi setelah itu…. Beberapa minggu kemudian anggota DPR ditentukan, presiden dan wakil pre siden dilantik. Dan segera setelah itu tak terasa lagi kemeriahan, greget, dan semangat. Ada yang menyambut hilangnya gairah yang berapi-api itu sebagai tingkat matang demokrasi sebuah kebajikan. Ada yang menunjukkan bahwa ajang politik memang bukan medan tempur. Bagi mereka ini, politik berbeda dari polimos atau perang. Politik, bagi mereka ini, adalah ruang kemerdekaan dan partisipasi publik. Di sana orang ramai membahas, menimbang, dan memutuskan nasib bersama. Dengan kata lain, di TPS itu tampak, apa yang ”sosial” dalam hidup manusia ternyata tak dihabisi oleh ”politik”bahkan sebaliknya. Tapi ada yang menganggap itu hanya façade. Antagonisme

memang bisa ditutup-tutupi oleh proses politik sebagai Politesse. Dipergunakan oleh Schmitt, istilah itu menyarankan sebuah laga yang sengit tapi sopan. Tapi bagi Schmitt dan para teoritisi politik yang sepaham, politik tak sama dengan pertandingan Manchester United vs Chelsea. Sebuah masyarakat dan sebuah bangsa terbentuk dari luar dan dari dalam oleh konflik. ”Saya menegaskan, politik dan polimos berjalan bergandeng an,” kata Chantal Mouffle. Tapi jangan-jangan tak begitu sebenarnya, dan barangkali kita di sini bertemu dengan sebuah hiperbol. Dalam pengamatan sehari-hari, politik tak hanya bergandeng an dengan polimos. Pada akhirnya Mouffle sendiri mengatakan, berbeda dari Schmitt, ia mengakui perlunya ”pasifikasi”: tujuan demokrasi adalah memungkinkan bentuk-bentuk yang bisa mengekspresikan konflik tanpa menghancurkan asosiasi politik. Di TPS itu, senyum dan percakapan ikut membangun proses sederhana yang mengelakkan sikap saling menghancurkan. Bahkan seakan-akan tempat itu jadi tempat silaturahmi atau bertandang—meskipun kita tahu, dan orang pun akhirnya mengerti, ada yang tak selamanya tuntas dalam Politesse. Selalu ada residu dari apa yang brutal dalam politik, selalu masih ada amarah yang tersisa dan dendam yang tersekat di saat para musuh politik berjabat tangan. Betapapun berlebih-lebihannya gambaran politik sebagai arena pertempuran, pengalaman sejarah memang tak pernah menghadirkan sebuah masyarakat yang utuh penuh. Keragaman tak hanya bisa tampak bagai variasi, tapi juga sebagai pertikaian, bahkan perpecahan. Manusia bisa rasional, dan itulah dasar yang membuat orang percaya akan efektifnya demokrasi ”deliberatif”. Tapi manusia tak hanya—dan tak selama-lamanya—membentuk bangunan sosial-politiknya hanya dengan berembuk. Apa boleh buat. Krisis gagasan besar kini ada di mana-mana. Juga agama tak selamanya bersuara dengan meyakinkan lagi. Kita hidup di sebuah masa ketika kita dihadapkan pada kesadaran yang

meluas bahwa manusia adalah bermacam-macam kemungkinan. Seorang pemikir pernah menyebut zaman ini sebagai ”the age of contingency”. Politik pada akhirnya adalah pengakuan akan konti ngensi itu. Kontingensi adalah sebuah lubang besar: tak ada jaminan yang kekal tentang apa yang baik dan tak baik mengenai masyarakat. Jaminan itu hanya terjadi bukan setelah (dan bukan sebelum) diperjuangkan. Salah satu bentuk perjuangan terjadi sebenarnya ketika kita masuk ke ruang untuk mencontreng. Di situ kita sebenarnya membangun jaminan dengan harapan yang setengah yakin bahwa besok apa yang dibangun itu tak akan runtuh. Di luar TPS itu tak ada jaminan apa-apa. Tapi setidak nya juga tak ada pisau yang dihunus dan pistol yang dicabut. Yang kalah akan bersungut-sungut, yang menang akan tersenyum puas, dan masing-masing akan melanjutkan sikap waspada. Tapi ada satu faktor yang sering dilupakan dalam politik pada zaman yang serbamungkin itu: waktu. Waktu membuat kita bisa menunggu, menunda, bersiap, berubah posisi atau mengantar kita ke kematian. Waktu membatasi, tapi juga membuka pintu. Kita mencoba. Dengan kata lain, kita mengambil langkah sementara. Dalam ”the age of contingency”, demokrasi adalah politik dengan kesadaran akan kesementaraan—seperti hitam tinta yang melumeri kelingking kita di TPS itu. ~Majalah Tempo Senin, 27 Juli 2009~

Teror Itu Juli 20, 2009 Jika bom itu tak hanya mengejutkan, tapi membuat kita marah dan sedih, jika beberapa orang bahkan menangis pagi itu, ketika dua ledakan membunuh sembilan orang dan melukai entah berapa lagi di Hotel Ritz-Carlton dan JW Marriott di Jakarta, apa

sebenarnya yang terjadi? Saya tak tahu persis jawabnya. Kematian dan luka-luka itu mengerikan, tapi saya dengarkan percakapan, saya baca pesan di HP, dan saya mungkin bisa mengatakan bahwa kita marah, sedih, dan menangis karena tiba-tiba kita menyadari, betapa terkait kita dengan sebuah tanah air: sebuah negeri yang selama ini seakan-akan bisa diabaikan, atau hanya disebut dalam paspor—sebuah Indonesia yang seakan-akan selamanya akan di sana dan utuh tapi kini terancam—Indonesia yang dulu mungkin hanya menempel direkatkan ke kepala karena pelajaran kewarganegaraan di sekolah, karena pidato di televisi. Ketika bom itu mengguncang kita, pagi tiba-tiba jadi lain. Pagi itu kita merasa secara akut jadi bagian dari tubuh imajiner itu—justru ketika tubuh itu dilukai. Tiba-tiba kita merasa berada di sebuah perjalanan bersama yang dicegat dengan kasar dan seperti hendak direnggutkan dari masa depan yang bisa memberi kita sedikit rasa bangga. Tiba-tiba kita takut kita akan tak bisa mengatakan, ”Saya datang dari sebuah negeri yang pelan-pelan membuat saya tidak malu lagi.” Teror itu akhirnya memusuhi sesuatu yang lebih berarti ketimbang apa saja yang semula dimusuhinya—jika yang dimusuhi adalah ”Amerika”, atau ”Barat”, atau ”SBY”, atau ”demokrasi”, atau ”kehidupan sekuler”, atau apa pun. Ketika kita merasa seperti kehilangan sebuah republik yang dibangun bersama—dengan segala variasi yang tumbuh dalam bangunan itu—teror itu praktis memusuhi sebuah cita-cita sekian puluh juta manusia yang bebas. Ia memusuhi Indonesia. Pada momen itu, kita sebenarnya bisa berkata: kita akan melawan. Pada saat itu, kita tahu, teror itu tak akan menang. Memang sejenak ia bisa bikin gugup, menyebabkan reaksi yang berlebihan, juga dari seorang presiden yang biasanya tenang. Tapi bom itu, teror itu, tak akan bisa mendapat lebih dari itu. Di zaman ini, para teroris memerlukan pentas dan penonton. Ada panggung untuk mempertunjukkan akrobatik mereka. Ada

penonton yang menyaksikannya dan merasakan dampaknya ke dalam hidup mereka, sejenak ataupun lama. Kengerian, kebuasan, dan kenekatan itu adalah bagian dari spectacle itu, seperti dalam sirkus. Tapi, apa sesudah itu? Kita ingat 11 September 2001: sebuah pertunjukan spektakuler dengan pentas yang kolosal: dua pesawat berpenumpang penuh ditabrakkan ke dua gedung pencakar langit di Kota New York, pada sebuah pagi yang cerah. Sekitar 3.000 orang tewas. Teror adalah sebuah show dan sekaligus statemen. Tapi statemen itu tidak pernah jadi jelas, juga bagi jutaan penonton. Efeknya mengharu biru, tapi ia tak menyebabkan sang musuh (”Amerika”) bertobat atau runtuh. Teror akhirnya bukanlah untuk menggerakkan dukungan yang konsisten untuk perubahan. Teror tak punya daya transformatif. Teror bukan sebuah revolusi. Dan ia juga tak bisa mengelak dari ”the law of diminishing return”. Tiap pertunjukan yang ingin menarik perhatian akan sampai pada suatu titik, di mana ia tidak bisa lagi jadi rutin. Ketika ia jadi rutin, diulang berkali-kali tanpa hasil yang berarti, kecuali membunuh sejumlah orang tak bersalah (bahkan ia tak bisa berpanjang-panjang membuat gentar), ia kehilangan lagi tujuannya. Bahkan ia bisa kehilangan kejutnya. Dalam film Brazil Terry Gilliam, horor dan komedi bersatu. Adegan dimulai dengan sebuah etalase dan iklan televisi yang menawarkan pipa penghangat ruang. Seorang perempuan lewat dan sejenak, sebelum sebuah bom meledak. Tapi tak ada jerit. Tak ada sirene. Yang terdengar melodi Aquerela do Brasil dari Ary Barroso yang riang dan ringan. Teror telah demikian jadi bagian dari hidup sehari-hari dari sebuah kota yang terletak di sebuah zaman entah berantah. Dalam film tentang kekerasan selama 13 tahun itu (yang disebut oleh seorang pejabat sebagai ”keberuntungan sang pemula”) kita tidak tahu lagi apa sebenarnya yang diperjuangkan Archibald ”Harry” Turtle, sang superteroris, yang dalam film cuma muncul sejenak. Teror telah jadi seperti ”seni untuk seni”.

Kita belum sampai ke tingkat seperti komedi hitam Terry Gilliam, di mana yang seram dan yang sehari-hari membentuk sebuah dunia yang ganjil. Tapi agaknya para teroris akan mulai terbentur pada pertanyaan: apakah yang mereka lakukan sebenarnya—sebuah pertunjukan teror untuk teror? Sebuah pameran kepiawaian menghilangkan jejak, merancang operasi di tengah kesulitan, dan tak lebih dari itu? Saya kira tak lebih dari itu. Dan ketika pertunjukan buas yang kehilangan tujuan itu berhadapan dengan sesuatu yang lebih berharga—sebuah harapan, sebuah ikhtiar untuk sebuah negeri yang aman dan demokratis—kita tahu siapa yang akan menang. Kita. Indonesia. ~Majalah Tempo Edisi 20 Juli 2009~

Tentang Rakyat Juli 13, 2009 Tentang rakyat, apakah yang sebenarnya kita ketahui? Kata itu, seperti bagian penting dari mantra, punya efek yang kuat, tapi tak punya arti yang jelas. Seperti bagian dari mantra, ia diulang untuk membuat orang terkesima, atau tunduk, atau bersemangat. Tapi ia (sebagaimana mantra) akan hilang tuahnya apabila diletakkan sebagai sebuah satuan sintakse yang diurai maknanya. Di hadapan analisis, kata ”rakyat” akan jadi sebuah problem. Artinya (seperti arti kata umumnya) ternyata bergantung pada bedanya dengan kata lain tempat ia dipasangkan. ”Rakyat” berarti bagian penduduk yang tak sedang berkuasa dari sebuah negeri, bila kata itu disandingkan dengan ”pemerintah”. Tapi kata ”rakyat” bisa berarti sebuah kekuatan tersendiri, juga di dalam pemerintahan, seperti dalam istilah ”Republik Rakyat Cina”. Kata itu juga bisa mengandung makna perlawanan terhadap yang mapan. Tapi ”rakyat” juga bisa berarti suara mayoritas yang,

sebagaimana lazimnya mayoritas, berkumpul di bagian tengah kurva lonceng dalam statistik: sebuah tendensi di luar yang ekstrem. Saya ingat sebuah sajak Hartojo Andangdjaja yang mencoba mengutarakan apa itu ”rakyat”. Tapi seba-gai-mana layaknya puisi, ia tak menawarkan definisi, melainkan imaji: Rakyat ialah kita jutaan tangan yang mengayun dalam kerja di bumi di tanah tercinta jutaan tangan mengayun bersama membuka hutan-hutan lalang jadi ladang-ladang berbunga mengepulkan asap dari cerobong pabrik-pabrik di ko-ta menaikkan layar menebar jala meraba kelam di tambang logam dan batubara Rakyat ialah tangan yang bekerja Rakyat ialah kita otak yang menapak sepanjang jemaring angka-angka yang selalu berkata dua adalah dua yang bergerak di simpang siur garis niaga Rakyat ialah otak yang menulis angka-angka Rakyat ialah kita beragam suara di langit tanah tercinta… Rakyat ialah suara beraneka Sajak itu agak terlalu panjang bagi selera saya saya potong di bait itu. Tapi saya kira kita bisa menyimpulkan apa yang hendak dikemukakan penyairnya: Rakyat adalah subyek. Tapi subyek itu bukan terbentuk sebagai substansi yang sudah ada dan akan selalu ada; rakyat bukanlah ”kehadiran” yang tegak sebelum dan sesudah ”kemauan” atau ”perbuatan” atau ”keputusan”. Bagi

Har-tojo, ”rakyat” lahir dari kerja, berpikir, mencipta. Subyek itu hanya jadi subyek dalam praksis. Dalam hal ini kata ”rakyat” sejajar dengan pengertian ”proletariat” dalam pengertian Sartre: kaum proletar ”mem-bentuk dirinya sendiri dari aksi hari-ke-hari”. Ia ada hanya melalui aksi. ”Ia adalah aksi. Kalau ia berhenti beraksi, ia buyar”. Tentu saja ada beda antara gambaran tentang ”rakyat” dalam sajak Hartojo dan asal-usul ”proletariat” dalam definisi Sartre. ”Rakyat” dalam puisi Hartojo lebih -me-rupakan subyek produksi dan kreasi ketimbang subyek politik. Rakyat sebagai subyek politik diasumsikan seba-gai sesuatu yang tidak ”buyar” (decomposed), dengan kata lain: utuh dan tunggal, sedangkan rakyat dalam -imaji puisi Hartojo tidak. ”Rakyat adalah suara beraneka”. Dalam sejarah demokrasi, selalu ada pertemuan, perbenturan dan persilangan antara rakyat sebagai subyek politik dan rakyat sebagai ”suara beraneka”. Menjelang demokrasi modern lahir dari rahim Revolusi Prancis, Rousseau mengatakan bahwa apa yang membuat ”kemau an publik” bukanlah ”jumlah pemilih”, melainkan ”kepentingan bersama yang menyatukan mereka”. Persoalannya, kemudian, bagaimana ”menyatukan” suara yang ”beraneka” itu. Robespierre, yang selalu cenderung untuk bersikap ekstrem, mengambil kesimpulan- bahwa ”kita perlu satu kemauan yang tunggal”, une volonté UNE, seperti ditulisnya dalam catatan pribadinya pada tahun 1793. Dari sini kita tahu apa yang dilakukannya: teror terhadap mereka yang tak dianggap menolak jadi tunggal, pembasmian mereka yang ”bukan-rakyat”. Dipim-pin Robespierre, Revolusi Prancis bisa membebaskan, tapi juga bisa dengan bengis menghilangkan kebebasan. Sebab orang seperti Robespierre merasa tahu betul apa yang disebut ”rakyat” dan akhirnya terjebak: ia sendiri dipenggal oleh mereka yang juga merasa mewakili ”rakyat”. Ia orang berniat baik—sebagaimana banyak intelektual dewasa ini yang karena niat baiknya melihat rakyat sebagai subyek politik yang diberi status

ontologis: rakyat tak lagi sesuatu yang dibentuk oleh praksis, melainkan yang membentuk praksis. Pada gilirannya, ”rakyat” jadi bagian dari sebuah mitologi, atau setidaknya bagian dari mantra. Tapi demokrasi kemudian belajar: jika sistem ini bermula sebagai ”pemerintahan oleh rakyat”, ia berangsur angsur menerima bahwa ”rakyat” adalah sebuah subyek yang tak ”hadir”. Para pendukung demokrasi memang sering terkecoh. Mereka alpa bahwa rakyat adalah subyek- yang, sebagai subyek, tak sepenuhnya bisa diterjemahkan oleh bahasa. Ia bisa berganti-ganti maknanya sosoknya, suaranya, lakunya. Maka tak mengherankan bila percakapan dan debat dengan sikap membela rakyat yang kita ikuti di koran dan televisi selama ini bisa tiba-tiba dipergoki oleh kenya-taan bahwa rakyat tak mendengarkan hiruk-pikuk itu. Jika kita bisa belajar, mungkin sejak ini sebaiknya kita selalu bisa bertanya: tentang rakyat, apa sebenarnya yang kita tahu? ~Majalah Tempo Edisi Senin, 13 Juli 2009~

Kamar Juni 29, 2009 Sajak itu menghadirkan sebuah kamar. Luasnya cuma 3 m x 4 m, “terlalu sempit buat meniup nyawa”. Penghuninya tujuh. Ruang pun terasa kerdil dan rudin, ketika sebuah jendela menghubungkannya dengan dunia luar yang begitu perkasa. Dalam sajak itu pula Chairil Anwar melukiskan kemurungan dan kelesuan kamar itu dengan sederet imaji yang makin lama makin dramatis. Sang ibu “tertidur dalam tersedu”. Sang bapak “terbaring jemu”. Mata lelaki tua itu menatap ke sesuatu yang mungkin hanya sebuah citra ketidak-berdayaan: gambaran “orang tersalib di batu”. Cahaya terbatas. Malam itu bulan mengirimkan sinarnya sedikit untuk mengintip, dan tanpak “sudah lima anak bernyawa di sini”. Suasana represif, seperti sel-sel bui yang padat tapi kehilangan

suara. “Keramaian penjara sepi selalu”. Chairil menuliskan baris-baris itu sekitar setengah abad yang lalu, di Jakarta yang penduduknya belum lagi empat juta. Kini kota ini – yang baru saja berulangtahun ke-482 — dihuni 12 juta orang, dan membaca sajak itu kita terpekur: apa makna sebuah ruang (mungkin sebuah rumah) di kota seperti ini? Bagaimana pula kelak, di tahun 2025, ketika diperhitungkan hampir 70% penduduk Indonesia hidup di kota-kota? Apa yang tengah kita saksikan: sebuah progresi kepadatan dan ketercekikan? Kecemasan atas kota-kota yang padat tak hanya terbatas di Dunia Ketiga. Di pertengahan abad ke-20, ada sebuah keluhan tentang Paris: “Di Paris tak ada rumah”. Itu tulis Gaston Bachelard, filosof Prancis itu, dalam La poétique de l’espace. “Penduduk kotakota besar tinggal di dalam kotak-kotak yang dipasang-susun”. Akhirnya rumaha hanya terbangun horisontal; ia kehilangan “kosmisitas”-nya. Tak ada lagi pertautannya dengan yang kosmis, sebagaimana ia kehilangan angkasa, terlepas ari misteri keagungan. Keluhan Bachelard memang menyiratkan sebuah nostalgia, kerinduan kembali kepada suasana tempat tinggal yang dengan nyaman dihuni bertahun-tahun di pedusunan dan kota kecil di pedalaman – sesuatu yang tentu saja tak bisa berlaku dalam latar sejarah sosial-ekonomi Indonesia. Di Indonesia, terutama di Jawa, kepadatan penduduk sudah lama merampas pedusunan dari suasana sejuk-tenteram seperti yang dulu diidealkan lukisan Dazentje. Petani miskin tak mampu lagi punya rumah yang layak dirindukan. Tanah yang kian sempit diolah dan dimanfaatkan oleh penghuni yang kian lama kian banyak. Sebuah “involusi pertanian” (dalam istilah terkenal Clifford Geertz) terjadi: bukan kekayaan dan keluasan yang dibagi-bagi, melainkan kemelaratan dan kesempitan. Kamar yang dilukiskan Chairil bisa juga berlaku bagi ruang di rumah-rumah dusun. Keadaan memang sedikit berubah sekarang, setelah program

pengendalian pertumbuhan penduduk dua dasawarsa yang lalu berhasil. Pertumbuhan kini tinggal 1,3%. Tapi jika lihat Jakarta, kepadatan tetap sebuah kenyataan yang menyebabkan hubungan antara manusia dan tempat tinggalnya demikian tak membekas. Kita mengalami, dan menyaksikan, sejenis neo-nomadisme: orang berpindah dari satu lokasi ke lokasi lain; “rumah” bukanlah faktor penting dalam stabilitas. Orang hidup dari rumah kontrakan satu ke rumah kontrakan lain. Orang tak lagi mengenal tempat sebagai dunung, sebuah kata Jawa yang bukan saja menunjukkan sebuah situs fisik, tetapi juga afeksi, sentuhan perasaan yang positif, ruang yang pas untukku. Tempat telah jadi komoditi. Ia bukan lagi bagian dari pengalamanku yang tak bisa dipertukarkan. Ia bukan lagi mendapatkan wujudnya sesuai dengan wujud diriku; ia tidak lahir dari prosesku mengureg (burrow, bahasa Inggrisnya), proses seperti ketika tikus tanah membuat ruang hidupnya dengan membuat liang yang cocok. Para nomad baru tak membangun liangnya; ia masuk ke sebuah geografi yang sudah disiapkan untuk siapa saja. Di sana, ia hanya seorang tamu. Neo-nomadisme itu juga lahir dari jarak: di Jakarta, rumah dan tempat kerja seringkali begitu jauh, lalulintas begitu padat, hingga lebih lama orang hidup di jalanan ketimbang di kamarnya sendiri. Ia akan berangkat pukul enam pagi, sampai di rumah kembali pukul tujuh malam, untuk kemudian duduk menonton televisi tentang dunia jauh, sebelum tidur, mungkin mimpi. Dan pada pukul lima… Tapi tetap ada benarnya, bahwa seorang nomad tak pernah sempurna sebagai seorang nomad. Pada tiap kesempatan, manusia mencoba membentuk dunung-nya. Juga di Jakarta. Ada tempat-tempat yang kita bangun dan tempati dengan betah, juga di luar apa yang biasa disebut “rumah”. Ada ruang, sebagiannya tersembunyi dalam hati, yang tak hendak dan tak bisa diperjualbelikan: sebuah pojok di taman, sebuah sudut kota yang menyimpan kenangan, sebuah pasar yang menambat hati, sebuah kedai, sebuah stasiun bis, sebuah tempat pertemuan…

Di ruang-ruang yang jadi dunung, ada tenaga yang menarik kita ke dalam, membentuk setitik pusat, membangun dunia yang seakan-akan tanah yang kita ureg. Tapi di zaman ini, ada tenaga yang juga menarik kita ke luar, karena tempat apapun pada akhirnya hanya sebuah ruang transit. Barangkali yang akan tetap akhirnya hanya nomor HP atau alamat e-mail. Dan kita tak menyebut diri “tuna-wisma”. Hari ini dan mungkin nanti, Jakarta adalah arus di mana “wisma” tak lagi relevan. Yang ada adalah kemah dalam hidup yang tak bisa mandeg. Ada yang hilang dalam kepadatan itu. Tapi manusia berjalan terus, terengah-engah makin tua, mencoba bisa hidup walaupun dengan sel-sel sempit yang kehilangan suara, dalam “keramaian penjara sepi selalu.” ~Majalah Tempo Edisi Senin, 29 Juni 2009~

Debat Juni 22, 2009 Saya malas berdebat. Tiap debat mengandung unsur berlaga, ujian, dan telaah. Memang, dulu ketika Socrates menanyai seseorang, menggunakan teknik eclenchus, menyoal dan meminta jawab dan siap dibantah serta membantah, ia tak bermaksud mengalahkannya hingga takluk. Ia menggugah orang untuk berpikir, menilik hidup, terutama hidupnya, dan menjadi lebih bijaksana sedikit. Tapi tidak setiap orang seperti Socrates. Dan saya cepat lelah dengan berujar lisan. Pengalaman saya mengajari saya bahwa debat, seperti umumnya dialog, acap kali berakhir dengan dua-log: saya dan lawan bicara saya akan seperti dua pesawat televisi yang disetel berhadap-hadapan. Dia tak mencoba mengerti saya dan saya tak mencoba mengerti dia. Bahasa punya problem. Kata yang kita ucapkan atau kita tulis tidak jatuh persis di sebelah sana dalam makna yang seperti ketika ia keluar dari kepala saya.

Pengalaman saya juga membuat saya bertanya: apa tujuan sebuah perdebatan? Untuk menunjukkan bahwa saya tak kalah pintar ketimbang lawan itu? ”Kalah pintar” tidak selamanya mudah diputuskan, kalaupun ada juri yang menilai. Atau untuk meyakinkan orang di sebelah sana itu, bahwa pendirian saya benar, dan bisa dia terima? Saya tak yakin. Kita tak bisa untuk selalu optimistis, bahwa sebuah diskusi yang ”rasional” akan menghasilkan sebuah konsensus. Bahkan Mikhail Bakhtin cenderung menganggap bahwa debat yang terbuka dan kritis tidak dengan sendirinya akan membuka pintu ke sebuah ruang di mana orang bisa bertemu dan bersepakat. Justru sebaliknya: yang akan terjadi adalah makin beragamnya pendapat dan pendirian. Bagi Bakhtin, orang yang berbeda punya pandangan dunia yang berbeda pula, dan pada saat mereka sadar bahwa intuisi mereka tentang realitas berbeda—dan teknik Socrates akan menimbulkan kesadaran itu—mereka akan makin ketat dalam pilihan posisi mereka. Ada yang selamanya tak terungkap, juga bagi diri sendiri, dalam kalimat. Di manakah peran percakapan? Buat apa dialog dilakukan? Mungkin jawabnya lebih sederhana dari yang diharapkan seorang Socrates: percakapan punya momen persentuhan yang tak selamanya bisa dibahasakan—momen ketika tubuh jadi bagian dari keramahan dan redanya rasa gentar. Tapi orang senang menonton debat, apalagi debat para calon presiden. Saya tidak tahu apakah setelah menonton itu, orang akan mengambil keputusan mana yang lebih baik dia pilih. Saya duga lebih sering yang terjadi adalah pilihan sudah dijatuhkan sebelum debat mulai—dan orang menonton sebagai pendukung atau penggembira, seperti orang menonton pertandingan badminton atau tinju. Maka saya lebih cenderung menganggap, debat diselenggarakan lebih untuk jam-jam hiburan—dengan segala ketegangan yang dirasakan dalam menonton itu. Kita tegang, maka

kita senang. Juga debat calon presiden. Pendek kata, debat itu tidak untuk meyakinkan. Debat itu untuk membuat kita bertepuk. Tidak mengherankan bila televisi mengambil peran besar dalam debat politik. Sementara mereka yang berdebat mempersiapkan diri baik-baik dengan mengumpulkan bahan serta mempertajam argumen dan juga berlatih menyusun kata, tuan rumah dari acara itu sebenarnya punya tujuan yang tak ada hubungannya dengan discourse. Sang tuan rumah hanya menginginkan sesuatu untuk ditonton khalayak seperti orang Roma dulu menyelenggarakan pertandingan gladiator. Suka atau tidak suka, politik kini terjebak dalam sebuah arena apa yang disebut Milan Kundera sebagai ”imagologi”. Politik telah jadi sebuah tempat bertarung yang dibangun oleh media massa, di mana wajah, sosok, artikulasi, dan janji diperlakukan sebagai komoditas yang ditawarkan ke konsumen yang sebanyakbanyaknya. Makin banyak calon pembeli yang dibujuk, makin ditemukan titik pertemuan yang paling dangkal. Dan ketika televisi—dengan kebiasaannya untuk gemebyar, dengan ongkos mahal—jadi makin komersial, pendangkalan itu makin tak terelakkan. Tidak mengherankan bila setelah debat calon presiden, disusul debat para komentator debat—yang umumnya seru, bisa lebih kasar, lebih tak sabar, dan lebih tak berpikir. Kini para komentator hampir sudah seperti pesohor: yang terpenting adalah bahwa mereka dikenal, atau bisa menarik perhatian. Mengapa harus digubris adakah pendapat mereka punya dasar yang bisa dipertanggungjawabkan? Dan karena air time mahal, jawaban cepat lebih diperlukan ketimbang jawaban masuk akal. Socrates dan eclenchus-nya sudah lama dikuburkan. Saya malas berdebat. Meskipun seperti banyak orang, saya tak malas menonton para calon presiden berdebat. Saya tahu apa yang mereka lakukan di sana itu tak banyak manfaatnya bagi mereka sendiri. Tapi setidaknya saya mendapatkan hiburan. Dan

mungkin juga komodifikasi yang terjadi pada acara yang seolaholah serius itu punya manfaat lain, punya peran lain: proses itu membuat para calon pemegang jabatan tertinggi Republik itu lebih menarik, dan tidak lebih angker, apalagi menakutkan, ketimbang komoditas lain yang ditebarkan televisi. Tampaknya demokrasi bisa juga dibangun dari perdagangan. ~Majalah Tempo Edisi Senin, 22 Juni 2009~

Berbagi Juni 15, 2009 Bagaimana kita membebaskan diri dari terkam-an Pasar? Ada sejumlah pemikir murung yang berbicara tentang struktur sosial dan manusia; mereka umumnya mengatakan: tak ada lagi harapan. Kapitalis-me merasuk ke manamana pada abad ke21 ini. Modal dan Pasar menyulap manusia jadi bukan lagi subyek untuk selamalamanya. Kita tak bisa berharap dari Negara, yang bagi kaum pemikir yang muram itu tak jauh jarak-nya dari takhta Sang Modal Besar. Akhirnya kita tak sanggup melawan. Kini perlawanan terhadap Negara + Modal hanya akan seperti tusukan pisau yang majal. Tak ada efek. Tidak ada lagi Marxisme yang menyatukan kaum buruh dan menyiapkan datangnya revolusi. Yang ada hanya protes yang terpecahpecah. Seperti tembakan mercon yang saling tak berkaitan. Maka satusatunya cara melawan mungkin dengan menulis, mencerca, atau me-nertawakan. Selebihnya ilusi. Tapi benarkah cengkeraman Kapital itu demikian total? Jawab saya: tidak benar. Pada suatu hari saya mendapatkan sebuah hadiah. Saya sedang menulis sebuah risalah dan membutuhkan satu kutipan dari puisi Toto Sudarto Bachtiar. Tapi saya tak punya lagi kumpulan

puisinya, Suara, yang terbit pada pertengahan 1950an, juga tak ada sajaksajak dalam buku Etsa. Tibatiba terpikir oleh saya untuk mencarinya di Internet, melalui Google. Alhamdulillah, saya menemukan apa yang saya cari! Itulah hadiah yang tak disangkasangka hari itu…. Tapi pada saat itu pula terpikir oleh saya: seseorang telah berbuat baik dengan mengunggah sajak itu ke alam maya. Ia mungkin seorang pengagum Toto Sudarto Bachtiar, atau seorang pencinta puisi. Yang jelas, ia seorang yang dengan tanpa mengharapkan balasan apa pun bersusah payah membuat agar sajak sang penyair dapat dibaca orang lain, dan saya—yang tak mengenalnya, tak pula dikenalnya—mendapatkan manfaat. Saya ceritakan ”hadiah” saya itu kepada Antyo Ren-tjoko, seorang yang disebut sebagai ”Begawan Blogger”, dan ia menunjukkan kepada saya bahwa itulah kehidupan yang berlangsung di dunia maya: tiap orang yang masuk ke sana akan beramairamai berbagi. Di sana ada semacam gotongroyong postmodern: tak ada yang memerintahkan, tak ada pusat komando, tak ada pusat, dan tak ada perbatasan yang membentuk lingkungannya. Masingmasing orang memberi sesuai dengan kemampuannya. Yang diberikan adalah informasi, yang didapat juga informasi. Tapi transaksi itu tak menggunakan uang. Pasar dan Modal Besar tak hidup di sini. Dengan gotongroyong postmodern itulah lahir Wikipedia, sebuah ensiklopedia yang bisa dibaca dan dikutip bebas tanpa bayar. Didirikan pada 2001, ensiklopedia lewat Internet ini kini sudah terbit dalam 266 bahasa, isinya ditulis oleh 75 ribu penyumbang aktif. Siapa saja sebenarnya dapat mengisi dan mengedit isinya—dan dengan demikian diasumsikan ada saling koreksi dalam proses berbagi informasi itu. Dalam komunitas yang terbentuk oleh Wikipedia ini—tiap bulan ia dikunjungi 65 juta orang sebuah dunia baru tengah mendesak dunia ensiklopedia lama, yang disusun dengan biaya besar, dan membutuhkan Modal Besar.

Hal yang mirip terjadi dalam gerakan yang dirintis Richard Stallman untuk menyediakan peranti lunak gratis bagi siapa saja. Beriburibu pengembang software pun bekerja sebagai sukarelawan bersamasama dan berhasil menciptakan GNU/Linux, sebuah pesaing serius bagi Sang Modal Besar di belakang Microsoft. Sebanyak 4,5 juta sukarelawan lain menciptakan sebuah superkomputer paling kuat di muka bumi, SETI@Home. Melihat gejala ini, Yochai Benkler, guru besar dari Yale itu, menulis The Wealth of Networks, merasa yakin bahwa kita tengah menyaksikan ”bangkitnya produksi nonpasar”. Ia menyebutnya ”produksi sosial”yang tak berdasarkan klaim dengan tujuan dijual ke pasar. Tak ada pula dasar hak milik, misalnya atas paten. Dalam buku yang dikirimkan Antyo ke saya itu saya temukan suatu totokan ke dalam pikiran kita yang mulai beku: kapitalisme memang tidak matimati, seperti Vampir pengisap darah, tapi akhirnya ada cara untuk menegaskan bahwa cengkeraman Sang Modal Besar tak bisa menaklukkan seantero kehidupan. Kapitalisme tak 100 persen memaksakan komodifikasi semua hal. Kini Wikipedia, GNU/Linux, dan SETI@Home menunjukkan itu. Subyek, meskipun dalam kehadirannya yang tak kukuh, tak seluruhnya ditelan hiduphidup. Maka para pemikir muram (dan mereka yang mimpi jadi Che Guevara di ruangruang akademi) tak boleh mengatakan dengan geraham gemeretak bahwa kapitalisme adalah sistem yang menelan ”ruang kehidupan”. Tapi benarkah Benkler? Tidakkah Modal Besar akan punya kemampuan untuk memanfaatkan hasil ”produksi sosial” itu—misalnya IBM bisa mendapatkan keuntungan dari jasa merawat Linux? Bagaimana dengan persaingan? Barangkali masih terlampau pagi untuk menyimpulkan bahwa telah kita temukan alternatif baru. Tapi dunia maya telah memperkenalkan kemungkinan lahirnya kehidupan yang lebih menarik: kehidupan di mana individu ternyata bisa menjalankan

kebebasan tapi pada saat yang sama memilih untuk berbagi. Manusia sebenarnya tak terlampau buruk. ~Najalah Tempo Edisi 15 Juni 2009~

Memihak Juni 8, 2009 Politik adalah sebuah tugas sedih: usaha menegakkan keadilan di dunia yang berdosa. Reinhold Niebuhr, theolog itu, mengatakan demikian untuk siapa saja. Tapi saya kira ini terutama berlaku bagi tiap intelektual publik – artinya seseorang yang dengan tulisan dan ucapannya berbicara ke orang ramai, mengetengahkan apa yang sebaiknya dan yang tak sebaiknya terjadi bagi kehidupan bersama. Niehbuhr (dan saya mengikutinya) memakai kata “tugas”. Kata yang aneh, memang. Sebab tugas itu bukan karena komando sebuah partai atau kekuasaan apapun. Tugas itu muncul, di dalam diri kita, karena ada sebuah luka. Kita merasa harus melakukan sesuatu karena itu. Luka itu terjadi ketika pada suatu hari, dalam kehidupan sosial kita, ada liyan yang dianiaya, ada sesama yang berbeda dan sebab itu hendak dibinasakan. Luka itu ketidak-adilan. Saya menyebutnya “luka” karena persoalan ketidak-adilan bukanlah sesuatu yang abstrak, tapi konkrit, menyangkut tubuh, melibatkan perasaan, membangkitkan trenyuh dan juga amarah: Munir yang dibunuh tapi kasusnya tak terungkap tuntas, ribuan orang yang dilenyapkan di masa “Orde Baru” dan tak pernah diusut, Prita Mulyasari, si ibu, yang dimasukkan sel oleh jaksa secara seenaknya, atau Prabangsa, wartawan Radar Bali, yang dibunuh dengan brutal karena ia mengritik orang yang berkuasa. Ada luka, dan aku ada: pada momen itu aku tahu apa yang terasa tak adil. Meskipun aku belum bisa merumuskan seluruhnya apa yang adil, aku terpanggil. Di situlah seorang intelektual publik berbeda dengan seorang clerc dalam pengertian Julien Benda. Dalam versi Inggris, kata

clerc disebut sebagai “intelektuil,” tapi itu adalah padanan yang tak tepat. Benda menggunakan kata itu untuk mengacu ke zaman lama Eropa, ke kalangan rohaniawan yang semata-mata mengutamakan nilai-nilai universal, hidup jauh dari pertikaian politik. Mereka tak memihak; mereka jaga kemurnian akal budi. Dalam La Trahison des Clercs Benda mengecam para intelektual yang turun ke keramaian pasar, memihak kepada satu kelompok dan mengobarngobarkan “nafsu politik”. Harus dicatat: Benda seorang rasionalis sejati. Ia tak mengakui bahwa “nilai-nilai universal” datang dari pergulatan manusia sebagai mahkluk-di-bumi, yang terbatas, yang hidup dengan liyan, yang fana. Benda memisahkan rasionalitas dari dunia, sebagaimana ia menghendaki siapapun yang setara dengan clerc tak memasuki arena pergulatan politik di mana nilai-nilai universal konon ditampik. Memang harus diakui, di masa Benda, sebagaimana di masa kini, ada perjuangan politik yang hanya memenangkan cita-cita yang tertutup: kaum Nazi hanya hendak membuat dunia baru bagi “ras Arya”, kaum “Islamis” hanya untuk menegakkan supremasi umat sendiri. Tapi kita ingat Nelson Mandela. Ia berjuang sebagai pemimpin kaum kulit hitam, tapi akhirnya ia tak berbuat hanya untuk kebaikan kaumnya. Ia menang untuk meruntuhkan kekuasaan apartheid yang memperlakukan orang secara menghina berdasarkan warna kulit. Maka kemenangan Mandela baru berarti kemenangan bila ia mengalahkan apartheid juga dalam bentuk baru. Demikianlah Mandela tak mendiskriminasikan orang kulit putih di bawah pemerintahannya. Di dalam cerita Afrika Selatan, luka ketidakadilan itu memanggil keadilan dalam arti yang sebenarnya: keadilan hanya “adil” bila keadaan itu berlaku bagi siapa saja. Itulah sifat universal yang berbeda dengan universalitas seorang rasionalis. Universalitas seperti dalam politik Mandela tumbuh dari trauma. Tapi tak hanya itu. Kepedihan itu diakui

sebagai sebuah mala yang tak dapat dibiarkan bercokol di sebuah masyarakat jika masyarakat itu ingin hidup. Dengan kata lain, politik, sebagaimana dijalankan Mandela, adalah perjuangan ke sesuatu yang universal, dari sebuah situasi yang partikular. Di situlah seorang intelektual publik seharusnya terpanggil untuk memihak. Dengan itu ia memandang politik sebagai sebuah tugas, bukan untuk sebuah ambisi. Ia tak duduk di tepi ongkangongkang, merasa harus bermartabat di mahligai. Ia tak berbeda dengan seorang tetangga yang ikut memadamkan api bila rumah di sudut sana terbakar, bukan hanya untuk menyelamatkan kampung seluruhnya (dan tentu saja rumahnya sendiri), tapi juga karena ia terpanggil untuk tak menyebabkan orang lain menderita. Tapi, seperti disebut di atas, dunia memang berdosa. Penderitaan dan kekejian tak pernah hilang dari dalamnya. Maka perjuangan, atau pergulatan politik, akan selalu dibayangi cacat. Kita tak bisa menerima “politik sebagai panglima” bila di sana tak ada kebebasan lagi untuk mengakui cacat itu, bila pertimbangan kalah dan menang menelan secara total seluruh sudut hidup kita, selama-lamanya. Sebab tiap perjuangan politik akan terbentur pada keterbatasannya sendiri. Maka bila aku memilih A hari ini, aku memilihnya dengan bersiap untuk kecewa. Aku juga memilihnya bukan untuk selamalamanya. Aku hanya memilihnya sebagai sarana yang saat ini kurang cacat di antara yang amat cacat – sarana sementara untuk mencegah luka lagi, meskipun pencegahan itu tak pernah pasti. Saya katakan tadi: kita bersiap kecewa. Tapi kita tak menyerah. Sebab kita tak akan bisa lupa Munir: kita tak akan menghalalkan ketak-adilan sebagai kewajaran hidup. Pengalaman sejarah menunjukkan, di tengah ketidak-adilan yang akut, yang kita derita, manusia selalu menghendaki keadilan — yang entah di mana, yang entah kapan datang. Dari perspektif ini, Ratu Adil bukanlah takhayul. Ia sebuah ideal yang tak hadir. Politik adalah tugas merambah jalan di belukar

membuka celah agar keadilan itu datang. Terkadang tangan jadi kotor, hati jadi keras – dan itu menyebabkan rasa sedih tersendiri. Di depan belukar itu, kita berjudi dengan masa depan. Siapa yang menuntut kepastian penuh dari sejarah akan mendustai diri sendiri. Selalu ada saat untuk bertindak dan memihak – juga ketika kita menolak untuk bertindak dan memihak. Tapi pada saat yang sama juga ada saat untuk berdiri agak menjauh. Terkadang dengan ironi, terkadang dengan penyesalan, tapi selamanya dengan kesetiaan: di dunia yang berdosa, pilihan kita bisa salah, tapi tugas tak henti-hentinya memanggil dan politik selamanya meminta. Kita mungkin gagal. Meski demikian, tetap ada yang berharga yang kita perkelahikan. ~versi yang berbeda dengan Majalah Tempo, 08 Juni 2009~

Bukan-Jawa Juni 1, 2009 Karena kau bukan orang Jawa,” kata orang itu kepada saya dengan senyum mengasihani. ”Karena itu kau tak mengerti….” Pertunjukan telah selesai. Saya merasa lega. Terus terang, saya tak menyukai tarian itu sebuah karya abad ke18 yang tak menggugah. Mungkin sebab itu orang itu, yang duduk di sebelah saya, menyimpulkan saya ”tak mengerti”. Ia (seorang tokoh setengah fiktif) seorang Eropa yang sudah 20 tahun hidup di Solo, berbahasa Jawa dengan bagus, pandai memainkan saron dan rebab. Komentarnya mengingatkan saya akan katakata seorang jurnalis Belanda kepada Minke, tokoh Bumi Manusia Pramoedya Anan-ta Toer: seorang Eropa yang merasa lebih kenal rak-yat di Jawa lebih baik ketimbang Minke, sang inlander. Dalam novel Pramoedya, Minke merasa bersalah. Dalam kasus saya, saya bingung: apa artinya saya ”bukan orang Jawa”? Apa itu ”Jawa”?

Kata ini telah lama beredar, dan makin lama makin dianggap jelas, padahal tak pernah dipertanyakan. Kini orang mengatakan Sultan Hamengku Buwono X itu ”raja Jawa”, sementara kita dengan sah juga bisa mengatakan bahwa ia—dengan segala hormat—tak lebih dari seorang sultan dari separuh Yogyakarta. Orang juga mengatakan Bung Karno ”Jawa”, tetapi bisa juga dikatakan sebenar-nya bukan; ia seperti halnya sekarang Boediono, calon wakil presiden yang mendampingi SBY: seorang yang lahir dan besar di Blitar, Jawa Timur, dan sangat mungkin bahasa masa kanaknya bukan bahasa Surakarta. Sebutan ”Jawa” barangkali seperti sebutan ”Padang” bagi siapa saja yang datang dari Sumatera Barat, atau ”Ambon” bagi siapa saja yang datang dari Maluku: sebutan yang sebenarnya tak mengacu ke sesuatu yang tetap…. Saya pernah masuk ke sebuah penjara di Wamena, Papua, tempat sejumlah orang yang dianggap penggerak ”separatisme” disekap. Untuk mengelabui polisi, saya menyamar jadi pastor Katolik dari Bali; teman saya, seorang Amerika yang ingin menulis laporan buat sebuah lembaga hak asasi manusia, mengaku utusan dari sebuah gereja Kristen di Boston. Di hadapan kami, salah seorang tahanan menyatakan kesalnya kepada ”orang Jawa” yang ”telah banyak membunuh” orang Papua. Waktu itu saya mencoba meluruskan. Kekerasan itu, kata saya, tak bisa dijelaskan dengan dasar kesukuan. Kekerasan itu dilakukan oleh sebuah pemerintahan militer, yang pada 19651966 juga telah membunuhi ”orang Jawa”, bahkan dalam jumlah yang jauh lebih besar. Tapi saya tak yakin apakah tahanan Papua yang penuh kemarahan itu mengerti. Kata, sebutan, bahasa, pada akhir-nya punya kekerasan dan penjaranya sendiri. Sepulang dari sana, saya baca kembali buku John Pemberton On the Subject of ’Java’. Buku itu membantu saya yang sudah agak lama mencoba melacak dari mana ”Jawa”, sebagai identifikasi, berasal. Saya merasa perlu melacak itu. Saya

dibesarkan di pesisir utara Jawa Tengah di mana orang menggunakan bahasa yang berbedabeda, dan di antaranya jauh dari bahasa yang dipa-kai di Surakarta dan Yogyakarta, di mana orang lebih sering menonton wayang golek dengan lakon Umar Maya ketimbang wayang kulit dengan lakon Mahabharata, dan di mana orang tak mengenal serimpi melainkan sintren. Bagaimana jutaan orang dengan keragaman yang tak tepermanai itu dimasukkan ke satu kelompok dan dengan gampangan disebut ”Jawa”? Buku Pemberton terkadang terasa terlampau panjang, tapi saya menyukai telaahnya yang dengan tajam melihat hubungan lahirnya wacana tentang ”Jawa” dengan modernitas. Wacana itu dan keinginan membentuk identitas itu—muncul justru ketika modernitas, dalam bentuk tatapan orang Eropa, masuk menerobos pintu gerbang dua istana yang terpisah dan bersaing di Surakarta: Keraton Sunan Pakubuwono, yang biasa disebut ”Kesunan-an”, dan istana yang biasa disebut ”Mangkunegaran”. Dari keduanyalah mulamula orang bicara tentang ”Jawa”. Dunia ”Kesunanan” adalah dunia ”Jawa” yang cenderung bergerak ke pinggir, ke luar dari tatapan dan pemahaman para pengelola kolonialisme Belanda. Dunia ”Mangkunegaran”, yang lebih muda umurnya, punya kecenderungan sebaliknya: ada keinginan bergerak ke tengah pemahaman itu. Contoh yang tak mudah dilupakan diberikan Pemberton: busana resmi yang disebut ”Langenharjan” adalah kombinasi yang pintar yang diciptakan Mangkunegara IV pada 1871: paduan antara busana formal Belanda (rokkie Walandi) yang dipotong ekornya dengan keris dan kain batik. Berangsurangsur, rokkie Jawi itu diterima sebagai pakaian resmi ”Jawa” bahkan di upacara pernikahan orang di luar istana. ”Jawa” dengan demikian tak merupakan sesuatu yang kuno, permanen, dan utuh. Namun bukan hanya itu. Di balik dinding tinggi kedua istana di Surakarta itu tersimpan apa yang oleh Pemberton disebut sebagai the sense of hidden ’Java’. Ada yang

kemudian membuatnya sebagai misteri yang memikat tentang ”Jawa”. Tapi, bagi saya, janganjangan yang disebut oleh Mangkunegara IV sebagai (dalam bahasa Belanda!) ”kawruh rahasia Jawa” atau ”de geheime Javaansche wetenschap” itu satu peng-akuan akan tak mungkinnya bahasa mana pun merumuskan ”Jawa”. ”Jawa”, sebagaimana identitas mana pun, sebagiannya selalu berada di negeri Antah Berantah. Mungkin itu sebabnya saya tak mengerti, kenapa orang Eropa itu menganggap saya—yang berbahasa Jawa dengan baik dan benar, tapi kecewa kepada satu nomor tari-an klasik ”bukan orang Jawa”. Sebagaimana saya tak mengerti kenapa dia merasa mengerti apa itu ”Jawa” sebuah sebutan yang, seperti umumnya nama, hanya untuk memudahkan percakapan, atau permusuhan, atau pertalian. ~Majalah Tempo Edisi 01 Juni 2009~

Blangkon Mei 25, 2009 Apa yang kita ingat tentang 20 Mei 1908? Potret Mas Wahidin Sudirohusodo. Sang ”dokter Jawa” ini mengenakan blangkon di atas raut mukanya yang tenang; ia lulusan STOVIA pada awal abad ke-20 yang bertahun-tahun jadi ikon kebangkitan nasionalisme Indonesia. Tapi ingatan orang ramai tak pernah lengkap. Dalam catatan sejarah Indonesia pada masa itu disebutkan bahwa blangkon, surjan, dan kain—dan semua ”pakaian daerah” lain—dikenakan para siswa sekolah kedokteran itu praktis bukan sebagai pernyataan kebanggaan. Blangkon itu penanda ”inlander”; baju dan songkok itu atribut ”pribumi”. Peraturan sekolah menentukan, kecuali yang beragama Kristen, anak-anak muda itu dilarang mengenakan jas dan pantalon. Mereka boleh mendapatkan pendidikan Barat, tapi tak boleh

tampak seperti orang Barat. Mereka tak disebut ”dokter” penuh. Mereka hanya ”dokter Hindia” atau ”Jawa”. Gaji mereka di dinas pemerintah dan perkebunan jauh lebih rendah ketimbang para dokter Belanda. Jika bepergian, mereka tak boleh naik kereta api kelas I—sementara orang Eropa yang berpendidikan lebih rendah boleh duduk di sana. Kolonialisme telah menggabungkan apartheid dengan dalih ”orientalisme” yang kedengarannya murah hati: penguasa HindiaBelanda, kata mereka, hendak melindungi ke-”asli”-an para pemuda ”pribumi”. Tapi para pemuda STOVIA itu merasakan, dari ulu hati sampai ujung kaki, betapa palsunya sikap murah hati itu. Mereka pun berontak. Sebab memang tak ada diskriminasi tanpa represi, dan tak ada represi yang tanpa diskriminasi. Syahdan, tiap malam, di kamar-kamar asrama mereka, mereka bertemu. Di sana dengan sepenuh hati mereka nyanyikan lagu Revolusi Prancis, dan kata-kata sihir Revolusi itu agaknya telah terpahat: libèrté, égalité, fraternité ou la mort. Mereka memang mengaduh. Mereka memang terkungkung dalam ketiadaan ”kemerdekaan, kesederajatan, persaudaraan”. Dan dari protes mereka, mereka ada: mereka jadi subyek. Mereka lemah, tapi tekad mereka sebenarnya tak mengherankan. Bung Karno berkata dua dasawarsa kemudian: ”…cacing pun tentu bergerak berkeluget-keluget kalau merasakan sakit!” Nasionalisme 20 Mei 1908 adalah bagian dari subyek yang ”berkeluget-keluget”—subyek sebagai trauma karena rasa sakit, subyek yang bergerak untuk menjawab ketiadaan libèrté, égalité, dan fraternité. Dengan kata lain, subyek yang lahir karena mencoba lepas dari megap-megap oleh putusnya hubungan dengan ”yang-lain”, dengan liyan, manusia yang berbeda tapi disebut ”sesama”. Maka nasionalisme 20 Mei itu bukanlah sebuah solipsisme; ia bukan kesibukan yang hanya mengakui diri sendiri.

Tentu, nasionalisme itu sikap yang berpihak. Ia partisan. Tapi di sebuah dunia di mana ada sesama yang diperlakukan sebagai makhluk yang tak sederajat dan bahkan disisihkan, keberpihakan itu tak terelakkan: para nasionalis itu berpihak kepada sebuah masa depan ketika tak ada seorang pun yang dihinakan. Itu sebabnya mereka mengulangi seruan Revolusi Prancis tentang ”kemerdekaan, kesederajatan, dan persaudaraan” yang mencakup semua orang. Itu sebabnya Revolusi Indonesia melahirkan sebuah mukadimah Konstitusi yang menyebut ”hak semua bangsa” untuk merdeka. Mereka menyuarakan tuntutan universal. Seperti kaum buruh dalam tesis Marx: proletariat adalah sebuah kelas yang, dari situasinya yang terbatas dan tertentu, mengusahakan pembebasan tanpa batas, bagi siapa saja dan di mana saja. Dalam arti ini, Marxisme adalah sebuah humanisme universal—tapi universalitas yang lahir dari konteks yang spesifik. Semangat universal ini membuat politik, sebagai perjuangan, jadi panggilan yang menggugah. Sebab bukan ”aku berontak, maka aku ada”, melainkan, seperti tulis Albert Camus dalam l’Homme Révolté, ”aku berontak, maka kita ada”. Dalam bahasa Indonesia, ”kita” lebih inklusif ketimbang ”kami”. Bila pengertian ”kita” lebih menggugah ketimbang ”aku” atau ”kami”, itu karena subyek, sebagai trauma, merindukan liyan sebagai saudara yang sederajat dalam kemerdekaan. Dengan kata lain, merindukan agar ”kita” ada. Dari sini solidaritas lahir dan politik—selamanya sebuah gerak bersama—bangkit. Sejarah menunjukkan bahwa solidaritas itu bisa beragam dan berubah-ubah, sebab ”kita” adalah pertautan ”aku/kami” dengan ”engkau” dalam multiplisitas yang tak terhingga. ”Aku/kami” dan ”engkau” masing-masing hanya seakan-akan tunggal pada waktu ke waktu, tapi sebenarnya tak pernah utuh dan selesai dimaknai. ”Kita” tak bisa sepenuhnya terwakili dalam organisasi dan identitas apa pun.

Itu sebabnya dari STOVIA, pemberontakan tak berhenti. ”Budi Utomo” dibentuk sebagai ”aku/kami”, tapi sejarah pergerakan nasional berlanjut setelah itu. Sebab ”aku/kami” bukan hanya dokter-dokter yang diremehkan. Kemudian muncul juga ”marhaen”, ”proletariat”, ”pedagang kecil”, dan entah apa lagi. Nasionalisme sebagai perjuangan pembebasan tak hanya terbatas pada satu kelompok. Bahkan ”nasionalisme” yang merupakan perlawanan terhadap imperialisme (dan di sini ia berbeda dari ”nasionalisme” Hitler) hanya bisa setia sebagai perlawanan jika ia jadi bagian dari emansipasi dunia—seperti semangat yang tersirat dalam lagu Internationale. Sebab politik pembebasan adalah sebuah proses: ia lahir dari ”aku/kami” yang bukan apa-apa menjadi ”aku/kami” yang harus merupakan segalanya. ”Ich bin nichts, und ich müßte alles sein,” kata Marx. Dengan kata lain, subyek sebagai trauma yang berontak itu harus mencakup semua, siapa saja. Bukan hanya para pribumi alias inlander. Bukan hanya mereka yang harus pakai blangkon dengan wajah yang kalem. ~Majalah Tempo Edisi 25 Mei 2009~

Untuk Boediono: Sebuah Titipan dari Sebuah Gedung Bersejarah Mei 18, 2009 Kita bertemu di sini—di gedung tempat Bung Karno mengucapkan pleidoinya di pengadilan kolonial 79 tahun yang lalu—karena kita merasa sesuatu yang ganjil terjadi. Sesuatu yang tak lazim dan mengandung harap. Yang ganjil adalah bahwa hari ini kita menemukan seorang yang akan dicalonkan jadi wakil presiden, dan orang itu tak datang dari kancah yang ribut di mana partai-partai politik bersaing mendapatkan uang atau kedudukan. Boediono seorang ekonom; ia bekerja dalam pengelolaan

perekonomian Indonesia; ia seorang teknokrat. Ia bukan tokoh partai. Ia bukan anggota dinasti pemimpin partai. Ia tak tersohor dalam pasaran media seperti para bintang sinetron, komedian, dan penyanyi. Ia bukan seorang vote-getter. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memilihnya sebagai calon wakilnya tentu karena Boediono memenuhi sejumlah syarat. Tapi lebih penting lagi adalah kenyataan bahwa Boediono bukan saja seorang yang telah bekerja untuk perbaikan kehidupan perekonomian bangsa, tapi juga seorang pejabat dan pribadi yang bersih. Di atas saya sebut, itulah sebuah ”keganjilan”—dan di atas saya sebut juga, ”keganjilan” itu membawa harap. Diakui atau tidak, ada yang merisaukan dalam kegaliban kehidupan politik kita. Kini SBY, dengan memilih Boediono, menunjukkan langkah kepemimpinan yang berani—dan itu indikasi bahwa kita, sebagai bangsa, sanggup memperbaiki keadaan yang merisaukan itu. Telah luas diketahui, hari-hari ini orang berpolitik dengan semacam sinisme yang gelap: pada sebuah zaman ketika semua dapat diperjual-belikan, orang cenderung percaya bahwa bahkan partai harus juga dianggap sebagai komoditas. Para calon anggota legislatif yang berkampanye ke daerah bisa bercerita, bagaimana ratusan juta rupiah dihabiskan untuk memperoleh suara. Sebaliknya ada juga cerita bagaimana para pemilih mengorganisasi diri jadi kelompok dan menawarkan dukungan agar dibeli. Walhasil, ikatan yang terjadi bukanlah ikatan agenda dan citacita, melainkan ikatan antara penjaja dan pembeli. Di tingkat elite politik, sinisme yang lebih gelap berlaku. Koalisi antarpartai dibentuk atau dibatalkan bukan berdasarkan program ataupun ideologi, bukan karena apa yang akan diperbuat bagi pemilih dan bagi Republik. Koalisi antarpartai hampir sepenuhnya berkisar di sekitar siapa dapat jabatan apa, bahkan siapa yang membayar dan siapa yang dibayar.

Di tengah berisiknya tawar-menawar yang seperti pasar ternak itu pertanyaan pun timbul: Adakah prinsip tentang kebaikan dan kebenaran dalam politik? Benarkah semuanya untuk kepentingan subyektif, dan tak ada suatu nilai universal yang menggugah hati dan membentuk kesepakatan? lll 79 tahun yang lalu, di ruangan ini, Bung Karno memulai pleidoinya dengan sebuah statemen yang menarik. Sebuah statemen yang menunjukkan, betapa bisa palsunya klaim pemerintah kolonial bahwa kebenaran dan keadilan yang hendak ditegakkannya—dalam tubuh hukum—adalah kebenaran dan keadilan yang universal. Bung Karno menyebut apa yang salah dalam hukum yang dipergunakan hari itu. ”Tuan-tuan Hakim,” katanya, ”kami di sini didakwa bersalah menjalankan hal-hal, yang sangat sekali memberi kesempatan lebar pada pendapat subyektif….” Adapun jaksa menyatakan Bung Karno bersalah berdasarkan pasal tentang ”pemberontakan”. Tapi Bung Karno menunjukkan, pasal itu, seperti pasal yang menyebut diri ”pencegah penyebaran rasa benci” (haatzaai artikelen), mengandung kata-kata yang bisa ditafsirkan seenaknya oleh yang membacanya, terutama para jaksa dan hakim kolonial. Bung Karno mengulang apa yang sering dikatakan tentang pasal-pasal seperti itu—yakni ”aturan karet yang keliwatan kekaretannya”. Artinya, aturan yang dapat direntang dan dikerutkan sesuai dengan kepentingan sepihak, atau apa yang disebut Bung Karno sebagai ”subyektif”. Apa yang tersirat dari pernyataan Bung Karno ialah bahwa keadilan dan kebenaran, yang seharusnya bersifat universal, telah direduksi jadi pasal-pasal. Dengan kata lain, yang universal, yang tak terhingga, telah dikuasai oleh bahasa, sistem simbolik yang mau mendikte karena berkuasa. Tak mengherankan bila Bung Karno pada akhirnya dinyatakan bersalah. Ia dihukum empat tahun penjara dan dikurung di

Sukamiskin. Tapi tak mudah menerima keputusan itu sebagai ekspresi keadilan. Pada saat palu diketukkan, terasa benar apa yang diingatkan Marxisme: keadilan dan kebenaran selamanya adalah keadilan dan kebenaran dari yang berkuasa. Dengan kata lain, dalam rumusan nilai-nilai selalu ada dimensi politik, pertarungan kekuasaan, dan perebutan hegemoni. Memang, Marxisme sebuah suara zaman modern, bagian dari apa yang disebut hermeneutics of suspicion, yang meragukan bahwa ada kebenaran yang mulus dan murni. Tapi kita ingat, bahkan dalam Marxisme orang senantiasa dirundung pertanyaan: benarkah politik hanya pergulatan kepentingan ”subyektif” atau sepihak? Jika demikian, apa makna perjuangan proletariat untuk membebaskan manusia dari ikatan kepentingan kelas-kelas? Bila perjuangan politik tak bisa berangkat dari kebenaran dan keadilan yang berlaku bagi siapa saja, bagaimana ia bisa menggugah banyak orang, mengajak banyak orang, untuk bergerak? Saya termasuk orang yang percaya, politik adalah perjuangan yang terdorong untuk melawan kepentingan ”aku”. Politik berbeda dari pasar ternak. Ada yang universal dalam nilai-nilai yang membuat kita memenuhi panggilannya. Tapi sejarah perjuangan politik juga menunjukkan, yang universal bukanlah sesuatu yang sudah dirumuskan sepenuhnya. Yang universal adalah yang justru dirasakan sebagai kekurangan yang akut. Keadilan (sebuah nilai universal) jadi sesuatu yang seakan-akan hadir, memanggil-manggil, ketika ketidakadilan merajalela. Kebenaran (sebuah nilai universal) jadi mendesak semua orang ketika dusta menguasai percakapan. Dalam Indonesia Menggugat, Bung Karno mengutarakan ini dengan retorika yang memukau: … Diberi hak-hak atau tidak diberi hak-hak; diberi pegangan atau tidak diberi pegangan; diberi penguat atau tidak diberi penguat—tiap-tiap machluk, tiap-tiap ummat, tiap-tiap bangsa tidak boleh tidak, pasti achirnja berbangkit, pasti achirnja bangun, pasti

achirnja menggerakkan tenaganja, kalau ia sudah terlalu sekali merasakan tjelakanja diri teraniaja oleh suatu daja angkara murka!!” Kebangkitan mereka yang teraniaya untuk mencapai keadilan dan kebebasan pada akhirnya hanya berarti ketika keadilan dan kebebasan itu ditujukan buat siapa saja. Sejarah bergerak karena sebanyak-banyaknya orang ikut bergerak. lll Tapi bisakah sejarah berakhir? Kita berada pada awal abad ke21, yang mengharuskan kita tabah dan juga berendah hati. Abad yang lalu telah menyaksikan ide-ide besar yang diperjuangkan dengan sungguh-sungguh, namun akhirnya gagal membangun sebuah masyarakat yang dicita-citakan. Dengan ketabahan itu sejarah tak berhenti, bahkan berjalan semakin cepat. Teknologi, pengetahuan tentang manusia dan lingkungannya, kecenderungan budaya dan politik, berubah begitu tangkas, hingga persoalan baru timbul sebelum jawaban buat persoalan lama ditemukan. Kini makin jelaslah, tak ada doktrin yang mudah dan mutlak untuk memecahkan problem manusia. Tak ada formula yang tunggal dan kekal bagi kini dan nanti. Yang ada, yang dibutuhkan, justru sebuah sikap yang menampik doktrin yang tunggal dan kekal. Kita harus selalu terbuka untuk langkah alternatif. Kita harus selalu bersedia mencoba cara yang berbeda, dengan sumber kreatif yang beraneka. Boediono tentu sangat akrab dengan keniscayaan itu. Seorang ekonom adalah seorang yang sangat dekat dengan kekurangan dan kelangkaan, dan seorang teknokrat adalah seorang yang harus bersua tiap kali dengan kerumitan. Itu sebabnya Boediono tahu, doktrin seperti ”neoliberalisme” tak akan pernah berhasil, sebagaimana ”ekonomi yang etatis” tak akan pernah sampai di

tujuan. Sikap pragmatik itu, sebagai sebuah keniscayaan, tak berarti sikap yang hanya mengutamakan hasil dan tak mempedulikan nilai-nilai, tak mengacuhkan apa yang baik dan yang benar. Seorang ekonom, terutama di Indonesia, tak mungkin mengabaikan persoalan korupsi, ketakadilan dalam aturan main, goyahnya kemandirian lembaga yudikatif, dan last but not least, tipisnya modal sosial dalam bentuk sikap yang lebih percaya kepada liyan—orang lain yang juga sesama. Seorang ekonom, seperti kita semua, punya daftar panjang tentang hal-hal yang tak bisa diabaikan. Untuk itu diperlukan kesetiaan yang tak habis-habisnya: kesetiaan kepada negeri ini. Kesetiaan kepada negeri ini bukanlah karena patriotisme yang pongah. Kita setia kepada Indonesia justru karena ia terusmenerus memanggil: ia belum selesai. Kita tak bisa melepaskan diri dari ikatan kita kepadanya; kita tak bisa melupakannya; kita terkadang bangga terkadang risau oleh karenanya. Tapi tetap: Indonesia bukan hanya sebuah tempat tinggal. Indonesia adalah sebuah amanat. Begitu banyak sudah orang berkorban untuk citacita yang membuat negeri ini lahir. Saudara Boediono, kami percaya, Anda tak akan menyianyiakan amanat itu. Dari ruang ini, pada hari ini, izinkanlah kami mengucapkan selamat bertugas. ~Majalah Tempo, Edisi 18 Mei 2009~

Thersites Mei 11, 2009 Demokrasi dimulai dengan seorang buruk muka yang dipukul punggungnya. Namanya Thersites, tokoh yang tak banyak dikenal dalam puisi Iliad karya Homeros dari sekitar abad ke-9 Sebelum Masehi. Dalam kisah para raja dan pangeran yang membawa ribuan

prajurit untuk berperang mengalahkan Kota Troya ini Thersites dilukiskan sebagai ”lelaki paling jelek” dalam pasukan. Kakinya lemah sebelah, pundaknya melengkung, rambutnya tinggal beberapa helai di ubun-ubun. Tapi yang menyebabkan ia dicatat dalam Iliad adalah ”lidahnya yang tak terkendali”. Ia mengecam mereka yang berkuasa. Pada suatu saat, setelah bertahun-tahun perang tak selesai, Thersites mendamprat Raja Agamemnon. ”Agamemnon,” teriaknya dengan suara melengking, ”sekarang apa yang membuat diri tuan rusuh, apa lagi yang tuan inginkan? Tenda tuan penuh dengan logam berharga dan perempuan jelita, sebab tiap kali kami taklukkan kota kami persembahkan jarahan itu kepada tuan.” Thersites tampaknya adalah suara yang lelah perang—yang merasa bahwa orang bawahan macam dia hanya menanggungkan rasa sakit. Maka serunya pula kepada sang raja: ”Tuan tak berbuat baik, dengan membiarkan bangsa Achaea yang tuan perintah jadi sengsara.” Ketika Agamemnon tak menyahut, Thersites pun berseru kepada sejawatnya: ”Marilah kita berlayar pulang, dan tinggalkan orang ini di Troya”. Mendengar itu, salah seorang sekutu Agamemnon, Odysseus, mendatanginya. Raja Ithaca ini marah. ”Jaga mulutmu, Thersites! Jangan kau ngoceh lebih jauh. Jangan kau cerca para pangeran bila tak ada yang mendukungmu….” Dan Odysseus pun memukulkan tongkat keemasannya ke punggung Thersites. Laki-laki itu tersungkur, bengkak dan berdarah. Tapi orang-orang tak menolong Thersites; mereka malah menertawakannya ketika si mulut tajam itu menangis kesakitan…. Sejarah demokrasi mendapatkan perumpamannya dalam kisah orang yang dipukul dan ditertawakan itu. ”Demokrasi,” kata

Rancière dalam 10 tesisnya tentang politik, ”adalah istilah yang diciptakan oleh musuh-musuhnya.” Kata demos bermula sebagai ejekan bagi yang tak ”punya kualifikasi” memerintah. Menurut Rancière, dari tujuh axiomata atau syarat-syarat memerintah yang disusun Plato ada empat yang bersifat alamiah, semuanya berdasarkan kelahiran. Maka yang tua punya dasar untuk berkuasa atas yang muda, majikan atas hamba, bangsawan atas petani. Plato juga menyebut syarat kelima: kekuasaan yang kuat atas yang lemah, dan syarat keenam: kekuasaan mereka yang punya pengetahuan atas mereka yang tidak. Yang menarik ada axioma ketujuh dalam Plato: ”pilihan tuhan”. Lantaran dewa atau Tuhan tak bisa ditebak, kekuasaan yang disebut karena ”pilihan tuhan” datang melalui sejenis undian. Dalam demokrasi tak ada kualifikasi apa pun bagi yang memerintah, kecuali, dalam kata-kata Rancière, ”semata-mata kebetulan”. Tak ada prinsip yang sudah siap dalam mengalokasikan peran sosial. Dengan kata lain: demokrasi, bagi musuh-musuhnya, adalah kekuasaan yang awut-awutan, pemerintahan para Thersites yang bermuka buruk yang pantas dipukul dan ditertawakan. Perlu ditambahkan di sini: mereka ini—setidaknya dalam kisah Yunani kuno—tak hanya yang berasal dari kelas sosial lebih rendah. Pada mulanya, kata demos memang mengacu ke ”mereka yang tak berpunya”. Tapi di satu bagian Buku XII Odysseus disebutkan bagaimana Polydamas mengeluh karena pendapatnya tak diacuhkan Hektor—meskipun keduanya pangeran Troya dan saudara sekandung. Rakyat, atau demos, dengan demikian bukanlah himpunan tertentu satu kelompok penduduk. Rakyat adalah pelengkap penyerta justru dalam arti mereka tak bisa serta. Rakyat adalah siapa saja yang jadi bagian yang tak masuk bagian, himpunan yang tak masuk hitungan, le compte des incomptés.

Ada yang paradoksal di sini: di satu pihak, rakyat melengkapi bangunan kekuasaan; di lain pihak, rakyat ada di luarnya. Dalam paradoks itulah politik, sebagai perjuangan, lahir. Sebagai pelengkap, mereka yang tak masuk hitungan itu dibutuhkan. Tapi ketegangan terjadi ketika pada saat yang sama mereka ditampik dan pemisahan ditegakkan, ketika kekuasaan yang ada menentukan mana yang bisa didengar (atau dilihat) dan mana yang tidak. Tapi kekuasaan yang demikian tak mengakui bahwa selalu ada yang gerowong yang tak tercakup oleh garis pemisah yang diletakkan dari atas. Dari yang gerowong itulah semburan terjadi. Dari gerowong itulah politik bangkit. Thersites bersuara dan ia dipukul, ditertawakan, dan diabaikan—tapi bukankah dengan demikian kita tahu ada liang kosong dalam wibawa Agamemnon dan keutuhan bangsa Achaea, dan bahwa Odysseus tak ingin ditinggalkan sendiri di ambang Perang Troya? Tentu, Thersites seorang diri; ia bukan subyek sebuah laku politik. Tapi gugatannya adalah gugatan yang wajar bagi siapa saja yang merasakan ketidakadilan dan aniaya. Politik sebagai perjuangan selalu menyerukan panggilan yang universal—dan itu sebabnya dari gerowong itu terjadi gerak kolektif yang bisa dahsyat. Maka kini kita lebih dekat ke Thersites ketimbang ke Odysseus. Tapi ini juga karena kita (bersama Thersites) tak tahu apa sebenarnya yang hendak dicari orang macam Agamemnon. Kita hanya tahu, Perang Troya yang bertahun-tahun itu bermula karena istri sang raja melarikan diri ke pelukan orang lain. Pada mulanya adalah ego—yang akhirnya menentukan segalanya. Hanya dengan kebrutalan yang luar biasa proses itu bertahan. Dalam arti itu, kisah Homeros bukanlah sebuah epos; ia sebuah tragi-komedi: sebuah kisah kekuasaan yang gila dan ganjil, di mana seorang Thersites tak bisa serta, tak mau serta. ~Majalah Tempo Edisi Senin, 11 Mei 2009~

Neo-Liberal Mei 4, 2009 PADA suatu hari yang tak diumumkan, menjelang tahun 2009, neo-liberalisme terjerembap. Tapi lakon dengan tema ”Negara & pasar” itu tetap tak mudah diselesaikan. Di Australia, misalnya. Kevin Rudd, perdana menteri yang berasal dari Partai Buruh, menulis sebuah esai dalam The Monthly awal tahun ini: krisis yang sekarang menghantam dunia adalah titik puncak ”neo-liberalisme” yang mendominasi kebijakan ekonomi dunia sejak 1978. Kini, masa kejayaan 30 tahun itu berakhir dengan kegagalan. Sepanjang zaman itu, di bawah pemerintahan Partai Liberal yang baru saja jatuh, perekonomian dibiarkan menolak peran aktif Negara. Pasar diyakini sebagai jalan lurus yang tak perlu diintervensi. Lalu lintas global (terutama dalam pasar saham dan uang) dibebaskan menerobos perbatasan nasional. Menjelang akhir 2008, ortodoksi ”neo-liberal” itu membawa krisis yang dahsyat. Rudd menggantikannya dengan yang berbeda. Ia menyebut agenda baru yang mendasari kebijakan ekonomi yang akan ditempuh Partai Buruh di Australia sebagai ”kapitalisme sosial-demokratik”. Tak begitu jelas, bagaimana kompromi antara ”sosialdemokrasi” dan ”kapitalisme” itu akan berjalan. Rudd, yang menjanjikan peran Negara yang aktif tapi yang tetap bertaut dengan ”pasar yang terbuka”, hanyalah salah satu dari artikulasi kesepakatan yang kini tumbuh di negeri-negeri kapitalis: ternyata pasar tak bisa selamanya dianggap benar; ternyata ia belum tentu memperbaiki dirinya sendiri. Di Prancis, di sebuah rapat umum di Kota Toulon menjelang akhir 2008, Presiden Sarkozy mengatakan, ”Pikiran bahwa pasar adalah serba-kuasa dan tak dapat ditentang oleh aturan apa pun dan oleh intervensi politik macam apa pun adalah pikiran yang gila.”

Sebuah kesimpulan yang tak baru, sebenarnya. Pada 1926 John Maynard Keynes menulis The End of Laissez-faire dan menunjukkan betapa produktifnya sebuah kapitalisme yang dikelola, bukan yang dibiarkan berjalan seenak nafsu para kapitalis sendiri. Tak lama sejak itu, Amerika dan Eropa mencoba menggabungkan dinamisme modal dan kecerdasan teknokrasi Negara—sebuah jalan tengah yang terkenal sebagai ”kompromi Keynesian”. Adakah kini sebuah ”kompromi Keynesian” baru sedang tersusun? Kita memang melihat, Amerika Serikat, di bawah Obama, telah jadi sebuah republik di mana pemerintahnya aktif masuk ke dunia yang dulu sepenuhnya daulat swasta. Tapi Obama masih bisa disebut sebagai ”kompromi Keynesian” yang setengah hati. Bahkan para pengkritiknya melihat agendanya sebagai ”neoliberalisme” yang didaur ulang. Mungkin karena tak bisa orang mengulang apa yang terjadi di dunia pada zaman Keynes hampir seabad lalu. Dalam Radical Philosophy (Mei/Juni 2009) Antonio Negri menunjukkan mengapa jalan Keynesian kini mustahil. Dulu jalan itu dapat ditempuh karena, antara lain, ada sebuah negara-bangsa yang mampu secara independen mengembangkan kebijakan ekonomi. Kini, pada abad ke-21, negara-bangsa diterobos oleh proses internasionalisasi di bidang produksi dan globalisasi finansial. Dalam pengalaman Indonesia, persoalannya bukanlah hanya karena terobosan itu. Jalan Keynesian bertolak dari keyakinan bahwa kekuatan yang bukan-pasar (Negara dan para teknokratnya) harus—dan bisa—memiliki ketahanan untuk mengembangkan nilai yang berbeda dari nilai yang berlaku di pasar. Adapun nilai yang berlaku di pasar adalah nilai yang mendorong maksimalisasi kepentingan privat, bukan kepentingan publik. Tapi bagaimana hal itu akan terjadi di sini? Di sini, institusi yang berkuasa tak dengan sendirinya jauh dari

nilai yang mengutamakan yang publik. Korupsi adalah contohnya. Korupsi adalah privatisasi kekuasaan sebagai sebuah amanat publik. Agaknya itulah sebabnya tiap kebijakan yang mengandalkan intervensi Negara ke dalam perekonomian selalu disertai rasa waswas: kita tak tahu di mana Negara berada. Rasa waswas itu menyebabkan ada dorongan yang kuat—dari mana saja, juga dari pemerintah sendiri—untuk melucuti tangan birokrasi di pelbagai bidang. Ketika seorang politikus berteriak, ”awas neo-liberalisme dan pasar bebas”, sang politikus umumnya tak menunjukkan bagaimana menegakkan Negara di atas aparatnya yang tertular oleh perilaku berjual-beli di pasar bebas. Krisis negara-bangsa seperti itulah, krisis karena tubuhnya berlubang-lubang oleh korupsi, yang sebenarnya lebih merisaukan ketimbang gerakan separatis. Dalam krisis itu, orang akan menyerah ke sejenis laissez-faire—ke sebuah kondisi ”neo-liberal” yang tak disengaja. Sebab, hampir di tiap sektor, juga di kalangan birokrasi, ada semacam ”anarki” yang dicemaskan Keynes. Anarki, karena apa yang merupakan pegangan kebersamaan hampirhampir tak ada lagi. Tapi tak berarti bahwa negara-bangsa telah disisihkan. Justru sebaliknya: dalam keadaan ketika korupsi merajalela, ada sebuah kekuatan yang paradoksal yang bekerja di sekitar Negara. Di satu pihak, kekuatan itu cenderung mengaburkan posisi ”Negara” dalam mengelola pasar: semua keputusan bisa diatur dengan jual-beli kekuasaan. Di lain pihak, posisi ”Negara” justru diperkuat, agar ada kebutuhan untuk membeli kekuasaan itu. Itu sebabnya kita sebenarnya tak tahu persis, bagaimana mengatur ”kompromi Keynesian”, bagaimana mengelola sekaligus pasar yang terbuka dan Negara yang aktif. Tapi orang-orang masih terus berbicara tentang ”neo-liberalisme”. Ya, saya mendengar, tapi harus saya akui, saya sering kebingungan. Mungkin karena saya menanti lakon ”Negara & pasar” itu berakhir dengan Negara yang

bersih dan pasar yang tak cemar. Sebuah happy ending. ~Majalah Tempo Edisi 04 Mei 2009~

Tiga Nenek Sihir April 27, 2009 Tiga nenek sihir muncul di tepi jalan, ketika Jendral Macbeth dan Jendral Banquo melewati hutan yang gelap berkabut itu. Cuaca didera hujan dan guntur. Mereka dalam perjalanan pulang dari sebuah pertempuran yang berhasil. Setengah ketakutan setengah ingin tahu, mereka terpacak di depan ketiga makhluk aneh itu – tiga sosok yang mengelu-elukan Macbeth dengan gelar kebangsawanan yang tinggi, seperti bagian dari sebuah ramalan yang dahsyat: bahwa Macbeth kelak bahkan akan disebut sebagai sebagai raja. Pada detik itu, bagi perwira tinggi Skotlandia itu, masa depan tiba-tiba tampak berubah. Raja? Tahta? Benarkah puncak itu akan tercapai, jika mengingat, bahwa Duncan, raja yang diabdinya dan dibelanya dalam perang yang baru saja usai, masih kukuh berkuasa? Sahkah keinginan mencapai posisi itu, berada di kedudukan milik baginda? Bagi saya, penting buat dicatat bahwa Macbeth, lakon Shakespare yang termashur ini dimulai dengan adegan tiga nenek sihir itu. Tiga perempuan yang ganjil, yang hidup disisihkan dari tata sosial dan percaturan kekuasaan, ternyata tak bisa diabaikan. Justru mereka itulah yang pada akhirnya mengharu-biru tertib yang ada – dan tanpa melalui kekerasan. Di Skotlandia waktu itu tertib yang ada tak akan memungkinkan Macbeth bisa jadi raja. Adat yang berlaku tak membuka peluang bagi Macbeth untuk mengambil-alih tampuk. Tapi malam itu, di hutan berkabut itu, di bawah cuaca buruk itu, tertib, adat dan lambangnya guncang. Tapi bukan salah para nenek sihir itu jika tertib itu akhirnya jadi keadaan yang dibangun dengan pembunuhan. Sebab Macbeth,

begitu ia merasa nasib akan menjadikannya seorang raja, ia pun segera menyisihkan sang takdir. Ia tak sekedar pasif menunggu sampai keberuntungan itu datang. Ia bertindak menyingkirkan Duncan. Bukan karena petunjuk ketiga perempuan misterius di hutan itu bila ia membunuh sang Raja. Itu sepenuhnya inisiatifnya. Itu dorongan kehendaknya yang kian kuat. Ia bahkan tak perlu lagi dihasut isterinya untuk merebut kekuasaan. Ketika nujum mengatakan bahwa kelak yang akan menggantikannya sebagai penguasa adalah anak-cucu Jendral Banquo, Macbeth pun diam-diam (bahkan tanpa memberi tahu isterinya) menyuruh agar sahabatnya dalam perang itu dibunuh. Banquo mati. Dengan itu Macbeth berharap nujum, atau “takdir”, bisa dikalahkannya. Tapi dengan itu semua terungkap bahwa manusia dan perbuatannya-lah yang akhirnya menentukan. Takdir tak ada artinya. Tertib yang semula ditaati oleh seluruh Skotlandia terbukti bukan tertib yang datang secara alamiah, bukan tatanan yang ditentukan oleh langit. Kedudukan raja bukanlah sesuatu yang secara a priori ditetapkan. Ia seperti kursi kosong yang bisa diisi siapa saja yang bisa merebutnya. Tertib dan adat itu pada akhirnya dibentuk oleh ambisi, akal, dan antagonisme manusia. Apalagi yang diucapkan nenek sihir itu bukan nubuat: mereka tak pernah dihormati sebagai para nabi. Wibawa mereka praktis tak ada. Ucapan mereka tak berdiri di atas (dan terlepas dari) tafsir subyektif Macbeth sendiri. Dalam adegan ke-3 Babak I sang jenderal secara tak langsung menunjukkan hal itu. Ia menyebut ketiga makhluk itu “imperfect speakers” yang cuma sebentar bicara dan kemudian menghilang ke udara malam yang basah. Itu sebabnya Macbeth bukan hanya sebuah cerita tentang ambisi. Drama ini juga bercerita tentang kekuasaan yang tak tahu di mana mesti berhenti – dalam arti berhenti menaklukkan yang lain. Kekuasaan itu jadi lingkaran setan karena ia dimulai dengan kekerasan.

Sebelum akhirnya kekerasan itu membinasakan manusia, pada mulanya ia berupa kekerasan terhadap misteri. Macbeth mencampakkan nujum tiga nenek sihir yang sebenarnya diutarakan dalam bentuk puisi yang remang-remang dan belum selesai; ia menggantikannya dengan tafsir dan rencana yang tegar; ia mengertikan kata-kata para nenek sihir dengan harfiah. Ketika ketiga perempuan setengah gaib itu meramal bahwa Macbeth hanya bisa dikalahkan oleh seseorang yang “tak dilahirkan oleh perempuan,” jenderal itu yakin tak akan ada manusia akan bisa merubuhkannya. Padahal ternyata ada kemungkinan arti lain dari kalimat itu: Macduff, orang yang akhirnya berhasil membunuh Macbeth, dulu tak dilahirkan dengan cara normal. Ia bayi yang direnggutkan keluar setelah perut ibunya dibedah. Betapa malangnya Macbeth: ia ambisi yang lempang seperti tombak yang keras dan menakutkan. Ia tak tahu bahwa selalu ada lapis yang tak akan tertembus olehnya. Ketiga nenek sihir itu misalnya, yang tak pernah bisa diperintahkannya dan tak pernah bisa penuh dimaknainya. Juga hutan yang gelap itu. Juga guruh dan cuaca buruk itu. Juga rasa bersalah yang tak bisa dilenyapkan. Isterinya merasa tangannya selalu berlumur darah; tak ada minyak yang bisa membersihkannya. Macbeth sendiri melihat hantu Banquo yang dibunuhnya datang malam-malam. Kian mengusik rasa bersalah itu, kian paranoid pula ia jadinya, dan makin buas. Lakon Macbeth akhirnya menunjukkan: betapa destruktifnya ambisi kekuasaan politik ketika ia berkali-kali ingin menembus apa yang tak tertembus, menaklukkan apa yang tak akan tertaklukkan, menghapuskan apa yang tak bisa terhapuskan, ketika ia menyangka dunia bisa dikuasai seperti dalam markas militer. Maka biarlah di sini saya memperingatkan: Tuan bisa menculik, menyiksa, menggertak – atau, sebaliknya membeli manusia dengan uang – tapi di balik kehidupan selalu tersembunyi neneknenek sihir. Kalau Tuan tak tahu kapan harus berhenti, Tuan akan

bertaut dengan mala – yang buruk, yang busuk, yang keji, yang akhirnya akan mengenai Tuan sendiri. ~Majalah Tempo Edisi Senin, 27 April 2009~

Estaba la Madre April 20, 2009 ”Ibu itu di sana, berdiri, berkabung…” Kesedihan terbesar mungkin bukan kesedih-an manusia karena Tuhan mati, tapi kesedihan seorang ibu yang anaknya menemui ajal dalam penyaliban. Pada zaman ini kesedihan besar itu tetap tak terban-dingkan. Tapi pada saat yang sama juga menyebar. Kini tak hanya satu ibu yang sedih, dan tak hanya satu anak yang disalibkan. Kita ingat Argentina, 1976-1983. Negeri ini hidup di bawah titah pemerintahan militer yang menculik dan melenyapkan ribuan orang, termasuk anak-anak muda. Diperkirakan 30 ribu orang hilang. Renee Epelbaum, misalnya, seorang ibu, menemukan bahwa anak sulungnya, Luis, mahasiswa fakultas kedokteran, diculik. Tanpa sebab yang jelas. Itu 10 Agustus 1976. Takut nasib yang sama akan jatuh ke kedua anaknya yang lain, Lila dan Claudio, Renee pun mengirim mereka ke Uruguay. Tapi di sana mereka justru dikuntit sebuah mobil dengan nomor polisi Argentina—dan akhirnya, 4 November 1976, Lila dan Claudio juga lenyap. Bertahun-tahun kemudian, seorang perwira angkat-an laut menceritakan apa yang dilakukannya terhadap anak-anak muda yang diculik itu. Pada suatu saat mere-ka akan dibius dan ditelanjangi. Para serdadu akan mengangkut mereka ke sebuah pesawat. Dari ketinggian 4.000 meter, tubuh mereka akan dilontarkan hidup-hidup ke laut Atlantik, satu demi satu…. Komponis Argentina, Luis Bacalov, pernah hendak

mengingatkan orang lagi akan zaman yang buas itu. Ia menciptakan sebuah opera satu babak, Estaba la Madre. Saya tengok di YouTube: di adegan pertama, ketika perkusi dan piano mengisi kesunyian dan pentas gelap, tampak laut. Makam yang tak bertanda itu muncul seje-nak di layar. Kemudian: wajah, puluhan wajah. Di antara itu, sebuah paduan suara yang semakin menggemuruh. Tapi bukan sang korban yang jadi fokus opera ini, melainkan sejumlah perempuan yang tak lazim. ”Inilah orang-orang gila itu,” begitu kita dengar di pembukaan. Para ”orang gila”, umumnya separuh baya, berbaris di jalan, dengan kain menutupi rambut, dan duka menutup mulut. Tapi sebenarnya mereka tak diam. Estaba la Madre mengutip kisahnya dari sejarah: perempuan-perempuan itu ibu yang berdiri, yang berkabung, bertanya, menuntut, karena anak-anak mereka telah dihilangkan. Me-reka ”gila” karena di negeri yang ketakutan itu, mereka berani menggugat. Tiap Kamis mereka akan muncul di Plaza de Mayo, di seberang istana Presiden. Tiap Kamis, selama 20 tahun. ”Saya tak bisa melupakan,” kata Renee Epelbaum. ”Saya tak bisa memaafkan.” Ia pun jadi salah satu pemula himpunan ibu orang-orang yang hilang itu, yang kemudian dikenal sebagai ”Para Ibu di Plaza de Mayo”—sebuah bentuk perlawanan yang tak disangka-sangka. Mula-mula, akhir April 1977, hanya 14 perempuan yang berani melawan larangan berkumpul. Berangsurangsur, jumlah itu jadi 400. Tak mengherankan bila kemudian para ibu pun jadi sebuah lambang yang lebih luas cakupannya ketimbang Plaza de Mayo. Ia menandai yang universal. Opera Estaba la Madre, misalnya, mengambil asal-usul pada Stabat Mater dalam C minor yang digubah Pergolesi, menjelang komponis ini meninggal dalam umur 26 tahun pada abad ke-18. Kata-katanya berasal dari lagu puja seorang rahib Fransiskan pada abad ke-13 tentang penderitaan di

Golgotha: ”Stabat Mater dolorosa iuxta crucem lacrimosa dum pendebat Filius…”—”Ibu itu di sana, berdiri, berkabung, di sisi salib tempat sang anak tergantung.” Dan ketika dua orang dari para ibu Argentina itu pekan lalu datang ke Indonesia, mereka pun menghubungkan kisah mereka dengan apa yang terjadi di sini, di antara keluarga Indonesia yang ”hilang”. Tentu ada beda antara Sang Ibu dalam Stabat Mater dan para ibu di Plaza de Mayo: tak ada tubuh sang anak yang mati di Argentina. Dalam pentas Estaba la Madre, kita akan menemukan Sara, ibu Si Samuel. Ia dan suaminya menanti anaknya. ”Kamis, mereka menunggunya untuk makan malam di rumah,” demikianlah paduan -suara meningkah. Tapi Samuel tak kembali. ”Ini pukul sembilan. Ini pukul 10. Tengah malam Fajar datang, dan ia tak pernah pulang.” Sampai hari ini orang masih bertanya, kenapa itu mesti terjadi. Mungkinkah sebuah kekuasaan yang dijaga ribuan tentara bisa begitu ketakutan? Saya tak tahu jawabnya—meskipun saya menyaksikannya juga di Indonesia, di tahun di pertengahan 1990-an, ketika ”Tim Mawar” dibentuk untuk menculik dan menyiksa, mungkin sekali membunuh, sejumlah anak muda yang sebenarnya tak cukup kuat untuk menjatuhkan rezim Soeharto. Barangkali paranoia adalah bagian utama dari kekuasaan yang bertolak dari kebrutalan dan pembasmian—kekuasaan yang selamanya merasa tak yakin akan legitimasinya sendiri. Mungkin sekali para petinggi tentara itu tak bisa lagi membedakan khayalan dengan keinginan. Dalam Estaba la Madre

ada adegan yang tak mudah dilupakan, baik di Argentina maupun di Indonesia: tiga jenderal muncul di pentas atas, suara mereka mengancam si lemah dan meng-ajukan dalih kebersamaan—hingga terdengar menggelikan: Hidup kemerdekaan! Kemerdekaan bicara dan membuat orang bicara. Hidup kemerdekaan mengaku dan membuat orang mengaku. Hidup kemerdekaan menjerit dan membuat mereka menjerit. Yang tak mereka sangka: yang menjerit tak akan bisu. Kekuasaan militer Argentina akhirnya runtuh. Dan di tembok jalan layang, di dinding kios koran, di pel-bagai sudut di Buenos Aires, kata-kata ini tertulis, bukan hanya dari Renee, tapi dari mana-mana yang dianiaya: ”Kami tak memaafkan. Kami tak melupakan.” ~Majalah Tempo Edisi Senin, 20 April 2009~

Politik-P April 13, 2009 DI bilik suara itu aku tertegun: di sini aku sendiri, satu di antara jutaan suara lain, satu noktah di dalam arus 170 juta manusia, mungkin patahan bisik yang tak akan terdengar. Ini sebuah pemilihan umum; statusku: sebuah angka. Di ruang yang sempit itu, beberapa menit aku menatap lembarlembar kertas yang diberikan kepadaku. Sederet gambar. Sejumlah nama. 99% tak kukenal. Kalau ada yang kukenal, ia terasa berjarak dari diriku. Tak ada nama partai dan orang yang tercantum yang menggerakkan hati saya. Tak ada ada dorongan kesetiaan yang akan membuat aku dengan gigih memilih sambil berkata pelan tapi bangga, di bilik itu, “Partaiku, wakilku!”. Aku tertegun: apa aku, apa mereka? Partai-partai itu sehimpun

penanda yang tampaknya tak berkaitan dengan yang ditandai; mungkin bahkan tak ada sama sekali yang mereka tandai. Yang jelas, mereka tak membuatku mati-matian ingin mengisikan makna, dengan seluruh keyakinan, ke dalam penanda kosong itu. Tapi aku mencontreng, aku memilih. Dengan demikian aku mengubah diriku jadi satu satuan numerik, sebuah unsur dalam sebuah ritus kolektif. Dan dengan demikian pula aku termasuk, tergabung, ke dalam sesuatu yang tak pernah, dan mungkin sekali tak akan, jadi bagian hidupku. Jangan-jangan seluruh ritus ini, setidaknya di tahun 2009 ini, adalah sebuah alienasi. Aku bayangkan mungkin yang serupa terjadi di sebuah pabrik: seorang buruh mengerahkan seluruh tubuhnya dan mencucurkan keringatnya untuk sebilah gunting atau sepasang sepatu, dan pada saat itu juga berubah: ia hanya jadi tenaga-kerja-sebagai-komoditi; ia tak berkaitan lagi dengan buah tangannya sendiri. Ia terasing. Aku pun ke luar dari bilik suara, aku melangkah meninggalkan TPS, dan tak merasa amat peduli mana yang akan menang dan yang akan kalah dalam pertandingan lima tahun sekali ini. Ada jarak antara aku dan ritus itu. Saling tak kenal lagi, saling terasing. Mungkin inilah yang aku alami: politik yang telah mati. Di rumah aku baca lagi bab-bab yang berat dari buku Kembalinya Politik, yang ditulis beberapa pemikir politik mutakhir Indonesia, dengan pengantar Rocky Gerung, sebuah buku yang dipersembahkan kepada A. Rahman Tolleng, seorang aktivis yang tak kunjung reda kesetiaannya kepada politik. Tapi di sini, “politik” berarti politik-sebagai-perjuangan, “politikP”. Bukan politik yang telah mati. Bukan politik-sebagai-ritus, “politik-R”. “Politik-R” adalah politik yang tercetak dalam gambar-gambar di lembaran kartu suara 2009 itu. “Politik-R” datang karena ritus adalah repetisi yang diwajibkan dan disepakati. Repetisi bisa membawa daya magis, seperti mantra yang berkali-kali dirapal, tapi

juga sebaliknya: bahkan sembahyang yang suatu ketika khusyuk juga bisa kehilangan rasa ketika dilakukan berulang-ulang. Kita bisa juga mengatakan, “politik-R” adalah politik tanpa la passion du réel — untuk memakai kata-kata Alain Badiou, pemikir yang banyak dikutip dalam Kembalinya Politik. Tanpa passion, tak ada gairah. Tanpa gairah untuk bersua dan memasuki le réel, berarti tak ada tekad untuk membuka diri kepada yang paling tak terduga. Le réel ada dalam tubuh kita, di bawahsadar kita, dalam relung gelap kebersamaan kita: wilayah Antah Berantah yang tak terjaring dalam “pengetahuan”, tak tercakup dalam bahasa, tak dapat diatur dalam tata simbolik. Di sanalah segala rencana dan doktrin terbentur. Tapi justru sebab itu, politik adalah perjuangan. “Politik-P”, adalah laku yang militan, karena ada keberanian mempertaruhkan nasib, menabrak apa yang sudah pasti untuk sesuatu yang belum. Tapi perjuangan itu memanggil aku, melibatkan diriku, bahkan perjuangan itulah yang menjadikan aku sebagai subyek — bukan badan pasif yang datang ke kotak suara dan pergi dengan rasa asing kepada apa yang dilakukannya sendiri. “Politik-P” itu pernah terjadi ketika Indonesia diproklamasikan merdeka, 17 Agustus 1945, atau ketika para pemuda melawan Tentara Sekutu di Surabaya, 10 November 1945, atau ketika para mahasiswa menantang rezim Orde Baru dan tanpa senjata menduduki Parlemen sampai Suharto terdesak mundur. Tentu, kejadian itu jarang. Selalu datang “politik-R” menggantikannya. Tapi yang menyebabkan aku merasa terasing di tahun 2009 bukan semata-mata “politik-R” yang tak terelakkan. Di atas saya katakan, tanda gambar dan nama politisi itu tak menandai apa-apa – tapi mungkin saya keliru. Mereka sebenarnya sebuah simptom. Mereka gejala dua nihilisme yang bertentangan. Nihilisme pertama menampik politik sebagai proses kebenaran – karena kebenaran dianggap tak perlu. Hampir semua partai didirikan bukan karena ada satu subyek kolektif yang tergerak oleh

keyakinan tentang yang benar dan yang tidak. Bahkan beberapa partai bukanlah “partai politik” (yang mengandung “kebersamaan”), melainkan “partai palangki”: dibuat hanya untuk jadi tempat mengusung sang pemimpin. Nihilisme kedua juga menampik politik sebagai proses kebenaran. Tapi ia berbeda dari nihilisme pertama. Bagi para pelakunya, kebenaran ada, tapi bukan sebuah proses. Kebenaran sudah selesai. Tak ada pengakuan, apalagi gairah, akan le réel. Maka tak ada celah bagi yang baru, yang tak terduga-duga, yang lain. Di sini pun sebenarnya yang terjadi hanya pengulangan. Sebab para pak turut dogma bukanlah orang yang berjuang. Perjuangan dalam arti sebenarya melawan kebekuan dan represi, juga dalam pikiran sendiri. Sekian puluh tanda dan nama, dua nihilisme… Di tengah itu, bagaimana aku tak akan terasing? Bagaimana aku tak akan merasa diri hanya sebuah angka kurus di bilik suara, jari penyontreng yang sebentar lagi akan ditelan ritus 170 juta manusia? ~Majalah Tempo, Edisi Senin, 13 April 2009~

Herman April 6, 2009 Potret itu dipajang berderet-deret, hampir di tiap pohon. Tapi di manakah Herman? Tiba-tiba saya ingat dia. Ia tak pernah kembali. Sepuluh tahun lebih, sejak ia hilang pada 12 Maret 1998. Orang banyak sudah lupa akan kejadian itu, orang mungkin bahkan lupa ada nama itu, nama seorang yang diculik, terutama karena Herman tak dikenal luas. Saya juga tak mengenalnya betul—dan memang tak harus mengenalnya betul. Baru kemudian saya ketahui aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) itu, bernama lengkap Herman Hendarwan, lahir pada 29 Mei

1971 di Pangkal Pinang, Bangka. Selebihnya tak banyak lagi informasi. Wilson, aktivis PRD yang juga sejarawan, menulis kenangan tentang kawannya ini dan mengakui: ”Menulis… tentang Herman Hendarwan bukanlah hal yang mudah. Banyak sekali aktivitas politiknya yang dilakukan secara rahasia dan tersembunyi….” Rahasia dan tersembunyi: saya dan Herman bertemu dalam beberapa rapat seperti itu. Itu tahun 1998, pada hari-hari ketika tentara Soeharto menangkap dan memburu para anggota PRD, setelah rezim itu memenjarakan anggota-anggota AJI (Aliansi Jurnalis Independen), setelah orang-orangnya menduduki dengan kekerasan Kantor PDI-P…. Beberapa orang sudah dilenyapkan. Dan Herman salah satu buron, seperti halnya Andi Arif, Nezar Patria, Bimo Petrus, dan lain-lain…. Dari bangunan di Jalan Utan Kayu 68-H, saya dan temanteman aktivis lain tahu kami dimata-matai. Di tempat yang kini dikenal sebagai ”Komunitas Utan Kayu”, kami belajar bagaimana mengamankan diri, setelah markas AJI, organisasi kami, digerebek polisi dan tiga anggota ditangkap. Satu tim dari kami—Irawan Saptono, Ging Ginanjar, Stanley Adi Prasetya, Tedjobayu—mengatur cara pengamanan itu, yang kadang membingungkan karena tiap kali diubah. Itu tak bertambah gampang ketika kami harus berhubungan dengan lingkaran yang lebih luas. Tapi waktu itu kalangan pergerakan perlu membentuk jaringan, bahkan front bersama, secara pelan-pelan. Soeharto terlampau kuat, dan kami hanya sekelompok aktivis dengan jangkauan terbatas. Di luar pelbagai gerakan pro-demokrasi bergerak, diam-diam atau terbuka, dan kami saling mendukung, tapi tak ada front persatuan untuk perlawanan. Selebihnya gagu. Soeharto berhasil menundukkan Indonesia dengan cara yang efisien: menyebarkan ketakutan. Rezim itu punya modal teror yang amat cukup, setelah pada 1965-66

puluhan ribu orang dibunuh, dibui, dan dibuang. Dalam keadaan itu, membentuk kerja sama dengan kalangan lain dalam pergerakan pro-demokrasi perlu didahului dengan mematahkan teror itu. Dengan menjajal keberanian. PRD ada di garis depan keberanian itu. Saya mulai bekerja sama dengan mereka secara lebih dekat sejak saya mengetuai Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP)—sebuah langkah ke arah pembentukan front bersama dan sekaligus sebuah siasat untuk mendelegitimasi pemilihan umum Soeharto (”kami pura-pura memantau pemilu, karena rezim ini juga pura-pura mengadakan pemilu”). Harus saya katakan sekarang: para anggota PRD—mereka umumnya sadar arti gerakan politik, bersemangat, dan tak gentar—adalah sayap yang paling saya andalkan dalam KIPP. Tapi sebelum KIPP bekerja penuh, PRD digerebek. Pimpinan mereka, antara lain Budiman Sudjatmiko, kemudian tertangkap. Kami terpukul, tentu: seluruh daya harus dibagi. Sebagian untuk meningkatkan perlawan-an—”la lutta continua!”—dan sebagian menggagalkan usaha tentara Soeharto mematahkan bagian gerakan yang tersisa. Langkah baru harus diatur. Sejak itu hubungan kami berlangsung makin berahasia, termasuk membangun kontak ke tempat tahanan. Dari Utan Kayu 68-H, operasi seperti ini, termasuk ope-rasi penyebaran informasi dan disinformasi, dikerjakan oleh yang kami sebut ”Tim Blok M”. Lewat jaringan yang dibentuk Irawan kami secara periodik bertemu dengan link PRD”: Andi Arif dan Bambang Ekalaya. Kemudian Herman—meskipun saya tak mengenalnya betul sebagaimana ia tak akan mengenal saya betul. Ada yang harus dijaga, karena bisa saja suatu hari kami tertangkap dan dipaksa buka mulut. Dan benar: pada Maret itu Herman tertangkap. Atau lebih tepat, diculik. Tak hanya dia; Andi Arief, Faisol Reza, Waluyo Jati, Mugianto, Nezar Patria, Aan Rusdianto—semua aktivis PRD yang diangkut dengan paksa, dalam mobil yang tertutup rapat, dengan

mata yang diikat dan kepala yang diselubungi seibo, dan dimasukkan ke dalam yang oleh Nezar Patria disebut, dalam testimoninya kemudian, sebagai ”kuil penyiksaan Orde Baru”. Sebagian mereka kemudian dilepas. Tapi Herman tidak. Ia hilang. Juga dua nama lain Bimo Petrus dan Suyat. Wiji Thukul, yang untuk beberapa lama dapat disembu-nyikan satu tim temanteman, juga kemudian lenyap. Tak ada alasan untuk tak menduga mereka dibunuh. Setidaknya mati dalam penyiksaan. Nezar pernah menggambarkan bagaimana tentara Soeharto menganiaya mereka: pada satu bagian dari interogasi, kepalanya dijungkirkan. Listrik pun menyengat dari paha sampai dada. ”Allahu akbar!” ia berteriak. Tapi mulutnya diinjak. Darah mengucur lagi. Satu setruman di dada membuat napasnya putus. Tersengal-sengal. Saya bayangkan Herman di ruang itu. Mungkin ia lelap selamanya setelah tersengal-sengal. Mungkin ia langsung dibunuh. Yang pasti, ia tak pernah pulang. Para pejuang dalam sajak Hr. Bandaharo berkata ”tak berniat pulang, walau mati menanti”. Dan Herman pernah menulis surat ke orang tuanya: ”Herman sudah memilih untuk hidup di gerakan”, sebab Indonesia, tanah airnya, membutuhkan itu. Tapi haruskah kekejian itu? Saya memandang potret-potret pemilihan umum itu, ada orangorang keji yang saya kenal. Tak ada Herman. ~Majalah Tempo Edisi Senin, 06 April 2009~

Karnivalesk Maret 30, 2009 Seorang pengamen, dengan rambut gondrong dan gigi gingsul, dengan jaket yang penuh ditempeli kancing bergambar, memainkan gitarnya di sebuah tepi jalan di Tangerang. Namanya Herdy Aswarudi. Dia calon legislator dari Partai Bulan Bintang. Menurut harian The Jakarta Post, ia bukan sedang cari duit derma;

ia, seorang pangamen, sedang berkampanye. Di kota lain: satu sosok dengan kedua tangan siap bersarung tinju, dengan mata mengintai ke depan. Ia terpampang pada sebuah poster di tepi jalan di sebuah kota di sekitar Yogya. Sosok itu memang tak meyakinkan sebagai petarung: dada yang terbuka itu tampak empuk seperti bakpao, dan wajah itu tak ganas benar. Ia bukan pelawak. Ia seorang calon legislator, meskipun saya lupa dari partai apa. Ia menyatakan diri akan melawan korupsi. Ada sosok lain: berdiri tegak di samping sederet semboyan dengan kostum superhero yang terkenal. It is not a bird. It is not a plane. It is not Superman. It is…well, dia calon wakil rakyat, pembuat undang-undang. Sama dengan ambisi yang di tempat lain memperkenalkan diri dengan huruf-huruf besar sebagai “papinya si X” (nama penyanyi terkenal). Atau berpotret di sebelah potret besar Obama. Atau memasang wajah di samping gambar Beckman, pemain bola tersohor itu… Lalu apa yang harus kita katakan tentang Pemilihan Umum 2009? Mungkin satu hal: inilah sebuah pemilu tanpa tujuan. Ada ratusan partai politik yang tak pernah jelas apa bedanya dengan partai lain, tak pernah jelas apa program dan ideologinya, bahkan tak pernah jelas (saking ruwetnya) tanda gambarnya. Pembuat logo itu pasti bukan pendesain yang berpengalaman dalam komunikasi massa; ia pasti seorang calon politikus yang terlalu banyak maunya. Juga mungkin terlalu banyak pesaingnya. Ada ratusan nama aspiran anggota parlemen yang gambarnya dipasang jor-joran di sepanjang jalan – dengan hasil yang sama sekali tak memikat. Ada calon-calon presiden yang tak bakal punya kans tapi nekad, atau yang rapor masa-lalunya mengerikan tapi bicara sebagai bapak bangsa, atau seorang yang tak jelas kenapa gerangan ia maju: karena merasa diri mampu atau karena merasa diri keren? Di tengah hiruk-pikuk itu, pejabat penyelenggara pemilihan bekerja seperti orang kebingungan. Dan di tengah kebingungan itu,

birokrasi mendaftar nama pemilih dengan kebiasannya yang malas dan serampangan. Jangan-jangan, inilah sebuah pemilu yang diam-diam dianggap tak begitu perlu tapi ajaib. Saya katakan “tak begitu perlu” karena tampaknya orang tak antusias lagi ikut ramai-ramai berkampanye. Dugaan kuat: yang ikut pawai di jalan-jalan itu hanya tenaga bayaran. Dugaan kuat pula: mereka yang tak hendak memilih, “golongan putih” itu, akan lebih banyak ketimbang jumlah suara sang pemenang nanti. Walhasil, kalau para pesaing sendiri tak begitu jelas kenapa ikut bersaing, bukankah sebenarnya lebih baik mereka memilih kesibukan lain – misalnya mendanai (dan ikut main) satu tim bola kasti, atau lomba andong, atau kompetisi jaipongan? Tapi “ajaib”. Meskipun tak jelas benar tujuannya, toh bermilyarmilyar rupiah dibelanjakan untuk itu. Para peserta itu tak peduli bila hasilnya cuma sekedar masuk hitungan dalam daftar yang umurnya tak lebih tiga bulan. Tapi kata “ajaib” mungkin tak sepenuhnya tepat. Kata yang lebih tepat mungkin “lucu”. Pemilihan Umum 2009 tampaknya jadi sebuah parodi atas diri sendiri: orang-orang membuat sebuah tiruan yang menggelikan atas sebuah proses demokrasi yang tengah mereka tempuh tapi diam-diam mereka cemooh. Demokrasi yang pernah diejek Sokrates di zaman Yunani Kuno sedang diejek para pesertanya sendiri. Tapi mungkin lebih baik kita berhenti masgul dan mencibir. Ada satu sifat dalam pemilu 2009 ini yang agaknya bisa menghibur para pemerhati politik yang prihatin: bagi sang pengamen, sang “petinju”, sang “superman” dan lain-lain yang tak meyakinkan kita, ini sebuah karnaval, Bung! Keramaian yang “karnivalesk” (istilah ini saya pinjam dari Bakhtin, tentu) mengandung sesuatu yang kurang ajar, meriah, kacau, berlebihan, tapi bisa kreatif, menghibur, sama rata sama rasa, melibatkan semua orang, tak ada garis pemisah antara

pemain dan penonton, dan sama sekali tak ingin produktif. Sebuah bentuk baru kehidupan sosial terbangun dalam karnaval: mereka yang datang dan ikut serta (kecuali para pengikut pawai bayaran) tak menganggap benda dan manusia sebagai komoditi. Ruang dan waktu tak dihitung untuk dipertukarkan, melainkan dikomunikasikan. Dalam saatnya yang paling menggugah, sebuah karnaval adalah saling merangkul pada pertemuan yang saling menghibur. Ia melawan monolog kebersungguh-sungguhan – termasuk kebersungguhan para analis politik. Humor sangat penting di sana. Dengan humor, sebuah parodi bisa terhindar dari sikap benci. Saya kira sebenarnya itulah yang tercapai oleh poster-poster yang ganjil itu: sebuah ekspresi menertawakan diri sendiri. Lihat, kami gila-gilaan, berjudi dengan nasib, menarik perhatian bapak dan ibu, dengan merendahkan diri sendiri. Maka marilah kita jangan terlalu masgul: tak ada jeleknya orang buang uang (yang akan diserap anggota masyarakat lain) untuk secara sengaja atau tak sengaja jadi lucu. ~Majalah Tempo Edisi Senin, 30 Maret 2009~

Tiga Fantasi Maret 23, 2009 WAJAHNYA seorang bapak Yahudi yang kalem. Tapi sebenarnya ia penipu terbesar dalam sejarah modern—dan sekaligus aktor dalam kapitalisme Amerika sebagai dunia Harry Potter. Dari luar, Madoff, menjelang 71 tahun, memang tampak dapat diandalkan. Ia suami yang tetap dalam hidup perkawinan sejak menikahi pacar masa remajanya; mereka punya dua putra yang baik. Ia mendirikan Madoff Family Foundation dan memberi dana buat pendidikan, riset kesehatan, rumah sakit, dan teater.

Filantropi itu bagian dari posisi sosialnya—sebagaimana benda-benda yang dimilikinya: rumah seharga 11 juta dolar di Palm Beach, apartemen seharga 7 juta dolar di Manhattan, New York, sebuah lagi di Prancis…. Pendek kata, Madoff adalah gaya hidup yang tak sembarangan. Potong rambut $ 65; cukur janggut $ 40; merapikan kuku kaki $ 50; mengatur kuku tangan $ 22. Demikianlah ia meletakkan diri, dan meyakinkan dunia, sebagai orang yang berpunya (yang dalam bahasa Indonesia juga berarti ber-”ada”) dan sebab itu terhormat: ia mantan Ketua Bursa Saham Nasdaq yang pernah menyatakan bahwa aturan yang mengawasi dunia persahaman Amerika begitu rapi hingga mustahil dikibuli. Maka siapa akan menyangka ia pencoleng? Madoff pernah jadi bendahara American Jewish Congress. Sampai ia ditahan barubaru ini, ia bendahara Dewan Penyantun Universitas Yeshiva, perguruan tinggi Yahudi yang telah 122 tahun berdiri di Amerika. Dengan jabatan dan kekayaan itu ia yakinkan orang agar menanamkan uang ke usahanya, dengan janji akan ada perolehan yang besar dan ajek tiap tahun. Semuanya akhirnya hanya kebohongan: Madoff membayar ”perolehan” itu bukan dari hasil investasi, melainkan dari uang yang ditanam investor baru. Pada akhirnya, uang yang dipercayakan kepadanya ia tilep—entah untuk apa saja. Ada lebih dari 13 ribu rekening di pelbagai negara yang jadi korban. Universitas Yeshiva sendiri kehilangan $ 110 juta. Madoff juga memusnahkan dana The Elie Wiesel Foundation for Humanity, yang didirikan Elie Wiesel, pemenang hadiah Nobel Perdamaian dan penulis buku Malam, karya terkenal tentang pengalaman hidup dalam kamp konsentrasi Nazi. Sebesar $ 15 juta lebih—atau hampir seluruh aset yang dipunyai yayasan itu—raib. Bahkan para tetangganya di Palm Beach, kebanyakan orang tua Yahudi yang berpunya, kena tipu. Termasuk Carl Shapiro, seorang jutawan umur 95 yang telah menganggap Madoff sebagai anak; $ 400 juta uang pribadinya hilang.

Kenapa itu bisa terjadi? Keserakahan dan kelicikan Madoff tentu jadi pangkalnya. Juga kemampuannya meyakinkan orang. Tapi tak dapat diabaikan: suasana optimisme yang melonjaklonjak, ketika keadaan investasi cerah, dan orang mau percaya apa pun agar uang jadi pohon buah yang subur. Euforia itu ruang bagi fantasi. Dan kapitalisme Amerika pun berkembang jadi kisah ala Harry Potter tanpa (atau dengan) Lord Voldemort. Di situlah Madoff, sang ilusionis alias juru sulap, membangun tiga lapis fantasi dengan sempurna. Yang pertama fantasi bahwa dana itu hidup dan bergerak sendiri, seakan-akan sejumlah makhluk rahasia dari Hogwart yang bekerja untuk membawa kekayaan. Dengan kata lain, dana itu seakan-akan punya daya lebih ketimbang manusia—seperti sudah tersirat dalam cerita pendek Mark Twain, The One Million Banknote. Alkisah, Henry Adams, seorang Amerika, terdampar di London dalam keadaan compang-camping dan lapar. Tapi tiba-tiba ia jadi alat taruhan dua jutawan kakak-beradik. Sang kakak mengatakan, bila seorang jembel dipegangi selembar mata uang bernilai sejuta pound sterling selama 30 hari, orang itu akan mati kelaparan. Untuk beli makanan, ia harus menukarkan mata uang segede itu agar jadi recehan. Tapi orang tak akan percaya dan ia pasti akan ditangkap. Sang adik sebaliknya menebak: si jembel akan berhasil. Maka Adams pun jadi kelinci percobaan. Taruhan dijalankan—dan ternyata si adik yang benar. Si Yankee jembel bisa meyakinkan orang, cukup dengan menunjukkan kertas bertanda 1.000.000 pound itu, bak paspor seorang jutawan. Toko dan restoran akan melayaninya bagai raja. Artinya, kertas berangka itu telah jadi jimat. Orang hidup dengan ”fetisisme” itu. Dalam hubungannya dengan komoditas lain, uang kertas itu bukan lagi terpacak di bumi, melainkan, untuk

memakai kata-kata Marx, ”berdiri di atas kepalanya”, tumbuh keluar dari sifatnya sebagai kertas. Ia jadi sesuatu yang ”jauh lebih hebat ketimbang seandainya ia harus menari menurut iramanya sendiri.” Dengan itu lahirlah lapisan fantasi kedua: Madoff bukan hanya menampakkan selembar kertas sejuta dolar, tapi lebih. Dan para pemilik jutaan dolar pun menerimanya sebagai kawan sekaum. Bila si Henry yang rombeng itu bisa meyakinkan dunia, apalagi Madoff yang tinggal di Palm Beach. Tapi fantasi itu tak berhenti di sini. Ada fantasi lapis ketiga. Shapiro mengira hubungannya dengan Madoff adalah hubungan antarmanusia. Ternyata bukan. Madoff memompa fantasi itu, meskipun baginya hubungan antarmanusia cuma sebuah medium pertukaran uang. Sebab dengan fantasi Shapiro-lah transaksi kapitalisme mungkin. Memang akhirnya hati Shapiro tertusuk. Kini kita, yang terjebak, bertanya bisakah hidup sosial kita tak lagi bertolak dari tiga fantasi yang dipupuk Madoff. Kenapa tidak? Kalaupun kita tak mampu membunuh kapitalisme, setidaknya kita bisa membangun wilayah, mungkin kecil, di mana uang tak jadi jimat. Kita bisa melawan fetis itu, dan membuat seorang Shapiro tetap mempercayai sesamanya. Meskipun tak mudah. ~Majalah Tempo Edisi 23 Maret 2009~

Bukan-Pasar Maret 16, 2009 DI tiap pasar selalu ada yang bukan-pasar. Dan itu dibutuhkan. Ada pohon-pohon yang meneduhi kaki lima. Ada sumur di halaman belakang yang dipakai ramai-ramai. Ada peturasan untuk buang air siapa saja. Dan tak jauh dari sana, ada jalan raya dengan ramburambu lalu lintas.

Semua itu menopang kehidupan pasar itu, meskipun tak jadi bagian yang dikendalikan pasar dan kesibukannya: tak seorang pun bisa mengklaim pohon, kakus, dan rambu-rambu itu sebagai milik sendiri untuk dipertukarkan dengan milik orang lain. Dengan cara yang sama, kita juga bisa bicara tentang apa yang pernah disebut sebagai pasar metaforik: kegiatan yang tak terbatas pada sebuah lokasi, ketika barang jadi komoditas dan hubungan antarmanusia adalah hubungan jual-beli. Dalam pasar metaforik ini pun (yang selanjutnya akan ditulis dengan P) diperlukan hal-hal yang tak seharusnya diubah jadi benda yang nilainya lahir lewat perdagangan. Ada kebutuhan akan barang yang bukan benda, yang tak ditentukan oleh harga: hal-hal di luar jangkauan Pasar, meskipun ada di dalam tubuh Pasar itu sendiri. Tapi sejak 1980-an, orang mulai lupa akan hal itu. Bersama menonjolnya pengaruh Milton Friedman, sebuah dikotomi ditegakkan dan bergema: di satu sisi ada Pasar, di sebelah sana ada Negara. Pasar bahkan berdiri tampak lebih luhur ketimbang Negara. Seri ceramah TV Friedman, Free to Choose, jadi alkitab bagi mereka yang ogah atau jera akan campur tangan Negara dalam ekonomi, mereka yang menampik kekuasaan yang sewenang-wenang segelintir orang yang terkadang disebut sebagai birokrasi dan hendak mengendalikan perilaku yang pada akhirnya dipilih oleh masing-masing orang. Dengan diberi dalih oleh pemenang Hadiah Nobel, tokoh Mazhab Chicago yang fasih dalam berargumentasi itu, ekonomi pun di mana-mana digerakkan oleh semangat deregulasi dan privatisasi. Negara itu sesuatu yang buruk. Pasar itu selamanya penting. George Soros kemudian menyebut pandangan macam itu fundamentalisme pasar; Paul Krugman menamakannya absolutisme laissez faire. Dalam tulisannya di The New York Review of Books bertanggal 26 Maret 2009 Amartya Sen tak memberi nama apa pun. Tapi ia menyebut kesalahan mereka yang

tak bisa dengan jelas membedakan keniscayaan (necessity) pasar dari keserbacukupan (sufficiency) pasar. Dari sini akhirnya diakui, di tiap pasar selalu ada yang bukanpasar dan itu dibutuhkan. Sen menunjukkan bahwa para penerus Adam Smith, pemikir yang sering disebut sebagai bapak paham kapitalisme itu, telah keliru bukan karena sang bapak salah. Mereka keliru karena Smith, dalam bukunya yang pertama, The Theory of Moral Sentiment, bukan orang yang menganggap kehidupan bersama adalah sesuatu yang hanya dibentuk oleh Pasar, oleh kepentingan diri dan motif mencari untung. Smith, sebagaimana dikutip Sen, juga berbicara tentang perlunya perikemanusiaan, keadilan, kedermawanan, dan semangat bermasyarakat. Dan itu adalah sifat-sifat yang tak menentang Pasar. Mereka justru diperlukan Pasar agar berjalan beres. Sebagaimana dicatat oleh sejarah, menurut Sen, kapitalisme tak muncul sebelum ada sistem hukum dan praktek ekonomi yang menjaga hak milik dan memungkinkan berjalannya perekonomian yang berdasarkan kepemilikan. Tukar-menukar komersial tak dapat berlangsung secara efektif sampai tumbuh moralitas bisnis yang membuat perjanjian kontraktual ditaati tanpa ongkos yang tinggi, misalnya karena tak perlu terus-menerus membayar biaya perkara pengaduan dan peradilan. Investasi dalam bisnis yang produktif tak dapat berkembang sebelum orang tak dapat hasil yang mudah dan berlebih dari korupsi. Pendek kata, menurut Sen, kapitalisme yang berorientasi laba selamanya mendapatkan dukungan dari nilai-nilai institusional yang lain. Nilai-nilai: hal-hal yang bukan komoditas, tak bisa diklaim sebagai milik dan diukur dengan nilai tukar. Seperempat abad yang lalu Albert Hirschman sudah mengatakan hal itu dalam esainya, Against Parsimony: Three Easy Ways of Complicating Some Categories of Economic Discours: ketika kapitalisme bisa meyakinkan setiap orang bahwa ia dapat

mengabaikan moralitas dan semangat bermasyarakat, public spirit, dan hanya mengandalkan gairah mengejar kepentingan diri, sistem itu akan menggerogoti vitalitasnya sendiri. Sebab vitalitas itu berangkat dari sikap menghormati norma-norma moral tertentu, sikap yang katanya tak diakui dan dianggap penting oleh ideologi resmi kapitalisme. Kini memang terbukti: Pasar yang hanya mengakui bahwa rakus itu bagus seperti yang dikumandangkan oleh risalah macam The Virtue of Greed dan In Defense of Greed pada akhirnya terguncang oleh skandal Bernard Madoff. Orang iniseorang pebisnis terpandang berhasil mengeruk US$ 65.000.000.000 dengan menipu orang-orang yang menanam uang dengan penuh kepercayaan di koceknya. Jelas, akibatnya bukanlah cuma uang yang raib. Yang tak kalah rusak adalah sikap percaya-mempercayai. Bank kini ragu meminjamkan uang, investor ragu menanam dana. Sekarang terasa betapa perlunya nilai-nilai institusional di luar Pasar. Mereka perlu dijaga. Tapi tak mudah. Problem besar dewasa ini: dari mana nilai-nilai itu akan datang lagi dan bagaimana akan dilembagakan. Siapa yang akan secara sistematis menanam pohon, menegakkan rambu jalan, membuat perigi bersama? Bukankah kini public spirit nyaris tipis dan pengertian bebrayan dirusak oleh ketimpangan sosial dan korupsi? Apa gerangan yang harus dilakukan? Saya ingin sekali bisa menjawab itu. Sungguh, saya ingin sekali bisa menjawab itu. ~Majalah Tempo Edisi Senin, 16 Maret 2009~

Sjahrir di Pantai Maret 9, 2009 SAYA bayangkan Sjahrir di Banda Neira pagi itu, 1 Februari 1942. Kemarin tentara Jepang menyerbu Ambon. Beberapa jam

sesudah itu bom meledak. Saya bayangkan pagi itu, setelah sebuah pesawat MLDCatalina berputar-putar di sekitar pulau. Berisiknya membangunkan penduduk, sebelum ia berhenti di pantai yang tenang. Ko-pilot pesawat, seorang opsir Belanda, turun dan menuju ke tempat Sjahrir dan Hatta tinggal. Kedua tahanan politik itu harus meninggalkan pulau cepat-cepat, pesannya. Hanya ada sekitar waktu satu jam untuk bersiap. Hatta mengepak buku-bukunya, tergopoh-gopoh, ke dalam 16 kotak. Sjahrir memutuskan untuk membawa ketiga anak angkatnya, meskipun salah satunya masih berumur tiga tahun. Sesampai di tempat pesawat, ada problem: ruang di Catalina itu terbatas. Para penumpang itu harus memilih, 16 kotak buku atau ketiga anak itu harus ditinggalkan. Hatta mengalah. Enam belas kotak buku itu tak jadi dibawa—untuk selamalamanya—kecuali Bos Atlas yang sempat disisipkan Hatta ke dalam koper pakaian. Empat puluh tahun kemudian Hatta masih menyesali kehilangan itu. Saya bayangkan Sjahrir di pantai Banda Neira pagi itu, di dalam Catalina yang meninggalkan pulau. Ia memandang ke luar jendela, melambai sekenanya. Seluruh Banda Neira tampak baru bangun, berjajar di tepi laut menyaksikan perginya kedua orang buangan itu bersama tiga anak yang masih kecil. Hari itu menutup masa hampir enam tahun Hatta dan Sjahrir tinggal di pulau kecil itu, di antara 7.000 penduduk. Ada peperangan di seberang sana, dan mungkin semua orang sudah menduga, Hatta, Sjahrir, dan anak-anak itu tak akan kembali. l l lSaya bayangkan Sjahrir enam tahun sebelum 1 Februari 1942: seorang tahanan politik di sebuah rumah tua di Banda Neira. Ia tinggal bersama Hatta. Sejak di hari pertama ia datang, ia menemui anak-anak, dan anak-anak datang untuk belajar, bermain, bergurau.

Rumah itu luas, dulu ditempati pejabat perkebunan, dengan ruang dalam yang 50 meter persegi dan beranda yang 40 meter panjangnya. Hari itu seorang dari anak-anak itu menumpahkan vas kembang. Airnya membasahi sebagian buku yang ditaruh Hatta di atas meja. Hatta—selalu sangat sayang kepada buku-bukunya, selalu rapi dengan benda-benda itu—marah. Sjahrir pun memutuskan untuk meninggalkannya. Ia pindah ke paviliun kecil di kebun keluarga Baadilla. Baadilla tua, seorang keturunan Arab yang dulu saudagar, menitipkan pendidikan cucucucunya kepada Sjahrir: dua lelaki, Does dan Des, dua perempuan, Lily dan Mimi. Sjahrir segera jadi bagian dari keluarga itu. ”Mereka… adalah teman terbaik yang saya miliki,” katanya tentang anak-anak Banda itu, dalam sepucuk surat bertanggal 25 Februari 1936. Ia tak menyebut tahanan politik lain di pulau itu: Hatta, Cipto Mangunkusumo, Iwa Kusumasumantri…. Saya bayangkan Sjahrir di paviliun itu: ia seorang hukuman yang berbahagia. Ia mengajar anak-anak itu menulis, matematika, sejarah, cara makan yang sopan, dan entah apa lagi. Ia menyewa mesin jahit Singer dan menjahitkan pakaian mereka. Jika ia tak sedang membaca buku atau menulis surat, ia bawa anak-anak itu berjalan meninggalkan dataran pulau, berlayar, atau mendaki gunung di sebelah sana. l l lAnak-anak, permainan, pantai—mungkin itulah kiasan terbaik bagi hidup yang spontan, tak berbatas, dengan kebetulankebetulan yang mengejutkan dan menyegarkan, proses yang tak berangkat dari satu asal. Saya teringat sebuah sajak Tagore: ”Mereka bangun rumah dari pasir, mereka rajut kapal dengan daun kering, dan dengan tersenyum mereka apungkan ke laut dalam… ”Nelayan menyelam mencari mutiara, saudagar berlayar mengarungkan perahu, sementara anak-anak menghimpun batu

dan menebarkannya kembali…” Ada yang tak dipatok oleh tujuan dan tak dikejar-kejar oleh ”manfaat” di sini, laku yang lalai tapi gembira. Kapal itu dirajut dan diapungkan ke laut dalam, entah ke mana. Kersik itu dikumpulkan dan kemudian ditebarkan kembali, entah untuk apa. Saya bayangkan anak-anak Banda Neira pada tahun 1930-an itu menyeberangi selat, melintasi kebun laut, bersama seorang buangan yang tak jelas asalnya dan masa depannya. Pantai itu berubah. Dalam keasyikan bermain, mereka tak tahu adakah pantai itu membatasi laut ataukah pulau, awal penjelajahan atau tempat asal. Pada saat itu, di ruang itu, mistar tak ditarik dan hitungan tak ada. Hidup tak dimulai dengan kalkulasi dan kesadaran. Juga tak diakhiri akalbudi. Pada 17 Maret 1936, Sjahrir menulis kepada istrinya: ”Sesungguhnyalah, impuls, dorongan, gairah (drifts), seperti yang saya yakini sekarang, tak pernah akan dilenyapkan oleh akalbudi. Bahkan sebaliknyalah yang benar—akalbudi bertakhta hanya sepanjang impuls, dorongan, gairah membiarkannya…” Suratnya bertanggal 29 Mei 1936 mengatakan, hidup tanpa emosi jadi ”terlampau positif”. Hidup seperti itu tak memadai, sebuah ”penalaran abstrak” tanpa ”pengalaman” (”ervaring”). Sjahrir memang menyukai Nietzsche. ”Nietzsche itu kebudayaan, Nietzsche itu seni, Nietzsche itu genius,” tulisnya kepada adiknya dalam sepucuk surat bertanggal 7 November 1941. Nietzsche menyebut, mengikuti Schiller, adanya ”dorongan bermain”, Spieltrieb, dan agaknya dalam hubungan itu ia melukiskan ”api hidup abadi” yang ”bermain, seperti si anak dan sang seniman”, dalam arti ”membangun dan menghancurkan, tanpa dosa…”. Tujuan, juga hasil, tak relevan. Tapi bagaimana dengan niat dan rancangan mengubah dunia, tak sekadar menafsirkannya? l l lSaya bayangkan Sjahrir: seorang tahanan yang betah. ”Di

sini benar-benar sebuah firdaus,” tulisnya tentang Banda Neira pada awal Juni 1936. Sebuah kenang-kenangan yang ditulis Sal Tas, sahabatnya sejak muda di Belanda, menyebutkan kenapa demikian: di pulau itu, Sjahrir bisa melampiaskan gairahnya dalam dua hal—bermain dengan anak-anak dan mengajar. ”Seakan-akan ia, dalam bermain dengan anak-anak, menghilang ke dalam dunia yang tanpa ketegangan, pertikaian, dan problem”. Sebab, menurut Sal Tas, di lubuk hatinya, Sjahrir tak menyukai politik. ”Ia melibatkan diri ke dalamnya karena tugas dan bukan karena terpikat. Ia tak terpesona oleh fenomena yang dahsyat, menarik, bergairah—terkadang luhur, sering kotor, namun sepenuhnya manusiawi—yang kita sebut politik. Ia tak merasakan ada panggilan….” Politik tak mengerumuninya di Banda Neira. Tapi bisakah ia mengelakkannya? Di tiap pantai, juga di pantai yang paling tenang, ada dilema dan ambivalensi. Pada pagi 1 Februari 1936 itu, Sjahrir pergi bersama tiga anak pungutnya, meninggalkan Banda Neira, di pesawat yang mungkin tak diketahuinya hendak tiba di mana. Itulah pilihannya: anak-anak, bukan buku; pergi, bukan berlindung di rumah asal; berangkat ke tempat yang tak terikat, bukan ke alamat yang terjamin. Tapi tak semua dilema menghilang. Dalam tubuh MLD-Catalina yang melayang itu berkecamuk kontradiksi yang tak terhindarkan. Terbang, penjelajahan, avontur, pembuangan, anak-anak, rantau antah berantah—mungkin dalam hal-hal ini Sjahrir mendapatkan, secara intens, apa yang oleh Nietzsche disebut sebagai ”kelupaan yang aktif”. Namun di dalam kabin itu ”kelupaan” (Vergeszlichkeit) tak mungkin jadi dasar segalanya. Ada Hatta dan buku atlasnya, pilot yang mengikuti angka beban dan bahan bakar, peta yang pasti, tubuh dan mesin pesawat yang bergerak dengan perhitungan

aerodinamik, dan keinginan untuk selamat dari ketakpastian cuaca dan situasi perang. Pesawat Catalina itu bukan ”the only possible non-stop flight”, untuk ”terbang, mengenali gurun, sonder ketemu, sonder mendarat”, seperti dihasratkan dalam sebuah sajak Chairil Anwar. Pada akhirnya Sjahrir tetap harus ketemu dan mendarat, dengan rencana, sebagaimana Catalina itu akan mendarat dengan kalkulasi. Dunia tak seluruhnya tergelar hanya dalam impuls, dorongan, gairah. Sjahrir sendiri tak lepas dari kesadaran tentang itu. Seperti para penganjur modernisasi di Indonesia, baik yang Marxis atau bukan, baik Tan Malaka dan PKI maupun Takdir Alisjahbana, dan ”Surat Kepercayaan Gelanggang”, Sjahrir percaya, kebudayaan Indonesia harus masuk ke zaman baru. Bukan lagi dengan mistik dan adat yang ”semi-feodal”, bukan dengan mengelap-elap candi tua. Di Banda Neira itu juga Sjahrir, seperti umumnya mereka yang terbentuk oleh pendidikan pemerintah kolonial, percaya hanya rasionalitas-lah yang cukup kuat untuk menguasai dunia. Ia menulis tentang perlunya ”nuchterheid” dan ”zakelijkheid”, sikap berpertimbangan dan lugas—pada saat ketika ia juga menyambut Nietzsche yang merayakan vitalitas yang berani untuk liar bagaikan Dionysius. Artinya pendiri Partai Sosialis itu juga tak lepas dari nilai yang diunggulkan tata sosial burjuis—tata yang mengandung kontradiksi. Di satu pihak disambut energi produktif yang berani menjelajah dan menemukan, dan dengan demikian mengandung sifat liar dan khaotik; tapi di lain pihak dibangun stabilitas, kelugasan, rasionalitas. Dari yang terakhir ini perdagangan, industri, teknologi, dan hukum lahir. Juga kekuasaan yang mengatur kehidupan politik. Saya tak tahu sadarkah Sjahrir tentang kontradiksi itu. Tapi itu juga kontradiksi dalam dirinya. Yang Nietzschean dalam sikapnya bertemu, dan juga berlaga, dengan pemikiran Marxis yang diyakininya. Yang Nietzschean akan terasa ”anti-politik” ketika ia

harus menempuh sebuah proyek bersama yang tertinggal: kemerdekaan dan keadilan di Indonesia. Tapi itu yang menyebabkannya dibuang ke Banda Neira. l l lSaya bayangkan Sjahrir di pesawat Catalina itu. Nun di bawah dilihatnya mungkin sawah, mungkin hutan, mungkin masa depan. Yang terbentang itu sebuah negeri yang harus disiapkan, sebuah ruang di mana yang publik harus dikukuhkan, arena di mana pengukuhan itu memerlukan persaingan hegemoni dan konflik kekuasaan. Gamangkah ia, yang mencintai anak-anak yang bermain tanpa tujuan di pantai Banda Neira? Seorang tahanan politik yang digambarkan tak terpesona oleh politik? Yang pasti, ia akhirnya hidup dalam persaingan kekuasaan. Ia kalah. Partai Sosialis-nya tak didukung luas. Ia dipenjarakan Soekarno, lawannya. Ia meninggal sebagai tahanan di sebuah tempat yang jauh dari rumah, tapi kali ini bukan Banda Neira. April 1966 Soedjatmoko menulis dari Zurich, beberapa jam setelah Sjahrir wafat: ”Dalam arti yang sangat nyata saya sadar bahwa kegagalannya dalam politik menandakan kebesarannya sebagai seorang manusia…”. n Ditulis kembali dari ’Setelah Revolusi Tak Ada lagi’ (Jakarta, Alvabet: 2001). Diolah dari ’Sjahrir: Politics and Exile in Indonesia’ (Studies on Southeast Asia, No. 14) oleh Rudolf Mrazek. ~MAjalah Tempo Edisi 09 Maret 2009~

Mono Maret 2, 2009 Pada suatu hari di abad ke-7, dua orang Madinah bertengkar. Yang satu Muslim dan yang satu lagi Yahudi. Yang pertama mengunggulkan Muhammad SAW ”atas sekalian alam”. Yang kedua meng-unggulkan Musa. Tak sabar, orang Muslim itu menjotos muka Si Yahudi.

Orang Yahudi itu pun datang mengadu ke Nabi Muhammad, yang memimpin kehidupan kota itu. Ia ceritakan apa yang terjadi. Maka Rasulullah pun memanggil Si Muslim dan berkata: ”Janganlah kau unggulkan aku atas Musa. Sebab di hari kiamat semua umat jatuh pingsan, dan aku pun jatuh pingsan bersama mereka. Dan akulah yang pertama bangkit dan sadar, tiba-tiba aku lihat Musa sudah berdiri di sisi Singgasana. Aku tidak tahu, apakah ia tadinya juga jatuh pingsan lalu bangkit sadar sebelumku, ataukah dia adalah orang yang dikecualikan Allah”. Riwayat ini dikutip dari Shahih Muslim, Bab Min Fadla’il Musa. Dalam buku Abd. Moqsith Ghazali yang terbit pekan lalu, Argumen Pluralisme Agama, hadis itu dituturkan kembali sebagai salah satu contoh pandangan Islam tentang agama yang bukan Islam, khususnya Yahudi dan Kristen. Pada intinya, Moqsith, sosok tenang dan alim yang mengajar di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah ini, datang dengan pendirian yang kukuh: Islam adalah ”sambungan—bukan musuh—dari agama para nabi sebelumnya”, yang sering disebut sebagai agama-agama Ibrahimi. Tapi yang bagi saya menarik adalah kata-kata Muhammad SAW yang dikutip di sana: ”Janganlah kau unggulkan aku atas Musa”, dan, ”aku tidak tahu…”. Kini kata-kata itu tenggelam. Kini sebagian ulama me-rasa di atas Rasulullah: mereka merasa tahu keunggulan diri mereka. Mereka akan membenarkan Si Muslim yang memukul Si Yahudi. Mereka bahkan mendukung aniaya terhadap orang yang ”menyimpang”, walaupun orang lain itu, misalnya umat Ahmadiyah, membaca syahadat Islam. Dari mana datangnya kekerasan itu? Saya sering bingung. Satu kalimat suci terkadang bisa membuat orang jadi lembut, tapi satu kalimat lain dari sumber yang sama bisa menghalalkan pembunuhan.

Mungkin pada mulanya bukanlah agama. Agama, seperti banyak hal lain, terbangun dalam ambiguitas. Dengan perut dan tangan, ambiguitas itu diselesaikan. Tafsir pun lahir, dan kitab-kitab suci berubah peran, ketika manusia mengubah kehidupannya. Yang suci diputuskan dari bumi. Pada mulanya bukanlah Sabda, melainkan Laku. Tapi juga benar, Sabda punya kesaktiannya sendiri setelah jadi suci; ia bisa jadi awal sebuah laku. Kekerasan tak meledak di sembarang kaum yang sedang mengubah sejarah. Ia lebih sering terjadi dalam sejarah Yahudi, Kristen, dan Islam: sejarah kepercayaan yang berpegang pada Sabda yang tertulis. Pada gilirannya kata-kata yang direkam beku dalam aksara itu menghendaki kesatuan tafsir. Kesatuan: jangan-jangan mala itu datang dari angka ”satu”—dan kita harus bebas dari the logic of the One. Kata ini dipakai Laurel C. Schneider dalam Beyond Monotheism. Pakar theologi itu menuding: ”Oneness, as a basic claim about God, simply does not make sense.” Dunia sesungguhnya melampaui ke-satu-an dan totalitas. Schneider menganjurkan iman berangkat ke dalam ”multiplisitas”—yang tak sama artinya dengan ”banyak”. Kata itu, menurut dia, mencoba menamai cara melihat yang luwes, mampu menerima yang tak terduga tak ber-hingga. Tapi Schneider, teguh dalam tradisi Ibrahimi, mene-gaskan ”multiplisitas” itu tak melenyapkan yang Tunggal. Yang Satu tak hilang dalam multiplisitas, hanya ambyar sebagaimana bintang jatuh tapi sebenarnya bukan jatuh melainkan berubah dalam perjalanan benda-benda planet-er. Dengan kata lain, tetap ada ke-tunggal-an yang membayangi tafsir kita. Bagaimana kalau terbit intoleransi monotheisme kembali? Saya ingat satu bagian dalam novel Ayu Utami, Bilang-an Fu.

Ada sebuah catatan pendek dari tokoh Parang Jati yang bertanya: ”Kenapa monotheisme begitu tidak tahan pada perbedaan?” Dengan kata lain, ”anti-liyan”? Pertanyaan itu dijawab di catatan itu juga: sikap ”anti-liyan” itu berpangkal pada ”bilang-an yang dijadikan me-tafora bagi inti falsafah masing-masing”. Monotheisme menekankan bilang-an ”satu”. Agama lain di Asia bertolak dari ke-tia-daan, kekosongan, sunyi, shunyat, shunya, se--kaligus keutuhan. ”Konsep ini ada pada bilang-an nol,” kata Parang Jati. Bagi Parang Jati, agama Yahudi, pemula tradisi monotheisme, tak mampu menafsirkan Tuhan sebagai Ia yang terungkap dalam shunya, sebab monotheisme ”dirumuskan sebelum bilangan nol dirumuskan”. Ada kesan Parang Jati merindukan kembali angka nol, namun ia tak begitu jelas menunjukkan, di mana dan bila kesalahan dimulai. Ia mengatakan, setelah bilangan nol ditemukan, manusia pun kehilangan kualitas yang ”puitis”, ”metaforis” dan ”spiritual” dalam menafsirkan firman Tuhan. ”Ketika nol belum ditemukan,” tulis Parang Jati, ”sesungguhnya bilangan tidaklah hanya matematis.” Dengan kata lain, mala terjadi bukan karena angka satu, melainkan karena ditemukannya nol. Tapi Parang Jati juga menunjukkan, persoalan timbul bukan karena penemuan nol, melainkan ketika dan karena ”shunya menjadi bilangan nol”. Salahkah berpikir tentang Tuhan sebagai nol? Salahkah dengan memakai ”the logic of the One”? Di sebuah pertemuan di Surabaya beberapa bulan yang lalu saya dapat jawab yang mencerahkan. Tokoh Buddhis-me Indonesia, Badhe Dammasubho, menunjukkan bahwa kata ”esa” dalam asas ”Ketuhanan yang Maha Esa” bukan sama dengan ”eka” yang berarti ”satu”. Esa berasal dari bahasa Pali, bahasa yang dipakai kitab-kitab Buddhisme. Artinya sama dengan ”nirbana”.

Setahu saya, ”nirbana” berarti ”tiada”. Bagi Tuhan, ada atau tak ada bukanlah persoalannya. Ia melampaui ”ada”, tak harus ”ada”, dan kita, mengikuti kata-kata Rasulullah, ”aku tidak tahu”. ~Majalah Tempo Edisi 02 Maret 2009~

Cebolang Februari 23, 2009 Teater itu bernama Slamet Gundono. Dengan tubuh 300 kilogram lebih iatetap bisa bergerak ritmis seperti penari. Suaranya mengalun, bisa gagah bisa sayu, terkadang dramatik terkadang kocak, sebagaimana laiknya seorang dalang. Tapi ia lebih dari itu. Di pentas itu ia juga seorang aktor penuh. Dialog diucapkannya dengan diksi yang menggugah dan pause yang pas. Ia bisa membawakan lagu, ia bisa menggubah lagu dengan cepat, seraya memelesetkan melodi, tapi pada saatnya,ekspresinya bisa tangis. Gundono adalah gunungan dalam pertunjukan wayang kulit yang tanpa jejer. Ia pusat.Tapi ia bergerak dari pelbagai posisi, dan dengan asyik berpindah dari idiom seni pertunjukan yang satu ke idiom yang lain. Tentu saja karena ia, lebih dari seniman teater yang manapun kini, adalah sosok yang dibentuk oleh aneka khasanah. Tubuh dengan lapisan lemak yang seperti unggunan bantal itu – sebuah keistimewaan yang terkadang ia tertawakan sendiri – adalah sebuah sedimentasi dari sejarah kebudayaan yang panjang. Sejarah kebudayaan itu dapat disebut “Jawa”, tapi yang tak dapat ditentukan batas-batasnya.Gundono bisa menembangkanpangkurdan melantunkan suluk, mengalir luwes dari nada diatonik ke pentatonik,tapi ia juga bisa menyerukan azan danmengutip Qur’an dengan gaya qiraat Mesir.Ia memetik ukulele seakan-akan seorang penyanyi Hawaii, dan yang terdengar adalah kasidah. Di sana-sini dalam narasinya bahasa Jawa literer dari tradisi Surakarta berbaur seperti tak sadar dengan bahasa Tegal

yang sering dianggap “kasar”dan “kurang-Jawa”. Ya, Gundono sebuah teater tanpa definisi. Ia lahir di kota Slawi di pantai utara Jawa Tengah, anak seorang dalang dengan 12 keturunan yang tak dipedulikan. Suwati, sang ayah,hampir tak pernah berada di rumah.Ia mendalang di mana saja, terkadang tanpa dibayar. Sebab itu anak-anaknya, khususnya yang laki-laki, mencari bapak sendiri. Slamet mendapatkan bapak angkatnya seorang kiyai desa. Dari sinilah ia masuk jadi santri. Ia seorang santri yang keras. Tapi mimpinya adalah jadi aktor. Ini yang mendorongnya berangkat untuk jadi mahasiswa Institut Kesenian Jakarta.Ia tak bertahan lama di sana. Iabanyak dimusuhi teman, katanya, sebab ia gemar mengkhotbahi orang.Baru setelah ia pindah ke Solo dan kuliah diSTSI, sikapnya berubah: di sekolah kesenian itu, di mana seni tradisi mau tak mau bersua dengan yang di luar wilayahnya, Gundono lebih bisa menerima hal-hal yang dulu ditampiknya. Selain mendalang — dan jadi penerus ayahnya – ia ikut dalam pentas karya Sardono W. Kusumo dan akrab dengan Rendra. “Saya ini seperti Karna”, katanya pada suatu ketika “Tak punya bapak yang jelas.Bapak biologis saya Suwati, bapak spiritual saya pak kiyai, dan kemudian saya dibesarkan bapak-bapak lain”. Tapi Gundono, kini 43 tahun, bukan sebuah ensiklopedia; di pentas itu ia sebuah kejadian. Di dalam teaternya definisi dan identitas luruh dan puisi timbul:puisi sebagai jejak kebenaran yang lewat,sejenak,menyentuh, tak terhingga. Mungkin itu sebabnya ia menemui tempat yang tepat di lantai Teater Salihara, Jakarta, malam itu: ia memainkan satu fragmen dari Serat Centhini, teks bahasa Jawa abad ke-19 yang berkisah tentang pengembaraan dua putra Kerajaan Giri yang mearikan diri ketika pasukan Sultan Agung (1613-46) dari Mataram menyerbu. Gundono beruntung. Centhini — karya 4200 halaman, 722

tembang,2000 bait itu tak jauh dari dunia yang amat dikenalnya: yang santri dan yang “abangan”. Di sana ritual dan mistik Islam berbaur dengan kegembiraan dan keleluasan erotik di pedudunan Jawa –dan membentuksebuah dokumen kebudayaan yang padat dan mengasyikkan, puitis dan jenaka, ganjil dan sehari-hari. Lebih beruntung lagi, Gundono memakai versi yang berkisah, dengan judulCebolang Minggat. Centhini-nya bukan seperti mummi di museum. Sang dalang bekerja sama dengan Elizabeth D. Inandiak, seorang sastrawan Prancis yang menyadur Serat Centhini dan mengatakan:“Ini adalah Centhini abad ke-21”. Inandiak, seperti diakuinya sendiri, bukan seorang pakar bahasa Jawa. Ia, tulisnya, “seorang petualang dan pencinta Jawa.”Ia menggubah kembali karya panjang yang di sana-sini membosankan itu jadi narasi yang berjalan dengan kiasan dan pencandraan yang puitis dan tak terduga, bertaut tapi tak terikat dengan teks asli.Terkadang Inandiak meringkas, terkadang mengubah. Dan terkadang ia menggerakkan puisi Jawa itu dengan potongan sajak Victor Hugo dan Baudelaire. Di bagian tertentu, juga masuk anasir yang kocak dari Gargantua Rabelais.“Centhini, c’est Rabelais!” kata Sejarawan Onghokham kepada sang penyadur. Dengan kata lain, ia sebenarnya meneruskan proses semula lahirnya Centhini — teks yang merupakan pertemuan berbagai alir.Dua ribu bait itu terjadi karena dorongan keasyikan, nostalgia, dan kreatifitas bermacam-macam orang. Centhini-nya, seperti dikatakan dalam pengantar,adalah “pengembaraan edan luar batas.” Malam itu, di kanan pentas yang mirip panggung pertunjukan dusun itu Inandiak duduk di depan laptop.Ia membaca dengan tenang, mula-mula frase pembukaan dalam bahasa Prancis, lalu segera kalimat berbahasa Indonesia: “Cebolang bertubuh luwes dan licin layaknya penari Ramayana…” Teks yang diterjemahkan dari bahasa Prancis itu di sana-sini

agak kikuk, dan Ianindak melafalkannya dengan aksen asing yang menghidupkan konsonan akhir – tapi itu justru yang menyebabkan bunyinya menarik.Apalagi segera setelah itu Gundono meningkahi suasana dengan janturan seperti dalam wayang, nyanyian seperti dalam orkes kampung, kasidah seperti dalam upacara santri, dan gamelan, dan joged, dan suara bariton yang berkisah… Kisah itu, sebagaimana terkenal dari Centhini, terkadang sangat erotis: deskripsi persetubuhan dalam puisi. Tapi tak berhenti di sana. Cebolang yang melarikan diri dari rumah, setelah menempuh dosa tubuh dan pengalaman mistis,akhirnya pulang. Ayahnya menyambutnya. Sang anak disuruhnya menjalankan “ilmu yang paling dasar yang akan mengantarmu ke semua lainnya”. “Ayahanda, ilmu apa itu?” “Cinta”. ~Majalah Tempo Edisi 23 Februari 2009~

Darwin Februari 16, 2009 Darwin, lelaki pemalu itu, tak ingin membunuh Tuhan. Ini agaknya yang sering dilupakan orang sampai hari ini, ketika dunia memperingati 200 tahun hari lahirnya, 12 Februari. Menjelang akhir hidupnya, ia hanya mengatakan bahwa ia ”harus puas untuk tetap jadi seorang agnostik.” Teori evolusinya yang mengguncangkan dunia pada akhirnya bukanlah penerang segala hal. Ketika ditanya mengapa manusia percaya kepada Tuhan, Darwin hanya mengata-kan, ”Misteri tentang awal dari semua hal tak dapat kita pecahkan.” Dia sendiri pernah jadi seorang yang alim, setidaknya jika dilihat di awal perjalanannya mengarungi laut di atas kapal HMS Beagle dari tahun 1831 sampai 1836. Pemuda- berumur 22 tahun itu, yang pernah dikirim ayahnya un-tuk- jadi pastor (setelah gagal bersekolah dokter), dan di penjelajahan itu diajak sebagai pakar

geologi, amat gemar- me-ngutip Alkitab. Terutama untuk menasihati awak ka-pal yang berfiil ”buruk”. Selama belajar di Christ’s College di Cambridge, sebuah sekolah tua yang didirikan pada abad ke-15, Darwin memang terkesan kepada bu-ku seperti Eviden-c-es of Christia-nity karya William Paley, pemikir yang gigih membela ajar-an Kristen pada zaman ketika rasio-nalitas dan otonomi manusia dikukuhkan tiap hari. Tapi Darwin pelan-pelan berubah pan-dang-an. Otobiografinya mengatakan, ketika ia me-nulis karyanya yang termasyhur, On the Origin of Species, yang terbit pada 1859, ia masih seorang ”theis”. Sampai akhir ha-yatnya ia tak pernah jadi atheis. Namun, setelah lima tahun penjelajahan menelaah kehidupan satwa liar dan fosil, ditanggalkannya argumen Paley. Bagi seorang apologis, segala hal di alam semesta ada-lah hasil desain Tuhan yang mahasempurna. Tapi Darwin menemukan bahwa tak ada satu spesies pun yang bi-sa dikatakan dirancang ”sempurna”; makhluk itu ber-ubah dalam perjalanan waktu, menyesuaikan diri dengan kondisi tempatnya hidup. Darwin juga menemukan hal yang lain. Ia tak hanya me-nyiasati hidup alam di pantai Amerika Selatan dan ceruk Pulau Galapagos. Ia memandang juga ke dunia manusia di zamannya, dan bertanya: bagaimana desain Tuhan dikatakan sempurna bila ketidakadilan begitu menyakitkan hati? Darwin melihat kejamnya perbudakan. Ia, yang pernah bersahabat dengan seorang bekas budak dari Guyana yang mengajarinya teknik taksidermi ketika ia bersekolah kedokteran di Edinburgh, menganggap perbudakan sebagai ”skandal bagi bangsa-bangsa yang ber-agama Kristen”. Dalam perjalanan dengan HMS Beagle itu ia juga menyaksikan nestapanya manusia yang jadi pribumi Tierra del Fuego. Tak bisa diterangkan dengan cara Paley mengapa Tuhan yang adil dan maha-penyayang menghasilkan desain yang melahirkan keadaan keji itu. Tentu ia bisa menemukan tema ini dalam kisah kesengsaraan Ayub dalam Alkitab, tapi bagaimana ”keadilan”

Tuhan di situ bisa diterima seseorang yang berpikir kritis dan tak takut? Bagi Darwin, apologia ala Paley gagal. Darwin tak me-lihat ada desain dalam keanekaragaman makhluk hidup dan kerja seleksi alamiah. Lingkungan hidup yang me-ngontrol nasib kehidupan di alam semesta bekerja tak konsisten dan tanpa tujuan. Alam memecahkan problemnya dengan cara yang berantakan dan tak optimal, dan tiap penyelesaian tergantung pada keadaan ketika itu. Mau tak mau, pandangan itu merisaukan. Darwinisme adalah bagian dari sejarah yang ikut menenggelamkan apa yang disebut penyair Yeats sebagai ”ceremony of innocence”—yang terutama dijunjung oleh lembaga agama. Di Amerika Serikat, lebih banyak orang tak percaya kepada teori evolusi. Di sana pula, para pengkritik Darwin mengibarkan teori tentang adanya ”desain yang pintar” di alam semesta. Mereka mengatakan, ada ”kecerdasan” yang datang dari luar alam yang campur ta-ngan ke kancah hidup di sini, hingga, misalnya, bakteria bisa berpusar pada flagellum yang strukturnya begitu rumit hingga tak teruraikan. Tapi kaum penerus Darwin bisa menunjukkan ada ribuan jenis flagella yang terbangun dari protein yang sebagian besar berbeda, dan jejak evolusi tampak jelas di dalamnya. Sebagian besar komponen yang membentuk flagella diperkirakan sudah ada dalam bakteria sebelum struktur yang dikenal kini muncul. Artinya, tak ada desain, kata para pe-nerus Darwin. Teori evolusi menunjukkan ketidaktetapan dan kontingensi: hal ihwal selamanya berubah, meskipun tak terus-menerus, dan perubahan itu bergantung pada konteks yang ada, dan konteks itu pun terbangun tanpa dirancang. Bahkan terjadi karena koinsidensi. Stephen Jay Gould mengiaskannya sebagai spandrel, satu bagian dari plengkung dalam gereja gothis yang tak dirancang oleh arsitek tapi terjadi secara kebe-tulan ketika, dan karena, plengkung yang direncanakan itu rampung dibangun. Memang dengan demikian tak ada lagi narasi besar. Ki-ta hidup

dengan apa yang dalam bahasa program komputer disebut kluge, himpunan yang kacau dari macam-macam anasir yang terjadi dalam proses menyelesaikan satu masalah. Tak ada flow-chart yang bisa segalanya dan lengkap, tak ada resep yang akan siap. Itulah sejarah: dibangun dari praxis, laku, keputus-an setelah meraba-raba, dan mungkin juga loncatan ke dalam gelap di depan. Tapi tak semuanya gagal. Alam pe-nuh dengan perabot yang ganjil dan awut-awutan, tapi makhluk hidup juga punya keterampilan dan kreativitas di tengah keserbamungkinan itu. ”Nature is as full of contraptions as it is if contrivance,” kata Darwin. Mungkin Tuhanlah yang menyiapkan itu, mungkin juga Ia tak ada. Mungkin tak ada apa pun sebelumnya. Bagi Dar-win itu bukan persoalan. Yang penting adalah mengakui pengetahuan kita yang guyah, rumus kita yang coba-coba, tapi pada saat yang sama kita bilang ”ya” kepada hidup. Orang beragama akan menyebutnya syukur. Juga ta--wakal. ~Majalah Tempo Edisi Senin, 16 Februari 2009~

Y.D. (1944-2009) Februari 9, 2009 Jurnalisme tak bermula ketika kabar disiarkan. Tiap kali sebuah berita terbit, ada sisi yang kelihatan dan ada yang tak kelihatan. Bahkan di halaman majalah ini dan juga di Koran Tempo, bagian yang tak tampak sebenarnya lebih besar perannya. Para pembaca umumnya tak ingat bahwa hampir tiap kalimat, foto, dan gambar ditopang oleh sebuah aturan dan sistem kerja, perencanaan anggaran, persiapan logistik, juga latihan keterampilan yang bertahun-tahun. Juga: pembentukan l’esprit de corps. Sayangnya, sejarah jurnalisme selalu mengabaikan yang tak kelihatan itu. Harian Indonesia Raya dulu hanya identik dengan Mochtar Lubis, Merdeka dengan B.M. Diah, Pedoman dengan

Rosihan Anwar. Juga Tempo sering dianggap cukup bisa diwakili oleh Goenawan Mohamad, Fikri Jufri, Bambang Harymurti, Toriq Hadad. Betapa tak lengkapnya. Siapa yang pernah bekerja di dalam majalah ini tahu, seorang Goenawan Mohamad sebenarnya bergantung pada orang lain yang praktis tak pernah dapat tepuktangan. Salah satu yang mengelak dari aplaus itu adalah Yusril Djalinus. Ia meninggal pekan lalu. Perkabungan keluarga besar Tempo hari-hari ini karena Yusril lebih dari sekadar seorang kolega. Bagi saya, dialah pembentuk utama ethos Tempo, sikap kerja yang seperti para pendaki gunung dan tebing. Puncak, tujuan itu, harus dicapai. Untuk itu dibutuhkan ketabahan pribadi; dan tak kurang penting: kerja sama yang saling mempercayai. Yusril, pendaki gunung itu (dia tokoh kelompok pencinta alam, ”Wanadri”), tak banyak berpidato di depan para wartawan agar ethos itu tertanam. Yusril langsung memberi contoh, dan ia membentuk sistem. Saya mengenalnya sejak ia bekerja sebagai reporter baru di majalah berita Ekspres di tahun 1970. Saya mengenalnya sebagai seorang yang bicara halus dengan aksen Sunda, seorang pemuda kurus, tinggi, berambut rimbun. Mula-mula saya tak begitu memperhatikannya. Langsung di bawah saya ada sejumlah sastrawan yang waktu itu sudah mulai terkenal (misalnya Putu Wijaya, Syu’bah Asa, Usamah) yang entah kenapa jadi wartawan. Karena sifat majalah itu yang dasarnya adalah kecakapan bercerita dalam tulisan—para sastrawan itu mengambil peran yang sentral. Di antara mereka, Yusril tentu tak menonjol. Ia baru saja meninggalkan kuliahnya di Jurusan Publisistik Universitas Padjadjaran, Bandung. Dan ia bukan seorang penulis yang canggih; tulisannya jelas, tapi nyaris kaku. Hanya dengan pelan-pelan saya mulai menyadari: Yusril bagus

dalam kerja tim dan ia tangguh. Ia tak pernah mengelakkan tugas. Majalah Ekspres, yang kami dirikan di tahun 1970, masih sebuah usaha yang merangkak. Dana tak tersedia banyak, juga untuk kerja sehari-hari. Pada suatu hari Yusril tak dapat uang transpor. Pemuda yang pernah membiayai kuliahnya dengan jadi tukang potret keliling dari desa ke desa ini memutuskan: ia berjalan kaki. Pada satu hari Jakarta yang terik, ditempuhnya jarak 20 kilometer dari Jatinegara sampai Pecenongan, bersama debu, karbon dioksida, dan keringat. Ketika saya dan teman-teman lain, misalnya Fikri Jufri, Christianto Wibisono, dan Bur Rasuanto, mendirikan majalah Tempo (setelah meninggalkan ramai-ramai majalah Ekspres), Yusril termasuk yang ikut bergabung. Itu tahun 1971. Majalah Tempo dimulai dengan sedikit nekat dan ketololan. Seperti Ekspres, mingguan baru ini mengambil model majalah berita Time dan Newsweek di Amerika. Tapi sebenarnya kami tak tahu bagaimana cara memproduksinya. Kami bahkan bekerja mula-mula tanpa melalui koordinasi. Peran satu orang bisa begitu besar hingga mengabaikan orang-orang lain, dan sejumlah wartawan bekerja jungkir-balik sementara sejumlah wartawan lain bisa menghabiskan waktu main biliar. Tiap pekan hampir selalu ada yang jatuh sakit kecapekan. Setelah dua-tiga tahun, baru kami tahu ini tak beres. Kami mengundang seorang konsultan: Amir Daud, bekas wartawan Time di Jakarta. Dialah yang mengajari kami membentuk organisasi dasar. Begitu tololnya kami hingga baru dari Amir-lah kami tahu perlunya menulis memo untuk teman sekerja, bila si rekan sedang bertugas di luar kantor. Dari Amir Daud pula kami mulai belajar bekerja efisien. Ia menyarankan agar kami punya seorang ”chief reporter” yang akan membagi tugas hingga distribusi tenaga kerja tak acakacakan. Penugasan, pesan Amir, harus tertulis. Ini memang akan

membuat ia bisa diingat, mudah dikontrol, dan bila ada problem, bisa dipindahkan langsung ke wartawan lain. Penugasan harus jelas dan ringkas. Bahkan Amir memperkenalkan kebiasaan memendekkan nama kami. Maka nama saya pun jadi ”G.M.”, Fikri Jufri jadi ”F.J.”, dan Yusril jadi ”Y.D.” (Amir, yang menyukai gaya Amerika, mengucapkannya ”Way-Di”). Akronimisasi nama itu melekat sampai hari ini. Tempo beruntung: ”Y.D.” jadi chief reporter pertama. Yang patut diingat ialah bahwa pada awalnya jabatan ini—yang segera kami Indonesiakan jadi ”koordinator reportase” (diakronimkan jadi ”KR”)—tak ditunjuk dari atas. Saya sebagai pemimpin redaksi memutuskan agar pejabat KR dipilih para wartawan sendiri. Y.D. bersama Harun Musawa terpilih dengan jumlah suara yang sama. Saya kemudian memasang Yusril di posisi itu. Harun Musawa, yang berminat pada sastra dan punya kemahiran menulis yang lebih, disiapkan untuk mengelola dan mengisi salah satu rubrik. Y.D. punya kelebihan yang berbeda. Seba-gaimana dikatakan Harun, ”Saya tak akan mungkin selugas Yusril dalam bersikap.” Harun lemah lembut; Yusril tegas dengan kombinasi yang langka: ia selalu bisa bercanda. Disi-plin keras yang diterapkannya bisa tak terasa menekan, sebab segera setelah itu ada suasana bergurau. Dari jabatan inilah, sejak 1976, Y.D. berkembang cepat. Kepemimpinannya produktif. Seperti dikatakan Harun, pada rekan dekatnya ini ada kemampuan memotivasi bawah-an agar bekerja optimal. Seperti para pendaki tebing, reporter harus pantang menyerah untuk ”menembus sumber”. Berita harus diperoleh melalui rintangan apa pun. Ethos inilah yang berkembang penuh dalam diri Dahlan Iskan (yang kemudian jadi pemimpin dan pembangun dan sekarang pemimpin grup media Jawa Pos), yang di awal tahun 1981 meliput terbakar dan tenggelamnya kapal Tampomas dengan korban 600 orang tewas. Dahlan ikut naik ke kapal penolong dan selama tiga

hari di sana tanpa memin-cingkan mata. Baru empat hari kemudian, ia tidur, setelah menulis sebuah reportase yang jadi salah satu puncak prestasi jurnalisme Tempo. Karni Ilyas, kini tokoh media televisi di Indonesia yang memimpin TV One dengan 1.200 karyawan, membawa ethos itu ke tempat kerjanya sekarang. Di kantor kerja Karni di Pulogadung, sebuah poster Tempo terpampang di salah satu dinding. ”Ke mana pun kantor saya pindah, [poster] ini akan saya bawa,” katanya. Sebagai wartawan Tempo yang pernah menghasilkan laporan yang merupakan scoop, Karni mengingat Yusril sebagai orang yang tak mudah puas akan hasil kerja anak buahnya. Tapi dengan itu, kata Karni, para wartawan ”terpacu”. ”Yang tidak bisa akan terpental dengan sendirinya.” Tapi jadi pemacu hanyalah salah satu kelebihan Yusril. Ia juga pembangun institusi. Bagaimana mengelola kerja para wartawan dan yang bukan wartawan, bagaimana melatih mereka terusmenerus, menilai mereka dengan sistematis, dan memberi mereka kesempatan berkembang—semua itu dimulai dari sistem yang dibangun Y.D.. Salah satu yang jarang ditilik ketika orang menelaah Tempo adalah sistem itu yang bisa membuat majalah ini memandang jurnalisme sebagai sebuah posisi ethis. Posisi yang bertahan hingga hari ini. l l lJurnalisme sebagai sebuah posisi ethis yang diteguhkan Y.D. adalah kerja kewartawanan dengan sikap yang memandang orang lain dan merasa bertanggung jawab: jurnalisme yang tampil dengan kukuh bukan karena ia merasa unggul, melainkan justru ketika ia prihatin. Dengan keprihatinan kepada liyan, orang lain yang juga sesama, ia bertindak. Posisi ethis itu dimulai ketika seorang wartawan tergerak buat menulis sesuatu, baik sebuah investigasi tentang ketidakadilan maupun sebuah cerita ringan yang menghibur. Segera ia dituntut dirinya sendiri untuk terbuka, juga kepada yang paling tak

disukainya. Ia dituntut diri sendiri untuk tak culas. Ia diminta tak putus-putusnya untuk meraih apa yang baik dan yang benar, betapapun mustahilnya. Di sini ethos yang ditanamkan Yusril dapat diikhtisarkan: Pertama, seorang wartawan harus pantang surut mendapatkan berita. Kedua, ia tak bisa dibeli. Tiap kali ada godaan buat lembek dan menyeleweng, tiap kali ia harus ingat ada orang lain yang mungkin sekali celaka, atau tertipu, karena kebohongan beritanya. Itu sebabnya bukan hanya ada latihan teknis untuk men-dapatkan data yang akurat, tapi juga ada prinsip untuk menolak ”amplop” dan suap. Prinsip ini tak bermula di majalah Tempo dan bukan dicanangkan oleh Y.D.. Yang dilakukan Yusril adalah memperkuat tembok hingga sogokan tak tembus ke tubuh organisasi. Y.D. memanfaatkan sistem produksi berita majalah ini: sebuah berita selalu hasil kerja tim yang anggotanya bisa berubah, dan sebuah berita selalu diperiksa setidaknya dua lapis redaksi. Tapi tak hanya mencegah yang buruk. Y.D. juga menumbuhkan rasa harga diri ke kalangan wartawan. Departemen redaksi mengalokasikan dana yang cukup bagi tiap wartawan untuk bekerja. Yusril-lah yang pertama kali di tahun 1980-an merancang agar reporter mampu menjamu para humas—dan dengan itu membalikkan praktek sebelumnya, di mana sang reporter yang selamanya dijamu. Yusril juga yang mengharuskan wartawan menolak uang saku perjalan-an yang disediakan satu lembaga yang mengundang, dan untuk itu ada dana dari kantor yang memadai. Dari sini wartawan jadi oknum yang dihormati, dan pada gilirannya, merasa diri kukuh. Ia jadi subyek yang merdeka. Harga diri ini tampaknya terbawa ke saat yang paling kritis. Di tahun 1994, ketika Tempo dibredel, Rustam Mandayun, waktu itu Kepala Biro Yogyakarta, melakukan aksi protes terbuka bersama mahasiswa dan kaum cendekiawan, satu hal yang penuh risiko di bawah rezim Soeharto. Saya bertanya kepadanya, kenapa ia memilih langkah itu, sementara ia punya keluarga. Rustam menjawab, tanpa suara

yang heroik: ”Kan kita semua sudah dibiasakan menolak amplop, Mas.” Jurnalisme adalah sebuah posisi ethis ketika ia bersite-guh untuk merdeka, sebab hanya dengan kemerdekaan itu rasa tanggung jawab dan harga diri tumbuh. Tapi seperti para pendaki gunung dan tebing, dalam kegigihan itu juga perlu dijalin rasa saling percaya dalam sebuah tim. Di sini, posisi ethis menyentuh ke sesama teman sekerja: tak boleh ada curang-mencurangi. l l lBerada di lapis pimpinan, Y.D. sangat peka akan soal itu. Itu sebabnya ia tak pernah mendahulukan kepentingan diri, justru ketika ia punya kekuasaan yang besar. Seperti dikenang Haryoko Trisnadi, direktur keuangan waktu itu, Yusril tak pernah mau menerima fasilitas apa pun tanpa aturan yang berlaku bagi siapa saja. Ia rela untuk tak ditunjuk jadi pemimpin redaksi. Di tahun 1994 ada usaha dari Menteri Penerangan Harmoko dan Jenderal Prabowo Subianto, waktu itu menantu Presiden, untuk memecah belah dan mengendalikan Tempo dari dalam. Salah satu caranya membujuk Y.D. untuk jadi pemimpin redaksi. Yusril menolak dengan seketika. ”Yusril bukan orang yang akan berkhianat,” kata Zulkifly Lubis, rekan sekerjanya yang ikut membangun organisasi Tempo. Dalam masalah-masalah ethis, saya selalu bersandar pada Yusril. Sebagai salah satu anggota dewan direksi, ia diberi kemungkinan mendapatkan saham di sebuah majalah yang dimiliki oleh Tempo. Tapi Yusril menolak. Ia te-guh tak tertarik untuk memperbanyak milik dan menyukai yang mentereng dan gemerlap. Dengan itu ia pantas untuk menuntut sikap tangguh yang setara dari para wartawan. Ia tahu l’esprit de corps dan kerja tim amat menentukan dalam ikhtiar itu. Pimpinan dan bawahan harus kompak, dan sebab itu manajemen pun harus bersikap adil ter-utama kepada yang bekerja di bawah: selain tak mementingkan diri sendiri, pimpinan tak boleh pilih kasih dan harus terbuka dalam pengambilan keputusan.

Karena di Tempo ada Dewan Karyawan yang bertindak sebagai serikat sekerja dan tak ada pribadi yang memiliki modal secara langsung—saham dikuasai institusi yang separuhnya dikendalikan karyawan l’esprit de corps itu mudah ditumbuhkan. Untuk itu pula Y.D. (bersama Bambang Halintar, M. Makhtum, Zulkifly Lubis, dan kemudian Meity Bachrul) menyusun cara evaluasi dan promosi yang transparan. Tak ada pengangkatan tanpa melalui jenjang karier dan jabatan yang jelas. Penilaian harus bisa diketahui orang yang dinilai. Pada mula dan pada akhirnya, jurnalisme, justru di sisinya yang tak tampak, adalah setiakawan. Itu yang dijalankan Yusril sampai ia meninggal. Malam sebelum ia pergi, saya sempat mencium pipinya yang masih hangat. Saya tahu saya tak akan melihatnya lagi. Tapi saya tahu ia bukannya tanpa peninggalan yang tak ternilai. ~Majalah Tempo Edisi Senin, 09 Februari 2009~

Potret Februari 2, 2009 SEMOGA Tuhan menyelamatkan kita dari potret. Semoga Tuhan menyelamatkan pepohonan Indonesia, tiang listrik Indonesia, pagar desa dan tembok kota Indonesia, dan segala hal yang berdiri dengan sabar di Indonesia, dari gambar manusia. Bukan karena membuat gambar manusia itu dikutuk Allah. Tapi…. Sebaiknya lebih dulu perlu saya terangkan, terutama bagi para pembaca yang sedang tak di negeri ini, atau yang selama lima bulan belum keluar rumah: adapun gambar manusia itu adalah potret wajah para ”ca-leg”. Atau ”ca-bup”. Atau ”ca-wali”. Atau ”cagub”. Atau ”ca-pres”. Demokrasi telah marak di Indonesia, para pembaca yang budiman, juga kelatahan. Kelatahan, mungkin juga konformisme. Kini hampir tiap orang yang mencalonkan diri untuk dipilih siap maju buat

bersaing—sebuah tekad yang bagus sebetulnya. Tapi rupanya mekanisme persaingan politik kini mengandung sebuah paradoks. Di satu pihak, siapa yang ingin menang harus lebih menonjol ketimbang yang lain. Tapi, di lain pihak, sebagaimana tampak dalam potret-potret yang menempel atau bergelantungan di sepanjang tepi jalan itu, tak seorang pun tampak ingin berbeda dari yang lain. Saya lihat potret M. Tongtongsot dari Partai Bulan Pecah terpasang berdampingan dengan gambar G. Gundulpringis dari Partai Bintang Bujel. Kedua-keduanya tampil berpeci, mengenakan jas dan dasi. Kedua-duanya memasang sederet huruf, maksudnya singkatan, di dekat nama mereka, dimaksudkan sebagai gelar yang diharapkan membuat diri gagah: ”H”, atau ”Drs”, atau ”MA”, atau ”MSc”. Kedua-duanya terpampang dengan muka lurus ke depan, dengan tatapan tanpa emosi, seperti foto ijazah kursus montir. Dengan kata lain, orang-orang itu memasarkan diri bukan sebagai pribadi, dengan watak yang tersendiri. Yang tampak di sana hanyalah sebuah tipe. Tipe itu menyatukan entah berapa banyak potret yang berderet-deret, hampir tanpa jarak, dengan nama-nama yang tak akan kita tangkap dengan jelas, apalagi kita ingat, ketika kita lewat di atas motor atau bus. Seorang kawan yang berpengalaman memilih foto wajah buat sampul majalah menyatakan penilaiannya kepada saya: ”92% dari deretan wajah itu tak menarik.” Ia mengatakannya dengan yakin: ”Saya telah berjalan dari ujung Jawa Timur sampai Banten untuk mengamati potret kampanye.” Apa gerangan yang hendak didapat para pemasang gambar? Jawabnya jelas: mereka ingin dipilih di antara ratusan orang lain. Potret mereka ingin direkam dalam ingatan orang pada menit-menit yang sunyi di depan kotak suara pada hari pemilihan nanti. Nama mereka ingin dihafal. Mereka keluarkan dana berjuta-juta untuk mencapai semua itu dengan memanfaatkan dan mengotori pohon, tembok, dan tiang listrik. Tapi belum saya dengar mereka pernah

meneliti sejauh mana kampanye pasang-tampang itu tak sia-sia. ”Tapi saya tak mau ketinggalan,” agaknya demikianlah alasan mereka untuk memakai teknik kampanye ini. Tentu, alasan itu bisa diterima. Namun yang terjadi, yang bisa disebut sebagai kelatahan, justru akan menyebabkan mereka ketinggalan: mereka akan terpaku di tempat, sebagai repetisi, ketika waktu berjalan dan orang-orang jadi jenuh. Memang ada yang mengatakan, menirukan keyakinan juru propaganda Partai Nazi, bahwa repetisi akan punya hasil positif; bahkan dusta yang terus-menerus diulang akan jadi kebenaran. Partai yang sering memasang iklan di televisi memang tercatat—oleh juru jajak pendapat—mulai menuai hasil: dikenal, dan kadang-kadang dikenal tanpa orang bilang, ”ah, tidak”. Tapi yang berlangsung kini bukan cuma repetisi. Yang kita saksikan penyeragaman: perlombaan untuk memperlihatkan diri tapi ada saat yang sama takut tampak ”lain”. Maka yang akhirnya saya ingat dari deretan gambar di tepi jalan itu bukanlah wajah calon anggota DPR wilayah saya, melainkan tampang yang lain dari yang lain: tampang dalam iklan kartu telepon XL—muka monyet. Sebab yang berulang-ulang datang kini bukanlah semboyan yang menggugah, dari retorika yang menggetarkan. Repetisi dalam politik hari ini adalah muka orang yang terpampang di bidang datar. Muka dua dimensi. Muka yang dengan gampang menyesuaikan diri dengan pola umum, ukuran yang lazim, dan bentuk persegi tertentu. Muka yang pada dasarnya menyerah tertempel, tanpa pesona. Saya kira pada mulanya adalah sebuah salah paham. Serbuan yang visual ke dunia pancaindra kita punya akar di sebuah premis tua bahwa ”melihat” sama dengan ”mengetahui”. Kesalahpahaman oculocentric ini sudah ada sejak Plato di Yunani Kuno memakai perumpamaan orang yang hidup dalam gua, yang dari kegelapan melihat terang. Tapi tak berhenti di situ.

Orang Jawa abad ke-21 tetap memakai kata weruh (melihat) sebagai akar kata kawruh (pengetahuan atau ilmu). Kini televisi merupakan sumber ”pengetahuan” yang tak tertandingi. Kita pun menonton iklan di layar itu, atau melihat (biarpun dengan sekilas) potret-potret di pohon itu, seraya hampir lupa bahwa, seperti pernah ditulis oleh seorang buta, ”indra penglihatan adalah indra berjarak”. Indra lain—penghidu, pendengar, peraba, misalnya—berangkat untuk sesuatu yang dekat, bahkan akrab. Jauh sebelum Plato, dalam bahasa Aramaik, orang buta disebut sagi nahor, atau ”penglihatan yang hebat”. Hari-hari ini saya pun ingin bersikap sebagai sagi nahor. Saya ingin berdoa: semoga mata orang Indonesia tak akan membuat Indonesia tersesat. Demokrasi perlu dirindukan lagi sebagai tempat suara berseru dengan gema yang kuat, dengan keberanian berbeda—bukan konformisme yang menyerahkan apa yang berharga dalam pribadi ke dalam sebuah pasfoto. Potret itu tak bicara apa-apa. ~Majalah Tempo Edisi Senin, 02 Februari 2009~

Badri Januari 26, 2009 Setitik air menetes ke kepalanya, dan sejak saat itu Badri seakan-akan dilahirkan kembali. Ia jadi seseorang yang baru. Kisahnya saya baca dalam Kompas 19 Januari yang lalu. Kisah itu membuat saya percaya bahwa jangan-jangan ada mukjizat, kata lain dari sesuatu yang menakjubkan. Mukjizat dalam versi ini tak datang ke dunia secara spektakular. Ia menyusup dalam berkas-berkas kecil. Badri tinggal di sebuah kampung yang merupakan bagian dari Desa Tugu Utara, di Kecamatan Cisarua, Bogor. Bertahun-tahun lamanya, lelaki yang kini berumur 60 tahun itu jadi tukang babat hutan. Bersama beberapa temannya, ia ke luar masuk kawasan

Puncak yang waktu itu rimbun dan sejuk. Dengan gergaji dan parang mereka tebangi pohon-pohon untuk dipotong-potong dan dijual sebagai kayu bakar. Empat tahun lamanya, sejak tahun 1975, sejak ia berumur 36 tahun, Badri mendapatkan nafkahnya dengan merusak hutan. Tapi sesuatu terjadi di sebuah hari di bulan Oktober tahun 1979. Siang itu ia tak pergi bersembahyang Jum’at. Sejak pagi ia terus saja menebangi pohon. Di tengah hari, ketika siang jadi terik, ia beristirahat sejurus. Ia duduk. Mendadak, katanya, seperti dikutip Kompas, setetes air jatuh ke kepalanya. “Hanya setetes,” katanya, “tetapi membuat badan saya segar. Keletihan saya menebang pohon dan memikul kayu langsung hilang.” Ia pun melihat ke sekeliling, mencari dari mana tetes air itu datang. Ternyata, butir bening yang sejuk itu jatuh dari pokok yang baru ditebangnya. “Saya terkejut”, kata Badri. “Saya duduk terdiam, merenungkan tetes air itu.” Sejak hari itu – ia ingat tanggalnya dengan persis, 6 Oktober 1979 – ia gundah. Ia kembali masuk ke luar hutan, tapi kali ini tidak untuk menebang, melainkan untuk membuktikan bahwa pohonpohon memang menyimpan air di tubuh mereka, di akar mereka yang masuk ke tanah. Setelah ia menemukan kenyataan itu sendiri, ia pun yakin. Ia pun bertekad. “Sejak tahun itu pula saya berjanji tidak lagi menebang pohon”, tuturnya. Bahkan ia bersumpah akan terus menanam sampai akhir hidupnya. Maka hampir tiap hari ia membawa coredan, alat pembuat lobang kecil di tanah tempat akan dipendamnya bibit. Hampir tiap hari, dengan tubuhnya yang tua, kurus tapi liat, dilapisi kulit yang hitam legam terbakar matahari, Badri mengembalikan ke bukit-bukit di Puncak daun dan dahan dan akar hutan tropis. Ia menebus. Ia memulihkan. Ia tak mau lelah. Kakek itu menampik sakit.

Janji itu tak mudah. Ia kehilangan sumber nafkahnya: sang pencuri kini jadi sang pemberi. Isterinya marah. Hidupnya sendiri tak selamanya aman. Badri menciptakan musuh. Beberapa kali ia ditangkap dan dianiaya para spekulan tanah dan petugas keamanan villa-villa di kawasan Cisarua. Sebab ia tak ragu untuk menanam pohon apa saja di tanah kosong mana saja – yang tak jarang kepunyaan orang tapi dibiarkan terlantar atau sedang dibidik untuk diperjual-belikan. Ia melakukan itu sejak 1979. Sampai sekarang: sebuah kesetiaan non-institusional. Yang mengarahkannya bukanlah satu program, satu lembaga, atau ajaran, melainkan sebuah “kejadian”. Kata “jadi” — sebuah kata dalam bahasa Indonesia yang tak mudah diterjemahkan — menggambarkan perubahan yangpotensial ke dalam yang-aktual, yang-belum ke dalam yang-sudah. “Kejadian” juga mensugestikan sesuatu yang tak rutin dan terkadang menakjubkan. Jika yang dialami Badri dan yang membuat dirinya berubah kita sebut sebuah mukjizat itu karena semuanya berlangsung di sebuah masa ketika hal demikian sungguh tak lazim. Inilah masa ketika orang berbuat segala sesuatu konon dipacu oleh kepentingan-diri. Kita bayangkan Badri: tetesan air itu membuatnya terguncang, tapi dengan segera jadi sebuah tekad, pada 6 Oktober 1979 itu. Dengan itu Badri tak merasa perlu bertanya untuk siapa dia menanam pohon tiap hari selama tiga dasawarsa. Ia seorang militan. Tapi seorang militan lain mungkin akan mengorbankan dirinya untuk sesuatu yang tertutup, misalnya kaum atau pihaknya sendiri. Militansi Badri tidak demikian: ia bekerja untuk sesuatu yang tak berpuak. Ia menjangkau sesuatu yang secara universal terbuka. Pohon-pohon itu tumbuh dan hutan itu akan kembali rimbun untuk siapa saja, bahkan untuk manusia dalam geografi dan generasi yang tak akan ia kenal. Mungkin orang akan mencemooh Badri: ia naif. Ia tak berpikir bahwa bila Puncak jadi hijau kembali, bila hutan tumbuh dan

menyimpan air, yang akan menikmatinya terutama orang yang berduit dan berkuasa. Pendeknya, niat untuk menjangkau sesuatu yang universal itu bodoh, melupakan bahwa “sesama” tak pernah “sama”, kecuali sebagai angka statistik. Tapi saya tak akan mencemooh Badri. Ia mungkin tahu tapi mungkin juga tidak bahwa orang-orang kaya di Jakarta adalah perusak hutan yang lebih buas ketimbang para pencuri batang pohon seperti dia sebelum 1979. Orang-orang berduit dan berkuasa membangun vila dan membedah lereng, memakai mobil dengan karbon dioksida yang paling ganas, dan mengkonsumsi sandang-pangan dengan rakus hingga segala yang alami dikorbankan. Tapi salahkah Badri bila ia terus menanam pohon di bukit itu? Saya kira kita perlu melihat bahwa kisah orang ini, yang bernama lengkap Badri Ismaya (dan “Ismaya” adalah Semar dalam wayang, jelata yang juga dewata), adalah sebuah cerita penebusan yang mendasar: di zaman yang dibentuk oleh keserakahan manusia, Badri jadi sebuah antidot. Ia menangkal kerakusan. Ia tak mengambil. Ia menyumbang. Agaknya ia tak ingin kita membunuh diri dengan saling menghancurkan, setelah putus asa melihat diri sendiri sebagai unsur yang keji di planet bumi. Agaknya ia ingin manusia seperti pohon hutan: makhluk yang luka tapi memberi tetes air dan keajaiban. ~Majalah Tempo Edisi 26 Januari 2009~

Pohon Januari 19, 2009 Di separuh Bukit Pasir Tengah di atas Dusun Sarongge, hutan jadi monoton. Pohon-pohon kayuputih menguasai area.Batang mereka yang lurus menjulang bisa sampai 15 meter, berjajar rapi,masing-masing dengan kulit yang seakan-akan jangat

telanjang yang di sana-sini terkelupas. Di bawahnya:hamparan perdu daun wortel.Bumi dibudidayakan dengan telaten di lereng ini. Dari pucuk bukit, sesekali terdengar deru beberapa sepeda motor tua yang datang untuk mengangkut hasil bumi itu, tak hendak terhambat oleh jalan mendaki yang buncah dan bongkah karena deras hujan. Tak lama lagi para pengendaranya akan turun, dengan mesin yang dimatikan, nekad tapi tangkas seperti pemain sirkus, ke arah tempat pengumpulan di bawah, melalui ladang cabai dan bawang-daun, melintasi tendatenda putih yang melindungi perkebunan strawberry. Ekonomi bergerak di kesepian ini.Para petani bekerja dan hidup. Tanah adalah nafkah. Pohon adalah bagian dari proses produksi manusia.Sebuah perusahaan negara telah mengubah bukit dan hutan tropis ini untuk maksud itu, dengan perspektif itu. Tapi hanya beberapa hektar di sebelah sana, tampak lanskap yang berbeda:sisi bukit yang belum disentuh.Hutan masih penuh ragam dan masih gelap lebat.Batang-batang rasa mala dan mahoni, suren dan puspa, tampak menongol dengan pelbagai derajat warna, nuansa coklat-abu-abu-hjiau, bertaut denganbelukar yang tak tepermanai yang mungkin bermula di zaman purba. Seorang polisi hutan mengatakan, bahkan di bagian bukit itu masih hidup sekitar 60 ekor harimau.Di situ manusia belum berdaulat.Pohon-pohon masih punya hayat dan riwayatnya sendiri. Dengan sekali pandang, kita memang akan menyaksikan dua sisi tanah tinggi dan kehidupan. Yang satu disebut secara resmi sebagai “hutan industri”, yang sebenarnya adalah “kebun” – sesuatu yang telah diolah, tempat di mana alam rapi dan jinak, atau, dalam kata-kata Penyair Hölderlin, “di mana alam hidup dengan sabar dan mrumah” (häuslich). Yang lain, yang di sebelah sana: pohon-pohon yang — seperti pokok eik yang disanjung sang penyair –- mengorak tanpa dikelola “sekolah manusia”,

… mendesak maju dengan gembira dan bebas, dari akar yang kukuh, saling berjalin, mencengkeram ruang, dengan lengan perkasa, seperti elang menangkap mangsa… Kontras antara “kebun” dan “pohon eik” dalam sajak Die Eichbäume itu – yang diterjemahkan seorang teman Jerman buat saya —memang sebuah kiasan dari masa ketika sang penyair akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 itu, dalam hidupnya yang menyendiri, merindukan kemerdekaan. Hanya dengan kebebasan, katanya,ia tak akan menampik das gesellige Leben, hidup yang asyik nyaman beramai-ramai. Kini kita hidup di masa yang berbeda, di negeri yang berbeda. Tapi tampaknya kita belum bisa melepaskan hasrat itu:tak hendak menyerah kepada persetujuan orang banyak yang hanya tunduk kepada pasar, seperti disentuh Hölderlin dalam sajaknya Menschenbeifall, (“Persetujuan Orang-orang”).Pasar dan demokrasi memang menjurus ke arah penciptaan “kebun” ketimbang pohon-pohon yang, seperti pokok eik“tegak, bagaikan para titan”.Tapi haruskah hidup jadi seluruhnya sebuah hutan industri? Hari itu saya, bersama sekitar 80 orang relawan, menanam tunas yang berbeda ke celah-celah pohon kayuputih – sebuah tindakan yang kami anggap memberikan sebuah alternatif.Tapi tunas yang berbeda itu bukanlah tunas yang ganjil, yang tak pantas di kawasan itu, bukan pohon-pohon yang “eksotik”, kata petugas Departemen Kehutanan itu, melainkan yang “endemik”.Para petani pada akhirnya tak hanya akan hidup dengan pohon-pohon yang produktif, tetapi sesuatu yang tak produktif — sesuatu yang jauh dari fleissigen Menschen, “manusia yang bekerja keras untuk hasil”. Yang tanpa hasil, yang tak produktif, yang tak jelas tujuannya …..Tapi justru “kontra-guna” itulah yang jadi “guna” ketika jarak antara produksi dan destruksi begitu dekat, ketika hutan tropis yang menakjubkan itu kehilangan diversitasnya,ketika bumi yang tua itu

tak lagi menyimpan cukup air. Kini keindahan lembah dan bukit hijau bukan lagi masalah estetik.Ia jadi masalah ethik: bagaimana saya bersikap ke dunia, ke orang lain, dengan kehendak untuk tak menghancurkan.Pada gilirannya ia jadi masalah politik.Kehendak untuk menyelamatkan mau tak mau akan melibatkan orang lain, kekuasaan, dan juga harapan yang mungkin dan tak mungkin, yang harus dijangkau bersama. Pohon tegak, “masing-masing bagaikan dewa, dalam sebuah aliansi merdeka”, kata Hölderlin. Seandainya sang penyair pernah melihat sebuah hutan tropis, (bukan hutan Jerman), ia mungkin tak akan bicara tentang pohon yang tampak berdiri “masing-masing”. Di hutan tropis bukit ini, pohon-pohon saling merapat, terkadang bertaut, semua bergerumbul dengan semak dari jenis dan zaman yang berjauhan.Di bagian bukit ini Hölderlin tak akan melihat keterpisahan, bukan hanya dalam ruang, tapi juga waktu. Manusia tak bisa sebagai dewa ketika membentuk aliansi merdeka – sebab aliansi itu bukan hanya dengan yang hadir hari ini.Ketika saya menanam tiga tunas rasamala, saya diingatkan bahwa baru lebih 30 tahun kemudian pohon itu akan setinggi lima meter.Saya tak akan melihatnya. Sesaat saya tertegun: jika ada yang berharga dalam apa yang kami lakukan di bukit di pedalaman Cipanas itu,maka itu adalah membuat sesuatu yang bukan untuk diri sendiri.Calon pohonpohon itu mempertautkan mereka yang akan hidup dengan kami yang akan mati, terbenam seperti humus,dilupakan. ~Majalah Tempo Edisi 19 Januari 2009~ ~dengan revisi dari penulisnya~

Sisiphus Januari 12, 2009 DI atas tuts pianonya, Ibrahim Souss memainkan Le Myth de

Sisyphe. Komposisi itu mencoba menghidupkan kembali gerak, kepedihan, dan absurditas nasib yang dialami manusia setengah dewa yang dihukum Zeus itu: ia, Sisiphus, harus mengangkut batu berat ke puncak gunung, dan tiap kali sampai di sana, batu itu akan berguling lagi. Dan ia harus kembali ke bawah. Ia harus mengangkutnya lagi. Dalam mitologi Yunani kuno itu, nasib itu tak pernah berakhir. Souss memainkan karyanya itu ketika ia jadi direktur kantor PLO di Paris, sekitar 20 tahun yang lalu. Saya tak tahu di mana ia sekarang: seorang pianis yang piawai, komponis yang kreatif, yang dengan Le Myth de Sisyphe hendak menyatakan sesuatu tentang Palestina. Ia lahir di Yerusalem pada 1945. Umurnya baru tiga tahun ketika orang Palestina diusir dari bagian kota itu setelah perang Arab-Israel tahun 1948. Setelah kekalahan Arab yang nista pada 1967, Ibrahim bergabung dengan PLO. Ia memilih karena ia harus memilih: ia tahu ia, bagian dari bangsa yang diusir dan diabaikan, tak bisa cuma bisa hidup merdeka dengan musik. Sisiphus-nya pun mengandung ambiguitas. Di satu pihak, di dalamnya tergambar nasib orang Palestina yang tiap kali berharap, tiap kali pula kandas. Dari 1948 sampai 2009, berapa generasi terus hidup terjepit dan dihinakan, berapa usaha perdamaian gawal? Tapi, seperti kata Souss sendiri, Palestina bukan Sisiphus. ”Kami menolak menjalankan hukuman itu.” Hakikat Palestina, katanya pula, adalah penampikannya untuk dibuang. Ambiguitas itu pula yang tersirat ketika Albert Camus menulis esainya dengan tema yang sama. Saya kira pengaruh Camus pada Souss cukup jelas, meskipun ia sampai pada kesimpulan yang berbeda. Dalam tafsir Camus, kian lama kian tumbuh semacam simbiosis dalam diri Sisiphus dengan batu yang diangkutnya. Pada tokoh itu tampak, tulis Camus, sebuah wajah yang, seraya bekerja

keras dan begitu dekat dengan batu, telah mengeraskan diri dan dunianya. Dari keadaan terkutuk dan dipenjara para dewa, ia akhirnya mengubah posisinya secara radikal. Kini nasibnya adalah miliknya. Ia lebih kuat ketimbang batu karang. Sebuah sikap yang gagah, tentu—yang dengan itu juga menunjukkan perlawanan terhadap Zeus: raja dewa itu hendak menghinanya, tapi Sisiphus-lah yang kini menistanya, dengan menganggap hukuman itu tak relevan. Sejak saat itu, alam semesta tak punya lagi yang dipertuan. Tapi kesimpulan Camus yang termasyhur, bahwa kita harus bisa membayangkan Sisiphus ”bahagia”, adalah kesimpulan yang bermasalah. Setidaknya bagi Souss. Dan yang pasti bagi Palestina. Heroisme yang tampak di sana memang memberikan semangat, tapi itu bukan kisah kepahlawanan yang menyenangkan. Di Palestina, pahlawan tak mati hanya satu kali, melainkan berkali-kali. Tiap kali sang syuhada tewas hidup pun bersinar, tapi sebentar, dan selamanya pedih. Masalahnya, bisakah yang heroik dan yang pedih itu menggugah, di masa kita sekarang? Ketika Camus menuliskan esainya pada awal tahun 1940-an, ia tak mempersoalkan itu. Ia bertolak dari asumsi yang lazim pada zamannya: siapa saja akan melihat hukuman atas Sisiphus sesuatu yang tak bisa diterima dalam tatanan manusia, dan perlawanannya dengan demikian amat dahsyat. Tapi ”manusia”, siapakah dia sekarang? Samakah ia dengan ”siapa saja”? Di Palestina, gerilyawan dan bocah-bocah, aktivis dan kakeknenek, dengan segera tahu apa artinya ketidakadilan. ”Kau burung yang beruntung… ajari aku terbang mengatasi peluru, ajari aku merdeka,” begitulah kerinduan diucapkan dalam lagu yang digubah Rima Terazi, yang dinyanyikan anak-anak di kamp-kamp pengungsi. Kerinduan kepada sesuatu yang absen: keadilan, kemerdekaan, perdamaian. Kerinduan yang di sini berlaku bagi ”siapa saja”.

Tapi di Amerika dan Eropa, tampaknya ada kesulitan besar untuk melihat yang universal dalam kerinduan itu. Orang menyaksikan bagaimana museum Holocaust didirikan di manamana di kedua bagian dunia ”Barat” itu, sebagai tanda solidaritas kepada orang-orang Yahudi yang dibunuh dan diusir di Eropa pada zaman Hitler. Sementara orang bisa mencatat begitu sedikit simpati kepada orang Palestina yang ditundung dari tanahnya selama 60 tahun. Mau tak mau, orang sampai pada kesimpulan bahwa yanguniversal tidaklah satu. Ada yang menang dan yang kalah, ada yang berada dalam hegemoni dan yang masih tersingkir. Tapi bila yang-universal ternyata tak satu, dan bahwa yang tampak sebenarnya akibat posisi hegemonik satu bagian masyarakat manusia dalam menilai, apa gerangan yang dapat membuat kita melihat manusia langsung sebagai sesama? Apa yang membuat kita tergerak untuk berbuat baik di mana saja dan kapan saja dan bagi siapa saja—sesuatu yang lahir dari yang disebut Kant sebagai das Faktum der Vernunft? Atau ”faktum” itu jangan-jangan hanya fiksi? Kini, di Palestina yang diduduki Israel, aniaya seperti tak pernah bisa dihentikan. Kini ada bagian dari dunia yang tak merasa dituntut untuk berbuat baik ke mereka yang dinistakan. Sementara itu, ada juga yang hanya mau berbuat baik buat Palestina tanpa mau berbuat baik kepada mereka yang lain yang juga dianiaya. Bila demikian, manusia akan hilang harap untuk jadi sesama…. Untunglah, compassion—perasaan ikut sakit ketika orang lain menderita—bukanlah sesuatu yang mustahil; kita mengalaminya sehari-hari, tanpa kita harus melalui pergulatan politik untuk merasa bertugas menolong orang lain. Yang mencemaskan dari tragedi Palestina ialah bahwa pengalaman sehari-hari itu acap kali tenggelam. Yang memberi harapan ialah bahwa yang tenggelam tak pernah hilang total. Ia akan selalu kembali.

Mungkin macam Sisiphus. ~Majalah Tempo Edisi Senin, 12 Januari 2009~

Diburu Januari 5, 2009 Tahun akan menghadapi krisis, kata para pakar, tapi kita tahu, ”nasib” adalah sebuah cerita yang senantiasa datang terlambat. Kita baru dapat menyimpulkannya setelah perjalanan selesai. Bagaimana sejarah akan usai, itu tak mudah dijawab. Sebab kita adalah anjing diburu dalam tamsil Catetan Th. 1946 Chairil Anwar, yang —hanya melihat sebagian dari sandiwara sekarang Tidak tahu Romeo & Juliet berpeluk di kubur atau di ranjang. Pernah ada optimisme bahwa kita bisa menyusun sebuah tambo tentang perubahan, ketika Lahir orang besar dan tenggelam beratus ribu Keduanya harus dicatat, keduanya dapat tempat. Pernah juga ada harapan bahwa nanti, jika kegaduhan selesai, gejolak reda dan rusuh hati berhenti, jika bencana, jatuh bangunnya kekuasaan, perang dan huru-hara yang berkecamuk sudah lewat dan hanya tersisa sebagai ingatan yang kabur—jika nanti tiada sawan lagi diburu/ Jika bedil sudah disimpan, cuma kenangan berdebu—kita akan bisa mencoba menemukan makna dari semua itu: Kita memburu arti atau diserahkan kepada anak lahir setempat. Tapi pada awal abad ke-21 kita tahu bahwa menyusun kembali ”kenangan berdebu”, dan memberi arti dari pengalaman itu—semua itu tak mudah. Kita, selamanya dibentak oleh batas ruang dan waktu, makin tak tahu apa sebenarnya yang terjadi. ”Sandiwara sekarang” kian lama kian hanya secara fragmentaris tampak. Informasi datang lekas dan segera pula berubah.

Perubahan itu meningkat terus tinggi velositasnya: bendabenda teknologi ditemu-ciptakan dan disebarkan kian cepat dan tanpa istirahat, begitu juga halnya kesimpulan ilmu kian mudah jadi basi, jumlah dan keanekaan penerima informasi pesat meluas, dan berubah pula ekologi manusia yang merespons informasi itu. Semua memergoki kita sebelum kita siap—seakan-akan pada tiap jam berita pagi masa-depan melewati ambang pintu tanpa mengetuk, mengambil alih masa-kini. Perubahan berarti keragaman, kompleksitas, inkonsistensi, bahkan chaos, dan apa yang pernah disebut sebagai ”kejutan masa-depan”, the future shock, kini jadi sebuah masalah epistemologis: bagaimana kita ”tahu” atau ”tak tahu”. Kita ”tidak tahu Romeo & Juliet berpeluk di kubur atau di ranjang”, tapi juga banyak hal lain tak kita ketahui. ”Kejutan masa-depan” mempercepat masa-kini jadi masa-lalu, dan menyebabkan masa-lalu berubah dalam gudang kenangan kita, makin tak stabil dan makin tak mudah diidentifikasi. Maka jadi problematis pula kesatu-paduan kesadaran kita, dan goyah pula posisi kita sebagai subyek yang ”mengetahui”. Apa artinya ”mengetahui”? Alain Badiou mencerminkan suasana zaman ini ketika ia membedakan ”pengetahuan” dari ”kebenaran”. ”Pengetahuan” bersifat melanjutkan, mengulang, menerapkan. Sebaliknya kebenaran bercirikan sifat ”baru”, sesuatu yang ”kawedar”—sesuatu yang kita temui ketika kita misalnya membaca puisi, menyaksikan karya seni rupa. Badiou mengutip Heidegger tentang penyair dan kebenaran: ”Penyair selalu bicara seakanakan ’ada’ diekspresikan buat pertama kalinya”. Badiou berbicara tentang ”proses kebenaran”. Proses itu menyebabkan ”pengetahuan” tak begitu penting dibandingkan pengalaman dan perbuatan. Dua abad yang lalu, para literati Jawa membedakan (dan kemudian mencoba mempertautkan) antara ngèlmu dan laku, antara ”tahu” (dari mana kata ”pengetahuan” berasal) dan perjalanan dalam hidup dan pengalaman. Jika kini kita memakai

dikotomi ini, dalam arus deras informasi yang berubah terus dengan cepat ini sejauh manakah ngèlmu membentuk laku dan sebaliknya laku membentuk ngèlmu? Hubungan antara pengetahuan, isi kognitif kesadaran kita, dan pengalaman jasmaniah, punya sejarah sendiri. Ada masanya ngèlmu diasumsikan datang dari Tuhan atau sumber ekstra-empiris lain, ada masa lain ketika ngèlmu dianggap berasal dari perjalanan di dunia, ”kalakoné kanti laku”, seperti ditulis dalam syair Wedatama yang terkenal. Dalam sejarah, manusia tak putus-putusnya terlibat dalam ambivalensi. Di satu pihak ada dorongan untuk melihat kesadaran, sang subyek, sebagai pembentuk pengalaman. Di lain pihak ada dorongan semangat empiris untuk melihat pengetahuan sebagai sesuatu yang berakar pada dan dibentuk oleh pengalaman itu. Di satu pihak, ada pengakuan bahwa pengalaman empiris hanya mampu menyajikan ”sebagian dari sandiwara sekarang”—dengan kata lain: sesuatu yang niscaya terbatas. Di lain pihak ada keyakinan bahwa kita mampu melintasi, dengan transendensi, batas itu. Di satu pihak, ada pengakuan bahwa tak mungkin kita mempunyai sebuah pandangan yang total, yang menyeluruh, tentang hal ihwal. Pada akhirnya kita akan mengakui bahwa ketika manusia menulis sejarah—mencatat, menyusun ngèlmu—ia menjalani sebuah laku, sebuah perjalanan dalam hidup. Di lain pihak, ada kepercayaan bahwa manusia, dengan bantuan Kitab Suci atau ilmu pengetahuan, melihat pengalaman itu bagian dari totalitas yang belum diungkapkan kepada kita. Tapi semakin lama semakin kita tahu, seperti terbersit dari Catetan Th. 1946, kita selalu mencoba berdiri dari sejarah yang terguncang. Yang tercatat adalah sesuatu yang tak stabil—tapi itulah bagian yang tak tercampakkan dari diri manusia: laku, terkadang dengan kreatif, dalam dunia fisik yang rapuh, sementara, kekurangan.

Pada tahun 2009 yang sulit, haruskah kita jeri? Ada satu baris dari Chairil lagi yang bisa menjawab: Tulis karena kertas gersang, tenggorokan kering sedikit mau basah! ~Majalah Tempo Senin, 05 Januari 2009~

Transformasi Desember 29, 2008 Ketika Kristus lahir dunia jadi putih juga langit yang semula gelap oleh darah dan jinah jadi lembut seperti tangan bayi sepuluh hari Subagio Sastrowardoyo mengerti transformasi yang ajaib dalam kisah Natal. Ia bukan seorang Kristen, tapi sajak itu datang dari sebuah Indonesia sekian puluh tahun yang lalu, yang dengan serta-merta mengerti apa yang universal dalam cerita yang luar biasa tapi juga bersahaja itu: Yesus lahir, tapi hanya satu bintang di langit yang tampak terang di atas Bethlehem. Tak ada suara dahsyat atau guncangan bumi yang mengubah geografi. ”Malam sunyi…,” kata lagu yang berulang kita dengar itu. Begitu biasa, tapi kelahiran itu diterima sebagai isyarat: Tuhan tak meninggalkan manusia sendirian. Maka, manusia berdiri dingin sebagai patung-patung mesir dengan mata termangu ke satu arah Dalam imaji yang muncul dari larik sajak ini, manusia tak bergerak, bahkan tanpa perasaan lagi. Tapi suatu ketika terasa ada daya lain yang mengambil peran. Dari sesosok kekuatan yang dalam Perjanjian Lama digambarkan bisa ganas, cemburu, dan destruktif, hadir sebuah pesona yang diasosiasikan dengan ”tangan bayi sepuluh hari”. Dan manusia termangu.

Pertanyaan besar sejarah—yang sebenarnya tiap akhir tahun diungkapkan dengan cara yang banal—adalah bagaimana keajaiban seperti itu mungkin. Dengan kata lain, bagaimana harapan bisa hidup. Bisakah dunia dan kehidupan diperbaiki, ketika riwayat manusia telah demikian panjang, juga deretan kekecewaannya. Nabi-nabi datang, petuah dan perintah dimaklumkan, dan kemudian dicoba revolusi dan diperkenalkan penemuan teknologi—tapi tiap kali kita mengalami perbaikan dalam hidup, tiap kali ada mala yang terjadi. Mungkin sebab itu di sebuah buku yang terbit pada 1990 Agamben menulis: ”Kita dapat mempunyai harapan hanya dalam apa yang tak punya penyembuhan” (rimedio). Tentu saja ada paradoks dalam ucapan itu. Berharap kepada sesuatu yang tak bisa disembuhkan atau tak dapat diperbaiki sama saja dengan tak berharap. Namun barangkali di situ bekerja iman, sebuah dasar sikap yang dalam agama Kristen dan Islam dicontohkan dalam diri Ibrahim. Kita ingat ia dititahkan Tuhan menyembelih anak kesayangannya sendiri. Kita bayangkan ia berjalan sedih, tak paham, lunglai, ke Gunung Moria dan cuma percaya kepada sesuatu yang tak bisa diperhitungkannya. Ada semacam sikap tawakal (yang tak selalu terkait dengan agama) ketika manusia berjalan terus, walaupun sejarah penuh dengan kebengisan, kegagalan, dan kesengsaraan. Tak hentihentinya kita mengarungi l’irreparabile, yang tak dapat diperbaiki. Dalam keadaan itu manusia memang kelihatan heroik. Namun ada yang kosong: baginya, tak akan ada transformasi di dunia. Manusia dengan gagah menanggungkan langit yang ”gelap oleh darah dan jinah”, tanpa tahu bahwa sesuatu bisa mengubah itu jadi ”lembut seperti tangan bayi yang sepuluh hari”. Kita bisa mempersoalkan tepat-tidaknya metafora dalam sajak Subagio itu (bagaimana langit jadi seperti ”tangan bayi”?). Tapi kita tak akan luput menangkap radikalnya perubahan yang terjadi ketika

kita tahu bahwa Tuhan, atau apa pun namanya bagi yang mengutamakan cinta kasih, bisa begitu dekat. Tak mengherankan bila Paulus dikutip mengatakan bahwa di antara tiga hal yang tinggal—iman, pengharapan, kasih—maka kasih itulah yang terbesar. Iman dan pengharapan bisa menggusur gunung. Kasih tak merasa perlu untuk itu. Ia merayakan adanya gunung, membuka diri kepada liyan, yang lain, yang bukan dirinya. Sajak Subagio menyebut ”mata” (manusia) yang ”termangu ke satu arah”. Kata ”termangu”—dan bukan ”terpaku”—menyarankan sikap visual yang lebih pasif. ”Satu arah” itu bukan sesuatu yang disasar, melainkan sesuatu yang seakan-akan justru menarik kita ke arahnya, meskipun tak jelas benar. ”Kita mengharapkan apa yang tak kita lihat,” kata Paulus, ”kita menantikannya dengan tekun.” Artinya, yang penting bukanlah yang tampak, tempat kita meletakkan fokus. Yang penting bukanlah sesuatu yang dapat dipastikan, yang bisa dikuasai. Bahwa kita bisa tekun menantikannya itu karena kita terpesona ketika sesuatu yang seakan-akan mukjizat hadir: ada cinta kasih, ternyata. Sebab itu harapan tak sepenuhnya penting untuk membuat hidup berharga. Kesadaran akan ini kurang meluas di sebuah babakan kehidupan yang oleh Agamben disebut sebagai ”waktu yang tinggal”. Ini bukan lagi waktu para ”nabi”, kata Agamben. Dalam tradisi Yahudi, ”nabi” didefinisikan ”oleh hubungannya dengan masa depan”. Bagi Agamben, ”waktu yang tertinggal” adalah waktu yang sekarang. Dan itu adalah waktu para ”utusan”, apostel, yang dalam peristilahan Kristen disebut ”rasul”. Sabda, kata Agamben, ”diberikan kepada sang rasul, utusan sang juru selamat, yang waktunya bukanlah masa depan, melainkan sekarang.” Di ”waktu yang tersisa” sekarang ini, harapan, iman, dan cinta kasih tak selalu cocok—bahkan terkadang yang dua pertama disebut diunggulkan di atas yang lain. Sajak Subagio

mengingatkan, Natal tak datang tanpa kejutan. Terutama ketika iman bisa begitu keras dan harapan jadi optimisme yang buta dan menghalalkan segalanya. ”Dunia jadi putih” bukan tanda musim dingin yang hanya terjadi di sebagian muka bumi. ”Dunia jadi putih” adalah bagian dari transformasi ketika kita menyadari bahwa kita tak selamanya hidup di bawah kekerasan dan pelanggaran, ”darah dan jinah”. Di waktu yang tersisa ini, kelembutan terkadang menyelip—dan unggul. Hanya dalam ritual agama, yang aturannya ditaati tiap kali, dan hanya dalam kalender iklan, Natal dapat direncanakan. ~Majalah Tempo Edisi Senin, 29 Desember 2008~

Pizarro Desember 22, 2008 DI abad ke-16 ada cerita tentang Tuhan yang aneh. Mungkin ia bukan yang disebut Yesus, yang digambarkan sebagai bayi dengan ibu yang lembut hati di tiap hari Natal. Tapi apa arti sebuah nama? Seperti nama Tuhan yang mana pun, pada akhirnya manusialah yang memilih bagaimana memanggil-Nya dan bagaimana Ia dihadirkan untuk memenuhi kehendak di dunia. Itulah riwayat Francisco Pizarro di Peru. Saya akan menceritakannya dengan sedikit imajinasi. Pada 1532, perwira Spanyol itu masuk ke wilayah Inca di Amerika Selatan itu dengan 102 orang pasukan dan 62 ekor kuda. Dengan kemauan dan keberanian yang luar biasa opsir Spanyol itu mengarungi Atlantik, dan tatkala mendarat ia temukan orang-orang kufur, najis, biadab, sesat. Sebuah alasan yang cukup bagi tiap laskar Tuhan, yang melangkah di atas jalan lurus yang ditunjukkan agama untuk menghabisi nyawa beberapa ribu orang. Syahdan, di lapangan di pusat kota Cajamarca, telah menunggu Atahualpa, raja bangsa Inca. Ia di sana bersama ribuan hamba sahaya dan pengawal. Ada yang mengatakan, mereka

sebenarnya siap berperang. Orang-orang Spanyol berpura-pura tidak. Pertemuan dibuka oleh Frater Vicente, rohaniwan yang datang bersama para conquistador itu. Ia mengulurkan sebuah salib di tangan kanan dan sebuah buku doa di tangan kiri. Ia memperkenalkan diri sebagai, sebagaimana Pizarro, utusan Raja Spanyol yang dia sebut sebagai ”sahabat Tuhan”. Ia mengimbau orang Inca agar meninggalkan dewa-dewa mereka. Dalam catatan yang ditemukan kemudian, disebutkanlah Atahualpa menjawab bahwa ia tak dapat mengubah imannya kepada Sang Surya yang abadi. Tapi bagi Vicente itu berarti sesat. Hanya Tuhannya yang benar dan kekal. Maka Atahualpa pun bertanya: ”Apa gerangan kewenangan Tuan atas agama Tuan?” ”Semuanya tertulis di kitab ini,” sahut sang rohaniwan. ”Berikanlah kitab itu,” kata Atahualpa, ”agar ia bicara padaku.” Tapi tentu saja buku itu tak bicara, meskipun dicoba didengarkan di dekat kuping. Dan tanpa beranjak dari takhta, dengan gerak yang angkuh, yang dipertuan Inca itu membuang kata-kata suci yang tercetak itu ke tanah. Vicente berteriak: ”Ia melawan Kristen!” Maka Pizarro dan seorang letnannya pun menjalankan apa yang sudah direncanakan. Mereka teriakkan perintah menyerang. Prajurit-prajurit Spanyol menembakkan bedil harquebusier dan dua kanon kecil mereka ke arah kerumunan orang kafir itu. Menurut catatan orang Spanyol, orang-orang Inca yang tak pernah menghadapi senjata itu terkejut, panik, menghambur hendak lari. Tapi pasukan berkuda Pizarro menyerbu. Ribuan manusia itu berdesak-desak, dan tembok plaza itu runtuh, dan 1.500 orang mati terinjak-injak. Atahualpa ditangkap. Beberapa bulan lamanya ia jadi sandera.

Ia akhirnya menawarkan emas untuk memperoleh kebebasannya, dan Pizarro setuju. Orang Spanyol ini menerima 6.000 kilogram emas 22 karat dan 12.000 kilo perak murni. Tapi Atahualpa tetap dikurung. Pada akhirnya ia dituduh mencoba, dari tempat ia ditahan, memerintahkan agar orang Spanyol dibunuhi. Tak ayal, ia dijatuhi hukuman mati. Tapi seraya mengingat Tuhan yang diimaninya, Pizarro memberi raja Inca itu dua pilihan: ia akan dibakar hidup-hidup bila menolak Yesus, atau ia akan hanya mati dicekik bila bersedia berpindah agama. Raja Inca yang kalah itu akhirnya tak ingin tetap jadi seorang kafir dan memilih cara pembunuhan yang kedua. Ia dicekik. Ia dikebumikan di pekuburan Kristen di Cajamarca. Pizarro berhasil. Tapi yang penting dalam tiap cerita penaklukan bukanlah keberhasilan. Seandainya pun Pizarro gagal, ia tetap menunjukkan bahwa Tuhan ada bersama para penakluk—sebab di sini Tuhan hadir sebagai ”Aku” yang menaklukkan. Siapa pun nama-Nya. ~Majalah Tempo Edisi 22 Desember 2008~

Pelacur Desember 17, 2008 Dengan tubuhnya yang gempal perempuan itu memecah batu, dengan tubuhnya yang tebal ia seorang pelacur. Namanya Nur Hidayah, 35 tahun, kelahiran Tulungagung, Jawa Timur. Ia seorang istri yang ditinggalkan suami (meskipun mereka belum bercerai), ia ibu dari lima anak yang praktis yatim. Tiap pagi, setelah Tegar, anaknya yang berumur enam tahun, berangkat ke sekolah dengan ojek, Nur datang ke tempat kerjanya. Di sana ia mengangkut batu, kemudian memecah-mecahnya, untuk dijual ke pemborong bangunan. Nova, empat tahun, anak

bungsunya, selalu dibawanya. Nur bekerja sekitar lima jam sampai tengah hari. Lalu ia pulang. Tegar akan sudah kembali ke rumah kontrakan mereka, dan Nur bisa bermain dengan kedua anak itu. Sampai pukul tiga sore. Matahari sudah mulai turun ketika Nur membawa kedua anaknya ke tempat penitipan milik Ibu In, yang ia bayar Rp 20 ribu sehari. Lalu ia berdandan: memasang lipstik tebal, berpupur, mengenakan baju terbaik. Lepas magrib, ia naik ojek dari kampung Mujang itu ke Gunung Bolo, 45 menit jaraknya dengan sepeda motor. Di kegelapan malam di tempat tinggi yang jadi kuburan Cina itu, Nur menjajakan seks. Ia menjual tubuhnya. Ia tak memilih pekerjaan itu. Sutrisno, suaminya, yang menikah dengan perempuan lain, tak memberinya nafkah. Ia bertemu dengan lelaki itu pada 1992 dalam bus ke Trenggalek. Mereka saling tertarik, dan Sutrisno menemukan lowongan buat Nur di Pabrik Rokok ”Semanggi” di Kediri. Pekerjaan mengelinting sigaret itu hanya dijalaninya dua bulan. Nur hamil. Ia harus menikah. Ia pun jadi istri seorang suami yang menghabiskan waktunya di meja judi dan botol ciu. Tak ada penghasilan. Tak ada pengharapan. Setelah anak yang kelima lahir, dalam keadaan putus asa, Nur ikut ajakan tetangganya, seorang pelacur di Gunung Bolo. Ia bergabung dengan sekitar 80 pekerja seks di tempat itu, dan jadi sahabat Mira, yang lebih muda setahun tapi sudah hampir separuh usianya menyewakan kelamin. Mereka menghabiskan malam mereka mencari konsumen di pekuburan Cina itu. Tarif: Rp 10 ribu sepersetubuhan. ”Pernah ada pengalaman yang membuat Mbak Nur senang, selama ini, ketika melayani tamu?” ”Ah, ya ndak ada,” jawabnya. Tapi suara itu tak getir. Nur, juga Mira, bukanlah keluh yang

pahit. Dalam film dokumenter yang dibuat Ucu Agustin—salah satu dari Pertaruhan, empat karya dokumenter tentang perempuan yang layak beredar luas di Indonesia kini—kedua pelacur itu berbicara tentang hidup mereka seperti seorang pedagang kecil (atau guru mengaji yang miskin) berbicara tentang kerja mereka sehari-hari. Bahkan dengan kalem mereka, sebagai undangan Kalyana Shira Foundation yang memproduksi Pertaruhan, duduk bersama peserta Jakarta International Film Festival di sebuah kafe di Grand Indonesia—seakan-akan mall megah itu bukan negeri ajaib dalam mimpi seorang Tulungagung. Ketika saya menemui mereka di tempat minum Goethe Haus pekan lalu, Mira duduk seperti di warung yang amat dikenalnya, dengan rokok yang terus menyala (tapi ia menolak minum bir), dan Nur memeluk Nova yang dibawanya ikut ke Jakarta. Haruskah Mira, Nur, merasa lain: nista? Produser, sutradara, dan aktivis perempuan yang menjamu mereka tak membuat para pelacur itu asing dan rikuh. Bahkan Tegar dan Nova diurus panitia seakan-akan kemenakan sendiri—dan dengan kagum saya melihat sebuah generasi Indonesia yang menolak sikap orang tua dan guru agama mereka. Mira dan Nur tak akan mereka kirim ke neraka, di mana pun neraka itu. Ucu Agustin, 32 tahun, sutradara dokumenter ini, telah berjalan jauh. Ia lulus dari IAIN pada tahun 2000 setelah enam tahun di pesantren Darunnajah di Jakarta, di mana murid perempuan bahkan dilarang membaca majalah Femina. Ia kini tahu, agama tak berdaya menghadapi Nur dan kaumnya. Di Tulungagung terdapat setidaknya 16 tempat pelacuran. Ada dua yang legal, yang tiap Ramadan harus tutup. Tapi sia-sia: di tiap bulan puasa pula para pelacur yang kehilangan kerja datang antara lain ke Gunung Bolo. Pekerja di tempat itu bertambah 50 persen. Dan bagaimana agama akan punya arti bila tak memandang dengan hormat ke wajah Nur: seorang ibu yang mengais dari Nasib untuk mengubah hidup anak-anaknya? ”Mereka harus sekolah, mereka ndak boleh mengulangi hidup emak mereka,” Nur berkata,

berkali-kali. Dengan memecah batu ia dapat Rp 400 ribu sebulan, dengan melacur ia rata-rata dapat Rp 30 ribu semalam. Dengan itu ia bisa mengirim Tegar ke sebuah TK Katolik sambil membantu hidup anak-anaknya yang lain yang ia titipkan di rumah seorang saudara. Nur tegak di atas kakinya sendiri. Ia contoh yang baik ”dialektika” yang disebut Walter Benjamin: seorang pelacur—seorang pemilik alat produksi dan sekaligus alat produksi itu sendiri, seorang penjaja (Verkäuferin) dan barang yang dijajakan (Ware) dalam satu tubuh. Ia buruh; ia bukan. Bagi saya ia ”Ibu Indonesia Tahun 2008”. Setidaknya ia kisah tentang harapan dalam hidup yang remang-remang. Memang tuan dan nyonya yang bermoral mengutuknya. Memang polisi merazianya dan para preman memungut paksa uang dari jerih payah di Gunung Bolo itu. Tapi Nur tahu bagaimana tabah. Kebaikan hati bukan mustahil. Tegar diberi keringanan membayar uang sekolah di TK Katolik itu. Tiap bulan ke Gunung Bolo, seperti ke belasan tempat pelacuran di Tulungagung itu, datang tim dari CIMED, organisasi lokal yang dengan cuma-cuma memeriksa kesehatan mereka. Dan ke rumah penitipan Ibu In secara teratur datang Mbak Sri untuk membantu Tegar berbahasa Inggris dan mengerti bilangan. Terkadang Nur berbicara tentang Tuhan (ia belum melupakanNya). Ia menyebut-Nya ”Yang di Atas”. Mungkin itu untuk menunjuk sesuatu yang jauh—tapi justru tak merisaukannya, karena manusia, yang di bawah, tetap berharga: bernilai dalam kerelaannya. ~Majalah Tempo Edisi Senin, 15 Desember 2008~

Fortinbras Desember 8, 2008 DI tiap tikungan sejarah, orang akan menemukan seorang

Fortinbras. Pangeran Norwegia yang masih muda ini hanya punya peran kecil dalam Hamlet Shakespeare, tapi dalam dirinyalah tindakan adalah keluhuran tapi juga absurditas. Pada suatu hari, di sebuah padang rumput di luar kota, Hamlet menyaksikan pangeran itu menggelar pasukan: 20 ribu prajurit yang siap ”masuk ke kubur seakan-akan hendak berangkat tidur”. Dan semua itu hanya untuk merebut beberapa hasta tanah yang tak berarti, petak yang begitu kecil hingga tak cukup untuk jadi makam tempat ”mereka yang terbunuh [akan] disembunyikan”. Tapi agaknya itulah yang membedakan manusia dari hewan: bahkan demi ”sekerat cangkang telur” pun orang macam Fortinbras siap menantang nasib dan ajal, menyepelekan apa yang tak dapat diramalkan, untuk mempertaruhkan martabat diri. Tentu, ada yang gila, dahsyat, dan merisaukan dalam tiap kepahlawanan. Tapi kegilaan dan kedahsyatan Fortinbras menggugah Hamlet. Akhirnya pangeran perenung dari Istana Elsinore ini menyimpulkan betapa salahnya orang yang larut dalam pikiran—”yang sebagian membuat kita arif, dan tiga bagian membuat kita pengecut”. Sejak hari itu, Hamlet menentukan sikap: ia akan bikin pikirannya ”berlumur darah”—atau sama sekali tak berharga. Demikianlah ”yang fana dan tak pasti” pun bersiap, nasib dan kemungkinan mati dihadapi. Orang tak perlu lagi ”memikirkan terlalu persis apa yang terjadi”. Sebab kita tahu sebagaimana Hamlet tahu: kepastian tentang apa yang benar dan tak benar, adil dan tak adil, patut atau tak patut, adalah garis-garis yang tak dapat sepenuhnya tajam dan dapat dikekalkan. Momen keputusan, seperti kata Derrida, selalu merupakan momen yang mendesak, momen yang digegas. ”Saat keputusan adalah sebuah kegilaan” (ia mengutip Kierkegaard). Di saat itu yang terjadi adalah interupsi atas pertimbangan pengetahuan, politis, hukum, dan ethis—tapi itulah kebebasan. Tapi kita tahu, sejarah juga sebuah sejarah malapetaka. Orang

takut akan ”kegilaan”, waswas akan pikiran ”berlumur darah” dan sikap yang hanya memuliakan tindakan. Tindakan tak selamanya dihargai sebagai sesuatu yang murni, sepi dari pamrih dan luhur dalam niat. Dalam salah satu kuliahnya tentang filsafat politik Immanuel Kant, Hannah Arendt menyebut sebuah parabel Pythagoras tentang festival, yang membedakan sang penonton dari sang pelaku dalam sebuah pertunjukan pertandingan. Sang pelaku pertandingan tak akan bisa melihat dari luar gelanggang dan kesibukan dirinya; ia sibuk dengan niatnya memperoleh kemasyhuran. Sebaliknya sang penonton: ia melihat semuanya, dan dapat mengambil jarak dari laku yang terjadi di arena itu. Dialah tamsil sang filosof, orang yang menjalani hidup dengan mengamati dan merenungkan, bios theôrêtikos. Arendt juga mengatakan bahwa dalam risalah Plato tentang ”negarawan”, seorang penguasa yang ideal dikatakan tak bertindak sama sekali. Ia berada di atas perbuatan. Ia ibarat kepala yang sadar bahwa ada kaki-tangan yang bekerja, ada bagian yang harus tetap tak tercemar, dan ada bagian yang bila perlu menempuh air yang bacin dan lumpur yang bernajis. Tapi bukankah itu menyebabkan Hamlet tak putus dirundung bimbang? Pangeran Denmark ini, mahasiswa yang perenung ini, harus membalas pembunuhan ayahnya: sebuah kewajiban yang mengerikan, ketika Denmark berada dalam keadaan seperti ”sebuah penjara”. Shakespeare menggambarkan anak muda itu berdiri sendiri di salah satu sudut Istana Elsinore, bergumam dalam solilokui yang paling dikenang dari karya besar ini—gumam bimbang seseorang yang tiba-tiba mengetahui hal-hal yang dirahasiakan, tapi juga tahu apa yang mungkin terjadi. Hamlet berdiri di antara nasib dan keputusan, di antara amarah dan kematian, Dan rona asli yang mewarnai tekad jadi kuyu dan lesi, tersaput pikiran pucat

Dan ikhtiar yang bergelora di saat utama Jadi surut, berpaling jalan Tak lagi bernama tindakan— Sampai dengan babak penghabisan, Hamlet tetap tidak bertindak. Tekadnya masih saja ”tersaput pikiran pucat”. Satu hal besar yang berhasil yang dilakukannya justru sebagai penonton—atau membuat tontonan sebagai substitusi dari tindakan. Di babak III karya Shakespeare ini tampak ia mengatur sebuah pertunjukan sandiwara yang menyindir Raja, orang yang kini bertakhta dan mengawini Sri Ratu dan menggantikan ayah Hamlet yang dua bulan sebelumnya ia bunuh. Tapi salah satu kalimatnya di malam itu, seperti dikatakannya kepada sahabatnya, Horatio, adalah ”Aku harus seperti tak berbuat apa-apa”. Saya tak tahu pasti, adakah jalan ini yang dianjurkan Hamlet sebenarnya. Ia telah menyaksikan Fortinbras. Ia telah merenungkan, dalam hidup sehari-hari, banyak laku berlangsung tanpa kita mengetahui sepenuhnya apa yang akan terjadi, apa yang sebelumnya ada, dan sejauh mana yang kita lakukan benar. Agama, ideologi, dan ilmu-ilmu acap kali menganggap itu sebagai cela. Tapi benarkah itu sebuah cela, bukannya malah sebuah kebebasan? Mungkin itu sebabnya di tiap tikungan sejarah, kita akan digerakkan seorang Fortinbras. Pada akhirnya, di satu ujung jalan, kita akan tahu, tiap proyek manusia selalu serba-mungkin, labil, dan rentan. Tiap pemecahan masalah kehidupan senantiasa bersifat coba-coba; tak ada yang untuk selama-lamanya. Kita mungkin hanya selamat kalau kita sadar bahwa yang kekal adalah ilusi. ~Majalah Tempo Edisi Senin, 08 Desember 2008~

Mumbai Desember 1, 2008

“….yes, it was my Bombay, but also not-mine” Saleem kembali ke kota kelahirannya, Bombay: tempat tinggal nostalgianya yang paling dalam. Tapi di awal tahun 1970-an itu, kota itu telah berubah. Tokoh utama novel Salman Rushdie Midnight’s Children ini tak menemukan kembali toko penjual tumpukan komik Superman. Dan nun di bukit itu tak ada lagi rumah-rumah megah yang dirias bunga bougenville, menatap ke laut. Tak ada lagi lapangan sirkus di masa kanak. Kini yang tampak adalah “monster-monster yang mengangkang menjulang ke langit, memanggul nama asing yang ganjil: OBEROI-SHERATON…” Saleem, yang dilahirkan di tengah malam 15 Agustus 1947, persis di hari India lahir, akhirnya cuma punya masa lalu. Ia memasuki kota itu seraya memeluk erat Aadam, si bocah yang jadi anaknya, dan berseru gembira: “Back-to-Bom!” Tapi ia tak bisa kembali. Sebab itu ia harus musnah. Durga telah berkata kepadanya: “…ketika orang kehilangan minat pada hal-ihwal yang baru, ia membuka pintu bagi Malaikat Hitam”. Kini Bombay disebut Mumbai – hampir sepenuhnya sebuah hal baru, dibentuk minat baru. Orang jadi penting bila berlalu lalang di ruang pasar modal yang terus membubung, atau di koridor industri film yang menjangkau dunia. Dengan glamor dan kalkulator mereka membuat hotel megah seperti Oberoi dan Taj Mahal bukan ebagai monster yang asing, melainkan sebuah kegairahan yang tak dimengerti Saleem. Tapi berbeda dengan Saleem, para penghuni Mumbai di lapisan atas itu tak hendak sepenuhnya berpijak ke kota yang oleh orang Portugis disebut “Teluk yang Baik” (Bom Bahia) itu. Dalam sebuah buku yang memukau tentang pesona dan kebrutalan Bombay, Maximum City, Suketu Mehta menggambarkan sebuah kalangan atas, the society set, yang sebenarnya benci hidup di sana. Mereka tinggal di Mumbai karena tak bisa hidup di tempat lain di India. Bila mereka pindah, mereka pindah ke New York atau

London. Atau mereka bawa New York dan London ke ibukota negara bagian Maharashtra itu. “Jika kita berjalan lepas dari jalanan Bombay yang jorok, kita akan berada di Soho”, tulis Mehta. “Seluruh usaha dicurahkan untuk membuatnya ‘luar-negeri’: para pelayannya, makanannya, dekornya”. Tapi mungkin tak hanya kalangan atas yang memimpikan negeri lain. Dengan akses yang relatif mudah ke kancah diaspora orang-orang India di seluruh dunia, terutama di Amerika dan Eropa, sebenarnya tak jelas betul mana yang “asing” dan bukan, mana yang “luar” dan “dalam”. Saleem dalam Midnight’s Children — yang riwayatnya oleh Salman Rusdhie diparalelkan dengan bangsa dan negara “India” – sebenarnya berdarah Inggris; ia anak haram William Methwold, yang ditukar jadi anak Ahmed dan Amina Sinai. Sampai akhir hayatnya, Saleem adalah sebuah keragaman dalam satu sosok, keanekaan yang batasnya tak jelas. Agaknya menyadari ini, kutipan awal dalam Maximum City diambil dari ucapan Kabir: “Aku sendirian, tapi beberapa”. Bahkan dalam kesendirian, apakah makna batas? Di mana ia ditarik? Hari-hari ketika Mumbai kena gempur sejumlah teroris yang tak dikenal, para pemimpin politik dan komentator India berbicara tentang “kekuatan luar” dan “perbatasan yang bolong-bolong” yang menyebabkan serangan sehebat itu terjadi. Tapi jika Mumbai, seperti Saleem – ya, seperti India seluruhnya – tak hanya satu, melainkan kebhinekaan, maka yang “asing” dan yang “luar” adalah identifikasi yang mudah runyam. Maximum City mengutip Victor Hugo: semua kota besar dirundung skizofrenia. Mumbai dirundung gejala kepribadian ganda yang bisa parah. Mehta berhasil menghadirkan kepada kita dunia gelap yang tersembunyi di kota terkaya di India ini: ada Monalisa, penari kabaret yang memotong pergelangan tangannya sendiri, ada Vijay Lal, perwira polisi yang jujur tapi tak enggan menyiksa tahanannya. Ada Sunil, Satish, dan Mohsin, yang bisa bercerita

dengan acuh tak acuh bagaimana membunuh orang. Mehta tak menjerit menghakimi mereka, meskipun kita bisa merasakan horor yang merayap ke dalam laporannya. Dalam cerita Sunil, misalnya. Ia anggota Shiv Sena, organisasi Hindu yang tumbuh dengan dendam dan kebencian kepada minoritas Muslim. Pada Januari 1993, setelah sebuah bentrokan antara Hindu-Muslim, Sunil dan teman-temannya bergerak membabat orang Muslim, menjarah milik mereka, membakar tubuh mereka hidup-hidup. Dengan rinci ia gambarkan bagaimana seseorang mati terbakar. “Minyak menetes dari tubuhnya. Matanya jadi besar, besar.. dan jika kau sentuh tangannya, putihnya kelihatan, putih, putih…terutama di hidung”. Horor, dia sendiri mengakui itu. Tapi ia dengan tenang membasmi habis tubuh penjual roti lengganannya. “Kejahatannya terbesar adalah ia Muslim”, seperti kata seorang anggota Sena yang lain. Hal yang sama bisa dikatakan oleh seorang Muslim yang memenggal leher seorang Hindu: “Kejahatannya terbesar adalah ia Hindu” – dan sebab itu identitas di Mumbai, sebagaimana dikisahkan Mehta, harus bisa dikaburkan: kartu nama dicetak dalam dua versi, Muslim dan Hindu. Ini cara untuk selamat, ini mungkin bukan heroisme, tapi jangan-jangan ini menunjukkan dasar persoalan: bagaimana kita mendefinisikan diri dan orang lain? Dalam novel Salman Rushdie, Saleem menutup kisahnya dengan sebuah kalimat amat panjang. Tapi kata-katanya bukan sebuah ucapan selamat tinggal kepada India yang beranekaragam. Justru sebaliknya: “Akulah bom di Bombay, simaklah aku meledak, tulang pecahretak tertekan desakan tak enak kelimunan manusia, kantung berisi belulang yang jatuh, ke bawah ke bawah ke bawah…

….aku telah jadi yang-begitu-banyak-terlampau-banyak…” “Terlampau banyak”: perbedaan bukanlah sesuatu yang gampang berhenti. Siapa yang memaksakan sesuatu yang tunggal, akan batal. ~Majalah Tempo Edisi 41/XXXVII 01 Desember 2008~

Di Zaman yang Meleset November 24, 2008 KATA sebuah kisah, John Maynard Keynes pernah membuang sebakul handuk kamar mandi ke lantai di tengah sebuah pembicaraan yang serius. Orang-orang terkejut. Tapi begitulah agaknya ekonom termasyhur itu menjelaskan pesannya: Jangan takut berbuat drastis, untuk menciptakan keadaan di mana bertambah kebutuhan akan kerja. Dengan itu orang akan dapat nafkah dan perekonomian akan bisa bergerak. Waktu itu Keynes sedang berceramah di Washington DC pada 1930-an. Krisis ekonomi yang bermula di Amerika Serikat pada 1929 telah menyebar ke seluruh dunia. ”Depresi Besar”—dengan suasana malaise—berkecamuk di mana-mana. Di Indonesia orang menyebutnya ”zaman meleset”. Kata ”meleset” sebenarnya tak salah. Prediksi yang dibuat, juga oleh para pakar ekonomi, terbentur dengan kenyataan bahwa dasarnya sebenarnya guyah. ”Kenyataan yang sangat menonjol,” tulis Keynes, ”adalah sangat guyah-lemahnya basis pengetahuan yang mendasari perkiraan yang harus dibuat tentang hasil yang prospektif.” Kita menyamarkan ketidakpastian dari diri kita sendiri, dengan berasumsi bahwa masa depan akan seperti masa lalu. Ilmu ekonomi, kata pengarang The General Theory of Employment, Interest, and Money yang terbit pada 1936 itu, hanyalah ”teknik yang cantik dan sopan” yang mencoba berurusan dengan masa kini, dengan menarik kesimpulan dari fakta bahwa kita sebetulnya tahu sedikit sekali tentang kelak.

Yang menarik di situ adalah pengakuan: manusia—juga para pakar—tak tahu banyak tentang perjalanan hidupnya sendiri. Kita ingat ucapan Keynes yang terkenal bahwa yang pasti tentang kelak adalah bahwa kita semua akan mati. Hidup dan sejarah, menurut Keynes, terdiri dari proses jangka pendek, short runs. Ada seorang mantan redaktur The Times yang pernah menulis bahwa kesukaan Keynes akan jangka pendek hanya akibat ketakmampuannya menghargai nilai yang berlanjut beberapa generasi. Dan ini, kata penulis itu, disebabkan sifat seksualitasnya: Keynes seorang gay. Memang benar, sejak muda, terutama ketika ia masih bersekolah di Eton, Keynes hanya berpacaran dengan sesama pria, meskipun ia kemudian menikah dengan Lydia Lopokova, balerina asal Rusia. Tapi tak jelas benarkah ada hubungan antara tendensi seksual itu dan teori ekonominya—yang sebenarnya juga sebuah teori tentang manusia. Manusia adalah makhluk yang bisa meleset dalam memperkirakan, tapi dalam teori Keynes, manusia bukan peran yang pasif. Sejak Adam Smith memperkenalkan pengertian tentang ”Tangan yang Tak Tampak”, yang mengatur permintaan dan penawaran, para ekonom cenderung memberikan peran yang begitu dominan kepada Sang Pasar. Tapi Keynes ragu. Sejak 1907, sejak ia bekerja untuk urusan koloni Inggris terbesar, India, Keynes tak begitu percaya bahwa dengan mekanisme yang tak terlihat, pasar akan bisa memecahkan problemnya sendiri. Pasar, kata Keynes, ”akan tergantung oleh gelombang perasaan optimistis atau pesimistis, yang tak memakai nalar tapi sah juga ketika tak ada dasar yang solid untuk sebuah perhitungan yang masuk akal”. Tapi kemampuan untuk bertindak ”tak memakai nalar” adalah satu sisi dari manusia. Sisi lain adalah kapasitasnya untuk mengendalikan pasar. Abad ke-20 bagi Keynes adalah ”era stabilisasi” yang mencoba mengganti ”anarki perekonomian”

dengan pengarahan dan kontrol atas kekuatan-kekuatan ekonomi, agar tercapai keadilan dan stabilitas sosial. Keynes percaya: kekuatan politik, khususnya Negara, bisa berperan besar ke arah sebuah hasil yang positif, dan perencanaan ekonomi sedikit banyak diperlukan. Adakah ia seorang ”etatis”? Saya pernah membaca seorang penulis yang menunjukkan bagaimana Keynes, dalam kata pengantar untuk terjemahan Jerman atas bukunya, The General Theory, menyatakan bahwa teorinya ”lebih mudah disesuaikan kepada kondisi sebuah negara totaliter”, ketimbang ke sebuah Negara yang pasarnya dibiarkan bebas, laissez faire. Ini karena, kata Keynes, dalam negara totaliter ”kepemimpinan nasional lebih mengemuka”. Keynes memang menyaksikan bagaimana Jerman, di bawah Nazi, bisa mengelakkan empasan Depresi Besar. Tapi tentu berlebihan untuk menyimpulkan Keynes percaya akan sebuah sistem yang mengklaim punya jalan keluar yang benar selamalamanya. Ketika para intelektual Inggris yang ”kekiri-kirian” pada mengagumi Uni Soviet dan Perencanaan Lima Tahun ala Stalin, Keynes tak ikut arus. Suatu hari ia berkunjung ke Rusia dan bertemu dengan sanak keluarga istrinya di St. Petersburg. Mereka melarat dan menderita. Keynes melihat bagaimana ajaran Stalin gagal. Ajaran ini tak bisa dikritik, meskipun hanya ”sebuah buku teks yang sudah kedaluwarsa” tentang ekonomi. Manusia adalah kecerdasan yang bisa mengatasi keterbatasan—seraya menyadari keterbatasan kecerdasan itu sendiri. Manusia bisa merancang dan mengendalikan pasar tapi juga ia bisa bikin rusak—dan kemudian bisa mengenal dan mengoreksi kesalahan dalam pengendalian itu. Ada kepercayaan diri yang luar biasa pada Keynes. Dengan penampilan yang rapi dan dengan perilaku yang khas warga elite masyarakat Inggris—lebih karena kepiawaian

pikirannya ketimbang karena asal-usul sosialnya—Keynes lahir di Cambridge pada 1883 di keluarga akademisi yang bukan bagian pucuk kehidupan intelektual di sana. Tapi itu sudah cukup membuat John Maynard seorang pemuda cemerlang yang tertarik akan rangsangan hidup yang luas. Ia tak hanya seorang ekonom. Ia kolektor seni rupa kontemporer, pencinta balet, penggerak kehidupan kesenian; ia juga pemain pasar modal dan valas yang, meskipun pernah gagal, bisa makmur dan dengan itu membantu rekan-rekannya yang satu lingkungan. Di kebun halamannya di Tilton, di wilayah Sussex yang tak jauh dari London, ia adalah tuan rumah untuk saat-saat minum teh seraya berdiskusi dengan teman-temannya yang terdekat, semuanya anggota kalangan cendekiawan Inggris yang terkenal. Di sana secara teratur datang Leonard dan Virginia Woolf, Mary MacCarthy, dan E.M. Foster. Dalam ”Bloomsbury Group” ini, ekonomi, sastra, dan estetika dibicarakan dengan cemerlang; novel dan teori-teori terkenal ditulis. Saya tak tahu apakah dari kalangan ini semacam aristokrasi jiwa tumbuh pada Keynes. Ada sebuah kritik yang datang dari Friedrich von Hayek, guru besar asal Austria yang mengajar di London School of Economics. Hayek menyaksikan bagaimana Negara yang gagal mengatur dananya akan rudin terlanda inflasi. Kekayaan akan menciut habis. Tapi juga Hayek punya kritik yang lebih mendasar: pandangan Keynes yang meningkatkan jangkauan tangan Negara akan mematikan kebebasan, dan akan membuat borjuasi terhambat. Tapi bagi Keynes, jangkauan yang seperti itu tak sepenuhnya berbahaya, kalau dilakukan oleh satu lapisan elite yang progresif dan cerdas, seperti para lulusan Oxford, Cambridge, atau Harvard. Aristokrasi ini diharapkan akan bisa merencanakan perekonomian ke arah terbangunnya ”Negara kesejahteraan”. Setidaknya, dengan kepemimpinan yang pintar dan bisa dipercaya, Negara sanggup memberikan stimulus yang kuat bukan saja untuk keadilan, tapi juga untuk pertumbuhan. Contoh handuk yang dilemparkan Keynes

ke lantai itu bisa terus diingat: perlu keberanian para pengambil keputusan politik buat melakukan sesuatu di luar formula kapitalisme. Tapi tentu saja bahkan Keynes tak selamanya benar. Pada 1980-an, formula kapitalisme kembali menguat. Para pemimpin tak mau lagi mencoba menegakkan ”Negara kesejahteraan”. Niat menyebarkan kesejahteraan ke seluruh masyarakat telah melahirkan sebuah perekonomian yang terancam inflasi tapi sementara itu hampir mandek. Untuk kesejahteraan yang menyeluruh dan merata di masyarakat, pajak harus ditarik agar Negara punya uang untuk bekerja. Tapi dengan demikian orang enggan meraih hasil sendiri. Negara, sebagai lembaga publik, merasa wajib mengatur perilaku ekonomi, termasuk modal. Tapi dengan demikian inisiatif melemah dan dinamisme pertumbuhan terganggu. Pada saat itulah Reagan jadi Presiden Amerika Serikat dan Thatcher jadi Perdana Menteri Inggris. Kedua pemimpin ini memulai ”revolusi”: pajak diturunkan, regulasi diminimalkan, dan intervensi Negara praktis diharamkan. Tapi bila Keynes bisa dibantah oleh dua dasawarsa kemakmuran yang tampak di bawah perekonomian ala Reagan dan Thatcher, Keynes juga bisa dibenarkan di sisi lain: bukankah ia pernah mengatakan hidup dan sejarah terdiri dari proses jangkapendek? Ketika pemecahan soal di sebuah saat dikukuhkan jadi obat mujarab sepanjang masa, manusia lupa akan keterbatasan kecerdasannya sendiri. Itu juga yang ditunjukkan Francis Fukuyama ketika ia menyebutkan di mana salahnya ”Revolusi Reagan”. Sebagaimana semua gerakan perubahan, tulis Fukuyama, ”Revolusi Reagan sesat jalan karena… ia jadi sebuah ideologi yang tak dapat digugat, bukan sebuah jawaban pragmatis terhadap ekses-ekses Negara kesejahteraan.” Kini tampaknya sejarah jadi jera. Krisis yang sekarang melanda

dunia mengingatkan orang pada Keynes lagi dan bahwa ada keyakinan yang aus—terutama di tengah penderitaan manusia. Tahun 2008 ini zaman ”meleset” lagi. Usaha sulit dan para penganggur kian bertambah. Kita membaca angka-angka itu. Kita cemas. Tapi mungkin kita masih memerlukan pengingat lain tentang bengisnya keadaan—seperti Amerika merekam pahitnya hidup dilanda Depresi Besar dalam novel termasyhur John Steinbeck, The Grapes of Wrath, yang terbit pada 1936. Dalam cerita rekaan ini, sosok Tom Joad dan sanak saudaranya telah jadi orang-orang yang terusir, kehilangan tanah, kehilangan kerja, bermigrasi ke wilayah jauh. Semuanya membangun murung yang tak terhindarkan, ditingkah topan debu yang merajalela bersama putus asa. Tapi tak semuanya patah. Dalam kesetiakawanan, terbit harapan. Menjelang akhir novel, Tom Joad menghangatkan hati kita karena tekadnya menyertai mereka yang berjuang dalam kekurangan: ”Kapan saja orang berantem supaya yang lapar bisa makan, aku akan di sana….” Mungkin ini awal semacam sosialisme—yang tak harus datang dari atas. ~Majalah Tempo Edisi Senin, 24 November 2008~

Obama, 2008 November 10, 2008 Weep no more, my lady, Oh weep no more today Kau kembali ke pojok yang agak diterangi matahari di kerimbunan hutan itu. Kau kembali dengan mesin waktu yang tak sempurna, tapi masih kau dengar kor itu, My Old Kentucky Home, lagu murung yang bertahun-tahun terdengar sampai jauh lepas dari Sungai Mississippi, sejak Stephen Foster menulisnya. Itu tahun

1853. Budak belian hitam yang mencoba jeda dari terik dan jerih ladang tembakau. Sebuah selingan sederhana dari rutin panjang yang tak pernah dinamai “Penghisapan”. Sebuah sudut hutan yang jadi majelis tersembunyi. Sebuah ruang buat orang-orang yang dirantai dan dinista untuk berkumpul dan bertanya: apa sebenarnya semua ini? Kau tak tahu kapan kau datang. Tapi dengan mesin waktu yang tak sempurna kau lihat seorang perempuan tua berbicara di depan majelis itu, di depan jemaat yang takut menyebut nama Tuhan. Ia mengingatkan kamu kepada Baby Suggs dalam Beloved Toni Morrison. Kau dengar ia berbicara tentang sesuatu yang menakjubkan tapi diabaikan, sesuatu yang biasa tapi tak terdugaduga: daging, jangat, tulang, sendi yang sanggup menanggung pukulan dan dera perbudakan, kelenjar yang menitikkan air mata, jantung yang sesak sebelum tangis, tubuh yang menyembuhkan lukanya sendiri, badan yang dari kepedihan bisa menyanyi, menari, menyanyi. Saudara-saudaraku, tubuh kita bisa mengejutkan kita. Kadangkadang dengan kegagahan. Kadang-kadang dengan keindahan. Semuanya terbatas, tapi dengan itu kita menggapai yang tak terhingga. Semuanya fana, tapi tiap kali memberi arti yang kekal. Maka jangan menangis lagi. Kau lihat orang-orang terpekur. Kau mungkin tak tahu kenapa: mereka ingin percaya. Tapi mereka juga mendengar, konon di atas tubuh bertahta Takdir. Yang tetap. Yang tegar. Yang lurus dan terang-benderang. Yang tangan-tangannya menebarkan daya tersendiri, merasuki ke otak, setitik demi setitik. Otak itulah yang kemudian memproduksi alasan. Telah lahir penjelasan yang gamblang, bahwa ada nasib yang memasang pigmen dalam kulit. Pigmen kita membuat hakikat kita. Ada orang hitam, ada kulit “negro”, ada juga yang “putih”. Warna-warna itulah yang mengarahkan sejarah. Identitas adalah nujum. Ada esensi sebelum eksistensi.

Tapi benarkah Takdir merancang semuanya? Di majelis hutan Mississipi itu, suara perempuan tua itu merendah: “Saudarasaudaraku, kegelapan menyertai kita.” “Kegelapan di balik pori-pori, di ceruk sel darah merah dan getah bening. Kegelapan dalam suara serak, dalam lagu Old Black Joe yang memberat menjelang ajal. Kegelapan Maut, kegelapan kata-kata Tuhan yang tak selamanya kita mengerti, kegelapan yang mengelak dari Takdir yang makin lama makin putih. “Kegelapan yang membiarkan kita tak punya nama, yang menampik nama bila nama adalah daftar milik yang jelas dari tuantuan kita. Kegelapan hutan ini yang teduh. Kegelapan yang melindungi kita dari Kebengisan.” Blood on the leaves And blood at the root Black bodies swinging In the southern breeze Strange fruits hanging From the poplar trees Kebengisan itu tak pernah kau lihat. Mesin-waktumu yang tak sempurna hanya menemukan potret tubuh George Hughes yang digantung di dahan pohon. Tak hanya digantung. Ia dibakar. Ini Sherman, Texas, 1930. Kau bisa baca di perpustakaan kota itu: “negro” buruh tani ini ditangkap dengan tuduhan membunuh majikannya dan memperkosa istri si tuan. Di kampung kecil yang jarang dihuni itu, bisik-bisik beredar: Hughes adalah “hewan yang tahu betul apa yang dimauinya”. Para petani kulit-putih yang tinggal di dusun itu telah lama bringas, dan kini punya alasan buat lebih bringas. Mereka yang selamanya takut, curiga, dan benci kepada makhluk dengan pigmen berbeda itu kini punya dalih. Mereka serbu gedung

pengadilan tempat Hughes ditahan. Mereka bakar. Hughes mereka seret ke luar dan mereka lemparkan ke atas truk. Polisi tak berbuat apa-apa – malah membantu mengatur lalulintas. Di sebuah lapangan dekat tempat tinggal orang hitam, Hughes diikat dan dikerek ke atas sebuah pohon. Api besar dinyalakan. Dalam sebuah potret kau lihat: Hughes yang tinggal arang, terpentang, bergayut, pada pokok yang rendah. Orosco mengabadikan adegan itu dalam sebuah litograf dari tahun 1934, Negros Colgados. Lihat, tak cuma satu “negro”. Tubuh-tubuh yang dibunuh itu begelantungan seperti puluhan buah yang aneh. Billie Holiday mengungkapkannya dalam Strange Fruits: suaranya setengah serak, dengan pilu yang seakan-akan telah jadi napas: Darah pada daun/ darah pada akar/ Jasad hitam yang terayun-ayun/di angin selatan/ buah ganjil yang tergantung/ di pohon poplar. Ada sesuatu yang lain pada lagu itu, yang mula-mula tampak pada litograf Orosco: pohon dan dahan itu – tak dihiasi daun-daun — seakan-akan menegaskan kekuatan yang lurus, lugas, tegak. Juga ia tempat pameran yang meyakinkan. Tak sengaja Orosco mengingatkan kita bahwa sebuah negeri, sebuah tata, adalah bangunan yang kuat karena ia memamerkan sesuatu yang lurus dan sekaligus mengancam. Dengan kata lain: kebengisan. Kebengisan itu sering ditutupi dengan kata-kata: “utuh”, “harmonis”, “mufakat”, seakan-akan sesuatu yang mulia telah diraih. Seakan-akan tak ada pergulatan politik di baliknya. Seakanakan yang ada hanya arsitektur Tuhan. Tapi nyanyian Billie Holiday mengungkapkan kontradiksi-kontradiksi yang disembunyikan: ia berbisik tentang daerah pedalaman Selatan Amerika yang punya sejarah yang gagah, the gallant South, tapi ia segera menyebut wajah kesakitan orang-orang hitam yang tercekik. Ia menyebut “harum segar manis kembang magnolia”, tapi di baris berikutnya “bau jangat terbakar yang terhidu tiba-tiba”. Tiap tata dibentuk dengan taksonomi: “putih”, “hitam”, “borjuis”,

“proletar”, “asli”, “tak-asli”, “mayoritas”, “minoritas”. Tiap taksonomi dimulai dengan kepalsuan dan pemaksaan. Tapi itu berarti ini tak ada tangan Takdir yang merancang. Tak ada hakikat sebelum apa yang diperbuat. Tak ada esensi sebelum eksistensi. Pembagian, apalagi pemisahan rasial, sepenuhnya hasil sebuah proses politik. Si “hitam” bukan jadi “hitam” karena ia diciptakan “hitam”, melainkan karena ia distempel dan disensus dan dikelompokkan ke dalam kategori “hitam”. Sejarah “hitam” dan “putih” adalah riwayat pergelutan, terkadang dengan pertempuran, terkadang dengan teriak mengajak maju, serempak, berbaris, 1000 pekik dari pita suara yang panas. Yes, we can Yes, we can Kau dengar suara itu di kerumunan manusia di Grant Park, Chicago, 4 November 2008 malam. Ya, kita dapat. Ya, kita sanggup. Kita – kata orang-orang itu — sanggup membuat seorang Amerika dengan nama yang aneh dipilih jadi presiden dengan dukungan yang meyakinkan. Kita sanggup mengubah warisan sejarah yang telah memicu Perang Saudara di abad ke-19. Kita sanggup mengguncang pohon tempat kebengisan dipajang seakan-akan sebuah struktur yang cantik. Tapi ini bukan hanya cerita kemenangan seorang yang bisa melintasi taksonomi “hitam-putih”. Ini terutama cerita kemenangan dari pengertian lain tentang “politik”. Sebab yang datang bersama Obama bukanlah politik sebagai kiat untuk mendapatkan yangmungkin. Di tahun 2008 ini, di Amerika Serikat kita justru menyaksikan “politik” sebagai hasrat, setengah nekad, untuk menggayuh yang-tak-mungkin. Yang-tak-mungkin memang akan selamanya tak-mungkin. Tapi yang-mustahil itu jadi berarti karena ia memanggil terus menerus, dan ia membuat kita merasakan sesuatu yang tak terhingga – yang agaknya menyebabkan jutaan orang bersedia antri berjam-jam untuk memilih dan mengubah sejarah: mereka menyebutnya

Keadilan, atau Kemerdekaan, atau nama lain yang menggugah hati. Seperti cinta yang terbata-bata tapi tulus. Seperti sajak yang hanya satu bait tapi menggetarkan. Seperti tubuh-tubuh yang kau lihat menyanyi di hutan itu. Weep no more, my lady, Oh, weep no more today. ~Majalah Tempo Edisi 10 Nopember 2008~

Connie November 3, 2008 Tubuh bisa membuat getar, tapi juga gentar, seperti lautan. Saya ingat satu pasase dalam Lady Chatterley’s Lover: perempuan itu mengalami ajaibnya gairah dalam persetubuhan. Dalam pagutan berahi kekasihnya, ia merasa diri ”laut”. Ia deru dan debur, samudra dengan gelombang gemuruh yang tak kunjung putus. ”Ah, jauh di bawah, palung-palung terkuak, bergulung, terbelah….” Apa yang masuk menyusup ke dalam dirinya ia rasakan kian lama kian dalam. Bertambah berat empasan, bertambah jauh pula ia jadi segara yang berguncang sampai di sebuah pantai. Baru di sini deru reda, laut lenyap. ”Ia hilang, ia tak ada, dan ia dilahirkan: seorang perempuan.” Saya tak sanggup menerjemahkan seluruh pasase ini. Di sini D.H. Lawrence sungguh piawai: ia uraikan suasana erotik dalam novelnya dalam kalimat dengan ritme yang naik-turun, membawa kita masuk ke paduan imaji-imaji yang, seperti gerak laut, tak putus-putus, berulang-ulang…. Agaknya Lawrence, seperti kita semua, harus mengerahkan seluruh kemampuan bahasa untuk menggambarkan sesuatu yang tak mungkin tergambarkan: pengalaman tubuh ketika kata belum siap, gejolak zat-zat badan ketika bahasa belum menemukan

pikiran. Seorang sastrawan memang selalu dirundung oleh bahasa yang ingin ekspresif tapi juga ingin komunikatif—dua dorongan yang sebenarnya bertolak belakang. Yang pertama dituntut untuk mengungkapkan langsung apa yang berkecamuk di lubuk kesadaran, yang tak selamanya jelas dan urut. Yang kedua diminta agar berarti: sesuai dengan kesepakatan sosial dan membawa hasil. Lawrence mampu menggabung kedua dorongan itu di bagian yang dikutip tadi, tapi bagi saya sebagai novel Lady Chatterley’s Lover terasa lebih digerakkan keinginan untuk menyatakan sebuah pendirian. Kalimatnya lebih komunikatif ketimbang ekspresif. Pertautannya dengan bahasa (untuk tak menyebut ketaatannya pada pesan dan tema) berbeda dengan misalnya Cala Ibi Nukila Amal atau Menggarami Burung Terbang Sitok Srengenge, dua novel yang, dengan bahasa yang puitik, tak hendak mengubah pandangan kita tentang hal-ihwal. Lady Chatterley’s Lover memang sebuah kritik sosial; ia hendak meyakinkan kita tentang muramnya masyarakat Inggris sehabis perang pada 1920-an. ”Zaman kita pada hakikatnya zaman yang tragis, maka kita menolak untuk menyikapinya dengan tragis,” begitulah novel ini dimulai. ”Kita ada di tengah puing, kita mulai membangun habitat baru kecil-kecilan, untuk mendapatkan harap baru sedikit-sedikit.” Dalam novel itu, puing itu sampai ke pedalaman. Masyarakat terjebak lapisan-lapisan kelas, dan industrialisasi yang mulai merasuk, juga peran uang, membuatnya lebih buruk. Kritik novel ini tersirat dalam tokoh Constance Chatterley. Ia kawin dengan Sir Clifford, tuan tanah dan bangsawan pemilik tambang. Lelaki ini luka dalam perang. Ia bukan saja lumpuh, juga impoten, dan hanya menunjukkan kelebihannya bila ia mulai memimpin bisnisnya. Tampaknya perang, industrialisasi, kapitalisme—dan patriarki—menebarkan racunnya dan membuat

hidup perempuan itu, Lady Constance (”Connie”), terpojok. Kesepian, bosan, hampa, dan tertindas, ia akhirnya menemukan kembali gairah hidup sebagai perempuan ketika ia disetubuhi Melleors, game keeper Sir Clifford, lelaki yang tinggal menyendiri di sebuah gubuk di tanah luas itu, mengurusi burung-burung yang esok pagi akan dilepaskan terbang untuk jadi sasaran tembak sang majikan. Connie hamil dari hubungan gelap itu. Tapi ia tak takut. Ia memang menghendaki seorang anak, meskipun percintaannya dengan lelaki kelas bawah itu bukan dimaksudkannya hanya untuk beroleh keturunan. ”Aku bukan hendak memperalatmu,” bisiknya di tempat tidur. Mereka saling mencintai. Pada akhirnya Connie meminta cerai dari Sir Clifford, tapi ditampik. Kisah ini selesai seperti tak selesai: Connie dan Melleors menanti. Agaknya apa selanjutnya tak penting lagi: protes sudah disampaikan, bahkan dijalani dengan perbuatan, dan tak seorang pun dihukum. ”Bukan salah perempuan, bukan salah percintaan, bukan salah seks,” begitulah novel ini bicara. ”Kesalahan itu di sana, di luar sana, dalam sinar keji cahaya listrik dan gemeretak iblis mesin-mesin. Di sana, di dunia di mana kerakusan bergerak seperti mesin… dan kerakusan menghasilkan mesin… di sanalah terhampar mala yang luas itu, siap untuk menghancurkan apa saja yang tak mau menyesuaikan diri. Ia akan segera menghancurkan hutan, dan bunga kecubung ini tak akan bersemi lagi.” Dibaca pada awal abad ke-21, protes seperti ini—ketika yang erotik, yang lemah, dan yang halus dalam diri manusia diancam dunia modern—tak mengejutkan lagi. Bahkan bahasa Lawrence juga segaris dengan kehendak dunia modern yang ditentangnya, yang serba mengutamakan pikiran dan hasil, bukan persentuhan yang melibatkan tubuh dalam pengalaman. Tapi juga ketika dibaca pada awal abad ke-20: Lady Chatterley’s Lover hanya dianggap karya pornografis. Ditolak di mana-mana, pada 1928, hanya seorang penerbit Italia yang menerimanya; ia tak begitu paham bahasa Inggris.

Dengan segera novel ini laris dan dikejar-kejar. Yang paling ramai di AS, dengan warisan puritanisme Kristen yang awet dan semangat kapitalisme yang, seperti digambarkan Lawrence, ”rakus… seperti mesin” itu, yang melihat tubuh perlu berdisiplin baja dan gairah seks sebagai ”dosa”, yakni energi yang tak produktif. Maka pemilik toko buku yang menjual Lady Chatterley’s Lover pun dibui, kantor pos menolak mengirimkan novel itu, dan Presiden Eisenhower menganggapnya bacaan yang ”dreadful”. Baru pada akhir 1950-an pengadilan menganggap karya itu tak pornografis. Anehkah bila bertemu agama dan kapitalisme, juga komunisme, yang rezim-rezimnya melarang Lady Chatterley’s Lover? Tidak. Bagi mereka, tubuh kita hanya penting sepanjang bisa dibuat berguna bagi yang mahakuasa, apa pun namanya.[] ~Majalah Tempo Edisi 37/XXXVII 03 November 2008~ Naskah ini pernah dimuat di Tempo edisi 26 Maret 2006

Kaki Langit Oktober 27, 2008 DI makam pahlawan tak dikenal, kita diberi tahu: ada seorang yang luar biasa berjasa, tapi ia tak punya identitas. Ia praktis sebuah penanda yang kosong. Tapi hampir tiap bangsa, atau lebih baik: tiap ide kebangsaan, memberi status yang istimewa kepada sosok yang entah berantah yang terkubur di makam itu. Orang yang pertama kali melihat fenomen itu adalah Benedict Anderson. Dalam Imagined Communities-nya yang terkenal itu, ia menulis: ”Betapapun kosongnya liang lahat itu dari sisa-sisa kehidupan yang fana dan sukma yang abadi, tetap saja mereka sarat dengan anggitan tentang ’kebangsaan’ yang membayang bagai hantu.” Barangkali sebuah bangsa memang harus selalu menyediakan ruang kosong untuk sebuah cita-cita. Seperti kita memandang ke

kaki langit yang sebenarnya tak berwujud, tapi kita ingin jelang. Sekaligus, barangkali sebuah bangsa membutuhkan bayangan yang bagai hantu tentang dirinya: antara jelas dan tak jelas. Pahlawan Tak Dikenal. Pahlawan Kita. Antara ”tak dikenal” dan ”kita” ada pertautan dan juga jarak. Ia yang gugur itu adalah seorang yang sebenarnya asing—bukan yang dalam bahasa Inggris disebut foreigner, melainkan stranger—tapi ia juga bagian terdalam dari aku dan engkau. Jika tampak ada yang bertentangan di sini, mungkin itu juga menunjukkan bahwa sebuah bangsa—seperti yang dimaklumkan oleh Sumpah Pemuda pada 1928 itu—memang mengandung ketegangan dan keterpautan antara yang asing dan yang tak asing dalam dirinya sendiri. Seperti sang pahlawan yang tak dikenal itu: yang termasuk dalam ”kita” tak selamanya datang dari puak kita. Salah satu anasir dalam bangsa bisa bekerja untuk unsur yang lain, meskipun keduanya tak saling kenal betul, bahkan ada saat-saat ketika yang satu disebut ”asing” oleh yang lain. Itulah sebabnya kepeloporan para pendiri Indische Partij tak dapat dilupakan: ”orang Indonesia” adalah orang yang bisa melintasi batas, menemui yang ”asing”, untuk jadi satu—tapi di situ ”satu” sebenarnya sama dengan yang tak terhingga. Sebab sebuah bangsa yang tak didefinisikan oleh ikatan darah adalah sebuah bangsa yang selalu siap menjangkau yang beda—dan yang beda tak bisa dirumuskan lebih dulu, tak bisa dikategorisasikan kemudian. Ia tak tepermanai. Seperti pahlawan tak dikenal itu: ia memberikan hidupnya buat kau dan aku, tapi ia bukan bagian kau dan aku. Maka tak aneh jika dalam semangat kebangsaan, tersirat sebuah paradoks: sesuatu yang universal ada di dalamnya. Sebab sebuah bangsa pada akhirnya hanya secara samar-samar, seperti hantu, bisa merumuskan dirinya sendiri. Yang penting akhirnya bukanlah definisi, melainkan hasrat. Renan menyebut bahwa bangsa lahir dari ”hasrat buat bersatu”, tapi seperti halnya tiap hasrat, ia tak akan sepenuhnya terpenuhi dan hilang. Hidup tak

pernah berhenti kecuali mati. Dalam hal itu, orang sering lupa bahwa bangsa sebenarnya bukan sebuah asal. Ia sebuah cita-cita—dan di dalamnya termaktub cita-cita untuk hal-hal yang universal: kebebasan dan keadilan. Bangsa adalah kaki langit. Kaki langit: impian yang mustahil, sulit, tapi berharga untuk disimpan dalam hati. Sebab ia impian untuk merayakan sesuatu yang bukan hanya diri sendiri, meskipun tak mudah. Sebuah bangsa adalah sebuah proses. Jangan takut dengan proses itu, kata orang yang arif. Tak jarang datang saat-saat yang nyaris putus harapan, tapi seperti kata Beckett dalam Worstward Ho, ”Coba lagi. Gagal lagi. Gagal dengan lebih baik lagi.” ~Majalah Tempo Edisi 36/XXXVII 27 Oktober 2008~

Tawa Oktober 20, 2008 Kau menyukai lelucon dan aku menyukai tertawa. Justru ketika kita menyadari, dengan sedikit sakit, harapan yang sulit dipenuhi, impian yang rasanya mustahil. Tampaknya lawak bisa juga sebuah tanda murung. Atau ketakmampuan mencapai. Atau kesia-siaan. ”Bawa masuk para badut!”, konon begitulah bisik di belakang panggung bila sebuah pertunjukan terasa jadi hambar dan harus diselamatkan, agar para penonton tak pergi. Send in the clowns!, kata lagu terkenal dalam musikal Broadway Little Night Music pada 1973—sebuah lagu yang dinyanyikan saat tokoh lakon ini, Desirée, terduduk bersendiri, sadar ia telah salah pilih dan kini ditinggalkan orang yang sebenarnya dicintainya. Seperti yang dikatakan sang komponis, Stephen Sondheim: ini ”sebuah lagu sesal dan amarah”. ”Bawa masuk para badut!”. Tapi seperti dicantumkan di akhir lagu itu, disadari bahwa para badut sebenarnya tak diperlukan datang. ”Don’t bother, they are all here”. Mereka sudah di sini; mereka adalah kita sendiri.

Kita: badut. Antara ”kita”, ”badut” dan ”kekonyolan”—sebagaimana antara ”clown” dan ”fool” dalam teater Shakespeare—terdapat pertautan. Di simpul itu tampak bahwa kita, manusia, adalah makhluk yang peyot, meskipun tak putusputusnya menarik. Keadaan peyot yang dilihat bukan dengan rasa kesal itulah yang membuat kehidupan tak membuka jalan bagi sifat takabur. Hal itu agaknya perlu ditegaskan lagi kini, di masa ketika kita kecewa kepada para tokoh, dan menghasratkan pahlawan datang, sementara, seperti hari-hari ini, dunia tetap tak bisa dibuat tenteram penuh. Pada sifat peyot yang menarik itulah terletak humor. Humor, kata Simon Critchley dalam Infinitely Demanding, ”mengingatkan kita akan sifat rendah hati dan keterbatasan kondisi manusia”. Dengan kesadaran akan keterbatasan itu kita menemui manusia dengan mengakui sifatnya yang ”komikal”, comic acknowledgment, bukan dalam sifatnya dalam posisi sebagai pahlawan tragedi. Kita akan melihat diri kita, manusia, lebih sebagai Petruk atau si Kabayan ketimbang sebagai Bhisma atau Kumbakarna. Memang perlu kematangan tersendiri untuk mendapatkan perspektif itu. Bertolak dari makalah Freud tentang humor, Critchley memperkenalkan satu faktor dalam kesadaran manusia, yang disebutnya ”super-ego II”. Kita ingat, dalam psikoanalisis Freud ”super-ego” adalah Sang Penguasa yang Keras yang menghuni kesadaran manusia: ia pengawas, pengendali, dan penindak yang menyebabkan ego patuh kepada hukum ajaran moral masyarakat. Tapi ”super-ego” pula yang dengan demikian menyebabkan ego tertekan dan menderita. Tapi Freud tak berhenti di situ. Dalam makalah bertahun 1927, ia menyebut kemungkinan hadirnya ”super-ego” yang bukan lagi Sang Penguasa Yang Streng. ”Super-ego” inilah yang hadir dalam humor, yang ”berbicara dengan kata-kata yang ramah yang menghibur kepada si ego yang ketakutan”. Itulah yang disebut Critchley sebagai ”super-ego II”.

Jiwa manusia akan lebih sehat, tak dirundung takut dan didera rasa bersalah yang habis-habisan, jika ”super-ego” yang lain ini tak dibungkam. Dengan kata lain: jika humor tak dimatikan dan tawa serta permainan tak diharamkan. Dengan kata lain, jika manusia mengakui ada yang lucu dalam ketaksempurnaannya, tapi dengan pengakuan itu ia jadi akrab. Itulah saat ketika kita tak didera untuk jadi Prometheus yang menantang dewa dan dunia, mengalahkan apa yang di luar. Maka bukankah pemeo populer itu benar, bahwa tertawa itu sehat? Yang sehat adalah yang hidup dan tumbuh dan bekerja terus dalam keterbatasan, seperti cinta yang tak diakui tapi tulus. Dari sini, kita bisa merayakan apa yang mungkin gagal tapi indah, menyambut apa yang tak tentu tapi pada tiap detik memberi alasan untuk hidup yang berarti. Majalah Tempo Edisi 35/XXXVII 20 Oktober 2008~

Pleonoxia Oktober 13, 2008 Apa gerangan yang akan dikatakan pangeran Jawa yang meninggalkan istana itu, Ki Ageng Suryomentaram, seandainya ia hidup pada hari ini? Seandainya ia berjalan di Sudirman Business District, Jakarta, antara Pacific Place yang memamerkan bendabenda mentereng dan ruang BEJ di mana harga saham rontok, para pemilik dana panik, dan di langit-langitnya bergaung rasa cemas? Mungkin inilah yang akan kita dengar dari Ki Ageng: ”Yang menangis adalah yang berpunya. Yang berpunya adalah yang kehilangan. Yang kehilangan adalah mereka yang ingin.” Tapi mungkin tak seorang pun akan memahaminya. Ia memang lain. Ia lahir pada 20 Mei 1892 di Keraton Yogyakarta. Ia pangeran ke-55 di antara sederet putra Sultan Hamengku Buwono VII. Ibunya seorang garwa ampilan. Pengeran

kecil ini bersekolah di Srimenganti, yang dikelola istana. Pendidikan formalnya tipis, tapi ia berbahasa Belanda dengan baik, dan kemudian belajar bahasa Arab dan Inggris. Dan ia membaca. Pada umur 18 ia jadi Pangeran, dengan gelar ”Bendara Pangeran Harya Suryomentaram”. Kita tak tahu bagaimana hidupnya pada masa itu, tapi ada sebuah kejadian yang membuat masa depannya berubah. Dalam sebuah tulisan yang dimuat jurnal Archipel (nomor 16, tahun 1978), Marcel Boneff menceritakan kembali kejadian itu. Pada suatu hari, dalam perjalanan ke sebuah pesta perkawinan di Keraton Surakarta, dari jendela kereta api sang Pangeran melihat ke luar. Di bentangan sawah, sejumlah manusia berkeringat, bersusah payah, mencari sesuap nasi. Sementara itu di gerbong itu ia duduk dengan megah dan nyaman: kenikmatan yang diperolehnya semata-mata karena ia dilahirkan di suatu tempat yang tak harus diraih. Bisakah ia berbahagia? Sejak itu Suryomentaram mempertanyakan hal yang oleh orang lain didiamkan: arti benda bagi hidup, arti punya bagi manusia. Dalam bahasa Jawa ada dua kata yang hampir mirip, milik dan mélik. Yang pertama berarti ”punya” atau ”harta”. Yang kedua berarti ”keinginan yang cemburu untuk mendapatkan sesuatu”. Kini milik begitu penting dan mélik dilembagakan sebagai perilaku yang wajar; keduanya dianggap bagus buat pertumbuhan ekonomi. Dan jika dari kesibukan dengan milik dan mélik itu lahir sifat tamak, Sudirman Business District adalah saksinya. Di sini bergema kata-kata Walter Williams, ekonom dari George Mason University, tentang the virtue of greed: ”Sebutlah itu tamak, atau egoisme, atau kepentingan diri yang tak sempit, tapi akhirnya motivasi inilah yang membuat hal ihwal jadi”. Mungkinkah itu sebabnya ”pasar”—yang digerakkan milik dan mélik—tak mudah ditertibkan oleh Negara? Bank sentral dan kementerian keuangan di seluruh dunia bergerak. Mereka hendak membendung arus jatuh pasar saham, yang makin mempengaruhi

perekonomian secara keseluruhan. Tapi sejauh ini sia-sia. Sejauh ini tampak bahwa Negara, yang bekerja untuk kepentingan umum, tak berdaya menghadapi pasar yang tamak yang tak mengacuhkan res publica. Yang tak selamanya disadari adalah cepatnya gerak milik dan mélik pada zaman ini. Bersama cepatnya alir kekayaan dari tempat ke tempat—ya, itulah globalisasi—terjadilah akselerasi hasrat. Kepuasan akan satu benda dengan segera dihapus oleh hasrat baru. ”Benda”—yang telah berubah jadi komoditas—kini jadi lambang ke-baru-an. Maka ada orang yang punya 10 mobil Jaguar: ketika puas hilang, satu Jaguar lagi terbilang. Terus-menerus. Menyimpan akhirnya jadi tak menarik. Masa depan, ditandai dengan yang ”baru”, jadi kian cepat tiba. Menabung kehilangan alasannya. Kapitalisme zaman ini makin mengukuhkan dalil Leon Levy (”investor genius dari Wall Street”, kata majalah Forbes), bahwa ”tiap satu persen tabungan naik di masyarakat, laba perusahaan akan turun 11 persen”. Ada yang patologis dalam gejala itu. Kita hidup dengan ”pleonoxia”, penyakit jiwa yang didera keinginan segera mendapatkan lagi, lagi, lebih, lebih. Itu sebabnya saya teringat Ki Ageng Suryomentaram. Apa gerangan yang akan dikatakannya? Pada masa hidupnya, ia tauladan. Ia melihat bagaimana pleonoxia datang setapak demi setapak. Pangeran itu mencegahnya dengan drastis: ia meninggalkan keraton. Sebelum umurnya 30, ia mengajukan surat agar gelar Pangerannya dibatalkan. Salah satu bangsawan terkaya di Yogyakarta ini pun memberikan mobilnya kepada sopirnya, menyerahkan kuda-kudanya kepada pekatiknya. Lalu ia berangkat ke arah Banyumas. Ia memakai nama ”Notodongso” dan praktis menghilang. Ketika Raja menyuruh orang mencari putranya yang ganjil ini, mereka menemukannya di Kota Kroya: sedang menggali sumur. Apa yang dicarinya? ”Suprana-supréné, aku kok durung tau

kepethuk wong,” konon begitulah yang dikatakannya. ”Selama ini, aku belum pernah berjumpa manusia.” Ia tahu, manusia lebur di antara milik dan mélik. Syahdan, ia pun memilih hidup sebagai petani di Dusun Bringin. Orang melihatnya selalu hanya memakai kathok pendek hitam, tak bersandal. Di lehernya terkalung sehelai batik bermotif parang rusak barong yang konon melambangkan resistansi. Mungkin dengan itulah manusia muncul, kadang-kadang: dalam menampik tamak, ia mencintai hidup dengan cara sederhana, menghargai liyan dengan mulut membisu. Syahdan, pada suatu hari ia hendak pergi naik bus. Menjelang masuk, seorang penumpang lain yang menyangka Suryomentaram seorang kuli menyerahkan sebuah koper agar diangkat. Dengan patuh Ki Ageng meletakkannya di dalam bus— dan segera setelah itu, ia turun lagi. Ia membatalkan pergi. Ia tak ingin penumpang tadi jadi malu, telah salah menyuruhnya. Begitu merendah—seorang yang tak akan kelihatan dari lantai tinggi Sudirman Business District, seorang yang seakan-akan menunjukkan: ”Lihat, tanganku di dekat akar rumput. Lebih banyak yang bisa kita sentuh. Lebih banyak ketimbang yang bisa kau rengkuh.” ~Majalah Tempo Edisi 34/XXXVII 13 Oktober 2008~

’In the Wee Small Hours’ Oktober 6, 2008 IZINKAN saya menulis tentang dinihari. Tentang jam-jam para insomniak, ketika malam sudah tak bisa disebut malam tapi pagi belum datang. Tentang orang-orang yang tak tidur, seperti kau dan aku, tak bisa tidur, mereka yang terpekur atau bengong atau bekerja apa saja, berdoa apa saja, mereka yang mencoba melupakan kesendirian, atau justru memasuki kesendirian. Izinkan saya menulis tentang gelap. Dinihari adalah saat ketika

gelap, yang berhimpun sejak senja, akan berakhir. Tapi di dinihari pula gelap seperti tak hendak pergi. Justru (sebuah e-mail datang dan kamu mengingatkan saya, mengutip Paulo Coelho), ”saat paling gelap dalam seluruh hari adalah menjelang terang.” Agaknya pada diniharilah gelap adalah sebuah ajektif bukan tentang kekurangan, melainkan tentang kelebihan: gelap adalah sesuatu yang bersama kita sebelum cahaya; ia juga sesuatu yang akan bersama kita sesudah cahaya. Kesementaraan, juga kelebihan. Barangkali kedua-duanya yang membuat dinihari mempertautkan manusia dengan yang kekal. Di biara yang jauh dari keramaian, para rahib bangun pukul 03.30 pagi. Masing-masing melakukan doa pribadi di bilik yang sempit. Pada pukul 04.00, misa bersama mulai. Dan selama Ramadan, makan sahur dilakukan di saat itu pula. Orang bisa mengatakan, fisik kita perlu dijaga dengan beberapa suap nasi sebelum puasa 12 jam. Tapi jangan-jangan semua itu bukanlah buat kesehatan—makan di jam seperti itu justru tidak membantu metabolisme tubuh—melainkan buat merasakan hubungan antara yang indrawi, yang badani, dan transisi saat. Ketika kita tahu hidup begitu sejenak, kita pun akan bertanya adakah segalanya juga fana—dan tidakkah pengertian tentang ”fana” hanya bisa dimengerti jika ada yang ”bukan-fana”, jika disandingkan dengan yang abadi? Meskipun yang abadi tak pernah kita alami? Dalam gelap dinihari, jika yang abadi bisa terasa hadir, mungkin karena ada hubungan antara keabadian dan kuasa, dan ada hubungan kuasa dengan misteri. Ia tak pernah bisa ditebak. Ia semacam peringatan akan apa yang kurang pada kita—yang menyebabkan kita selamanya terbelah, antara kini yang rapuh dan kelak yang tak jelas, antara kini yang hadir dan kelak yang kita tak pernah tahu. Justru karena dinihari juga akan berhenti. Ia juga bagian dari keterbatasan dan kesementaraan. Gelap tak bisa mutlak. ”Aku tak

takut gelap,” kau bilang. ”Dalam gelap aku bisa menemukan kedamaian.” Tapi mungkin juga karena kita temui gelap tak sendirian: ia sebuah beda, ia sebuah intermezzo di dunia yang diberondong cahaya. Ada cahaya surya yang tua, ada cahaya yang dibikin Thomas Alva Edison, ada cahaya bintang yang sporadis, ada kilau lampu-lampu iklan yang kian agresif. Maka gelap adalah selingan dari terang yang gaduh. Kita tahu terang telah jadi bagian dari proyek manusia menguasai bumi—yang tak membuat kedamaian hal yang lumrah. Tapi tak selamanya gelap sebuah intermezzo. Ia bisa jadi awal putus harapan. Pada 1815, lebih dari separuh abad sebelum Krakatau, sebuah gunung di Nusantara meletus. Sampai setahun berikutnya, debu yang muncrat dari kepundan Tambora itu menutupi langit. Matahari terkurung cadar tebal. Bulan padam. Di Eropa, tahun berikutnya semacam perubahan cuaca terjadi. Tahun itu kemudian diingat sebagai ”tahun tanpa musim panas”. Pada tahun itu pula penyair besar Inggris Lord Byron menulis sebuah sajak yang memukau, Darkness. …dan bintang-bintang menggelandang di ruang kekal tanpa sinar, tanpa jalur, dan Bumi yang dingin bergoyang, buta… Terkurung gelap debu Tambora itu, pagi datang dan pergi, tak membawa siang. ”Morn came and went—and came, and brought no day.” Dan ombak mati, pasang berdiam di kuburnya, sementara Bulan, ”tuan putri mereka, telah padam sebelumnya.” Angin pun lingsut di udara yang tak bergerak, awan musnah. Tapi, tulis Byron, ”Gelap tak perlu bantuan dari mereka. Gelap adalah Alam Semesta itu sendiri. She was the Universe.” Sedikit berlebihan, tentu saja, seperti setiap sajak. Sebab selalu ada jarak antara alam semesta dengan gelap dan terang. Itulah

sebabnya dinihari begitu penting: perbatasan; transisi; pertemuan dua hal, momen perbedaan, momen ketidakstabilan, tapi juga keterbukaan. Mungkin itulah kita bisa saling merindukan—kita yang lain, kita yang beda, kita yang mungkin belum pernah bertemu. Di jam-jam awal dari hari, di dinihari, ketika kita dengarkan dengan sedikit tergetar oleh kangen yang tak terelakkan Sting menyanyi, ”In the wee small hours of the morning.” Dan kita dengar trompet Chris Botti meningkah, dan terasa, semua yang akan berakhir sejenak seperti sesuatu yang abadi. ~Majalah Tempo Edisi 33/XXXVII 06 Oktober 2008~

Ulysses September 29, 2008 ADA seorang perempuan yang mudah dilupakan dunia tapi seharusnya tak dilupakan kesusastraan. Namanya Margaret Anderson. Ia lahir pada 1886 di Indianapolis, Amerika Serikat, di sebuah keluarga yang berada, dengan seorang ibu yang hampir setiap tahun tergerak untuk pindah ke rumah baru—dengan mebel, taplak, gorden, dan lukisan dinding baru. Margaret tak seperti ibunya, tapi ia punya keresahannya sendiri. Pada suatu malam, ketika ia berumur 21 tahun, setelah seharian merasa murung, ia terbangun dari tidur. ”Pikiran persis pertama: aku tahu kenapa aku murung,” demikianlah tulisnya, mengenang. ”Tak ada yang bersemangat yang terjadi—nothing inspired is going on. Kedua: aku menuntut hidup harus bersemangat tiap saat. Ketiga: satu-satunya cara untuk menjamin itu adalah mendapatkan percakapan yang bersemangat tiap saat. Keempat: kebanyakan orang tak bisa jauh dalam percakapan….” Akhirnya kelima: ”Kalau aku punya sebuah majalah, aku akan

dapat mengisi waktu dengan percakapan yang terbagus yang bisa disajikan dunia….” Syahdan, pada umur 28 tahun, ketika ia sudah lumayan dikenal sebagai penulis resensi buku di beberapa media, di Chicago, Margaret menerbitkan majalah The Little Review. ”Omong-omong tentang seni”, itulah semboyannya. Tapi tentu saja tak sembarang omong-omong. Nomor pertama majalah kecil itu berbicara soal Nietzsche, feminisme, dan psikoanalisis—hal-hal yang bisa menyentakkan orang Amerika dari tidur borjuis mereka yang tertib dan taklid. Seperti lazimnya majalah seni dan sastra, The Little Review tak laku. Juga sulit mendapat sponsor. Margaret kehabisan uang, diusir dari rumah sewaannya, dan harus menutup kantor majalahnya. Tapi ia tetap menginginkan percakapan yang bersemangat, dan ketika ia ketemu Jane Heap, seorang seniman yang aktif dalam gerakan seni rupa baru Chicago, cita-citanya bangkit lagi. Kedua perempuan itu, yang kemudian berpacaran, meneruskan The Little Review dengan memindahkannya ke New York. Seraya membuka toko buku di Washington Square, di sudut kota tempat inspirasi tak mudah mati itu, kedua perempuan itu membuat sejarah. The Little Review memuat karya para sastrawan yang kemudian jadi percakapan seluruh dunia: T.S. Eliot, Hemingway, Amy Lowell, Francis Picabia, Sandburg, Gertrude Stein…. Sejak awal, Ezra Pound jadi penasihat dan koresponden majalah itu di London, dan dari Eropa André Breton dan Jean Cocteau mengirimkan tulisan mereka. Juga: James Joyce, dengan Ulysses-nya. Tapi sejarah sastra tak pernah mudah, terutama di masa ketika modernisme bersedia membenturkan diri menghadapi apa yang ”normal”—yakni segala hal yang ukurannya dibentuk oleh tata sosial yang ada, oleh bahasa yang diwariskan, dan oleh ketakutan terhadap yang tak pasti, yang tak jelas, yang beda. Sejarah sastra

memang jadi berarti ketika sastrawan dan karyanya tak memilih kenyamanan yang ditentukan oleh kelaziman sosial. Margaret membuktikan itu dengan dirinya—sejak ia, dalam ketiadaan uang, berani hidup di bawah tenda yang didirikannya sendiri di tepi Danau Michigan, sampai dengan ketika ia berani menerbitkan Ulysses, dalam bentuk cerita bersambung sejak 1918. Joyce baru merampungkan karya besarnya yang setebal 732 halaman ini pada akhir Oktober 1921. Sengaja disandingkan dengan epos Yunani kuno karya Homeros, Ulysses tak berkisah tentang para pahlawan, melainkan tentang kehidupan sehari-hari Kota Dublin, Irlandia, dengan dua tokoh yang berbeda, Stephen Daedalus dan Leopold Bloom. Novel yang terdiri atas tiga bagian besar dengan 18 episode ini tak mudah dibaca, meskipun tiap bagian memukau, liris, juga ketika ”arus kesadaran” sang tokoh merasuk ke dalam paragraf seakanakan puisi yang meracau. Joyce sendiri mengatakan—mungkin serius, mungkin main-main—bahwa ke dalam Ulysses ia memasukkan ”begitu banyak teka-teki dan enigma hingga para profesor akan berabad-abad sibuk berdebat tentang apa yang saya maksud”. Tapi di dunia ini ada para profesor, atau para peminat sastra yang bersungguh-sungguh yang menemukan kenikmatan dan kearifan dalam percakapan (”percakapan yang bersemangat,” kata Margaret Anderson), dan ada orang yang tak begitu berminat meskipun teramat bersungguh-sungguh: para sensor. Dalam Ulysses sang sensor merasa menemukan ”pornografi”. Pada 1920, orang-orang yang merasa diri bermoral dan saleh yang bergabung dalam ”The New York Society for the Suppression of Vice” berhasil memenangkan dakwaannya di pengadilan, dan hakim menyetop The Little Review memuat novel itu. Majalah itu disita. Margaret Anderson dan Jane Heap dihukum sebagai penyebar kecabulan. Masing-masing didenda $ 100. The Little Review yang miskin dana itu pun kehilangan masa depan.

Akhirnya kedua perempuan itu memutuskan untuk meninggalkan Amerika—di mana kekuasaan uang dan ”moralitas” dipergunakan untuk mengimpit mereka yang berbeda—dan melanjutkan The Little Review di Eropa. Ulysses juga telantar. Tak ada penerbit baik di Amerika maupun di Inggris yang mau mencetak dan menyebarkan novel itu. Baru pada 1931, di Paris, seorang perempuan lain, Sylvia Beach, berani melakukannya, diam-diam dari toko bukunya yang sampai kini tak mentereng di tepi Sungai Seine, ”Shakespeare and Co”. Sejak itu, zaman berubah, juga ”moralitas” dan kecemasan. Pada 1933, hakim John M. Woolsey mengizinkan novel itu beredar. Porno? Merangsang? Hakim itu telah membacanya dan ia mengatakan bahwa ia, bersama dua orang temannya, tak bangkit syahwatnya karena Ulysses. Pada akhirnya seorang lelaki bisa mengerti kearifan yang dibawa Margaret Anderson, Jane Heap, dan Sylvia Beach: ”moralitas” itu hanya bangunan kekuasaan mereka yang waswas akan libido diri sendiri. ~Majalah Tempo Edisi 32/XXXVII 29 September 2008~

Rakus September 22, 2008 Tiap kali ”kapitalisme” tampak guncang dan buruk, tiap kali Wall Street terbentur, orang jadi Oliver Stone. Dalam Wall Street, sutradara yang bakat utamanya membuat protes sosial dengan cara menyederhanakan soal, menampilkan dahsyatnya keserakahan manusia. Di sana Gekko, diperankan Michael Douglas, menegaskan dalilnya: rakus itu bagus. ”Rakus itu benar. Rakus itu membawa hasil. Rakus itu… menandai gerak maju manusia.” Tapi rakus adalah fiil pribadi-pribadi, sementara ”kapitalisme” tak cukup bisa dikoreksi dengan membuat orang insaf. Rakus juga

bisa lahir di luar Wall Street. Ia tak hanya melahirkan ”kapitalisme”. Memang ada sesuatu yang amat rumit hari-hari ini. Seperti mantra, seperti makian, kata ”kapitalisme” kini meyakinkan hanya karena dampaknya bagi pendengar, bukan karena definisinya yang persis. Juga kata ”sosialisme”. Juga kata ”pasar”, ”Negara”, dan lain-lain yang tak berseliweran di antara kita. Kita sering tak menyimak, pengertian itu sekarang pada retak, nyaris rontok. Setidaknya sejak Juli yang lalu. Majalah The Economist melukiskan adegan dramatik yang terjadi di pusat kekuasaan Amerika Serikat, negara kapitalis papan atas itu: ”Pada 13 Juli, Hank Paulson, Menteri Keuangan Amerika, berdiri di tangga departemennya seakan-akan ia menteri sebuah negara dengan ekonomi pasar yang baru timbul….” Hari itu Paulson, pembantu Presiden Bush, mengungkapkan rencana daruratnya buat menyelamatkan Fannie Mae dan Freddie Mac, dua bisnis raksasa dalam bidang pendanaan hipotek yang tak mampu lagi membayar kewajibannya US$ 5,2 triliun. Pemerintah memakai kata ”conservatorship”. Artinya, dewan direksi dicopot, pemegang saham praktis disingkirkan, tapi perusahaan itu akan terus bekerja dengan Pemerintah jadi penyangga utangnya. Pendek kata: Pemerintah AS mengambil alih perusahaan itu—kata lain dari ”nasionalisasi”, sebuah langkah yang mirip apa yang pernah dilakukan di Indonesia dan akhir-akhir ini di Venezuela. Tapi ini terjadi di suatu masa, di suatu tempat, di mana ”pasar” dianggap punya daya memecahkan persoalannya sendiri. Ini terjadi di sebuah era yang masih meneruskan fatwa Milton Friedman bahwa ”penyelesaian oleh Pemerintah terhadap satu soal biasanya sama buruk dengan soal itu sendiri”. Ini terjadi di sebuah perekonomian—disebut ”kapitalisme”—yang prinsipnya adalah siapa yang mau ambil untung harus berani menerima kemungkinan jatuh. Jika para direksi dan pemegang saham siap menyepak ke sana-kemari meraih laba di pasar, kenapa kini mereka harus dilindungi ketika tangan itu patah?

Di situlah ”kapitalisme” meninggalkan prinsipnya sendiri. Tapi tak berarti ”kapitalisme” di Amerika berhenti sejenak. Memang tindakan nasionalisasi di sana—terakhir dilakukan terhadap perusahaan asuransi raksasa AIG (American International Group)—menunjukkan kian besarnya peran ”Negara” dalam perekonomian Bush. Namun kita perlu lebih saksama. Sebab yang terjadi sebenarnya sebuah simbiosis yang tak selamanya diakui antara ”Negara” dan ”pasar”. ”Nasionalisasi” terhadap Fannie dan Freddie berarti sebuah langkah menyelamatkan sejumlah pemain pasar dengan dana yang dipungut dari pajak rakyat. Dengan kata lain: yang dilakukan Pemerintah Bush adalah sebuah ”pemerataan” kerugian, bukan ”pemerataan” hak. Hubungan simbiosis antara kedua perusahaan itu dan ”Negara” juga bisa dilihat dari segi lain: menurut laporan CNN, selama 10 tahun, Fannie dan Freddie mengeluarkan US$ 174 juta untuk melobi para politikus, untuk membangun ”iklim politik” yang ramah kepada mereka—termasuk ketika tanda-tanda keambrukan sudah terasa. Tapi jika ”Negara” dan ”kapital”, ”pemerintah” dan ”pasar” ternyata tak sepenuhnya lagi bisa dipisahkan dengan jelas, apa yang luar biasa? Bukankah sejak abad ke-19 Marx menunjukkan bahwa ”Negara” selamanya adalah sebuah kekuasaan yang memihak kelas yang berkuasa? Dikatakan secara lain, bukankah ”Negara” tak hanya terdiri atas ”apa”, melainkan ”siapa”? Tapi persoalan tak selesai hanya dengan satu tesis Marx. Sejarah politik makin tak mudah menentukan bagaimana sebuah kelas sosial merumuskan identitasnya—terutama ketika kaum pekerja bisa tampil lebih ”kolot” ketimbang kelompok sosial yang lain, dan ”ketidakadilan” tak hanya menyangkut ketimpangan dalam memiliki alat produksi. Mau tak mau, para analis dan pakar teori harus berhenti seperti beo yang pintar, dan berhenti memakai mantra dan makian ketika ”kapitalisme” dan ”sosialisme” begitu

gampang dikatakan. Itu tak berarti api awal yang dulu membakar perang purba itu, perang yang melahirkan mantra dan makian itu, telah sirna. Selama ketidakadilan menandai rasa sakit sejarah, api itu masih akan membakar dan perang masih akan berlangsung. Selama sejarah belum berakhir dalam mengisi pengertian yang disebut Etienne Balibar sebagai égaliberté, paduan antara ”keadilan” dan ”kebebasan”, perang tak akan padam. Perang itu, tak selamanya dengan darah dan besi, adalah perjuangan politik. Ketidakadilan tak bisa hanya bisa diselesaikan dengan administrasi, karena administrasi ”Negara” selamanya akan terbatas dan terdorong ke arah pola yang cepat jadi aus. Ketidakadilan juga tak akan bisa diselesaikan dengan perbaikan budi pekerti, dengan mengubah atau mengalahkan orang macam Gekko. Apalagi pergulatan ke arah keadilan dan kebebasan tak hanya terbatas dengan mengutuk Wall Street. Kita tak cukup jadi Oliver Stone. ~Majalah Tempo Edisi 31/XXXVII 22 September 2008~

Zilot September 15, 2008 WOLE Soyinka tahu apa artinya diinjak dan bagaimana rasanya ditindas. Pemenang Hadiah Nobel untuk Sastra tahun 1986 ini sekarang berusia 74. Ketika ia 31 tahun, orang Nigeria ini ditahan pemerintah selama tiga bulan, dan dua tahun kemudian, ia—waktu itu direktur Sekolah Drama di Universitas Ibadan—dipenjarakan karena tulisan-tulisannya dianggap mendukung gerakan separatis Biafra. Selama setahun ia disekap, antara lain di sebuah sel yang sesempit liang lahat. Karena protes internasional, ia dibebaskan. Tapi ketika Jenderal Sani Abacha berkuasa di Nigeria (1993-1998), Soyinka dihukum mati in

absentia. Kesalahannya: ia membela seorang pengarang dan aktivis terkenal yang dihukum gantung. Dari riwayat itu kita tahu, Soyinka tak akan berhenti menentang ”sepatu lars yang menindas”. Tapi kemudian sesuatu yang lebih opresif datang: fundamentalisme agama, terutama di tanah airnya. Bagi Soyinka, kini jadi tugasnya untuk ”melawan mereka yang memilih bergabung dengan pihak kematian”. Artinya ”mereka yang mengatakan telah menerima titah Tuhan entah di mana dan berkata bahwa mereka wajib membakar dunia agar mereka mencapai keselamatan”. ”Pihak kematian” ini tak hanya di satu sisi. Soyinka melihat musuh itu ”di lorong-lorong sempit Irak ataupun di Gedung Putih.” Karenanya, tugas itu tak mudah. Bagi Soyinka, Nigeria yang didera pembunuhan antarkelompok agama karena fundamentalisme iman, ”lebih berbahaya” ketimbang Nigeria di bawah kediktatoran militer ketika ia sendiri dipenjarakan. ”Fundamentalisme agama lebih berbahaya… sebab ia tak berbentuk, dan bergerak ke banyak arah,” katanya dalam satu wawancara bertanggal Januari 2003. ”Melawan kediktatoran militer, kita bisa memfokuskan sasaran. Kita dapat melawannya langsung. Kediktatoran itu segerombolan orang yang didera hasrat kekuasaan. [Tapi] fundamentalisme memperoleh pengikut di tempat yang paling tak terduga. Ia menyatakan diri dalam bentuk yang acak dan sangat berbahaya.” Tanah airnya mungkin salah satu saksi yang boncel-boncel dan berdarah. Sejak 1999, di dua belas negara bagian Nigeria Utara, penduduk yang muslim memilih untuk menerapkan syariah Islam. Tapi kian lama kian tampak, ada yang tak beres dengan ketetapan itu, terutama di republik yang berpenduduk 147 juta dan hanya 50 persennya muslim, sementara 40 persennya Kristen. Sementara korupsi meluas, 70 persen penduduk di bawah garis kemiskinan. Ketimpangan sosial tajam (indeks Gini hampir 44, bandingkan dengan Indonesia yang 34) dan hanya 68 persen penduduknya

yang melek huruf (sementara Indonesia: 90 persen). Syariah Islam, yang sibuk mengurus soal akhlak pribadi, tak kunjung tampak hendak melenyapkan kondisi sosial itu. Bahkan satu kejadian menggambarkan bagaimana hukum syariah jadi soal yang gawat: kasus Aminah Lawal Kurami. Maret 2002, perempuan berumur 27 ini dijatuhi hukuman mati dengan dirajam, karena mahkamah syariah di Kota Funtua menganggapnya telah berzina. Ia baru bercerai, tapi melahirkan. Perempuan miskin ini divonis tanpa didampingi pembela. Hanya satu hakim yang menjatuhkan hukuman. Aminah buta huruf, tak tahu undang-undang yang dianggap tak boleh dilanggarnya. Tentu saja para hakim syariah tak menganggap hal itu bisa meringankan hukumannya. Harian The Guardian awal Oktober 2003 mengutip pernyataan Dahaltu Abubakar dari mahkamah banding di Katsina: ”Tak tahu undang-undang tak bisa jadi pembelaan.” Ini bukan hukum bikinan manusia, katanya. ”Selama kamu muslim, hukum ini berlaku buat dirimu.” Syukurlah, setelah kampanye yang gigih di seluruh dunia—bahkan The Oprah Winfrey Show ikut membelanya—Aminah tak jadi mati dirajam. Tapi kejadian itu menunjukkan bagaimana penerapan syariah Islam justru mengungkapkan perbenturan antara hukum dan keadilan, antara iman dan kemanusiaan. Tapi apa artinya kemanusiaan, apa artinya hidup, bagi yang disebut Soyinka sebagai ”pihak kematian”, the party of death? Sebab ”kematian” di sini tak hanya menyangkut disambutnya hukum rajam dan potong tangan, tapi juga menyangkut tafsir yang tak hidup lagi. The party of death itu juga yang berkibar ketika pada tahun 2000 dan 2002 Nigeria, khususnya di Kota Kaduma, orang Kristen dan Islam baku bunuh. Dari sana Soyinka menulis sajak, Twelve Canticles for the Zealot, dengan nada yang marah dan kalimat yang menusuk. Sajak pemenang Hadiah Nobel untuk Sastra tahun

1986 itu tak begitu bagus, sebetulnya, tapi bukanlah ia punya alasan untuk tergesa-gesa? Para zilot telah menyuarakan pekik pertempuran, dan Soyinka memandang mereka sebagai ”pelayan vampir”, yang hinggap di pucuk gereja, di menara masjid, di kupola katedral. Ia bertengger di tembok penyangga ”kesalihan”. Sang ”pelayan vampir” itu menunggu untuk loncat ke semua arah. Ia tak akan berangkat sendirian. Ia akan mengajak: ”Datanglah bersamaku atau, kalau tidak, ke neraka!” Maka tangan sang zilot terulur, kata sajak Soyinka pula, tapi bukan untuk membuai ranjang bayi yang damai. Tangan itu ”cakar kebencian”, mencengkeram dari ujung ke ujung, ”Membubuhkan luka, membunuh, itulah segalanya”. Zilot—sebuah pengertian dari Injil yang kemudian menggambarkan sikap orang fanatik yang militan—dalam sajak Soyinka kata itu menunjuk mereka yang atas nama hukum agama yang murni mengancam spontanitas kegembiraan hidup di atas bumi, di bawah langit, di antara makhluk yang fana. Maka dari Nigeria, anak tanah air itu berseru, menolak ”the party of death”: ”Aku datang dari tanah Ogun/negeri perempuan menampik cadar dan laki-laki/berbagi suka dengan bumi”. ~Majalah Tempo Edisi 30/XXXVII 15 September 2008~

Mukjizat September 8, 2008 Mukjizat tak pernah datang tanpa mengecoh. Manusia punya kemampuan besar untuk membentuk khayal jadi janji—dan mempercayai janji itu setelah mengemasnya dengan ”iman” atau ”ilmu”. Di zaman ”iman”, orang percaya akan deus ex machina, dewa yang keluar tiba-tiba dari ”mesin” dan menyelamatkan manusia dari tebing jurang bencana. Di zaman kini—persisnya di zaman ketika

seorang bernama Heru Lelono hidup di dekat Presiden Indonesia, di masa ketika kata ”ilmu” & ”teknologi” sering membuat mata silau—orang pun percaya akan blue energy dan padi ”Super Toy HL-2”. Tapi, untunglah, tak semua dan tak selamanya orang teperdaya. Mukjizat hanya laris ketika yang terkecoh dan yang mengecoh bersatu, ketika ada hasrat yang diam-diam mencekam, agar hari ini yang terpuruk dapat ditinggalkan dengan ”loncatan jauh ke depan”. Padahal, sejarah tak pernah terdiri atas loncatan seperti itu. Hasrat buat mendatangkan mukjizat selamanya gawal, bahkan ketika ia didukung ”iman” yang bergabung dengan ”ilmu”. Contoh yang terkenal adalah cerita Trofim Lysenko di Uni Soviet di masa kekuasaan Stalin. Pada 1927, dalam usia 29, anak petani Ukraina yang pernah belajar di Institut Pertanian Kiev ini menjanjikan mukjizat. Koran resmi Pravda (artinya ”Kebenaran”) menyebut Lysenko bisa ”mengubah padang gersang Transkaukasus jadi hijau di musim dingin, hingga ternak tak akan punah karena kurang pangan, dan petani Turki akan mampu hidup sepanjang musim salju tanpa gemetar menghadapi hari esok”. Dengan proses yang disebutnya ”vernalisasi”, Lysenko mengklaim ia mampu membuat keajaiban itu. Partai yang berkuasa—yang selamanya ingin dengan segera dapat kabar baik—mendukungnya, dan Stalin mendekingnya. Tak seorang pakar pertanian pun yang berani membantah. Sejak 1935, Lysenko bahkan diangkat ke jabatan yang penting: memimpin Akademi Ilmu-ilmu Pertanian. Di sini ia bisa menggeser siapa saja yang tak menyetujuinya. Baru pada 1964, hampir sedasawarsa setelah Stalin mangkat, ilmuwan terkemuka Andrei Shakarov secara terbuka mengecamnya: Lysenko-lah yang bertanggung jawab atas kemunduran yang memalukan bidang biologi Uni Soviet, karena ”penyebaran pandangan pseudo-ilmiah”, bahkan penyingkiran dan pembunuhan para ilmuwan yang sejati.

Kehendak untuk mukjizat acap kali berkaitan dengan hasrat untuk super-kuasa: ”iman” atau ”ilmu” seakan-akan bisa membawa seseorang ke sana. Itu sebabnya mukjizat yang mengecoh tak hanya terbatas pada kasus macam Lysenko. Ada contoh lain dari Cina. Menjelang akhir 1950-an, Mao Zedong—yang beriman kepada sosialismenya sendiri dan merasa sosialisme itu ”ilmiah”—menggerakkan rakyat di bawah kekuasaannya agar membuat ”loncatan jauh ke depan”. Mao ingin agar Cina yang ”terkebelakang” akan dengan waktu beberapa tahun jadi sebuah negeri industri yang setaraf Inggris. Caranya khas Mao: mobilisasi rakyat. Di pedesaan Cina yang luas, ribuan tanur tinggi untuk produksi baja dibangun dengan mengerahkan segala bahan yang ada. Hasilnya: baja yang tak bermutu. Sementara itu, di seantero Cina yang luas, selama dua tahun berjuta-juta petani telah dikuras tenaganya untuk itu, hingga sawah dan ladang telantar—dan kelaparan pun datang. Berapa juta manusia yang mati akibat itu, tak pernah bisa dipastikan. Keinginan untuk mendapatkan mukjizat mungkin sebanding dengan tingkat putus asa yang menghantui mereka yang mendambakan deus ex machina. Manipulasi Lysenko terjadi ketika Uni Soviet menghadapi krisis pangan setelah ladang-ladang pertanian diambil alih negara dan panen gagal bertubi-tubi. Saya kira fantasi Mao tak bisa dipisahkan dari trauma macam yang pada 1928 dilukiskan dalam A Learner in China: A Life of Rewi Alley tentang bocah-bocah buruh perajutan sutra di Shanghai, yang berbaris panjang, berdiri selama 12 jam di depan kuali-kuali perebus kepompong yang mendidih. Anak-anak berumur sekitar sembilan tahun itu menatap lelah, sementara jari tangan mereka bengkak memerah memunguti kepompong ulat sutra yang direbus itu. Para mandor berdiri di belakang mereka dengan cambuk kawat, tak jarang mendera bocah yang salah kerja. Ada yang menangis kesakitan. Di ruangan yang penuh uap dan panas itu, ”mereka terlalu sengsara untuk bisa dilukiskan dengan kata-kata”, tulis Alley.

Kita tahu, kesengsaraan itu juga tanda ketidakadilan. Dan memang tak mudah buat bersabar di hadapan itu. Maoisme berangkat dari kehendak menghabisinya, dengan rencana yang cepat dan tepat. Tapi apa yang ”tepat” dalam sejarah yang senantiasa bergerak, berkelok, dan tak jarang jadi kabur? Baik ”iman” maupun ”ilmu” acap kali membuat hal-hal jadi terlampau mudah diselesaikan. Apalagi jika, seperti dalam hal blue energy dan ”vernalisasi”, ada kekuasaan yang bersedia mendesakkan mukjizat itu. Tentu saja harus dicatat: Indonesia hari ini bukan Uni Soviet di masa Lysenko, bukan pula Cina di masa Mao. Di sini ”iman” dan ”ilmu” tak dibiarkan memegang monopoli. Informasi mengalir leluasa, pertanyaan dan keraguan dengan bebas dinyatakan, dan tiap pengetahuan diperlakukan hanya sampai kepada tingkat pengetahuan, bukan kebenaran. Dan di sini, bahkan kantor kepresidenan tak bisa dan tak hendak membungkam perdebatan. Mukjizat Lysenko dalam ilmu biologi berlangsung antara 1927 dan 1964, dengan korban yang tak sedikit. Mukjizat Mao lebih sebentar, tapi menghancurkan kehidupan jutaan manusia. Mukjizat blue energy dan ”Super Toy HL-2” lebih pendek umurnya. Mungkin kita perlu bersyukur. Kita masih bisa melihat keyakinan dan kepastian, ”iman” dan ”ilmu” sebagai kekuatan yang sementara. ~Majalah Tempo Edisi 29/XXXVII 08 September 2008~

Perang September 1, 2008 Ada sebuah pernyataan tentang perang yang seharusnya tak terlupakan, terutama ketika senjata masih terus diproduksi dan mesiu diledakkan dan manusia tak habis-habisnya sengsara: ”Tiap senjata yang dibuat, tiap kapal perang yang diluncurkan, tiap roket yang ditembakkan, menandai sebuah pencurian.” ”Pencurian” adalah kata yang mengejutkan. Tapi orang yang

mengucapkannya, Dwight D. Eisenhower, tahu apa yang dikatakannya. Ia—satu-satunya jenderal yang jadi presiden Amerika Serikat pada abad ke-20—melihat dengan tajam bahwa ada hubungan erat antara ekonomi persenjataan dan peperangan, sebuah hubungan yang disebutnya sebagai ”kompleks militerindustri”. Bagi Eisenhower, tiap kali perang disiapkan dan tiap kali meletus, sesuatu yang berharga diambil dari ”mereka yang lapar dan tak dapat makan, mereka yang kedinginan dan tak dapat baju”. Permusuhan bersenjata menghabiskan keringat para buruh dan kecerdasan para ilmuwan. Korban tak hanya di medan tembakmenembak. Di bawah bayang-bayang perang, ”kemanusiaan-lah yang terpentang di sebatang salib besi”. Eisenhower mengatakan itu pada 1953, kurang dari dua dasawarsa setelah perang besar menggerus dan mengubah Eropa dan Pasifik—sebuah perang tempat ia, sebagai prajurit, menyaksikan dan mengalami kegagalan dan kemenangan, seraya tahu bahwa di tiap medan tempur, kebrutalan, kebodohan, dan kesia-siaan tampak dengan jelas. Kini tahun 2008. Di Irak dan Afganistan seharusnya semua itu juga jelas. Tapi orang Amerika telah memilih persepsi lain tentang perang: sebagai bagian prestasi kegagahan, patriotisme, sikap setia kawan, dan keluhuran budi yang sudi berkorban sehabishabisnya. Empat tahun yang lalu, John Kerry, calon presiden Partai Demokrat, kalah karena ia diragukan kepahlawanannya dalam Perang Vietnam. Tahun ini, calon presiden dari Partai Republik, John McCain, seorang yang berumur 72 tahun, bisa jadi akan dipilih karena nun di masa lalu dia ”pahlawan perang”. Sebaliknya Obama, yang tak pernah terlibat dalam perang apa pun, dan menjanjikan sebuah masa depan yang berbeda, diragukan kemampuannya sebagai ”panglima tertinggi”. Ia bisa kalah karena itu. Kenangan bisa jadi aneh memang, dan masa lalu tak pernah

datang sendiri. Sejarawan Inggris terkenal, Tony Judt, dalam The New York Review of Books (1 Mei 2008), mengatakan sesuatu yang tajam dan menukik dalam: ”Amerika Serikat kini satu-satunya demokrasi yang telah lanjut di mana tokoh-tokoh publik mengagungkan dan menjunjung tinggi militer, sebuah perasaan yang dikenal di Eropa sebelum 1945 tapi tak terasa lagi sekarang.” Para politikus Amerika, kata Judt pula, mengelilingi diri dengan ”lambang dan pajangan yang menandai kekuatan bersenjata”. Judt menemukan sebabnya: perang belum pernah membuat Amerika remuk. Dalam pelbagai konflik abad lalu, Amerika tak pernah diserbu. Ia tak pernah kehilangan onggok besar wilayahnya karena diduduki negara asing. Bahkan, sementara AS amat diperkaya oleh dua perang dunia, Inggris kehilangan imperiumnya. Meskipun merasa dipermalukan dalam perang neokolonial di negeri jauh (di Vietnam dan di Irak), orang Amerika tak pernah menanggungkan akibat kekalahan secara penuh. Mereka bisa saja mendua dalam menyikapi aksi militer belakangan ini, tapi kebanyakan orang Amerika masih merasa bahwa perang yang dilancarkan negerinya adalah ”perang yang baik”. Korban jiwa Amerika juga tak sebanyak korban negara lain. Menurut catatan Judt, dalam Perang Dunia I, jumlah prajuritnya yang tewas kurang dari 120 ribu, sementara Inggris 885 ribu, Prancis 1,4 juta, dan Jerman di atas dua juta. Dalam Perang Dunia II, sementara AS kehilangan 420 ribu tentara, Jepang 1,2 juta, Jerman 5,5 juta, dan Uni Soviet 10,7 juta. Di dinding granit hitam monumen Perang Vietnam di Washington, DC, tercantum 58.195 orang Amerika yang mati; tapi jumlah itu dihitung selama 15 tahun pertempuran, sementara, kata Judt, tentara Prancis kehilangan dua kali lipat hanya dalam waktu enam minggu. ”Perang”, akhirnya, adalah sebuah pengertian yang disajikan dari bagaimana sejarah dibicarakan. Kini orang Amerika percaya, sejarah telah terbagi dua: sebelum dan sesudah ”11 September 2001”. Semenjak itu, masa lalu dan masa depan pun ditentukan oleh apa yang tumbuh pada tanggal itu: sikap waspada, takut,

malu, dan dendam yang berkecamuk pada hari-hari setelah para teroris menghancurkan dua gedung tinggi di Kota New York itu. Yang dilupakan: sejarah lebih lama dan lebih luas ketimbang hari itu. Seperti ditunjukkan Judt, terorisme tak hanya terjadi pada 11 September 2001. Apokalips tak hanya terjadi ”kini”, dan tak hanya mengenai orang Amerika. Dalam film Apocalypse Now, dari rimba Vietnam yang penuh kekejaman, Kolonel Kurtz memaparkan segala yang menakutkan, berdarah, absurd, edan, dan tak bertujuan. Pada akhirnya ia adalah sosok rasa ngeri dan kebuasan manusia, yang menyebabkan Perang Vietnam tak membedakan lagi mana yang ”biadab” dan yang ”beradab”. Di jantung kegelapan Sungai Mekhong, Kurtz dalam film Coppola pada 1979 itu adalah versi lain dari Kurtz di Sungai Kongo dalam novel Conrad pada 1899. Kita tahu ia manusia luar biasa. Tapi ia bagian dari konteks yang brutal. Itulah perang, itulah kekerasan kolektif yang meluas. Hanya mereka yang melihatnya dari jauh yang akan bertepuk tangan untuknya tanpa mendengar bisikan terakhir Kurtz: The horror! The horror! Eisenhower, yang menyaksikan perang dari dekat, tahu: dalam perang, apa yang luar-biasa, yang terkadang disebut kepahlawanan, jangan-jangan terkait dengan ”kebrutalannya, kesia-siaannya, kebodohannya”. ~Majalah Tempo Edisi. 28/XXXVII/01 – 07 September 2008~

Bintang Agustus 25, 2008 Kita sedang menyaksikan semacam nihilisme, dengan paras yang cantik. Ketika partai-partai politik tak lagi memaparkan apa yang mau mereka capai dengan bersaing dalam pemilihan umum, ketika mereka cuma memajang bintang sinetron untuk membujuk orang ramai, kita pun tahu: politik telah berubah. Kita tidak lagi hidup di abad ke-20. Kita tengah memasuki ”sindrom Italia”.

Di Italia, perempuan yang tersohor itu, pemain utama dalam sederet film porno, La Cicciolina, ikut dalam pemilihan umum pada pertengahan 1987. Ia dipilih; ia duduk di Parlemen mewakili ”Partai Cinta”. Pada 1992, ia terjun lagi, ketika di Italia pengangguran mencapai 11% dan inflasi 6%. Tahun ini tampil Milly D’Abbraccio. Ketika perempuan cantik ini masih lebih muda, ia pernah membintangi film yang berjudul, misalnya, Paolina Borghese, Maharani Nimfomaniak. Sesuatu yang terjadi di Italia tampaknya tak banyak berbeda dengan yang terjadi di Indonesia kini—meskipun di daftar calon legislator itu belum ada bintang blue film. Kita se-akan-akan mendengarkan suara orang Indonesia ketika dari apartemennya di Roma D’Abraccio berkata kepada wartawan Reuters: di sini, ”tiap orang sudah muak dengan wajah para politisi itu…. Mereka ganti nama partai, tapi orangnya sama saja. Masing-masing menjanjikan banyak hal, tapi tak ada yang terjadi.” Sudah begitu membosankankah demokrasi di Indonesia—yang baru lahir lagi 10 tahun yang lalu? Saya tak tahu. Tapi orang seperti butuh sesua-tu yang gemerlap ketika tak jelas lagi kenapa para pemilih diharapkan datang ke kotak suara. ”Rakyat”, yang di sepanjang abad ke-20 merupakan sebutan bagi sebuah kekuatan yang dahsyat (bahkan suci) karena dialah tenaga dasar perjuangan pembebasan, kini berganti jadi sehimpun angka dalam jajak pendapat. Tak ada sebuah agenda yang mengge-rakkan para pemilih agar aktif terlibat untuk sebuah re-publik yang lebih baik. Tujuan yang sejak Aristoteles disebut ”kebaikan bersama” tampaknya sudah hilang, atau dianggap sia-sia, atau kuno. Kini orang memandang politik dengan mencemooh. Nihilisme itu merayap dan mengambil tempat dengan tenang. Memang harus dikatakan, suasana ini berlangsung di banyak negeri. November 2007, di Universitas Pennsylvania sebuah panel diskusi diselenggarakan dengan judul, Democracy and Disappointment, dan Alain Badiou dan Simon Critchley berbicara.

Rasa kecewa bertemu dengan jemu ketika orang tahu bahwa ketidakadilan masih menginjak-injak sementara tak tampak lagi harapan akan terjadinya perubahan yang radikal. Jika ketidak-adilan itu adalah kapitalisme, kita tahu betapa saktinya dia: segala ikhtiar sejak abad ke-18 untuk meruntuhkannya gagal. Slavoj Zizek mengingatkan bahwa Marx menyamakan kekuasaan modal dengan vampir; kini salah satu persamaannya yang mencolok adalah bahwa ”vampir selalu bangkit lagi setelah ditikam sampai mati”. Apa yang bisa dilakukan menghadapi itu? Ada yang memutuskan untuk keluar dari medan pergulatan, dan memilih sikap seperti para nabi yang aktif bersuara tapi menjauhi istana, memperingatkan bahaya keserakahan bagi ”kebaikan bersama”. Ada pula yang jadi semacam rahib: setengah mengasingkan diri dan menolak menjunjung ”akal instrumental” yang selama ini dipakai untuk memanipulasikan orang lain dan dunia. Tapi tak jelas, apa yang berubah karena itu. Mereka yang lebih marah dan lebih ganas akan meledak-kan bom, menebar takut dan maut, seperti Al--Qa--i-dah. Tapi kini kita tahu, Al-Qaidah tak menghasilkan se-suatu yang lebih hebat ketimbang banyaknya kematian. Sang Iblis yang dimusuhinya tak musnah. Jaringan teror itu tak sebanding dengan Partai Komunis internasional yang juga gagal—meskipun dulu lengkap punya sebuah organisasi untuk memobilisasi massa, merebut kekuasa-an, dan membangun sebuah negeri, bukan hanya menambah jumlah musuh yang mati. Maka ada yang berkesimpulan, terhadap ketidakadilan yang bertahan itu, kita meng-ubah politik jadi parodi terhadap politik itu sendiri. Parade bintang sinetron itu, apalagi bintang porno, adalah contoh parodi yang tak disengaja: partai-partai berpura-pura menja-lankan ”politik”, tapi sebenarnya melecehkannya sebagai sesuatu yang layak diremehkan. Dengan bintang-bintang dan pesohor lain, yang esensial adalah -kemasan. Partai jadi komoditas,

lengkap dengan kha-yalan yang muncul: seakan--akan partai punya nilai dalam dirinya, tanpa proses kerja keras di jalan dan medan perjuangan. Kini kita punya media massa yang mempermudah pa-rodi itu. Terutama televisi, sumber informasi utama dan pabrik (juga ajang) fantasi orang Indonesia sekarang. Kita tahu televisi perlu menjangkau khalayak seluas-luas-nya; kalau tidak, ia akan gagal sebagai bisnis. Untuk itu ia membuat soal hidup dan mati sebagai sesuatu yang gam-pang dan sedap dipandang, acap kali menyentuh hati, tapi selamanya bisa dipecahkan dan segera dilewatkan. Sinetron tak ingin membuat kita seperti Pangeran Siddhar-ta yang tertegun melihat bahwa dunia ternyata sebuah sengsara yang layak direnungkan terus-menerus. Sinetron adalah sebuah statemen bahwa serius itu tak bagus. Ketika politik jadi versi lain dari sinetron, ia menjangkau orang ramai—tapi bukan karena sesuatu imbauan yang menggugah secara universal. Kalaupun ia berseru mengutuk ketidakadilan, itu pun hanya berlangsung untuk satu episode. Sejarah manusia yang dulu terdiri atas kemarahan dan pembebasan diganti dengan sesuatu yang jinak. Kini cerita manusia tetap masih gaduh, tapi itu kegaduhan suara merdu, tangis + ketawa galak yang palsu, dan bentrokan yang akan selesai ketika sutradara (atas titah produser, tentu saja), berseru, ”Cut!” Nihilisme itu memang bisa asyik. Ia memperdaya. ~Majalah Tempo Edisi. 25/XXXVIII/25 – 31 Agustus 2008~

Tahanan Agustus 18, 2008 Ketika Mahmoud Darwish meninggal, apa yang kita ingat? Sajak-sajaknya? Atau nasibnya yang seperti nasib Palestina: terkurung, melakukan apa yang dilakukan para tahanan dan dikerjakan para penganggur–yakni mengolah harap?

Di sini di lereng bukit, menatap malam dan meriam waktu di dekat kebun bayangan patah kita lakukan yang tahanan lakukan dan kerjakan yang penganggur kerjakan: mengolah harap ** Di sini tak ada “aku”. Di sini Adam mengingat debu dari lempung itu ** Di ambang mati, ia berkata: Aku tak punya jejak yang akan kutinggalkan: Aku bebas di dekat rapat kemerdekaanku. Masa depanku di tangan Dan akan segera kutembus hidup Aku akan lahir lepas, yatim piatu Memilih huruf lazuardi buat namaku… Bisakah kita mengingat kata-kata begitu saja, jika kata-kata itu tak punya sejarah? Jika, seperti dalam puisi Mahmoud Darwish, tak menyentak lepas dari tembok-tembok yang dibangun dengan paksa? Ketika Mahmoud Darwish meninggal, 9 Agustus yang lalu, dalam usia 67, sudah enam tahun lebih lamanya tembok itu berdiri. April 2002, Perdana Menteri Israel Ariel Sharon memulainya: dinding-dinding pembatas dari semen setinggi 10 meter dibangun. Kepada dunia luar dikesankan, tembok itu akan membatasi wilayah Israel dari wilayah Palestina–batas yang ditarik sejak 1947. Tapi dalam kenyataan tidak: bangunan itu meruyak masuk ke daerah

Palestina. Panjangnya 650 kilometer, merentang melintasi Tepi Barat Sungai Yordan dan Yerusalem Timur. Kawat berduri, radar, kamera, dan peralatan elektronik didirikan di atas parit yang digali di kedua sisi. Orang Palestina praktis tak bisa bergerak. Penduduk Kota elAzariyeh harus menggunakan alat pengangkat barang untuk menyeberangkan anak-anak mereka melintasi dinding untuk pergi sekolah. Di Kota Budrus tak ada klinik, sekolah menengah, dan 80 persen buruh yang tinggal tak bisa meninggalkan tempatnya buat kerja. Tembok itu telah menegaskan: ada yang ada di dalam dan ada yang harus ada di luar. Palestina adalah identitas yang telah memisahkan sejumlah manusia dari dunia–dan identitas pun jadi kebanggaan yang harus ditegakkan, tapi sekaligus beban yang harus ditanggung. Pada 1964, Darwish menulis sepotong sajak: Catat! Aku orang Arab/dan nomor KTP-ku 50.000/Dan yang kesembilan akan datang musim-panas nanti…. Catat! Aku orang Arab/Namaku tanpa gelar/Pasien di negeri tempatku tinggal. Kekuasaan dan kekerasan–kita tak tahu lagi mana yang datang lebih dulu–gemar membuat KTP, garis, tembok, peta. Tak cuma di Palestina, tentu. Kita ingat Tembok Berlin yang didirikan dengan paksa oleh titah Moskow untuk membagi dua kota itu. Ia mengerikan dan tinggi, rata-rata 3,5 meter, dan panjang, sepanjang 155 kilometer–tapi tak setinggi dan sepanjang tembok Ariel Sharon. Dan mungkin juga tak sekuat apa yang didirikan oleh pemerintah Israel, sebab keputusan itu didukung para pemilih yang yakin–atas nama keselamatan diri, meskipun untuk itu harus mencelakakan orang lain. Pada 9 Juli 2004, Mahkamah Internasional di Den Haag memutuskan tembok itu melanggar hukum yang menjaga hak asasi manusia. Mahkamah itu menganggap ilegal tiap bagian batas yang dibangun di wilayah Palestina. Tapi Den Haag begitu jauh. Kata-

kata para hakim begitu lamat-lamat. Keputusan itu telah jadi seperti kata-kata para penyair. Sekitar tahun 2002 Mahmoud Darwish, yang pernah jadi anggota Partai Komunis (yang percaya bahwa kesadaran dan bahasa tak hanya buat menafsirkan dunia), mengatakan, “Semula saya kira puisi dapat mengubah semuanya, dapat mengubah sejarah dan membuat hal jadi manusiawi… tapi sekarang saya kira puisi hanya mengubah penyairnya.” Dia mungkin pahit, atau dia mungkin mengejek ketidakberdayaannya sendiri. Tapi ia benar, meskipun tak sepenuhnya benar. Ketika kekuasaan dan kekerasan membentuk ruang jadi geometri yang mati, tiap kata puisi adalah tenaga yang cair, yang tak tampak, tapi mampu untuk melintasinya. Tiap kata puisi adalah “huruf lazuardi”–warna langit di atas Palestina, sesuatu yang mengembalikan pesona dan kebebasan–yang bisa dituliskan bahkan oleh seorang yang kehilangan semuanya, seorang yatim piatu sejarah, manusia tanpa proteksi dalam arti yang sehabishabisnya. api, kalaupun puisi tak punya dampak politik, setidaknya, berkat Mahmoud Darwish, dunia mendengar dari orang-orang yang terusir dan tinggal di kamp berpuluh tahun itu tak hanya ada tenaga para pembunuh. Dari Mahmoud Darwish kita tahu: di Palestina, ketidakadilan tegak dan dijaga ketat, sementara keadilan jadi tahanan di sel yang tersembunyi. Kita tak bisa meruntuhkan sel itu. Tapi kita tak bisa membenarkannya. ~Majalah Tempo Edisi. 25/XXXVII/18 – 24 Agustus 2008~

Tan Malaka, Sejak Agustus Itu Agustus 11, 2008 SAYA bisa bayangkan pagi hari 17 Agustus 1945 itu, di halaman sebuah rumah di Jalan Pegangsaan, Jakarta: menjelang pukul 09:00, semua yang hadir tahu, mereka akan melakukan sesuatu yang luar biasa.

Hari itu memang ada yang menerobos dan ada yang runtuh. Yang runtuh bukan sebuah kekuasaan politik; Hindia Belanda sudah tak ada, otoritas pendudukan Jepang yang menggantikannya baru saja kalah. Yang ambruk sebuah wacana. Sebuah wacana adalah sebuah bangunan perumusan. Tapi yang berfungsi di sini bukan sekadar bahasa dan lambang. Sebuah wacana dibangun dan ditopang kekuasaan, dan sebaliknya membangun serta menopang kekuasaan itu. Ia mencengkeram. Kita takluk dan bahkan takzim kepadanya. Sebelum 17 Agustus 1945, ia membuat ribuan manusia tak mampu menyebut diri dengan suara penuh, ”kami, bangsa Indonesia”–apalagi sebuah ”kami” yang bisa ”menyatakan kemerdekaan”. Agustus itu memang sebuah revolusi, jika revolusi, seperti kata Bung Karno, adalah ”menjebol dan membangun”. Wacana kolonial yang menguasai penghuni wilayah yang disebut ”Hindia Belanda” jebol, berantakan. Dan ”kami, bangsa Indonesia” kian menegaskan diri. Sebulan kemudian, 19 September 1945, dari pelbagai penjuru orang mara berduyun menghendaki satu rapat akbar untuk menegaskan ”kemerdekaan” mereka, ”Indonesia” mereka. Bahkan penguasa militer Jepang tak berdaya menahan pernyataan politik orang ramai di Lapangan Ikada itu. Dua tahun kemudian, meletus pertempuran yang nekat, sengit, dan penuh korban, ketika ratusan pemuda melawan kekuatan militer Belanda yang hendak membuat negeri ini ”Hindia Belanda” kembali. Dari medan perang itu Pramoedya Ananta Toer mencatat dalam Di Tepi Kali Bekasi: sebuah revolusi besar sedang terjadi, ”revolusi jiwa—dari jiwa jajahan dan hamba menjadi jiwa merdeka….”. Walhasil, sebuah subyek (”jiwa merdeka”) lahir. Agaknya itulah makna dari mereka yang gugur, terbaring, tinggal jadi ”tulang yang berserakan, antara Krawang dan Bekasi”, seperti disebut dalam sajak Chairil Anwar yang semua kita hafal. Subyek lahir sebagai

sebuah laku yang ”sekali berarti/sudah itu mati”, untuk memakai kata-kata Chairil lagi dari sajak yang lain. Sebab subyek dalam revolusi adalah sebuah tindakan heroik, bukan seorang hero. Dalam hal ini Tan Malaka benar: ”Revolusi bukanlah suatu pendapatan otak yang luar biasa, bukan hasil persediaan yang jempolan dan bukan lahir atas perintah seorang manusia yang luar biasa.” Tan Malaka menulis kalimat itu dalam Aksi Massa yang terbit pada 1926. Dua puluh tahun kemudian memang terbukti bahwa, seperti dikatakannya pula, ”Revolusi timbul dengan sendirinya sebagai hasil dari berbagai keadaan.” Itulah Revolusi Agustus. Tapi kemudian tampak betapa tak mudahnya memisahkan perbuatan yang heroik dari sang X yang berbuat, yang terkadang disambut sebagai ”hero” atau ”pelopor”. Sebab tiap revolusi digerakkan oleh sebuah atau sederet pilihan + keputusan, dan tiap keputusan selalu diambil oleh satu orang atau lebih. Dan ketika revolusi hendak jadi perubahan yang berkelanjutan, ia butuh ditentukan oleh satu agenda. Ia juga akan dibentuk oleh satu pusat yang mengarahkan proses untuk melaksanakan agenda itu. Sekitar seperempat abad setelah 1945, Bung Karno, yang ingin menegaskan bahwa Revolusi Agustus ”belum selesai”, mengutarakan sebuah rumus. Ia sebut ”Re-So-Pim”: RevolusiSosialisme-Pimpinan. Bagi Bung Karno, revolusi Indonesia mesti punya arah, punya ”teori”, yakni sosialisme, dan arah itu ditentukan oleh pimpinan, yakni ”Pemimpin Besar Revolusi”. Tan Malaka tak punya rumus seperti itu. Tapi ia tetap seorang Marxis-Leninis yang yakin akan perlunya ”satu partai yang revolusioner”, yang bila berhubungan baik dengan rakyat banyak akan punya peran ”pimpinan”. Bahwa ia percaya kepada revolusi yang ”timbul dengan sendirinya”, hasil dari ”berbagai keadaan”, menunjukkan

bagaimana ia, seperti hampir tiap Marxis-Leninis, berada di antara dua sisi dialektika: di satu sisi, perlunya ”teori” atau ”kesadaran” tentang revolusi sosialis; di sisi lain, perlunya (dalam kata-kata Tan Malaka) ”pengupasan yang cocok betul atas masyarakat Indonesia”. Di situ, ada ambiguitas. Tapi ambiguitas itu agaknya selalu menghantui agenda perubahan yang radikal ke arah pembebasan Indonesia. lll TAK begitu jelas, apa yang dikerjakan Tan Malaka pada Agustus 1945. Yang bisa saya ikuti adalah yang terjadi sejak proklamasi kemerdekaan bergaung. Beberapa pekan setelah 17 Agustus 1945, di Serang, wilayah Banten, Tan Malaka bertemu dengan Sjahrir. Mungkin itulah buat pertama kalinya tokoh kiri radikal di bawah tanah itu berembug dengan sang tokoh sosial demokrat. Tan Malaka dan Sjahrir secara ideologis berseberangan; seperti halnya tiap Marxis-Leninis, Tan Malaka menganggap seorang sosial-demokrat sejenis Yudas. Tapi seperti dituturkan kembali oleh Abu Bakar Lubis —orang yang menyatakan pernah dapat perintah Presiden Soekarno untuk menangkap Tan Malaka—dalam pertemuan di Serang itu Tan Malaka mengajak Sjahrir untuk bersama-sama menyingkirkan Soekarno sebagai pemimpin revolusi. Menurut cerita yang diperoleh A.B. Lubis pula, Sjahrir menjawab: jika Tan Malaka bisa menunjukkan pengaruhnya sebesar 5 persen saja dari pengaruh Soekarno di kalangan rakyat, Sjahrir akan ikut bersekutu. Ada sikap meremehkan dalam kata-kata Sjahrir itu. Konon ia juga menasihati agar Tan Malaka berkeliling Jawa untuk melihat keadaan lebih dulu sebelum ambil sikap. Jika benar penuturan A.B. Lubis (saya baca dalam versi Inggris, dalam jurnal Indonesia, April 1992), pertemuan di Serang itu lebih berupa sebuah perselisihan: sang ”radikal” tak cocok

dengan sang ”pragmatis”. Tan Malaka tampaknya hendak menjalankan tesis Trotsky tentang ”revolusi terus-menerus”. Bagi Trotsky, di sebuah negeri seperti Rusia dan Indonesia—yang tak punya kelas borjuasi yang kuat—revolusi sosialis harus berlangsung tanpa jeda. Trotsky tak setuju dengan teori bahwa dalam masyarakat seperti Rusia dan Indonesia revolusi berlangsung dalam dua tahap: pertama, tahap ”borjuis” dan ”demokratis”; kedua, baru setelah itu, ”tahap sosialis”. Bagi Trotsky, di negeri yang ”setengah-feodal dan setengahkolonial”, kaum borjuis terlampau lemah untuk menyelesaikan agenda revolusi tahap pertama: membangun demokrasi, mereformasi pemilikan tanah, dan menciptakan pertumbuhan ekonomi. Maka kaum proletarlah yang harus melaksanakan revolusi itu. Begitu tercapai tujuannya, kelas buruh melanjutkan revolusi tahap kedua, ”tahap sosialis”. Ini tentu sebuah pandangan yang terlampau radikal—bahkan bagi Rusia pada tahun 1920-an, di suatu masa ketika Lenin terpaksa harus melonggarkan kendali Negara atas kegiatan ekonomi, dan kelas borjuis muncul bersama pertumbuhan yang lebih pesat. Di Indonesia agenda Trotskyis itu bisa seperti garis yang setia kepada gairah 1945. Dilihat dari sini, niat Tan Malaka tak salah: ia, yang melihat dirinya wakil proletariat, harus menggantikan Soekarno, wakil kelas borjuis yang lemah. Tapi Sjahrir, sang ”pragmatis”, juga benar: pengaruh Tan Malaka di kalangan rakyat tak sebanding dengan pengaruh Bung Karno. Dunia memang alot. Di sini ”pragmatisme” Sjahrir (yang juga seorang Marxis), sebenarnya tak jauh dari tesis Tan Malaka sendiri. Kita ingat tesis pengarang Madilog ini: revolusi lahir karena ”berbagai keadaan”, bukan karena adanya pemimpin dengan ”otak yang luar biasa”. Tapi haruskah seorang revolusioner hanya mengikuti ”berbagai keadaan” di luar dirinya? György Lukács, pemikir Marxis yang oleh Partai Komunis pernah dianggap menyeleweng itu, membela

dirinya dalam sebuah risalah yang dalam versi Jerman disebut Chvostismus und Dialektik, dan baru diterbitkan di Hungaria pada 1996, setelah 70 tahun dipendam. Dari sana kita tahu, Lukács pada dasarnya dengan setia mengikuti Lenin. Ia mengecam ”chvostismus”. Kata ini pernah dipakai Lenin untuk menunjukkan salahnya mereka yang hanya ”mengekor” keadaan obyektif untuk menggerakkan revolusi. Bagi Lenin dan bagi Lukács, revolusi harus punya komponen subyektif. Tentu, ada baku pengaruh antara dunia subyektif dan dunia obyektif; ada interaksi antara niat dan kesadaran seorang revolusioner dan ”berbagai keadaan” di luar dirinya. Tapi, kata Lukács, di saat krisis, kesadaran revolusioner itulah yang memberi arah. Penubuhannya adalah Partai Komunis. Tapi seberapa bebaskah ”kesadaran revolusioner” itu dari wacana yang dibangun Partai itu sendiri? Saktikah Partai Komunis hingga bisa jadi subyek yang tanpa cela, sesosok hero? Ternyata, sejarah Indonesia menunjukkan PKI juga punya batas. Partai ini harus mengakui kenyataan bahwa ia hidup di tengah ”lautan borjuis kecil”. Agar revolusi menang, ia harus bekerja sama dengan partai yang mewakili ”borjuis kecil” itu. Ia tak akan berangan-angan seperti Tan Malaka yang hendak merebut kepemimpinan Bung Karno. Di bawah Aidit, PKI bahkan akhirnya meletakkan diri di bawah wibawa Presiden itu. Pada 1965 terbukti strategi ini gagal. PKI begitu besar tapi kehilangan kemandirian dan militansinya. Ia tak melawan pada saat yang menentukan, tatkala militer dan partai ”borjuasi kecil” yang selama ini jadi sekutunya menghantamnya. PKI terbawa patuh mengikuti jalan Bung Karno, sang Pemimpin Besar Revolusi, yang mementingkan persatuan nasional. Terkurung di bawah wacana ”persatuan nasional”, agenda radikal tersisih dan sunyi. Terutama dari sebuah Partai yang mewakili sebuah minoritas—yakni proletariat di sebuah negeri yang tak punya mayoritas kaum buruh. Tan Malaka sendiri mencoba

mengelakkan ketersisihan itu dengan tak hendak mengikuti garis Moskow, ketika pada 1922 ia menganjurkan perlunya Partai Komunis menerima kaum ”Pan-Islamis”—yang bagi kaum komunis adalah bagian dari ”borjuasi”—guna mengalahkan imperialisme. Tapi ia juga akhirnya sendirian. Sang radikal, yang ingin mengubah dunia tanpa jeda tanpa kompromi, bergerak antara tampak dan tidak. Ia muncul menghilang bagaikan titisan dewa. Sejak Agustus 1945, Tan Malaka adalah makhluk legenda. Sebuah legenda memang memikat. Tapi dalam pembebasan mereka yang terhina dan lapar, sang pahlawan sebaiknya mati. Revolusi tak pernah sama dengan dongeng yang sempurna. Jakarta, 7 Agustus 2008. ~Majalah Tempo Edisi. 25/XXXVII/11 – 17 Agustus 2008~

El Cambio Agustus 4, 2008 Akhirnya, Obama kembali ke dalam kisah yang biasa: sejarah politik adalah sejarah kembang api. Pada suatu hari yang gelap, sebuah partai atau seorang tokoh politik dengan cepat terlontar bercahaya ke angkasa, bak bintang luncur dengan suara riuh. Tapi tak lama kemudian, ia tak tampak. Ia malah mungkin jatuh sebagai arang yang getas. Ketika Obama masuk ke gelanggang persaingan untuk jadi calon presiden, ia seperti kembang api. Ia berseru, Change!—dan sebagai orang kulit berwarna pertama dalam posisi itu sejak Amerika berdiri pada abad ke-18, ia seakan-akan pengejawantahan ”perubahan” itu sendiri. Tapi benarkah? Waktunya memang tepat. Amerika Serikat kini dalam titik terburuk. Presiden Bush hanya bisa mengulang katakata klise untuk kebijakan yang kuno dan keliru: jingoisme ala Perang Dingin, paranoia politik ala tahun 1950-an, dan ekonomi

pasar yang memproduksi pengangguran seakan-akan John Maynard Keynes belum lahir. Perang ”antiterorisme”-nya gagal menyetop bom yang diledakkan dengan pekik ”anti-Amerika”. Perang Irak-nya berangkat dengan kebohong-an besar dan berlanjut tanpa diketahui kapan selesai. Amerika tak lagi punya wibawa moral dalam perjuangan demokrasi: ia melanggar hak asasi manusia tanpa malu-malu bertahun-tahun di Guantanamo. Dengan latar seperti itu, Obama menggugah. Tapi benar dahsyatkah ”perubahan” yang disuarakannya? Demokrasi adalah sistem dengan rem tersendiri—juga ketika keadaan buruk dan harus dijebol. Pemilihan umum adalah mesin yang mengikuti statistik. Tiap pemungutan suara terkurung dalam ”kurva lonceng”: sebagian besar orang tak menghendaki perubahan yang ”ekstrem”. Statistik menunjukkan ada semacam tendensi bersama untuk tak memilih hal yang mengguncangguncang. Terutama di masyarakat yang melihat diri sen-diri dengan puas dan menyanyi God Bless America tanpa jemu. Statistik itu status quo. Dalam haribaan ”kurva lonceng”, Obama jinak. Ia tak akan bersedia mengubah politik Amerika dengan yang baru yang menggebrak. Akan sulit kita menemukan perbedaan pandangannya tentang Palestina dari posisi Bush. Ia, yang harus mencari dukungan lobi Israel di Amerika, tak akan nekat bilang akan mengajak Hamas ke meja perundingan. Ia tak akan berani menampik sepenuhnya hak orang Amerika memiliki senjata api pribadi, meskipun korban kekerasan di negeri itu tak kunjung reda. Ia tak akan bertekad mengubah sikap orang Amerika yang cenderung memandang perang sebagai kegagahan pa-triotik, bukan kekejaman. Seraya bersaing ketat dengan McCain, ia—yang memproklamasikan diri sebagai pemersatu Amerika, negarawan yang akan menyembuhkan negeri yang terbelah antara ”biru” dan ”merah”—akan tampil sebagai si pembangun konsensus.

Tapi konsensus tak akan mudah jadi wadah bagi the audacity of hope. Saya teringat Spanyol pada 1982, ketika kediktatoran Franco sedang digantikan dengan demokrasi yang gandrung perubahan. Felipe Gonzáles Márquez, waktu itu 40 tahun, memikat seluruh negeri. Partai Sosialisnya menawarkan lambang kepalan tangan yang yakin dan mawar merah yang segar. Semboyannya: Por El Cambio. Ia menang. Ia bahkan memimpin Spa-nyol sampai empat masa jabatan. Tapi berangsur-angsur, partai yang berangkat dari semangat kelas buruh yang radikal itu kian dekat dengan kalangan uang dan modal. Di bawah kepemimpinan Gonzáles, Spanyol jadi anggota NATO dan mendukung Amerika dalam Perang Teluk 1991. Politik jadi biasa-biasa saja. Sebagai tanda bagaimana demokrasi tak menginginkan yang luar biasa, Partai Sosialis menang berturut-turut. Kini orang melucu dengan mengatakan, kata cambio (”perubahan”) berakhir di kios Cambio, penukaran mata uang. Mungkin itu indikasi bahwa ”perubahan” pada -akhirnya harus dibatasi oleh sinkronisasi -pengalaman orang ramai dan diatur oleh logika toko serba ada. Tiap kampanye politik kian mirip dengan advertensi makanan-cepat saji: kita tak tahu persis apa beda isi daging McDo-nald’s dan Burger King; kita hanya menikmatinya karena melihat banyak orang merasa menikmatinya; dan kita pun merasa kenyang dan sedikit keren. Itulah haribaan ”kurve lonceng”—di mana tiap Obama akhirnya akan turun dari ketinggian gemebyar kembang api. Dalam arti tertentu ia bintang. Tapi ia seperti planet mati: bercahaya, jika dilihat dari jauh. Dari dekat, ia bukan lagi sebuah otoritas. Kehidupan politik yang melahirkannya kehilangan greget yang subyektif. Keberanian disimpan dalam laci. Dengan kata lain, kita hidup dalam masa ”pasca-politik”, seperti kata Agamben. Dengan tontonan yang digelar oleh dan lewat media massa, satu kenyataan telah disamarkan: tiap orang telah jadi obyek ”biopolitik”. ”Cacah jiwa” berubah jadi ”cacah badan”; dengan itu seorang warga dikemas dan dikelola administrasi

negara, jadi satuan yang diperlakukan ”sekadar hidup”. Tentu, ada yang dilebih-lebihkan dalam diagnosis so-sial ala Agamben. Tapi itu indikasi bahwa kita kini perlu memikirkan lagi bagaimana menghadapi demokrasi. Kita bisa memilih bersikap pragmatis: kita terima cacat demokrasi sebagai yang tak terelakkan dan kita manfaatkan kelebihannya. Sikap pragmatis bisa menenangkan hati, tapi ia akan mudah menghalalkan penyumbatan darah dalam tubuh sosial. Artinya akan tertutup luka dan sakit, dan akan tersingkir hasrat, harapan, dan imajinasi yang berani menuntut sesuatu yang radikal. Sebab sejarah politik sebenarnya tak selalu hanya sejarah kembang api. Kita bahkan bisa membacanya seba-gai perjalanan antariksa dalam kisah Star Trek yang belum pernah ditulis: penjelajahan mendapatkan Ratu Adil dalam ketak-berhinggaan semesta. Kita yakin kita akan menemuinya, seraya berusaha mengerti kenapa Kafka berkata: ”Sang Juru Selamat hanya akan datang ketika ia tak dibutuhkan lagi”. ~Majalah Tempo Edisi. 24/XXXVII/04 – 10 Agustus 2008~

67 Tahun Juli 29, 2008 Met Ultah Mas Goen Kau tak akan bisa menghitung Seberapa besar pengaruhmu Buat para liyan ~anick, admin~

Api, Laut Juli 28, 2008 Bung Karno jadi presiden dalam usia 44. Soeharto memimpin

gerilya ke Kota Yogya dalam umur 26. Ali Sadikin jadi gubernur ketika ia 39 tahun. Apa yang menyebabkan keadaan seperti itu kini tak terjadi lagi? Kenapa kini, pada awal abad ke-21 ini, sejumlah orang harus berteriak, seakan-akan mendesakkan yang tak lumrah, memberitakan yang tak lazim, bahwa mereka yang masih muda bisa jadi pemimpin? Memang ganjil, sebenarnya. Indonesia belum tua benar. Enam puluh tiga tahun adalah waktu yang pendek bahkan dalam tarikh kepulauan ini sendiri. Tapi rupanya sesuatu terjadi: kini Indonesia tak berada dalam sebuah krisis dan lebih dari itu, kini kita telah terbiasa gentar untuk krisis. Tak ada lagi tanah longsor politik, yang menyebabkan lembaga-lembaga yang ada retak atau runtuh. Tak ada celah tempat munculnya sesuatu yang baru sama sekali. Tak ada awal yang seakan-akan murni dan sepenuhnya awal. Kita bisa bernapas lega. Tapi jangan-jangan kita sebenarnya sedang tidak benarbenar bernapas. Sebab, seperti dialami Indonesia pada tahun-tahun revolusi— dari 1945 sampai 1949—dari retakan tanah longsor itulah, ketika sejarah bagaikan dipenggal, bisa lahir pemimpin yang justru jadi penting karena ia tak punya masa lalu. Bukan kebetulan Benedict Anderson menyebut masa itu masa ”Revolusi Pemuda”: yang muda tak hanya berada di garis depan yang menghela maju, tapi juga di belakang, jadi pendorong. Gemuruh itu menemukan jejaknya, dengan sedikit mencongmencong, dalam organisasi-organisasi pemuda. Ada Gerakan Pemuda Marhaen, Gerakan Pemuda Islam Indonesia, Pemuda Rakyat, Pemuda Sosialis, Pemuda Ansor—dan pada 1958 sampai 1966, sebagian dari ”gerakan” itu disingkirkan dan sebagian dihidupkan kembali, sebuah tanda bahwa sesuatu sedang guncang di masa itu. Pada 1958, Bung Karno menyebut tema ”Manifesto Politik”

yang dimaklumkannya ”penemuan kembali revolusi kita”. Sampai 1965, kata ”revolusi” jadi sakti kembali. Tak berarti masa itu adalah masa yang seluruhnya layak dirindukan kembali: ”revolusi”, walaupun dalam bentuk separuh retorika belaka, punya korbannya sendiri. Tapi ada yang kuat di sana, dan suasana seperti matang kembali, berseru, seperti Chairil Anwar berseru: Ayo Bung Karno, kasi tangan mari kita bikin janji Aku sudah cukup lama dengan bicaramu dipanggang di atas apimu, digarami lautmu Kemudian datang 1965-1966: api itu membakar, laut itu menghantam, ke sana-kemari, dan dari arang dan puing Indonesia berpegang erat-erat, dengan rasa takut dan paranoia, sebuah keadaan yang disebut ”stabilitas”. Gemuruh dan gejolak dicegah. Revolusi digantikan Kontrarevolusi. Lembaga-lembaga dikukuhkan. Sistem dan prosedur dimantapkan. Dalam keadaan itu, yang muda tak bisa lagi berkata, seperti Chairil berkata, ”aku sekarang api, aku sekarang laut”. Berangsurangsur, yang muda jadi bagian penopang bangunan yang didirikan dan diberi nama ”Orde Baru”: jadi paku, sekrup, dan penyangga—hal-hal yang tak bisa mengguncang, bahkan diadakan buat melawan guncangan. Para pemuda bukan lagi bergerak, melainkan harus antre dengan tertib. ”Orde Baru” adalah sebuah masa ketika kita praktis tak mendengar lagi kata ”pemuda” sebagai yang terkait dengan gerakan. Kita tak mendengar dengus napasnya. Politik memang mati pada masa itu. Kini, sejak 1998, ia memang hidup kembali, tapi tiap ”Reformasi”—bahkan sebenarnya juga tiap Revolusi—tak hanya mengandalkan sisi destruktif dari sikap menampik. ”Reformasi” tak hanya terdiri dari sisi yang merusak dari ”negasi”. Tiap ”Reformasi” mengandung sisi yang ”afirmatif”. Tiap ”Reformasi” menunjukkan kemungkinan lahirnya tatanan baru yang sebenarnya bukan sebuah awal yang benarbenar awal.

Tapi dengan demikian ”Reformasi” mengandung kemungkinan berubahnya tatanan itu jadi kontra-reformasi. Ada satu fragmen dari sajak Pier Paolo Pasolini, Vittoria, yang pernah dikutip Alain Badiou—sebuah sajak yang dimulai dengan kalimat yang muram, ”semua politik adalah Realpolitik”. Dari sini kita temukan gambaran yang murung: pasukan anak muda yang telah gugur, yang datang kembali dan menunggu. Tak mustahil bila ”ayah mereka, pemimpin mereka, terlibat habis dalam sebuah debat yang misterius dengan Kekuasaan”. Tak mustahil bila sang ayah akan meninggalkan mereka, ”di pegunungan putih, di lembah yang anteng…”. Tak mustahil—bahkan itulah yang terjadi kini. Politik hidup kembali, tapi tampaknya anak-anak muda telah ditinggalkan. Sepuluh tahun setelah Reformasi, tetap tak ada tampak gerakan pemuda dalam radar politik Indonesia. Partai-partai yang kini sibuk tak henti-hentinya terlibat dalam ”debat yang misterius dengan Kekuasaan” dan ke luar dari sana dengan tubuh yang gemuk tapi tua. Tubuh itu tampak tua tentu saja karena Megawati, dalam umur 61, tetap ingin jadi presiden sekali lagi. Juga karena Abdurrahman Wahid, 68 tahun, belum hendak melepaskan niatnya buat kembali jadi kepala negara. Tapi bukan hanya itu soalnya. Ketuaan itu terasa ketika partai-partai memang tidak dimaksudkan untuk jadi ”api” dan ”laut”—kekuatan yang bisa destruktif tapi juga bisa menggerakkan perubahan. Buat sebuah perubahan sosial, mereka yang tak terikat masa lalu—para pemuda—diperlukan di depan, sebagai penghela dan pendorong. Tapi jika kini kita tak melihat mereka, itu karena partai hanya jadi sebuah tempat pengawet, berangkat dari keinginan untuk kembali, bukan untuk sebuah gerakan maju. ~Majalah Tempo Edisi. 23/XXXVII/28 Juli – 03 Agustus 2008~

Gerai Juli 21, 2008

Mungkinkah Indonesia akhirnya hanya sederet partai? Sekitar seabad yang lalu, kita tak akan berkeberatan dengan itu. Indische Partij, Partai Komunis, Partai Sarekat Islam, PNI, dan lain-lain lahir. Mereka datang dengan keyakinan. Pada masa itu, ”politik” adalah gugatan. ”Politik” adalah usaha membongkar sebuah wacana yang dianggap cacat, tapi dijejalkan oleh mesin kekuasaan kolonial sebagai konstruksi yang final. Menghadapi itulah ”politik” adalah ”pergerakan”. Berarti, di dalamnya ada kehendak mengubah keadaan, ke arah emansipasi sosial dan musnahnya ketidakadilan. Dengan kata lain, ada social imaginary: sebuah gambaran yang menggerakkan hati tentang sebuah kehidupan masyarakat yang lain, walaupun gambaran itu bukan sebuah desain yang siap. Konon, pada awal abad ke-20, di asrama mereka, para murid STOVIA—yang kemudian jadi bara pertama perlawanan antikolonialisme—tiap malam menyanyikan lagu revolusi Prancis dengan berkobar-kobar: ”Kita lawan tirani!” Berkobar-kobar—Chantal Mouffe menyebut arti passion dalam politik: fantasi, hasrat, ”semua hal yang tak dapat diringkus jadi kepentingan dan rasionalitas”, semua hal yang membentuk subyektivitas manusia. Dengan catatan: ”subyektivitas” itu bukan tentang ”aku”. Ia justru timbul karena ada sesuatu yang universal yang datang mengimbau, sesuatu yang berarti bukan cuma buatku, tapi bagi engkau, bagi sesama, sebuah dunia yang melampaui jagat kecilku. Dari situlah passion, atau gelora hati, terbit. Mouffe bahkan menyebut perlunya ”mobilisasi gelora hati”. Sebab politik sebuah partai yang menganggap dirinya bagian dari pergerakan, sebuah partai dengan ”imajinari sosial” yang menggugah passion—partai politik yang seperti itu bukanlah tanda nafsi-nafsi. Justru sebaliknya: didirikan hanya segelintir orang pun—seperti halnya Indische Partij—partai seperti itu pada dasarnya ingin

menjangkau liyan, mereka yang lain yang juga sesama. PNI yang berangkat atas nama kaum ”marhaen” dan PKI yang atas nama kaum buruh keduanya membayangkan sebuah masyarakat di mana marhaen dan proletar akan lenyap, sebab tak akan ada kelas sosial lagi: manusia akan sama rata, sama rasa. Tapi adakah partai yang seperti itu sekarang? Kini sejumlah partai baru muncul bagaikan lapak dan gerai, kios dan show-room. Inilah zaman ketika advertensi tak henti-hentinya menyusupi ruang kehidupan. Inilah masa ketika hasil jajak pendapat umum jadi ukuran yang lebih penting ketimbang kebenaran, ketika penampilan yang atraktif dan riuh-rendah di televisi lebih efektif ketimbang prestasi dan gagasan sosial yang menggugah. Berangsur-angsur, dalam lapak dan gerai itu yang lebih menentukan bukanlah benda yang ditawarkan. Yang lebih penting: kemasan. Sebuah parodi yang tak disengaja naik pentas: politik jadi pekan raya. Tiap tauke kios akan berusaha mendapatkan pembeli sebanyak-banyaknya. Tapi ketegangan hanya terbatas di situ: tak akan ada yang menggugat wacana yang mendukung (dan didukung) pekan raya itu sendiri. Jika dulu lahirnya partai politik adalah isyarat tentang apa yang berlubang dalam situasi di mana ia lahir, kini partai berdiri sebagai indikator sebaliknya: terbukanya peluang untuk investasi—yang hanya bisa dilakukan mereka dengan kekayaan yang surplus. Di sini memang politik tampak sebagai jalan yang aman. Partai tak akan jadi pembelot. Tapi saya kira sebetulnya sebuah fragmentasi diam-diam berlangsung. Sebab inilah politik tanpa ”imajinari sosial”, tanpa gelora hati, tanpa militansi. Inilah politik yang tak membentuk subyektivitas yang lahir karena terpanggil oleh yang universal. Memang ada niat menjangkau pelanggan di mana saja, kapan saja. Tapi ini cuma universalitas sebagai façade. Dalam percakapan para juru kampanye partai, seperti di kantor

perdagangan, orang bicara bukan jangkauan yang tanpa batas, melainkan tentang ”segmen pasar”. Tentu, di pekan raya, para tauke memang bisa membuat usaha patungan. Tapi pada awal dan akhirnya yang berlaku adalah kemasing-masing-an. Para pemilih akan datang bak konsumen. Tapi sejauh mana mereka yakin? Inilah zaman ketika kita tahu bahwa iklan mengandung dusta tapi kita toh membiarkan diri terpikat—zaman berkuasanya perangai ”akal yang sinis”, der Zynischen Vernunft, dalam diagnosis Peter Sloterdijk. Mungkin kita tak akan punya lagi gelora hati dalam politik. Tapi kita tak bisa mengelakkan keniscayaan hadirnya partai di sebuah demokrasi. Haruskah kita jadi ronin di luar dinding Negara? Jangan-jangan. Bagaimanapun, sebuah masyarakat tak akan dapat mengelakkan dimensi politiknya—politik sebagai pertarungan: konsensus akan selalu berlubang, ketakadilan akan menimbulkan jerit. Saya masih percaya, di dalam dan di luar partai, jerit itu tak akan jadi bisu. Akan selalu muncul mereka yang setia kepada gelora hati para penggugat, segumpal subyektivitas yang terbit dalam militansi, sujet fidèle dalam pengertian Alain Badiou. Saya teringat pada senja 22 Juni 1996. Di satu ruang kantor Lembaga Bantuan Hukum di Jalan Diponegoro, Jakarta, di bawah lampu neon yang tak terang, sejumlah pemuda duduk. Kurus, lusuh, tapi intens. Di leher mereka terkalung bandana merah. Mereka memaklumkan berdirinya Partai Rakyat Demokratik, sebuah partai kiri—ketika suasana tambah represif di bawah ”Orde Baru” dan apa saja yang merah dan kiri dihabisi dan tiap partai alternatif akan dibabat. Di ruang itu saya duduk bersama Pramoedya Ananta Toer memandangi mereka. Kami tahu, ke sana mata-mata penguasa mengintip, senjata disiapkan, penjara dicadangkan. Tapi anak-anak muda tetap saja dengan upacara sederhana yang bersejarah itu. Bersejarah, apalagi bila dibandingkan dengan pesta kelahiran

partai-partai hari ini. ~Majalah Tempo, Edisi. 22/XXXVII/21 – 27 Juli 2008~

La Police Juli 14, 2008 Syahdan, Riziq mengunjungi sebuah sekolah di Aceh, setahun setelah Meulaboh dihancurkan tsunami. Ia dipersilakan bicara di depan sebuah kelas yang baru dibangun kembali. Ia senang, sebab dulu, sebelum jadi anggota DPR, ia seorang dosen jurus-an sastra Inggris. Ia pun maju. Sambil mengingat bencana yang terjadi di Aceh, ia menulis di papan tulis: T-R-A-G-E-D-I. ”Anak-anak,” katanya kepada murid-murid sekolah menengah itu, ”kalian tahu apa arti tragedi?” ”Tahu, Pak!” jawab para murid hampir serentak. ”Bagus! Coba beri contoh bagaimana sebuah tragedi terjadi!” Murid A: ”Apabila seorang tua memanjat pohon mangga untuk memetik sebuah buat cucunya yang sakit—tapi ia terjatuh dan mati.” Riziq: ”Oh, itu bukan tragedi. Itu kecelakaan.” Murid B: ”Apabila sebuah asrama yang dihuni serombongan olahragawan nasional kena gelombang tsunami dan semuanya tewas.” Riziq: ”Oh, itu bukan tragedi. Itu namanya kehilangan besar yang menyedihkan bangsa. Murid C: ”Apabila Bapak dan tujuh orang anggota DPR lain terbang dengan sebuah helikopter, dan tiba-tiba pesawat terguncang, terbalik, dan bapak semua jatuh ke dalam jurang.” Riziq: ”Nah, itu yang benar—itulah contoh tragedi. T-R-A-G-ED-I! Coba kamu terangkan kepada teman-temanmu, kenapa itu

bisa disebut tragedi.” Murid C: ”Pertama, karena itu pasti bukan kecelakaan. Kedua, karena itu pasti bukan sebuah kehilangan besar yang menyedihkan bangsa.” Satire yang mencemooh para politikus legislator ma-cam ini pasti kini mulai bermunculan. Mungkin lucu, mungkin pahit, atau kasar, tapi semuanya sebuah gejala krisis kepercayaan yang gawat: politik telah kehilangan makna sosialnya. Bila beberapa orang anggota DPR ditahan karena menerima suap, bila partai didirikan hanya untuk mengusung pemimpinnya agar jadi presiden, bila mereka yang ingin jadi presiden tak jelas apa maunya selain mengelus-elus ego sendiri, orang Indonesia akan memandang ke pemilihan umum pada 2009 dengan angkat bahu: apa gunanya ramai-ramai itu buatku? Nila setitik memang membuat susu sebelanga rusak. Dari sekian ratus anggota DPR, tentu banyak yang tak terima suap. Pasti ada yang rajin membahas rencana undang-undang dengan serius dan tekun mengunjungi orang-orang yang memilih mereka, untuk tahu apa yang diinginkan agar keadaan bisa lebih baik. Tapi tampaknya tak terelakkan: persoalan besar Indonesia, satu dasawarsa setelah kembali ke demokrasi dengan pemilihan bebas, adalah bagaimana merawat kepercayaan bahwa pemilihan bebas itu diperlukan. Tanpa kepercayaan itu, apa jadinya Indonesia? Negeri ini sebuah bangunan dalam waktu: ia berubah, bersama penghuninya, dengan kelemahan, kekuatan, dan harap-an mereka. Semuanya tak bisa mandek. Bila Indonesia belum berniat bunuh diri, pemilihan bebas adalah satu cara yang baik untuk mengikuti niat hidup itu. Kalau tidak, tubuh sosial akan kaku-beku oleh usia—dan mudah retak, bahkan patah. Tubuh sosial itu diwakili Parlemen. Tapi dengan itu Parlemen tak bisa menganggap diri identik dengan masyarakat: wakil adalah

hanya wakil. Sementara ia tak bisa jadi tempat yang sanggup menyelesaikan tuntas soal keadilan, ia tak bisa mengelak dari kenyataan bahwa dalam tubuh sosial selalu bersembunyi apa yang disebut Rancière la police: struktur yang diam-diam mengatur dan menegakkan tubuh itu. La police itu (mungkin ada hubungan kata ini dengan ”polis” sebagai negeri dan ”polisi” sebagai penjaga keter-tiban) bersifat oligarkis. Tubuh sosial mengandung ke-timpangan yang tak terelakkan; selamanya ada yang kuat dan ada yang lemah, yang menguasai dan dikuasai. Tapi yang kuat hanya kuat jika ia diakui demikian oleh yang lemah—meskipun dengan mengeluh dan marah. De-ngan kata lain, si kuat diam-diam mengasumsikan adanya posisi dan potensi si lemah untuk memberi peng-akuan. Bagi Rancière, itu berarti nun di dasar yang tak hendak diingat, ada kesetaraan di antara kedua pihak. Di situ kita menemukan bagaimana di sebuah negeri, polis, hidup: ada la logique du tort. Ada sesuatu yang salah dan sengkarut tapi dengan begitu berlangsunglah sejarah sosial. Di dalam ”logika” itu, ketegangan terjadi, sebab hierarki yang membentuk masyarakat justru mungkin karena mengakui kesetaraan. Ketegangan dalam salah dan sengkarut itulah yang melahirkan konflik, guncangan pada konsensus, dan polemik yang tak henti-hentinya. Itulah la politique: sebuah pergulatan. Ia bukan seperti aksi komunikasi ala Habermas: di arena itu tak ada tujuan untuk bersepakat; di medan itu yang hadir bukanlah sekadar usul dan argumen yang berseberangan, tapi tubuh dan jiwa, ”perbauran dua dunia”, ”di mana ada subyek dan obyek yang tampak, ada yang tidak”. Agaknya yang tak tampak itulah yang menyebabkan la politique, atau politik sebagai perjuangan, mendapatkan makna sosial. Sebab, yang menggerakkan adalah mereka yang bukan

apa-apa, yang tak punya hakikat dan asal-usul untuk menang. Rancière menyebut kata ”skandal demokrasi”: ia agaknya mau menunjukkan bahwa kehor-mat-an para tulang punggung la police pada gilirannya akan diguncang oleh demos, mereka yang bukan apa-apa itu. Satire adalah usaha skandalisasi yang dicetuskan si lemah. Mereka cuma bisa mengejek. Tapi, bila lelucon di atas membuat kita prihatin, itu karena di sana tersirat sepotong harap: proses parlementer akan mewakili perjuangan, terutama perjuangan mereka yang bukan apa-apa. Tapi itu ilusi yang terbentur. Pada akhirnya Parlemen hanyalah sebuah konsensus darurat. Ia penting. Tapi seperti dikatakan Rancière: ”Konsensus mengacu kepada apa yang disensor.” Ataukah lelucon di atas mencerminkan sesuatu yang lain? Jangan-jangan kita menghasratkan ini: mereka yang hidup nyaman dari konsensus dan sensor insya Allah akan jatuh ke dalam jurang. ~Majalah Tempo Edisi. 21/XXXVII/14 – 20 Juli 2008~

Mikropolitik Juli 7, 2008 – untuk Rahman Tolleng, pada ulang tahun ke-70. Soal paling serius dalam politik hari ini adalah harapan. Haruskah kita terus berjuang dalam politik untuk perubahan, ketika hampir semua hal sudah diucapkan secara terbuka, tapi Indonesia hanya berubah beberapa senti? Atau begitukah nasib dunia: sejarah adalah repetisi kesalahan yang tak kita sadari? Atau sejarah sebenarnya tak punya tujuan, apa pun yang dikatakan Hegel dan Marx? Rahman Tolleng kini 70 tahun: ia mungkin tak akan menjawab pertanyaan di atas. Tapi ia saksi yang bisa menunjukkan, kalaupun sejarah hanya sebuah cerita acak-acakan, tak berarti ia sia-sia.

Kalaupun akal budi tak kunjung menang, seperti dicitakan Hegel, tak berarti manusia takluk. Kalaupun kebebasan tak berhasil terbentang penuh di dunia, seperti diperhitungkan Marx, tak berarti ia tak layak diperjuangkan. Entah mengapa, selalu ada orang-orang yang bersedia bekerja untuk menjaga agar sejarah, yang tujuannya tak jelas, tak bergerak jadi arus yang berakhir dengan pembinasaan—khususnya pembinasaan mereka yang tak berdaya. Pada 1 Juni yang lalu saya bertemu Rahman Tolleng di halaman depan Galeri Nasional, Jakarta. Orang-orang, termasuk anak-anak, berkumpul di sana. Mereka menghindar dari Taman Monumen Nasional, setelah sejumlah orang dari mereka yang sedang akan memeriahkan Hari Lahir Pancasila diserbu dan dipukuli sampai berdarah-darah oleh sepasukan orang seakanakan hendak menunjukkan, ”Kami Islam, sebab itu Kami berhak memukul!” Hari itu Rahman di tengah orang-orang yang dipukuli itu. Ia tak kelihatan letih. Ini tahun 2008. Saya coba mengingat, kapan saya bertemu pertama kali dengan dia. Mungkin pada 1962. Seingat saya, ia muncul di halaman sebuah hotel besar di Bandung yang lampunya hanya setengah menerangi ruang. Kami diperkenalkan oleh seorang teman. Saya mahasiswa baru dari Jakarta. Ia sudah aktivis terkemuka Gerakan Mahasiswa Sosialis di Bandung. Tahun-tahun itu ia harus setengah bersembunyi—terutama karena ia tak mau dibungkam. GMSOS organisasi yang dekat rapat dengan Partai Sosialis Indonesia yang dilarang Presiden Soekarno. Para pemimpinnya dipenjarakan. Setelah itu saya jarang sekali melihatnya. Beberapa orang teman, antara lain Soe Hok Gie (ia juga aktivis GMSOS), memberi tahu saya bahwa Rahman terus menghimpun dan memproduksi tulisan yang diam-diam diedarkan dan didiskusikan di antara mahasiswa di Bandung. Ketika pada 1966 mahasiswa di Bandung

dan Jakarta turun ke jalan, mengguncang ”demokrasi terpimpin” yang melahirkan otokrasi, Rahman tak lagi besembunyi. Ia memimpin mingguan Mahasiswa Indonesia. Dari sini pula saya menduga apa gerangan yang menyebabkan ia bergerak, menulis, membentuk kelompok. Politik, baginya, adalah sebuah tugas. Tapi itu tugas yang murung, agaknya. Seperti tiap orang segenerasinya, Rahman Tolleng tahu yang terjadi pada 1908 sampai 2008: gerakan antikolonial yang terkadang menyempit jadi xenofobia, revolusi yang meletus dan segera jadi Negara yang mau mengendalikan segala hal, perubahan yang berakhir jadi teror, reformasi yang melambungkan harapan tapi segera kelihatan betapa terbatas jangkauannya. Adakah harapan? Setelah 1998, kita berusaha percaya bahwa demokrasi konstitusional, dengan parlemen yang dipilih, adalah jalan perbaikan yang pantas dan rendah hati. Radikalisme hanya bagus buat pidato. Tapi kini perangai partai-partai politik mirip tikus besar-kecil yang merusak padi di sawah kita. Atau, lebih buruk lagi, mirip ”vampir”, seperti kata editorial Media Indonesia, pelesit yang menghisap darah dari tubuh demokrasi. Kini parlemen, pengadilan, polisi, kejaksaan, dan media nyaris jadi sederet bordello, di mana si kaya bisa membeli sukma dan raga manusia. Kini suara rakyat yang diberikan kepada sang presiden seakan-akan sia-sia: sang presiden tetap tak yakin dan terus-menerus menunggu mandat. Kini para mahasiswa mencoba mengulang heroisme angkatan sebelumnya, seakan-akan sejarah bisa diulangi. Di manakah harapan? Tapi siapa yang menggantungkan politik pada harapan lupa bahwa harapan tak pernah datang sebelum perbuatan. Siapa yang menggantungkan politik pada harapan akhirnya hanya akan terpekur, karena harapan selalu samar. Atau sebaliknya, ia akan membuat harapan sebuah obat yang serba mujarab, dan membikin

agenda melambung-lambung. Dengan modal harapan semacam itu, politik justru akan mati—”politik” dalam arti the political: gerak dan gairah melawan kebekuan yang represif. Saya melihat ke Rahman Tolleng: politik adalah tugas, sering murung karena fana tapi juga tak terhingga. Saya ingat anjuran Alain Badiou: ”Dalam politik, mari kita berusaha jadi orang militan dari aksi yang terbatas”. Kita tahu dunia tak akan jadi surga; hanya di surga kita bisa tahu apa yang akan kita capai. Tapi sebab itu kita tak bisa berhenti. Bukan karena kita Sisiphus yang perkasa. Kita bukan si setengah dewa yang dengan gagah menanggungkan hukuman itu: mengangkut batu besar ke puncak gunung, dan segera sesudah itu akan menggelundung kembali. Kita hanya makhluk yang dituntut, dipanggil, terus-menerus oleh sesuatu yang tiap saat menyatakan diri berharga. Dalam hal ini, berharga bagi harkat liyan, bagi liyan yang juga sesama. Simon Critchley menyebut sesuatu yang ”infinitely demanding”, dan saya kira dengan itulah politik adalah ”ethik” dalam perbuatan. Di situlah ”mikropolitik” punya makna: ia ”militansi dari aksi yang terbatas”. Ia bukan rencana mengubah semesta berdasarkan wajah sendiri. Tapi ia tak takut kepada yang mustahil. Dan harapan? Mungkin bukan itu soalnya. Politik bisa dengan harapan, bisa tidak. Sebab ia perlawanan yang membuat hidup kita—di sebuah tempat, di suatu waktu, bersama yang lain—tak sia-sia. Juga pada usia 70. ~Majalah Tempo Edisi. 20/XXXVII/07 – 13 Juli 2008~

DD Juni 30, 2008

Orang kelahiran Pasuruan itu selalu mengingatkan saya apa arti sebuah tanah air. Ia Ernest François Eugene Douwes Dekker. Ia mengingatkan apa arti Indonesia bagi saya. Sekitar akhir Juli 1913 ia disekap di sebuah penjara di Jakarta Pusat. Waktu itu umurnya 33 tahun. Pemerintah kolonial menuduhnya telah ”membangkitkan rasa benci dan penghinaan terhadap pemerintah Belanda dan Hindia Belanda”. Tuduhan itu tak benar; tapi ia memang tak menyukai kekuasaan itu, yang, seperti dikatakannya kepada para hakim kolonial, bertakhta ”di negeri kami ini, di bumi orang-orang yang tak menikmati kebebasan”. Dari sebuah berita acara yang bertanggal 11 Agustus kita tahu apa yang ia perbuat sebenarnya. Partai politik yang didirikannya, ”Indische Partij”, tak diakui sebagai badan hukum. Tapi Douwes Dekker terus menulis dalam surat kabar De Expres dan lain-lain sejumlah artikel yang oleh Residen Betawi, yang menginterogasinya hari itu, dianggap ”melanjutkan membuat propaganda” tentang cita-cita partai itu. Tapi dapatkah itu dielakkan? Dalam sebuah memori pembelaan Douwes Dekker menjawab: ”Adakah kemungkinan saya tak lagi berbuat propaganda? Apakah hati seseorang ibarat jas luar yang dapat sesuka hati dipakai atau disimpan…? Tidakkah seseorang akan merupakan propaganda bagi dirinya sendiri selama ia hidup?” ”Saya tak dapat berbuat lain…. Kecuali saya dalam sebuah toko barang loakan dapat memperoleh watak yang sudah usang, semangat yang telah luntur, dan kedok yang kelihatannya tak mengerikan.” Kalimat itu menggugah, meskipun bukan bagian sebuah prosa yang gemilang. Douwes Dekker ini bukan Douwes Dekker yang lebih termasyhur, yang terbilang masih kakeknya: penulis Max Havelaar yang memakai nama samaran Multatuli. Douwes Dekker dari Pasuruan ini bahkan agak enggan dikaitkan dengan sang kakek. Dalam biografi yang ditulis Paul W. Van der Veur, The Lion and

the Gadfly (KITLV Press, 2006)—sebuah buku yang layak dibaca orang Indonesia—dapat kita temukan rasa enggannya. ”Mengapa saya dibandingkan dengan Multatuli?” Ia merasa itu tak adil. Eduard Douwes Dekker, sang Multatuli, ”seorang sastrawan cemerlang”. Sedangkan dia, Ernest François Eugene, ”cuma seorang jurnalis rata-rata”. Lagi pula, katanya pula, ”Multatuli seorang Belanda….” Jika Multatuli ”orang Belanda”, orang apakah Ernest, yang oleh Van der Veur disebut ”DD”? Yang jelas, ia Indo. Ia lahir pada 8 Oktober 1879, anak ketiga dan putra kedua Auguste Henri Edouard Douwes Dekker dan Louisa Margaretha Neumann. Ibunya putri seorang Jerman yang kawin dengan seorang wanita Jawa. Posisi seorang Indo cukup galau masa itu. Dalam ”negara taksonomi” (istilah Ann Laura Stoler, dalam telaahnya tentang kekuasaan dan klasifikasi sosial di Hindia Belanda) seorang Indo akhirnya tak diterima oleh mereka yang mengagungkan yang ”asli” dan ”murni”. Orang Indo, kata DD, adalah ”makhluk yang nestapa”. Tapi justru sebab itu DD bisa berdiri memandang ”negara taksonomi” dengan hati kesal dan mata nyalang: ia tahu, taksonomi manusia adalah laku yang sewenang-wenang. Maka ia bisa cepat merasakan ketidakadilan dengan tajam. Pada pertengahan 1898 ia selesai sekolah menengah dan bekerja di perkebunan kopi Soember Doeren, di lereng selatan Gunung Semeru, Jawa Timur. Ia akrab dengan para buruh. Seorang kuli tua pernah mengatakan kepadanya, ”Tuan muda, tuan memperlakukan kami sebagai manusia.” Tapi majikannya menilai DD tak selamanya tahu bagaimana ”membuat batas”. Ia pun berhenti bekerja. Ia pindah ke pabrik gula Padjarakan di dekat Probolinggo. Pada masa itu di Jawa selalu ada sengketa pembagian air irigasi antara pabrik gula dan para petani di sekitarnya. Ketika DD menemukan bahwa Padjarakan merebut hak petani, ia menyatakan itu kepada atasannya. Ia diperingatkan. Dari sini ia juga berhenti.

Mungkin juga karena ibunya, yang amat dicintainya, wafat. Dalam keadaan kehilangan, ia memutuskan meninggalkan Hindia Belanda: ia bergabung dalam sukarelawan untuk Perang Boer di Afrika Selatan, yang pecah pada awal abad ke-20 itu, ketika orang keturunan Belanda bertempur melawan ekspansi Inggris. Syahdan, Februari 1900, ia naik kapal S.S. Calédonien ke medan perang. Pertalian dengan yang ”Belanda” tampaknya masih kuat dalam diri DD pada masa itu. Dalam perjalanan ke Afrika Selatan itu, DD berhenti di Bombay. Seperti dikutip dalam The Lion and the Gadfly, ia begitu bahagia bertemu dengan konsul Belanda, mendengar suara seseorang yang bicara dalam ”bahasa Belanda murni” di depan potret ”Ratu Belanda yang tercinta”. Tapi dalam perang itu DD tertangkap pasukan Inggris. Ia dibuang ke Sri Lanka. Pada 1903, ia kembali ke Jawa—tapi dengan sikap yang makin berjarak, dan akhirnya sengit, menyaksikan keserakahan Belanda. Pada 1904 ia menulis: rakyat Jawa dirampok; pada 1908 ia menulis: api besar yang membakar desa-desa Aceh telah membuat terang ”kebangkrutan moral Kristiani” pemerintah kolonial. Akhirnya kita tahu, DD bergerak. Rumahnya di Jakarta jadi tempat para mahasiswa STOVIA berkunjung—para pemuda yang di asrama mereka gemar menyanyikan lagu Revolusi Prancis: semangat untuk kemerdekaan, persamaan, persaudaraan. Ketika dua aktivis asal STOVIA, Suwardi Suryaningrat dan Cipto Mangunkusumo, ditangkap pemerintah kolonial, DD menulis: kedua sahabatnya itu, dengan sikap perkasa yang tak bisa ”ditaklukkan di dalam penjara”, telah ”mempersatukan kita semua”. Dari sanalah Indonesia lahir. Indonesia adalah sebuah sejarah kerja ke masa depan yang berharga bukan untuk diri sendiri—dan dengan demikian memberi makna bagi hidup kita. Indonesia adalah sebuah sejarah harapan dan pengorbanan—dari orang yang berbeda-beda, bagi orang yang berbeda-beda. Cipto dan Suwardi

dibuang, dan DD menulis: ”Anak-anak berkulit cokelat dan putih… akan menaburkan bunga di atas jalan yang mereka berdua lalui.”

Gua Juni 23, 2008 Iman selamanya akan bernama ketabahan. Tapi iman juga bertaut dengan antagonisme. Kita tahu begitu dalam makna keyakinan kepada yang Maha Agung bagi banyak orang, hingga keyakinan itu seperti tambang yang tak henti-hentinya memberikan ilham dan daya tahan. Tapi kita juga akan selalu bertanya kenapa agama berkali-kali menumpahkan darah dalam sejarah, membangkitkan kekerasan, menghalalkan penindasan. Hari-hari ini, ketika orang-orang Ahmadiyah terpojok di beberapa kota di Indonesia, dua sisi itu muncul di kepala saya kembali. Tiga tahun yang lalu seorang teman di Eropa bercerita tentang sepucuk surat yang ia terima dari adiknya di Basra, Irak. Si adik mengenangkan apa yang dipikirkannya ketika ia, seorang perempuan keluarga Sunni, bersembunyi di sebuah lubang di lapangan agak jauh dari rumah, sementara di luar, di jalanan, para anggota milisia Syiah lalu-lalang ber-senjata. Bunuh-membunuh telah beberapa hari berlangsung. Paman mereka dan ke-dua anaknya tak pernah kembali. ”Saya bayangkan, saya adalah seorang penganut Islam pada tahun-tahun men-jelang Hijrah—seorang yang ikut bersembunyi dalam gua bersama Rasulullah, ke-tika orang-orang Quraisy bersimaharajalela,” demikian si adik menulis. ”Apakah saya akan setakut diri saya hari itu, tak putus-putusnya menanti hari jadi gelap agar saya, penganut Muhammad saw, akan bisa bebas dari pembantaian? Ataukah saya akan tabah, karena saya ada di dekat Nabi?”

Dan si adik menjawab pertanyaannya sendiri: ”Benar, Rasulullah tak berada di Basra, tapi saya tetap merasa di dekat beliau. Karena seperti orang-orang Islam pertama, saya dalam posisi yang lemah, tapi tahu tak merasa bersalah. Saya tak bersalah bahkan kepada orang-orang yang ingin membinasakan kami di luar itu—apalagi kepada Tuhan. Saya hanya berbeda. Saya hanya dilahirkan berbeda.” Si kakak, teman saya orang keturunan Irak yang sudah hidup di Amsterdam itu, yang seperti hafal benar dengan surat itu, tak bercerita apa selanjutnya yang ditulis adiknya. Kami berdua sedang menyeberangi Vondelpark, di sebuah awal musim panas. Orangorang berbaring atau duduk membaca di bawah pohon, di atas rumput. Dua pemuda Cina sedang membuat sketsa. Seorang hitam memukul perkusi, sendirian. Teman saya tak memperhatikan itu semua. Ia hanya- berkata, seperti kepada dirinya sendiri: ”Beda—itu per-kara besar pada zaman kita. Terutama karena beda tak lagi dilihat dari luar, dari kulit tubuh dan pakaian, tapi dari dalam, dari iman.” Saya coba membantah. ”Surat adikmu menunjukkan bahwa itu bukan hanya perkara besar buat zaman kita. Itu sudah sedemikian penting dan sedemikian genting sejak manusia mengenal agamaagama.” ”Betul. Tapi pada zaman ini perkara itu tak hanya persoalan lokal. Iman jadi penggerak antagonisme di mana-mana di dunia. Terus terang saya tak tahu apa desain Tuhan sebenarnya dengan manusia. Beda adalah sesuatu yang Ia kehendaki. Iman adalah sesuatu yang Ia kehendaki. Tapi permusuhan?” Iman: antagonisme? Atau iman sama dengan perisai pe-lindung—yang juga berarti suatu kekuatan yang bertolak dari asumsi bahwa kehidupan beragama adalah semacam perang? Saya ingat, seraya bercakap-cakap itu kami berjalan ke arah halte trem di tepi kanal. Saya ingat, saya mendegar suara jengkerik di sebuah semak. Tiba-tiba teman saya berkata, ”Me-ngapa kita

harus memakai perisai?” Saya diam tak tahu apa yang dimaksudkannya. ”Surat adik saya itu,” katanya. ”Surat itu mengingatkan saya akan cerita yang saya dengar ketika saya anak-anak. Rasulullah bersembunyi di gua itu, ketika orang-orang Quraisy mencarinya untuk di-binasakan. Mereka tak curiga bahwa di dalamnya Muhammad putra Abdullah ber-sembunyi, sebab di pintu gua itu Tuhan meletakkan seekor laba-laba, yang me-nyusun jaringnya, dan dengan begitu membuat sebuah kamuflase: gua itu tak dimasuki siapa pun.” Bukankah itu sesuatu yang inspiratif, tanya teman saya itu. Apa yang inspiratif? Laba-laba, katanya pula. Dari cerita itu kita tahu, tak salah bila kita melihat dunia di luar itu dengan sadar, bah-wa yang memisahkan ”kita” dengan ”mereka” cukup benang-benang tipis laba-laba. Bukan pintu besi sebuah benteng. Bukan sebuah tameng. Batas itu mengubah sikap antagonistis dengan sikap tabah, mengubah yang agre-sif ke luar dengan yang tenang dan yakin dalam batin. Tentu. Mereka yang agresif dan penuh kekuatan tak dengan sendirinya akan berhenti. Batas itu memang bisa dikoyak dengan gampang; laba-laba itu makhluk yang lemah. Tapi bukankah kisah Rasulullah itu juga mengajari kita bahwa tiap iman punya guanya sendiri? Dan gua itu tak akan terjangkau bahkan oleh kebengisan apa pun? Saya termenung. Saya dengar lagi suara jengkerik. Sa-ya pun ingat serangga yang gampang terinjak, burung yang gampang diusir, semut yang gampang dibasmi, juga laba-laba yang mudah diterjang. Betapa rapuh. Tapi mere-ka punya ruang sendiri, mungkin gua, mungkin liang, mung-kin sarang, yang mengandung rahasia—sebagai bagian dari desain Tuhan yang juga sebuah rahasia.

~Majalah Tempo Edisi. 18/XXXVII/23 – 29 Juni 2008~

Indonesia Juni 16, 2008 Di luar sel kantor Kepolisian Daerah Jakarta Raya itu sebuah statemen dimaklumkan pada pertengahan Juni yang panas: ”SBY Pengecut!” Yang membacakannya Abu Bakar Ba’asyir, disebut sebagai ”Amir” Majelis Mujahidin Indonesia, yang pernah dihukum karena terlibat aksi terorisme. Yang bikin statemen Rizieq Shihab, Ketua Front Pembela Islam, yang sedang dalam tahanan polisi dan hari itu dikunjungi sang Amir. Dari kejadian itu jelas: mencerca Presiden dapat dilakukan dengan gampang. Suara itu tak membuat kedua orang itu ditangkap, dijebloskan ke dalam sel pengap, atau dipancung. Sebab ini bukan Arab Saudi, wahai Saudara Shihab dan Ba’asyir! Ini bukan Turki abad ke-17, bukan pula Jawa zaman Amangkurat! Ini Indonesia tahun 2007. Di tanah air ini, seperti Saudara alami sendiri, seorang tahanan boleh dikunjungi ramai-ramai, dipotret, didampingi pembela, tak dianggap bersalah sebelum hakim tertinggi memutuskan, dapat kesempatan membuat maklumat, bahkan mengecam Kepala Negara. Di negeri ini proses keadilan secara formal dilakukan dengan hati-hati—karena para polisi, jaksa, dan hakim diharuskan berendah hati dan beradab. Berendah hati: mereka secara bersama atau masing-masing tak boleh meletakkan diri sebagai yang mahatahu dan mahaadil. Beradab: karena dengan kerendahan hati itu, orang yang tertuduh tetap diakui haknya untuk membela diri; ia bukan hewan untuk korban. Keadilan adalah hal yang mulia, Saudara Shihab dan Ba’asyir, sebab itu pelik. Ia tak bisa digampangkan. Ia tak bisa diserahkan

mutlak kepada hakim, jaksa, polisi—juga tak bisa digantungkan kepada kadi, majelis ulama, Ketua FPI, atau amir yang mana pun. Keadilan yang sebenarnya tak di tangan manusia. Itulah yang tersirat dalam iman. Kita percaya kepada Tuhan: kita percaya kepada yang tak alang kepalang jauhnya di atas kita. Ia Yang Maha Sempurna yang kita ingin dekati tapi tak dapat kita capai dan samai. Dengan kata lain, iman adalah kerinduan yang mengakui keterbatasan diri. Iman membentuk, dan dibentuk, sebuah etika kedaifan. Di negeri dengan 220 juta orang ini, dengan perbedaan yang tak tepermanai di 17 ribu pulau ini, tak ada sikap yang lebih tepat ketimbang bertolak dari kesadaran bahwa kita daif. Kemampuan kita untuk membuat 220 juta orang tanpa konflik sangat terbatas. Maka amat penting untuk punya cara terbaik mengelola sengketa. Harus diakui (dan pengakuan ini penting), tak jarang kita gagal. Saya baca sebuah siaran pers yang beredar pada Jumat kemarin, yang disusun oleh orang-orang Indonesia yang prihatin: ”… ternyata, sejarah Indonesia tidak bebas dari konflik dengan kekerasan. Sejarah kita menyaksikan pemberontakan Darul Islam sejak Indonesia berdiri sampai dengan pertengahan 1960-an. Sejarah kita menanggungkan pembantaian 1965, kekerasan Mei 1998, konflik antargolongan di Poso dan Maluku, tindakan bersenjata di Aceh dan Papua, sampai dengan pembunuhan atas pejuang hak asasi manusia, Munir.” Ingatkah, Saudara Ba’asyir dan Saudara Shihab, semua itu? Ingatkah Saudara berapa besar korban yang jatuh dan kerusakan yang berlanjut karena kita menyelesaikan sengketa dengan benci, kekerasan, dan sikap memandang diri paling benar? Saudara berdua orang Indonesia, seperti saya. Saya mengimbau agar Saudara juga memahami Indonesia kita: sebuah rahmat yang disebut ”bhineka-tunggal-ika”. Saya mengimbau agar Saudara juga merawat rahmat itu. Merawat sebuah keanekaragaman yang tak tepermanai sama

halnya dengan meniscayakan sebuah sistem yang selalu terbuka bagi tiap usaha yang berbeda untuk memperbaiki keadaan. Indonesia yang rumit ini tak mungkin berilusi ada sebuah sistem yang sempurna. Sistem yang merasa diri sempurna—dengan mengklaim diri sebagai buatan Tuhan—akan tertutup bagi koreksi, sementara kita tahu, di Indonesia kita tak hidup di surga yang tak perlu dikoreksi. Itulah yang menyebabkan demokrasi penting dan Pancasila dirumuskan. Demokrasi mengakui kedaifan manusia tapi juga hak-hak asasinya—dan itulah yang membuat Saudara tak dipancung karena mengecam Kepala Negara. Dan Pancasila, Saudara, yang bukan wahyu dari langit, adalah buah sejarah dan geografi tanah air ini—di mana perbedaan diakui, karena kebhinekaan itu takdir kita, tapi di mana kerja bersama diperlukan. Pada 1 Juni 1945, Bung Karno memakai istilah yang dipetik dari tradisi lokal, ”gotong-royong”. Kata itu kini telah terlalu sering dipakai dan disalahgunakan, tapi sebenarnya ada yang menarik yang dikatakan Bung Karno: ”gotong-royong” itu ”paham yang dinamis,” lebih dinamis ketimbang ”kekeluargaan”. Artinya, ”gotong-royong” mengandung kemungkinan berubahubah cara dan prosesnya, dan pesertanya tak harus tetap dari mereka yang satu ikatan primordial, ikatan ”kekeluargaan”. Sebab, ada tujuan yang universal, yang bisa mengimbau hati dan pikiran siapa saja—”yang kaya dan yang tidak kaya,” kata Bung Karno, ”yang Islam dan yang Kristen”, ”yang bukan Indonesia tulen dengan yang peranakan yang menjadi bangsa Indonesia.” ”Gotong-royong” itu juga berangkat dari kerendahan hati dan sikap beradab, sebagaimana halnya demokrasi. Itu sebabnya, bahkan dengan membawa nama Tuhan—atau justru karena membawa nama Tuhan—siapa pun, juga Saudara Ba’asyir dan Saudara Shihab, tak boleh mengutamakan yang disebut Bung

Karno sebagai ”egoisme-agama.” Bung Karno tak selamanya benar. Tapi tanpa Bung Karno pun kita tahu, tanah air ini akan jadi tempat yang mengerikan jika ”egoisme” itu dikobarkan. Pesan 1 Juni 1945 itu patut didengarkan kembali: ”Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara leluasa.” Dengan begitulah Indonesia punya arti bagi sesama, Saudara Shihab dan Ba’asyir. Ataukah bagi Saudara ia tak punya arti apaapa? ~ Majalah Tempo Edisi. 17/XXXVII/16 – 22 Juni 2008~

BBM Juni 9, 2008 Ia kurus, keras, kompetitif, brutal. Matanya sering menyempit, penuh wasangka dan cerdik. Rahangnya seakan-akan dibentuk buat melumat apa saja. ”Aku penuh persaingan. Aku tak mau ada orang lain berhasil. Kebanyakan orang kubenci.” Daniel Plainview, diperankan dengan meyakinkan oleh Daniel Day-Lewis dalam film There Will be Blood, mengenal baik perangainya sendiri. Ia harus mengalahkan, memukul, atau menipu untuk menang. Tapi cerita ini bukan tentang jiwa yang sakit, betapapun sentralnya sosok Plainview di layar putih itu. Yang kita ikuti adalah kisah tentang kekuasaan yang membuat seseorang seakan-akan palu godam, tentang kemauan merengkuh dan memiliki yang membuat orang bengis. Sutradara dan penulis skenario Paul Thomas Anderson berkisah tentang seorang raja minyak di wilayah California pada awal abad ke-20. Ia bertolak dari novel Sinclair Lewis, Oil!, yang terbit pada 1927. Tapi ada beda besar antara film Anderson dan novel Lewis. Tokoh

Ross dalam Oil! bukan mirip seekor hewan yang paranoid seperti Plainview. Meskipun begitu, Ross dengan dingin menyogok politikus dan pejabat, yakin bahwa uang suap bisa membuat urusan cepat beres. Dengan kata lain, Oil! juga hendak menunjukkan betapa berkilau dan licinnya minyak bumi, hingga orang sesat dan noda terjadi. Kita tak hanya menyaksikannya dalam film dan membacanya dalam novel. Di Indonesia, kita mengalaminya dalam kehidupan: Indonesia pada 1970-an adalah Indonesia yang dimanjakan petrodolar, ketika Pertamina yang seharusnya milik Republik itu praktis jadi kerajaan pribadi Letnan Jenderal Ibnu Sutowo dan keluarganya, ketika kekayaan para pejabat perusahaan itu berkilau-kilau, tersimpan hingga di sudut yang jauh di luar negeri, ketika korupsi dan kemewahan membludak seperti tak akan berakhir—dan mungkin memang belum berakhir. Kejiwaan yang dibentuk oleh uang yang licin, berkilau, dan melimpah dari barel demi barel itulah yang merupakan awal jalan sesat Indonesia. Memang para pejabat Pertamina dan anak cucunya yang gombyor itu bukan makhluk seperti Daniel Plainview yang bertulang keras dengan wajah yang siap menerkam. Tapi justru perbedaan ini menandai sesuatu yang lebih berarti: bagaimanapun, Plainview jadi kaya oleh tangan dan kakinya sendiri, sedangkan para pejabat Pertamina dan anak cucu mereka hampir tak pernah meneteskan keringat untuk memperoleh harta & kuasa yang begitu menjulang. Yang merisaukan, kecenderungan gombyor itu menular: seakan-akan Indonesia tak harus bersakit-sakit dahulu, seakanakan kekayaan alam akan selalu tersedia. Maka segala hasrat untuk megah & mentereng pun berkobar: pada masa itu ada yang berniat membangun ”industri” penerbangan tanpa peduli perhitungan laba-rugi, ada yang dengan gampang berutang untuk

membuat pabrik-pabrik pupuk terapung dan armada kapal tangki minyak raksasa; lapangan golf luas pun dibuka di mana-mana, rumah mewah besar yang lebih bergas ketimbang yang di Beverly Hills didirikan di hampir tiap kota besar. Saya ingat arsitek pembangunan ekonomi Indonesia, Widjojo Nitisastro, memandang gila-gilaan waktu itu dengan masygul: ”Seharusnya, kita tak punya minyak….” Tapi Widjojo dan para ekonom lain yang terkenal dengan ”uang ketat” itu tak sepenuhnya berkuasa. Presiden Soeharto memang mendengar suara mereka—tapi tak selalu, dan tak lama. Mewah dan manja telah jadi jalan sesat Indonesia. Memang ada usaha untuk mencoba mengingatkan, tapi usaha itu tak laku. Pada 1972 terbit sebuah laporan yang mengejutkan dunia, The Limits to Growth. Buku itu hasil penelitian yang ditugasi oleh The Club of Rome, sebuah lembaga swasta yang didirikan Aurelio Peccei, industriawan Italia, dan Alexander King, ilmuwan Skotlandia. Dalam The Limits to Growth kita diingatkan, pertumbuhan ekonomi akan ada batasnya dan sumber energi akan kian habis. Saya ingat cendekiawan terkemuka Indonesia, Soedjatmoko, yang diundang untuk ikut membahas laporan itu, pulang ke Indonesia dan menyerukan agar kita meninjau kembali ”strategi pembangunan”. Ia bicara tentang perlunya ”teknologi madya” yang ramah terhadap lingkungan dan hemat minyak bumi. Saya menyebutnya ”neo-Gandhiisme”: gema suara Gandhi yang memilih hidup sederhana, dengan peralatan bersahaja, dan hasrat yang tak muluk dalam menikmati benda-benda. Tapi ”neo-Gandhiisme” itu lenyap sebelum jadi. Mungkin karena di dalamnya tak ditelaah bagaimana nanti posisi Indonesia di depan dunia luar yang terus menumbuhkan ekonomi dan kekuatan teknologi. Semboyan ”kecil itu indah” Schumacher terdengar terlalu romantis. Di negeri Gandhi sendiri, India, teknologi dikembangkan—juga senjata nuklir.

Dan kita juga abai kembali. Kita terus di jalan minyak yang berkilau, licin, dan menyesatkan. Melalui ”krisis moneter” 1989, kita terus menghimpun mobil mewah (dan mendapatkan subsidi untuk bensinnya) dan terus mendirikan mall demi mall (dan menikmati subsidi untuk listriknya). Kita melanjutkan ”Sutowo-isme” yang alpa bahwa energi, terutama BBM, akan mencekik kita. Maka, ketika harga minyak membubung di dunia, kita kaget. Kita lupa pada 1998 Campbell dan Laherrere sudah mengumumkan ke dunia harga minyak tak akan bisa turun. Kita lupa pertumbuhan ekonomi Cina dan India akan mengkonsumsi BBM dengan pesat. Permintaan pun naik, persediaan terbatas. Kini kita protes karena harga menjulang—dan bukan mengecam pemerintah yang takut mengingatkan rakyat bahwa jalan di depan niscaya pedih, bukan jalan sim-salabim ”blue energy”. ”Akan ada darah”, itulah kemungkinan yang menakutkan dari riwayat minyak. Di salah satu adegan Plainview memperingatkan, ”… Kalian punya kesempatan baik di sini, tapi ingat, kalian bisa kehilangan ini semua jika tak berhati-hati….” Bicarakah ia kepada kita? ~Majalah Tempo Edisi. 16/XXXVII/09 – 15 Juni 2008~

Jalan Juni 2, 2008 Jalan juga sebuah laku. Di sana orang ambil keputusan, ambil risiko, hanya mengulang tapi bisa juga melakukan yang tak terduga-duga. Di sana ia bisa menemui rezeki atau ajal. Dan jika kita bicara tentang lingkungan kota besar, jalan bisa juga berarti satu wilayah untuk mengelak. Ada sepatah kata bahasa Indonesia yang sering dipakai tapi tak menarik perhatian: ”kluyuran”. Dalam kata ini tergambar bagaimana ruang yang sambung-menyambung dan berkelok-kelok

itu dapat merupakan tempat kita iseng, main-main, atau mengikuti rasa ingin tahu. Saya kluyuran jika saya berjalan menyusuri kota besar ini, tanpa ingin menghasilkan apa-apa, tanpa didesak waktu, tapi asyik mengamat-amati seraya terus-menerus mengalihkan fokus. Laku semacam itu bukanlah laku yang cocok dengan apa yang dikehendaki sebuah kota besar: rasionalitas, efisiensi, produktivitas. Baudelaire, penyair Les Fleurs du Mal (”Bunga Mala”) dan Le Spleen de Paris (”Limpa Paris”), telah membuat kata flâneur—yang artinya tak jauh dari ”Bung Kluyur”—jadi begitu penting dalam telaah ilmu sosial dan filsafat, karena ia dapat menggambarkan bagaimana ”kluyuran” di kota yang telah diubah jadi modern merupakan sebuah sikap politik dan estetik. Flâneurie seakan-akan menampik rasionalitas yang diterapkan di Paris mengikuti planologi Baron Georges-Eugène Haussman selama dua dasawarsa sejak 1852. Sang flâneur menjelajah secara acak, santai, dan seenaknya sebuah metropolis, semacam ikhtiar mempertahankan yang sepele, percuma, lemah, dan kuno. Sang flâneur, seraya tampil sebagai pesolek yang keren, merayakan tapi sekaligus memandang dengan berjarak dunia Paris yang berubah secara menakjubkan dan mencemaskan itu. Di Indonesia, ”kluyuran” tentu saja tak sepenuhnya sama dengan flâneurie. Di sini kontras antara kota dan udik bisa begitu besar, tapi kota tak terputus secara radikal dari yang bukan-kota. Seperti pernah dikatakan seorang pakar sosiologi perkotaan, Jakarta tak cuma mengalami urbanisasi, tapi juga ”ruralisasi”. Rancangan yang rasional, ketertiban yang efisien, kapital yang mencoba menguasai pembagian ruang dengan perhitungan labarugi, tak henti-hentinya berbenturan dengan arus deras dari bawah yang datang dari desa-desa, barisan yang tiap kali kalah tapi tiap kali menyerbu kembali. Kota ini sendiri bukanlah tauladan rasionalitas. Birokrasi begitu korup dan tak becus hingga planologi tak ada artinya. Kelas menengah tak secara serius menegakkan hukum. Kemiskinan

begitu luas dan juga pengangguran, hingga bukan efisiensi yang terjadi, melainkan involusi. Involusi adalah cara kelas bawah kota besar berbagi hidup: dalam ruang yang sempit, dalam pekerjaan yang terbatas, dalam milik yang tak seberapa. Involusi adalah sebuah kiat hidup dalam keadaan berjejal. Ketika saya menonton Je.ja.l.an yang dipentaskan Teater Garasi di Teater Luwes Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 25 Mei yang lalu, saya merasa seakan-akan saya ikut dalam sebuah ”kluyuran”: menyusur jalan-jalan kota, mengamati involusi yang terjadi di sana, terpisah tapi terpaut. Jarak antara pentas dan penonton dibuat demikian rapat, hingga mereka yang duduk di meja VIP (dengan gelas berisi anggur dan bir) juga tak bisa mengelak. Seperti di rumah makan tepi jalan, pengamen, penjaja kitab dan lain-lain mudah masuk ke sela-sela tamu. Hanya setengah meter dari sana: barisan drum band, pekerja seks, orang mati melarat, orkes keliling, perempuan berdandan keren, pengkhotbah yang marah, petugas ketertiban kota yang hendak menegakkan tertib, banci yang hidup di luar tata. Je.ja.l.an bagi saya mengandung makna ”jejalan”. Memang banyak adegan yang tak baru: kita telah sering melihatnya, setidaknya di berita televisi dan koran. Tapi itu justru menunjukkan bahwa yang terpapar bukanlah sesuatu yang eksotis, bukan pula yang dramatis. Di kota-kota besar Indonesia, kita menemukannya tiap kali di tiap sudut. Kluyuran bukanlah sebuah darmawisata: karya teater Yudi Ahmad Tajudin dan kawan-kawan menegaskan hal itu karena ia tak mengajak menyaksikan hal yang menakjubkan. Namun tiap karya teater adalah sebuah intervensi terhadap apa yang tak menakjubkan yang kita temukan di tiap sudut. Realisme dalam teater pada akhirnya mengakui bahwa ”realitas” bukanlah das Ding an sich. ”Realitas” mengandung sejarah sosial: ia dihadirkan oleh bahasa dan percakapan. Maka di pentas, kluyuran

merupakan konstruksi ganda. Di pentas, ia diberi bentuk jadi sesuatu yang lebih intens. Demikianlah teater lahir, membuka peluang bagi dunia yang tampil sebagai beda, juga ketika ia seakan-akan menampilkan yang itu-itu juga. Dalam beda itulah hadir sebuah tamasya—tapi bukan tamasya yang tertangkap secara panoptik, bukan gambaran utuh yang hanya bisa dilihat dari atas. Justru ambisi kota besar untuk mengikuti sebuah rencana agung terbentur oleh centang-perenang yang mencemooh perubahan budaya dalam ”urbanisasi”. Itu sebabnya bagi saya Je.ja.l.an bukan hendak terdiri dari satu statemen, misalnya sebuah protes sosial karena kemiskinan. Pidato Bung Karno berapi-api, tapi rekamannya yang diputar tak mendominasi ruang. Kisah seorang miskin yang bunuh diri dibacakan, tapi si pembaca seperti lelah di ujungnya. Keduanya tak menimbulkan perubahan di pentas itu. Dialektik antara beda dan sama, antara yang menusuk dan yang banal, antara teriak dan sikap acuh tak acuh, memantulkan kembali yang kita alami kini: sebuah fragmentasi pengalaman, sebuah khaos dalam perhatian. Michel de Certeau, yang juga merenungkan makna kluyuran dalam hidup sehari-hari, seakan-akan berbicara tentang jalanan kota yang terpapar di pentas malam itu: ”Pengguna kota memungut fragmen tertentu dari statemen itu, dan dengan demikian mengaktualisasikannya dalam rahasia”. ~Majalah Tempo Edisi. 15/XXXVII/02 – 8 Juni 2008~

Aladin Mei 26, 2008 JAKARTA mungkin kota dengan sebuah lampu Aladin rahasia. Kini kita hanya lupa-lupa ingat apa yang tak ada sebelum April 1966, sebelum Ali Sadikin diangkat oleh Presiden Soekarno jadi gubernur kota ini.

Saya coba susun sebuah daftar dari luar kepala: Jalan H.R. Rasuna Said–Jalan Casablanca–Taman Ismail Marzuki–sejumlah gelanggang remaja–taman hiburan di pantai Ancol–sebuah pusat perfilman–museum tekstil, wayang, seni rupa–stasiun bus kota–halte–lampu-lampu lalu lintas–taksi–taman-taman kecil–kampung-kampung yang dihubungkan dengan jalan yang rapi…. Mereka yang lahir atau datang terlambat di kota ini tak akan merasakan proses yang menakjubkan dari ”tak-ada” menjadi ”ada” itu. Saya datang ke kota ini pada 1960, untuk jadi mahasiswa Universitas Indonesia, di fakultas psikologi yang waktu itu terletak tak kentara di seberang rumah sakit umum yang masih disebut ”CBZ”. Saya tinggal indekos di satu rumah tak jauh dari Salemba, di mana kampus Universitas Indonesia terselip praktis tanpa halaman. Kadang-kadang saya naik sepeda dari Grogol. Dulu ada sebuah kebun binatang yang nyaris kosong di tempat yang kini jadi Taman Ismail Marzuki. Dulu ada bus-bus Robur yang hampir mirip kotak yang gemuk bikinan Cekoslowakia, sudah peyot, dengan penumpang yang berimpitan seperti ikan teri dalam kuali. Atau opelet yang separuh kayu persegi untuk tujuh orang dengan seorang kenek yang mengatur penumpang. Atau trem yang bergerak seakan-akan enggan melanjutkan zaman Batavia dalam cerita Si Jamin dan Si Johan saduran Merari Siregar. Semua itu surut ke belakang kepala, tak lama setelah Ali Sadikin jadi gubernur. Mereka tak tampak lagi. Kota ini berubah, bergegas. Saya tak mengenang masa pra-Ali Sadikin dengan nostalgia. Saya kira Jakarta bukanlah kota yang cocok buat merindukan masa lalu: penduduk bertambah hampir 6 persen setahun, baik dari kelahiran maupun dari urbanisasi, dan anak + remaja membentuk dasar yang luas di piramida demografi. Dengan kata lain, mayoritas bukanlah mereka yang punya pengalaman yang bisa diingat dari

kota ini. Mayoritas penduduk dilecut untuk sibuk dengan kini dan esok. Ketika Bung Karno melantik Ali Sadikin, Presiden itu bicara tentang impiannya: Jakarta yang dikagumi dunia. Saya tak tahu apakah Ali Sadikin ingat kata-kata itu. Tapi baginya yang mendesak bukanlah apa kata dunia, melainkan apa kata penghuni Jakarta sendiri. Dan ia pun bekerja. Dan Jakarta berubah. Ali Sadikin sendiri juga berubah—meskipun ada hal-hal yang tetap dalam hidupnya: kerja kerasnya, keberaniannya untuk membuat sebuah gebrakan dan melawan pendapat yang ingarbingar, kemauannya untuk mendengar dan belajar sesuatu yang baru, kharismanya, kepemimpinannya, dan juga daya tariknya. Ia perwira tinggi Marinir yang harus mengurus 5 juta manusia yang begitu beraneka dan berantakan. Cepat atau lambat, ia harus mengambil sikap lain: ia tak bisa terus-menerus membentak. Saya ingat pada hari-hari pertama ia mencoba menertibkan bus kota. Waktu itu puluhan bus kota menggunakan Lapangan Banteng sebagai tempat parkir dan calo-calo menguasai lalu lintas penumpang. Sebuah khaos besar berkuasa di sana. Pada suatu hari, Ali Sadikin datang mendadak. Ketika ia menghadapi seorang calo yang rupanya menjengkelkannya, ia mengayunkan tinju. Orang itu terjerembap. Tapi ada yang membuat Ali Sadikin tak dibenci: ia mau meminta maaf. Ia bisa melihat kelemahannya sendiri dan kelemahan orang lain. Di Lapangan Banteng itu ia tahu orang yang cari nafkah dengan kasar dan kacau itu bukan oknum yang bersalah. Ia perlu lebih sabar. Sebab yang bersalah adalah kemiskinan. Tak lama kemudian di Lapangan Banteng dibangun sebuah stasiun bus yang bagus dan rapi. Para bekas calo diberi pekerjaan di situ. Tempat itu jadi tempat yang nyaman bagi siapa saja. Salah satu anekdot terkenal terjadi dengan pelukis Srihadi di

sebuah pameran. Salah satu kanvas seniman terkenal itu menggambarkan Jakarta dengan pencakar langit, tapi juga dengan kekalang-kabutannya. Ali Sadikin melihat kanvas itu; ia naik darah. Ia ambil bolpoin dan ia coret-coret karya Srihadi. Para seniman pun protes. Ali Sadikin, yang telah memberi mereka fasilitas dan menghargai kebebasan kreatif, tak membalas dengan mengingatkan mereka akan apa yang telah diberikannya. Malah ia minta maaf. Srihadi kemudian menyimpan karyanya tak untuk dijual; baginya, coretan Bang Ali adalah kenangan tentang seorang pemimpin yang jarang didapat di Indonesia: begitu berkuasa tapi bersedia meminta maaf dan mengoreksi kesalahannya sendiri. Ali Sadikin memang berbeda dari yang lain di tatanan Orde Baru itu. Ia tokoh yang berdiri agak sendiri, di tepi wilayah Soeharto. Ia diangkat Bung Karno, tak lama sebelum Bung Karno jatuh. Ia seorang perwira KKO, ketika rezim dikuasai Angkatan Darat. Dengan tubuh tinggi dan paras mirip bintang film, ia menonjol mengatasi yang lain—dan ia punya kebanggaan sendiri untuk tak merunduk. Dengan segera orang tahu: Jakarta mempunyai seorang pemimpin, bukan pejabat. Pada zaman ketika pemimpin dan calon pemimpin dibabat—ketika Soeharto-lah yang menunjuk ketua partai apa pun, memilih panglima angkatan dan kepala daerah mana pun—ketika cara kerja, perilaku, dan bahkan bahasa jadi bagian dari birokratisasi, Ali Sadikin tak tenggelam. Ia memang memanfaatkan struktur yang dibangun Orde Baru: kepala daerah bisa jadi pemegang otokrasi. Tapi ia punya rasa percaya diri yang besar pada dirinya yang menyebabkannya—seorang otokrat par excellence—tak gentar mendengar kritik, tak takut akan ide baru dan saran orang. Seandainya ia jadi presiden republik…. Tapi ia tak mau. Ia mengajukan kritiknya yang fundamental kepada ”Orde Baru”, tapi ia membuktikan kritik itu bukan karena rasa iri dan getir orang yang sudah tak berkuasa lagi.

Saya belum pernah menjumpai orang sebesar dia dalam sikap. Bertahun-tahun lamanya bagi saya hanya dia presiden saya. ~Majalah Tempo Edisi. 14/XXXVII/26 Mei – 01 Juni 2008~

B.O. Mei 19, 2008 POTRET yang tertinggal dari awal abad ke-20 itu menggambarkan Mas Wahidin Sudirohusodo seakan-akan bagian dari Jawa yang lembek. Atau jinak. Ia tak tampak cakrak, dengan kepala bangga. Ia malah terkesan mengambil postur seorang yang sopan sekali. Tak ada kumis yang perkasa. Blangkon di kepalanya tampak ditimpa waktu. Saya terkadang tak paham kenapa ”dokter Jawa” ini jadi tokoh utama Hari Kebangkitan Nasional. Saya tak pernah membaca teks pidatonya yang berapi-api. Saya tak pernah melihat sehelai foto pun yang menunjukkan ia berdiri dengan tangan mengepal. Bagaimana mungkin dengan itu ada ”kebangkitan nasional”? Apanya yang ”bangkit”? Mana yang ”nasional”? Saya lupa: ketika ia merintis jalan yang akhirnya melahirkan organisasi ”Boedi Oetomo” pada tanggal 20 Mei 1908 itu, Wahidin sudah seorang pensiunan. Tapi ia pensiunan yang tak hendak mandeg. Sejak 1906, Wahidin berkeliling dari kota ke kota untuk menjajakan idenya: membentuk dana buat beasiswa bagi anakanak Jawa. Selama dua tahun ia gagal terus. Baru ketika ia bertemu dengan para siswa STOVIA gayungnya disambut. Sekolah itu seperti sudah menantikannya. Sejak awal abad ke20, STOVIA diperbaiki agar jadi tempat untuk para pemuda—terutama mereka yang datang dari kalangan yang disebut ”bumiputra”—dilatih jadi tenaga kesehatan. Para lulusannya disebut ”dokter”, tapi dengan tambahan: ”dokter Jawa”. Dari nama ini saja dapat dilihat bagaimana struktur sosial dan ideologi kolonial Belanda waktu itu. Dari sini pula dapat dimengerti

kenapa STOVIA jadi tempat di mana ada api dalam sekam, hingga ide Wahidin berkembang di sini. Para mahasiswa STOVIA bukan dari keluarga petinggi daerah, melainkan dari kalangan priayi rendah. Wahidin sendiri, misalnya, bukan seorang ”raden”. Demikian pula Cipto Mangunkusumo dan adiknya, Gunawan: mereka anak guru. Bahkan pernah tercatat anak pembantu rumah tangga di sekolah kedokteran itu. Seperti dikemukakan Robert van Niel dalam The Emergence of the Modern Indonesian Elite, status sosial para ”dokter Jawa” tak dipandang tinggi di masyarakat kolonial. Bahkan tak banyak yang tertarik masuk ke sana. Untuk mempromosikannya, sejak 1891 pemerintah memberi pelbagai kemudahan bagi murid yang ingin masuk STOVIA. Dalam sejarahnya, STOVIA disiapkan melayani kepentingan pemilik perkebunan di Sumatera Timur: para buruh yang didatangkan dari Jawa perlu dijaga kesehatannya agar tak membebani perusahaan. Untuk itu perlu dokter. Pendidikan yang disiapkan cukup serius. Sejak 1904, diploma STOVIA dapat mengantar seorang lulusan ke sebuah sekolah kedokteran di Belanda di tingkat lanjut, hingga ia bisa mendapatkan gelar dokter tingkat Eropa hanya dalam waktu setahun. Tapi lulusan itu akhirnya toh hanya dijuluki ”dokter Jawa”. Gajinya di perkebunan tak sebanding dengan ”dokter Eropa”. Kolonialisme selamanya ingin mengukuhkan diri dengan membedakan sang penjajah dari si terjajah. Kalaupun si inlander diberi kesempatan meniru, peniruan itu harus dijaga agar ”hampir sama, tapi tak benar-benar sama”, untuk memakai kata-kata Homi Bhabha tentang bagaimana masyarakat kolonial disusun. Demikianlah semasa kuliah para calon dokter itu—kecuali mereka yang beragama Nasrani—tak boleh mengenakan pakaian Eropa. Dalam latar yang panas itu, ide Wahidin akhirnya berkembang melampaui soal beasiswa. ”Budi Utomo” dibentuk oleh para mahasiswa kedokteran itu—dan peran dr Wahidin segera berakhir.

Para pemuda mengambil alih. Bagi mereka, ikhtiar akhirnya mesti bersifat politik, sebab ketidakadilan yang mereka alami adalah bagian dari kekuatan struktural. Jika politik adalah penggalangan kekuatan alternatif untuk mengubah keadaan, mau tak mau sebuah aksi masuk ke dalam sebuah paradoks. Di satu sisi, aksi itu harus menegaskan identitas tersendiri. Tapi di sisi lain, ia harus menjangkau yang bukan dirinya, hingga identitas itu tak seperti baju besi yang terkunci rapat. Dan itulah yang terjadi pada ”Budi Utomo”. Organisasi ini pada awalnya bertumpu pada segala sesuatu yang ”Jawa”. Tapi ketentuan organisatorisnya sepenuhnya ”Barat”. Bahkan dengan segera ”Jawa” tak hanya berarti sekitar Yogya dan Surakarta, tapi juga mereka yang biasa disebut ”Sunda”, ”Madura”, dan ”Bali”. Akhirnya identitas pun terbongkar: semuanya tak jelas batasannya. Salah satu yang menarik pada ”Budi Utomo”: untuk berkomunikasi, organisasi ini tak menggunakan bahasa Jawa, melainkan Melayu. Bukankah gerakan politik ke arah keadilan akan selalu terdorong menjangkau yang universal? Tapi sejumlah orang tua, para aristokrat Jawa, menampik. Bagi mereka, ”Budi Utomo” harus tetap ”Jawa”. ”Berpolitik” harus dihentikan. Pada Oktober 1908, orang-orang konservatif itu mengambil alih pimpinan ”B.O.”. Bentrokan terjadi. Dari sinilah muncul dua nama yang kekal dalam sejarah kebangkitan Indonesia—dua orang yang tak sesopan Mas Wahidin: Cipto Mangunkusumo, dokter; ia dengan sengaja memasang bintang penghargaan dari Ratu Belanda di pantat sebagai protes. Suwardi Suryoningrat, pemuda bangsawan keturunan Paku Alam; ia akhirnya meninggalkan STOVIA dan menulis sebuah pamflet cemooh. Ia gugat pemerintah Hindia Belanda ketika berencana membuat pesta besar ulang tahun ke100 kemerdekaan Belanda dari penjajahan Prancis—pesta yang diadakan di tanah yang tak punya kemerdekaan.

Als ik eens Nederlander was, tulis Suwardi. Seandainya aku seorang Belanda…. ”Aku juga patriot, dan sebagaimana seorang Belanda yang dengan semangat nasionalis mencintai tanah airnya, juga aku mencintai tanah airku….” Kalimat itu betapa menggigit: seorang hamba menyatakan diri bisa sama dengan si tuan—bukan dalam kuasa, tapi dalam menghargai kemerdekaan. Hal itu mungkin tak diduga Mas Wahidin: yang ”Jawa” bisa dan seyogianya lebur dalam sesama. Nasionalisme bukan suara igauan sendiri. ~ Majalah Tempo Edisi. 13/XXXVII/19 – 25 Mei 2008~

Ta’ayush Mei 12, 2008 Sejarah kebangsaan juga bisa mengandung cerita kekejaman, meskipun sebuah bangsa semestinya dibangun dari ta’ayush. Ta’ayush adalah kata Arab yang berarti ”hidup bebrayan”. Kata ini tak istimewa, tapi terasa luar biasa di sebuah negeri di mana ”bangsa” bukan saja sedang terguncang sendi-sendinya, melainkan juga terancam oleh saling membenci. Negeri itu adalah Israel. Ia bulan ini ber-umur 60, dengan kegundahan yang dulu tak terbayangkan ketika ia dinyatakan berdiri pada 14 Mei 1948. Di tengah kegundahan itulah pada tahun 2000 sejumlah warga Israel memakai ta’ayush untuk jadi nama sebuah organisasi. Ia terdengar seperti bagian dari sebuah agenda mulia namun mustahil. Tapi statemennya yakin: Kami—warga Israel keturunan Arab dan Yahudi—hi-dup dikelilingi tembok dan kawat berduri: dinding pemisahan, rasialisme, dan diskriminasi…; dinding penutup dan pengepungan yang mengurung orang Palestina di daerah pendudukan di Wilayah Barat dan Gaza; dinding peperangan yang mengelilingi seluruh penghuni Israel, selama Israel jadi benteng bersenjata di jantung

Timur Tengah…. Kami bergabung bersama membentuk ”Ta’ayush”, sebuah gerakan dari bawah masyarakat Arab dan Yahudi yang bekerja sama untuk membongkar tembok rasialisme dan pemisahan dengan membangun sebuah kemitraan sejati antara orang Arab dan Yahudi. ”Kemitraan sejati”—ketika dari Israel tak terdengar semangat yang universal, tapi ”tembok dan kawat berduri”? Ta’ayush di tengah ”pemisahan, rasialisme, dan diskrimi-nasi”? Keraguan seperti itu tak aneh bila terdengar di wilayah itu, yang selalu dekat dengan api kebencian yang murub. Tapi semangat organisasi ini bukan baru. Jauh sebelum Israel lahir, pada 1925 di wilayah Palestina berdiri Brith Shalom. Organisasi ini—berarti ”Kontrak Perdamaian”—hendak melaksanakan ide-ide Martin Buber (1878-1965), filosof Yahudi yang terkenal karena karyanya Ich und Du (”Aku dan Kau”). Buber bukan saja menentang kekerasan orang Yahudi ketika menghadapi orang Arab, melainkan menjauh dari arus besar nasionalisme dalam Zionisme. Berpindah dari Jerman yang menghalau dan membinasakan orang Yahudi, Buber datang ke Palestina. Tapi, berbeda dengan banyak Zionis lain, ia punya cita-cita tersendiri. Ia tak ingin sebuah republik Yahudi, tapi sebuah negeri dwi-bangsa. Ia tak punya ilusi idenya akan diterima kaum nasionalis yang menggebu-gebu. Tapi, baginya, perjuangan tak hanya terdiri dari strategi politik. Buber bersuara terus, percaya bahwa kebenaran moral tetap penting biarpun terpojok. Bertahun-tahun lamanya ia dilupakan. Tapi mungkin ini tanda kegundahan Israel, bila kini pemikir-annya menarik perhatian lagi: sebuah kumpulan tulisannya diterbitkan dalam bahasa Inggris pada 2005, dengan judul A Land of Two Peoples. Tampaknya orang sedang mencari jalan dan harapan, ketika Israel harus memecahkan dilemanya yang terbesar. Republik ini berdiri dengan asas demokrasi (dulu ia demokrasi satu-satunya di

Timur Tengah), yang mengakui mandat datang dari suara terbanyak warganya. Namun, sejak kemenangannya yang mengejutkan pada 1967, ketika Israel tak hanya punya sejarah yang panjang tapi juga peta bumi yang luas, republik itu harus mengakui: dulu ada masanya orang-orang Arab binasa atau terusir, tapi kini suara yang datang dari warga yang ”lain” itu makin lama makin penting. Tiap tahun penduduk Arab tumbuh 2,5 persen; penduduk Yahudi hanya 1,4 persen. Sementara itu, Israel sekaligus menduduki wilayah Arab yang hanya bisa ia pertahankan dengan darah dan besi. Maka kini paranoia, kebencian, dan kehendak destruktif merasuk di mana-mana—sebuah lingkaran setan, sebuah napas iblis, yang diperkuat dengan nama Tuhan di kedua belah pihak. Apa gerangan yang akan terjadi dengan Israel? Tidakkah Martin Buber dulu benar: Israel sebaiknya memang tak hanya sematamata republik Yahudi? Dengan kata lain, masa depan adalah ta’ayush, dengan pelbagai versi yang mungkin? Tak mudah untuk percaya. Harapan gelap. ”Israel, seperti masyarakat mana saja, punya anasir yang buas dan mengidap patologi sosial,” tulis David Shulman dalam Dark Hope: Working for Peace in Israel and Palestine, sebuah buku kesaksian yang sedih dari seorang anggota kelompok Ta’ayush. Tapi dalam 40 tahun terakhir orang-orang Yahudi yang destruktif telah dapat tempat, lengkap dengan dalih ideologisnya, dalam ”usaha pemukim-an”. Di pelbagai wilayah, tutur Shulman, orang-orang itu ”punya kebebasan yang tak terbatas untuk menteror penduduk Palestina: menyerang, menembak, melukai, dan terkadang membunuh—semua atas nama apa yang dianggap kesucian tanah ini dan hak eksklusif orang Yahudi atasnya.” Mereka praktis tak bisa disetop. Tiap usaha mengatasi kebiadaban itu, tiap usaha perdamaian—juga dari peme-rintah Israel sendiri—terjerat dalam apa yang disebut Shulman sebagai ”mesin yang rumit”. Aparat pemerintah sipil, tangan militer dan polisi, jalin-menjalin secara sengaja dan tidak dengan para

pemukim Yahudi, yang bisa begitu kejam hingga tega menebarkan racun ke ternak orang Palestina miskin penghuni gua. Tapi gelap atau terang, harapan tak sepenuhnya padam. Terutama ketika ada orang Arab seperti Sari Nusseibeh, Rektor Universitas al-Quds, yang melawan represi dengan berani justru karena ia memakai cara damai. Atau orang seperti Shulman sendiri, seorang pengagum Gandhi. Atau Ezra Nawi, si Yahudi asal Irak yang menolong orang Palestina tak putus-putusnya: orang yang percaya bahwa manusia, juga dalam bentuk bangsa, perlu ta’ayush. Untuk itu ide kebangsaan bukan hanya lahir dari -ingatan—satu tendensi yang dominan di Israel—tapi justru dari kemampuan melupakan. Tak mungkin bangsa akan tegak dengan kesetiaan primordial, apalagi dengan trauma dan saling dendam yang berakar. ~Majalah Tempo Edisi. 12/XXXVII/12 – 18 Mei 2008~

Mak Mei 5, 2008 Pada suatu peringatan 1 Mei, sejumlah buruh ditangkap, termasuk Pavel—dan Maksim Gorky menulis novel Mat’. Pramoedya Ananta Toer menerjemahkannya dengan Ibunda. Saya kira kata yang lebih cocok adalah ”Mak”. ”Ibunda” memang mengandung rasa hormat dan hangat, dan tokoh novel ini, Pelagedia Nilovna, perempuan yang mendampingi anaknya dalam perjuangan buruh itu, patut disebut dengan sungkan dan sekaligus mesra, bak Maria yang melahirkan Yesus. Tapi, dalam bahasa Melayu, ”ibunda” adalah kata panggilan di kalangan atas. Panggilan ”mak” lebih lazim di lapisan rendah masyarakat. Namun Pramoedya tak sepenuhnya keliru. Pilihan judul itu mencerminkan paradoks karya sastra yang hendak mengobarkan

semangat perjuangan: menyatakan diri bagian dari ”realisme” tapi condong ke arah mitologi. Tokoh Mat’ didasarkan pada kisah nyata Anna Zalomova yang berjalan ke mana-mana menyebarkan pamflet revolusi setelah anaknya ditahan polisi dalam sebuah aksi massa. Tapi, dalam novel ini, sang ibu—dengan iman Kristennya yang masih utuh, dengan cintanya kepada Pavel, sang anak yang berubah dari si bandel jadi pejuang buruh—senantiasa hadir sebagai bayangbayang sang suci; si mak terasa lebih agung ketimbang manusia sehari-hari. Di bab terakhir ucapannya fasih-lidah kepada orang ramai, ketika polisi mulai mengepung: ”Untuk mengubah hidup ini, untuk membebaskan semua, membangunkannya dari kematian, sebagaimana aku dibangunkan, beberapa orang telah datang, mereka yang secara bersembunyisembunyi telah menyaksikan kebenaran dalam hidup. Bersembunyi-sembunyi, sebab, kalian tahu, tak seorang pun dapat mengucapkan kebenaran itu dengan lantang. … Sejauh ini kebenaran adalah musuh bebuyutan dari si kaya, musuh yang tak akan dapat diajak damai selama-lamanya! Anak-anak kita tengah membawa kebenaran ke dunia.…” Rangkaian kalimat itu mirip khotbah seorang nabi di depan kenisah: kata ”kebenaran” disebut berkali-kali. Dan ketika akhirnya polisi menyerbu, Pelagedia Nilovna tak berhenti. Perempuan ini seakan-akan martir yang tak bisa luka. Pendek kata, ia tokoh ideal; ia lahir dengan takdir yang didesain sang pengarang. Mungkin itu sebabnya novel ini tak punya banyak kelok yang rumit tak disangka-sangka. Sekali kita tahu pesan yang hendak disampaikan Gorky, kita segera temukan garis lurus antara bab pertama yang melukiskan kehidupan kumuh kaum proletar dan bagian akhir yang menunjukkan kegagahberanian. Mungkin itu pula sebabnya novel yang begitu menggugah ketika dibaca di awal abad ke-20 di Rusia, di awal abad ke-21 ini

akan disambut dengan satu tarikan napas: tak ada yang baru di situ. Zaman memang tak seperti dulu. Kini mitos kian goyah, realisme problematis. Kini manusia adalah ”orang”, makhluk yang lebih mengasyikkan tapi juga menjengkelkan. Lebih dari satu dasawarsa setelah Gorky menuliskan novelnya, Freud menunjukkan bahwa kita semua (juga para nabi dan pahlawan) punya bawah-sadar yang penuh nafsu, naluri, dan hasrat kenikmatan. Kini kita lebih skeptis memandang pokok & tokoh. Dan apa arti ”realisme”, jika ”realitas” kian disadari sebagai dunia hasil konstruksi yang didukung bahasa sendiri? Dalam Bab XIX, Pavel, buruh muda yang akhirnya jadi kebanggaan maknya, berdiri di samping bendera merah yang berkibar: ”Kawan semua! Kita telah putuskan untuk menyatakan secara terbuka siapa kita; kita junjung bendera kita hari ini, bendera nalar, kebenaran, kebebasan!” Begitu meyakinkankah ”nalar”? ”Hidup rakyat pekerja!” Pavel berseru pula, dan ratusan suara menyahut, ”Hidup Partai Pekerja Sosial Demokrasi, partai kita… ibu rohani kita.” Bagaimana mungkin Partai jadi ”ibu rohani”? Menjelang Revolusi Oktober 1917, ”nalar” dan partai sebagai ”ibu rohani” adalah bagian dari iman gerakan Bolsyewik. Tapi, September 1980, kaum buruh Polandia mengibarkan gerakan mereka, Solidarnosc, yang menentang Partai Komunis yang berkuasa atas nama proletariat. Kita pun diingatkan kembali: kaum pekerja lahir dari kerja—bukan dari ideologi. Ideologi adalah hasil dari ”nalar”. Kaum pekerja tumbuh dari bawah, dari otot dan peluh, sedangkan Partai, ”sang ibu rohani”, akhirnya tak bersentuhan dengan otot dan peluh, elemen jasmani para proletar. Bahkan sang buruh, yang bukan mitos, tak selamanya ingin menghabisi kapitalisme. Di Indonesia, ada yang lebih menderita:

para penganggur, yang tiap kali buruh memperoleh upah minimum yang lebih tinggi, tiap kali pula para tunakarya itu kehilangan kesempatan kerja. Tapi Gorky bisa dimaafkan. Pada tahun 1907, ketika Mat’ terbit, Partai, ”si ibu rohani”, belum berkuasa dan berubah jadi Bapak yang streng. Baru pada 1918, setelah majalahnya, Novaya Zhin, diberangus Partai, Gorky tahu apa yang ia hadapi; ia menulis sebuah buku yang kritis—yang baru bisa diterbitkan di Rusia setelah Uni Soviet runtuh. Tapi mengherankan, hari-hari itu bahkan Gorky tak mengingat Engels (dalam Anti-Dühring) yang menunjukkan pentingnya elemen jasmani dalam kerja dan sejarah. ”Kerja”, bukan ”karya”, berasal dari badan yang tegak, ketika manusia tak lagi menggunakan tangannya untuk merangkak. Tangan yang bebas itulah yang membentuk kerja: menenun dan meniup serunai, menulis alkisah dan Alkitab. Otak pun berkembang amat jauh, hingga ”nalar” seakan-akan lepas dari jasmani. Yang jasmani memang tak kekal dan tak pasti. Mungkin itu sebabnya dalam novel ini Si Rus Kecil berseru: ”Kawan-kawan! Kita telah memulai sebuah prosesi suci atas nama Tuhan yang baru, Tuhan Kebenaran dan Cahaya, Tuhan Nalar dan Kebaikan!” Jangan-jangan ini nostalgia tubuh kepada ”roh”, agama yang ngumpet di balik ”materialisme dialektik”, mitologi yang berbaju ”realisme”. Tak aneh jika para pejuang sering lupa: yang merasa benar dan kekal akan terasing dari sejarah. ~Majalah Tempo Edisi. 11/XXXVII/05 – 11 Mei 2008~

Ini Pagi, Kata Kartini April 28, 2008 It is morning, Senlin says, and in the morning Should I not pause in the light to remember God?

–Conrad Aiken. Ini pagi, kata Kartini, dan bila pagi seperti ini, ia akan berangkat kerja, naik ojek dengan motor yang guncang, terpekur di sadel plastik yang gelap, mungkin mengingat ujung mimpi, mungkin mimpi. Ini pagi, kata Kartini, dan bila pagi seperti ini, ia akan turun di pengkol gang yang patah, sebuah lorong dengan nama seorang haji, dan akan menyusuri aspal kusam, dan akan membayangkan dirinya menyanyi, mungkin sebuah lagu Dewi Persik, mungkin sejumlah goyang, sejumlah angan-angan, mungkin fantasi. Ini pagi, kata Kartini, dan bila pagi seperti ini, di tempat kerja itu, di sebuah panti pijat, si asisten pemilik usaha akan berkata kepadanya: ”Jangan lupa gembok.” Dan ia akan mengambil di lokernya celana-dalam seragam yang hijau itu, dengan retsliting mengkilap, dengan gembok kecil yang merah. ”Jangan lupa gembok”. Aku tak akan lupa, tak akan lupa. Gembok itu melindungi perempuan pemijat dari dosa, kata pegawai jawatan agama kabupaten; gembok adalah teknologi kealiman, peranti iman, pelindung harmoni keluarga, perisai kesehatan jasmani & rohani. ”Tentu, tentu, tentu. Amin, amin, amin,” kata Kartini, kata Kardinah, kata perempuan-perempuan pemijat, kata asisten pemilik usaha, dan tak seorang pun yang tak patuh. Ini pagi, kata Kartini, dan tiap pagi di tempat ini selalu dimulai dengan ingatan tentang dosa, kekotoran manusia, atau najis, Tuhan yang mengirimkan sifilis, insan yang menyembunyikan kemungkinan-kemungkinan jorok, syahwat yang hanya sedetik dirasakannya, dan fatwa yang menyuntikkan ke jantungnya segumpal rasa bersalah seperti dokter menyuntikkan serum kuda. Siapa yang bersalah? Ini pagi, kata Kartini, jam-jam pertama ia mencari upah, tak mencari laki-laki. Ini pagi, kata Kartini, benarkah ia selamanya paham apa yang dikehendaki laki-laki? Suaminya yang cemburu tapi lapar dan malas mengantar si Ujang ke sekolah; pak cik yang tiap Jumat datang menagih utang karena ia sendiri

hidup dari utang; satpam yang selalu sangat ramah kepada istri pemilik warteg di pinggir jalan, dan tukang ojek yang selalu berkata lewat kaca spion sepeda motornya, seperti mau mengejek, ”Aku tak suka bau badan.” Siapa yang bersalah? Laki-laki yang tak mau memakai gembok di celana-dalam, kata Kardinah: bupati yang selalu berpikir tentang seks; anggota dewan yang percaya ada gerakan pengedar syahwat di selatan khatulistiwa; komandan koramil yang punya senyum mesum; nyonya kepala jawatan agama yang kalang-kabut mengintip film ”begituan” dan merasa betapa gemuruhnya godaan dan asyiknya kenikmatan, astaghfirullah, astaghfirullah. ”Jangan lupa gembok”. Laki-laki adalah otak, kata ketua Majelis Ulama setempat, perempuan adalah badan. Laki-laki matahari, perempuan bumi, katanya lagi. Yang di dekat langit dekat pula dengan sumber terang dan wahyu, yang dekat bumi mudah tersenggol lendir dan gonorea. Surya melahirkan tenaga, bumi melahirkan bahan. Memang dari sini datang bau harum, tapi juga racun. Jangan lupa gembok. Jangan lupa penutup rambut di kepala. Jangan lupa penutup lengan dan tungkai kaki. Wahai, jangan lupa dari mana datangnya dosa: dari mata turun ke vagina. Jangan lupa gembok, jangan lupa kunci. O, ya. Jangan lupa celana-dalam. Ini pagi, kata Kartini. Pagi adalah menunggu tamu. Pagi adalah dag-dig-dug. Pagi adalah suara tokek di dinding yang ditebak seperti ramalan feng-sui: rezeki – rugi – rezeki – rugi – rezeki – tidak.… Dan Kardinah, dan Rukmini, dan Badriyah, dan Sri Urip, dan Zakiyah, dan seluruh tim pemijat itu, mereka tahu bahwa di antara mereka cemas adalah sesuatu yang sah dan terduga: para tamu tak akan gampang dan tenang datang ke sini, sebab para tamu adalah orang yang terhormat, dan orang yang terhormat tak mau dituduh mendekati sesuatu yang harus diproteksi dengan sepotong logam berwarna merah. Ini pagi, kata Kartini. Ini pagi, Stella—ataupun siapa nun di luar

sana. Di ruang ini hari dimulai dengan kewaspadaan. Atau kecurigaan. Atau penghinaan. Dan kaum yang lapar, kaum yang terhina, berderet termangu, duduk, bersalah sebelum diupah. Ini pagi, kata Kartini, aku turun dari gelap dan dengan angin yang menghuni, aku berangkat, entah ke mana. Sepucuk kunci di kantungku, arlojiku kuputar siap. Langit menyuram,aku turun tangga. Ada bayang-bayang di jendela, melintas, juga sepotong awan di atas,dan sesosok tuhan di antara bintang—aku akan pergi… ~Majalah Tempo, Edisi. 38/IX/28 April – 04 Mei 2008~

Hoppla! April 21, 2008 … Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam. Hari-hari ini, ketika ada rasa cemas bila puisi jadi suara yang tak taat dan seni tak alim, saya ingin mengingat Chairil Anwar. Ia meninggal, mati muda, 28 April 1949. Bagian penting dari 27 tahun dalam hidupnya intens, bergairah, gemuruh, dan khaotis. Ada satu kalimat goresannya sendiri yang tertulis di secarik kertas: …wijsheid + inzicht tidak cukup, musti stimulerende kracht + enthousiasme. Chairil tak ingin cuma punya kearifan dan wawasan. Baginya manusia perlu ”daya rangsang” dan antusiasme. Dalam sebuah pidato pada 1943 Chairil mendahului paragraf pertamanya dengan sebuah sajak:

Mari berdiri merentak Diri-sekeliling kita bentak Kehendak menggugah (me-”rentak” dan mem-”bentak”) itu bagian dari yang disebutnya sebagai ”vitaliteit” atau ”tenaga hidup”. Dalam seni, menurut Chairil, ”tenaga hidup” itu selalu muncul sebelum keindahan, berupa ”chaotisch voorstadium”, tahap pendahulu yang galau, yang khaotis. Kreativitas memang diawali rasa gelisah mencari, kegalauan ingin menemukan, juga niat merombak. Sesuatu yang destruktif tersirat di dalamnya. Seorang ”pujangga”, kata Chairil (pada 1943 itu ia masih menyebut sastrawan demikian) tak gentar akan apa pun. ”Pohon-pohon beringin keramat” ia panjat. Bahkan ia akan ”memotong cabang-cabang yang merindang-merimbun tak perlu…”. Inilah statemen Chairil: ”Aku berani memasuki rumah suci hingga ruang tengah! Tidak tinggal di pekarangan saja.” Dengan keberanian menerobos itu ia pun mempertanyakan—bahkan sedikit mencemooh—ajaran agama. Kita ingat sajak Sorga. Sang penyair mula-mula mengikuti tradisi orang tua: ia berdoa agar masuk surga. Sebab, ”kata Masyumi + Muhammadiyah”, surga itu ”bersungai susu” dan bertaburan beribu-ribu bidadari. Tapi dalam diri sang penyair ada suara yang ”nekat mencemooh”: benarkah dengan demikian surga lebih asyik ketimbang dunia? Tidakkah kehidupan yang berlimpah itu justru membuat manusia kehilangan gairah seperti ketika pelaut melihat ”gamitan dari tiap pelabuhan”? Dalam pertanyaan itu, Tuhan praktis ”mati”: tak ada lagi satu sumber yang diakui sebagai maha-penjamin segalanya, juga hal yang paling ganjil. Atau Tuhan telah redup: ”caya-Mu panas suci/tinggal kerdip lilin di kelam sunyi”, demikian kita temukan dalam sajak Doa. Atau Tuhan jadi penyebab tamatnya pengembaraan: sang kelana tak

lagi menemui dunia dengan takjub dan cemas seperti di sebuah negeri asing. ”Aku mengembara di negeri asing,” kata Chairil. Tapi kemudian, ketika ”di pintu-Mu aku mengetuk/ aku tidak bisa berpaling.” Dengan kata lain, setelah pintu itu, ”tenaga hidup” kehilangan rangsang untuk mencari, untuk gelisah, untuk berbeda. Tiap kekuasaan yang mengontrol cenderung membuat hidup terbatas pada yang hadir dan dikenali, berpegang pada satu ensiklopedia yang sudah tersusun rapi. Dengan demikian, pintu ditutup bagi kebenaran yang tak terduga-duga. Tapi bisakah pengembaraan yang membuka diri bagi yang tak pernah dikenal itu dihabisi? Dalam adaptasinya atas sajak HsuChih Mo (1897-1931), A Song of the Sea, Chairil menghadirkan seorang dara yang sendiri, ”berani mengembara/Mencari di pantai senja”. Ketika si gadis diseru agar pulang, ia menolak: ”Tidak, aku tidak mau! Biar angin malam menderu Menyapu pasir, menyapu gelombang Dan sejenak pula halus menyisir rambutku Aku mengembara sampai menemu.” Penolakan itu menegaskan kebebasan. Tak mengherankan bila Chairil menyambut jatuhnya kekuasaan Jepang dengan teriakan, ”Hoppla!” Di bawah fasisme Jepang, yang tumbuh adalah ”kebudayaan paksaan.” Diawasi oleh sensor dan doktrin, sastra dan seni harus mengikuti arahan tertentu. Pada masa pendudukan Jepang, yang harus dipatuhi adalah ”garis-garis Asia Raya”, seruan agar rakyat menanam pohon jarak, melipatgandakan panen, menabung, bikin kapal…. Banyak seniman yang patuh. Bagi Chairil, mereka telah ”mendurhaka kepada Kata”. ”Kata” dalam pengertian Chairil bukanlah Logos. ”Kata” tak dibentuk oleh aku-yang-berpikir, tapi aku-yang-ada-di-dunia. Dalam pemikiran Chairil, ”Kata adalah yang menjalar mengurat, hidup dari

masa ke masa, terisi padu dengan penghargaan, mimpi, pengharapan, cinta, dan dendam.” Artinya ”Kata” praktis sama dengan ”hidup”. Maka ia tak bisa diperbudak; ia bebas-lepas. Tapi hidup juga selamanya riskan, bisa tak disangka-sangka, bisa gelap. Manusia dan ”Kata”-nya bukanlah makhluk yang transparan, lurus, dan koheren. Dalam satu coretan pendeknya yang dikutip H.B. Jassin dalam Chairil Anwar, Pelopor Angkatan 45, Chairil menyebut bahwa dalam diri manusia ada ”gedong besar dan gelap tempat jiwa kita yang sejati bersembunyi.” Itu sebabnya ”Kata” atau ”hidup” punya sifatnya yang tak cerah, bahkan tragis. Dalam sajak Chairil yang terkenal, Aku, kita dapatkan manusia yang terbuang dan luka. Ia berlari, kesakitan, berteriak, ”aku ingin hidup 1000 tahun lagi”, tapi keinginan itu justru menunjukkan kekurangannya. Ia fana. Ia terbatas. Mungkin itu sebabnya sajak Hsu-Chih Mo oleh Chairil diberi judul Datang Dara, Hilang Dara. Di balik kehadiran itu ada ketiadaan. Di akhir sajak, terdengar suara yang memanggil si dara dari tepi laut yang hampir gelap itu. Tapi ternyata Di pantai, di senja, tidak ada dara Tidak ada dara, tidak ada, tidak…. Sang penyair mengakui yang ganjil, yang misterius, dan tak terpahami di luar sana. Puisi jadi berarti bukan karena menjejalkan isi, melainkan karena menemui sebuah pantai senja yang kehilangan. ”Aku…,” kata Chairil kepada Ida [Nasution?], ”bukan pendeta atau kiai tentang sesuatu.” Sajak-sajak Chairil terus-menerus mempesona kita justru karena itu. ~Majalah Tempo Edisi. 37/IX/21 – 27 April 2008~

Kaligrafi April 14, 2008

Sepotong sajak Turki dari zaman Usmani tertulis di antara bingkai yang dilukis dengan warna keemasan: sebuah sajak yang cantik dan sebuah karya kaligrafi yang piawai. Di sudut disebutkan: inilah buah tangan Rikkat Kunt (1903-1986). Penjelasan lain menyusul: Rikkat adalah seorang perempuan juru kaligrafi Turki yang terkemuka justru di masa ketika Kemal Attaturk mendekritkan bahwa Turki baru harus mengganti huruf Arab dengan huruf Latin. Artinya, para seniman kaligrafi adalah makhluk yang terpencil dan hampir punah, dan Rikkat Kunt lolos dari keterpencilan. Ia menang dalam kompetisi nasional seni kaligrafi dan dapat posisi mengajar di Akademi Seni Rupa Istanbul. Tapi ia tak akan diingat orang seandainya karyanya tak ikut dipamerkan di Museum Louvre pada tahun 2000. Dan seandainya tak ada Yasmine Ghata. Pada 2004, dari perempuan yang waktu itu berumur 31 itu terbit sebuah novel pertama, La Nuit des Caligraphes. Hidupku berakhir pada 26 April 1986: umurku delapan puluh tiga. Istanbul sedang merayakan Pesta Kembang Tulip di Emirgan…. Kematian tak membuatku takut. Ajal hanya kejam terhadap mereka yang takut kepadanya. Dengan kalimat pembuka seperti itu, novel ini—bertolak dari riwayat hidup Rikkat Kunt—memang mempesona. Dunia sastra Prancis menyambutnya dengan hangat. Bisa dimengerti kenapa. Prancis, seperti halnya seluruh Eropa, sedang sibuk dengan dua nama: ”Turki” dan ”Islam”. Imigran Turki ada di mana-mana, Turki ingin jadi bagian dari Uni Eropa, dan Islam dilihat terkait dengan kekerasan dan ketidakbebasan perempuan, tapi juga sebagai bagian dari nasib si miskin yang menanggung sebuah peradaban yang terluka. Pendeknya, ”Turki” dan ”Islam” adalah nama kini bagi ”Si Lain”. Bagaimana memperlakukan ”Si Lain” dalam sebuah demokrasi? Sebagai sesuatu yang harus dibuat ”tidak beda”, agar tak

membelah masyarakat? Atau ditoleransi sebagaimana dia adanya, agar tak terjadi kesewenang-wenangan? La Nuit des Caligraphes tak bermaksud menjawab persoalan itu. Yasmine Ghata, anak seorang novelis dan penyair Libanon, lahir di Prancis dan hidup di negeri itu. Ia tergerak menulis karena satu hal yang intim: Rikkat Kunt adalah neneknya sendiri. Tapi novel tentang nenek sendiri ini justru menarik bagi pembaca Eropa karena dari dalamnya ”Turki” dan ”Islam” tetap ajaib: ”Si Lain” yang tak mudah dijelaskan. Nostalgia kepada sesuatu yang eksotis terasa meruap dalam prosa Yasmine Ghata: daya imajinatif, yang selalu menghidupkan prosanya, menyebabkan La Nuit des Caligraphes seakan-akan tak bercerita tentang abad ke-20 melainkan bagian dari dongeng 1001 malam. Tapi dengan itu pula kisah Rikkat Kunt menunjukkan bahwa sejarah adalah proses yang tak mudah, tak gampang diputusputus. Kaligrafi—seni tua yang tak juga punah, goresan tinta yang mengalir membentuk kata dari huruf—adalah perumpamaan yang baik tentang kontinuitas. Sejarah dalam kontinuitas itulah yang menyebabkan masalah besar seperti ”agama” dan ”modernisasi”—yang membayang di belakang novel ini—tak tampil bagaikan dua tenaga yang berhadap-hadapan dan tak kait berkait. Ini agaknya nilai tambah ketika La Nuit des Caligraphes diterjemahkan ke bahasa Indonesia (dengan judul Seniman Kaligrafi Terakhir, oleh Ida Sundari Husen, terbitan Serambi, 2008). Di Indonesia, sebagaimana di Turki, orang berada di tengah masalah yang sama: konflik atas nama kemajuan, dan konflik atas nama Tuhan. ”Tuhan tak tertarik abjad Latin,” kata Rikkat. Napas Tuhan, katanya pula, tak dapat meluncur di atas huruf-huruf yang pendek, tambun, dan terpisah-pisah itu. Kemal, yang memimpin Turki agar negerinya maju seperti Eropa, hendak membuat masa lalu lenyap dan membuat masa depan lekas datang: ia memaksakan penggunaan alfabet Latin ke seluruh negeri. Istilah lama dari

bahasa Arab terkadang diganti dengan istilah Prancis. Para seniman kaligrafi ”terluka”, kata Rikkat. Luka itu bukan karena kehilangan posisi, tapi karena sebab yang lebih dalam: seni kaligrafi adalah ibadah yang tulus dan tragis. Semua seniman kaligrafi berusaha ”menangkap kehadiran Ilahi”, tapi tak seorang pun berhasil. Tapi mereka ingin terus. Maka kata ”malam” (la nuit) dalam judul asli novel ini mengandung kiasan untuk suasana sunyi dalam ibadah itu dan juga suasana gelap karena terancam. Dalam arti tertentu, Seniman Kaligrafi Terakhir mengandung sebuah pembelaan bagi sikap religius di hadapan sekularisasi yang agresif. Dengan latar Eropa sekarang, pleidoi itu punya nilai yang penting. Novel ini jadi suara pengimbang di tengah sebuah masyarakat yang memandang iman dengan cemooh atau curiga. Tapi perlu dicatat: dalam novel ini, ”iman” dan ”agama” dan ”Islam” dijalani dengan imajinasi yang subur. Rikkat percaya pada hantu Selim (”seniman kaligrafi yang berumur 100 tahun”, yang ”menulis di bawah pengawasan ketat Rasulullah”), percaya pada patung-patung kecil darwis yang ”bergerak tiap kali mendengar suara orang mengaji”, percaya bahwa alat-alat tulis bisa bergerak sendiri, terkadang menari erotis, juga dalam memuja Yang Maha Suci. Di hadapan imajinasi yang subur, yang hidup, yang mesra kepada fantasi seperti itu, dan fantasi yang tumbuh terus dalam kreasi, apa yang lebih yang diberikan ”modernisasi”? Sesuatu yang terasa terlalu datar, dangkal, dan hanya memikirkan ”guna” dan ”hasil”. Tapi demikian juga yang diberikan ”agama”—jika ”agama” adalah keyakinan yang cuma mengerti hukum, yang lurus, kering, dan kaku. Menarik bahwa bukan jalan yang lurus yang diingat Rikkat menjelang akhir. Ia malah bicara tentang ”zigzag”, ”labirin”, dan ”spiral”—yang mengembalikannya kepada yang membahagiakan dan menyusahkan dalam hidupnya. Ya, hidupnya.

~Majalah Tempo Edisi. 08/XXXVII/14 – 20 April 2008~

Fitna April 7, 2008 Kita hidup di sebuah zaman ketika benci bisa jadi advertensi. Jika tuan teriakkan rasa muak, geram, dan tak sabar tuan kepada sekelompok manusia—dengan teriakan yang cukup keras—tuan akan menarik perhatian orang ramai. Tuan bahkan akan dapat dukungan. Geert Wilders tahu betul hal itu. Dalam umur 44, politikus Belanda ini adalah sosok yang cocok bagi zaman yang celaka sekarang. Tiap kali ia mencaci maki orang imigran—para ”non-pribumi” muslim yang hidup di Negeri Belanda—ia dengan segera tampak mumbul seperti balon jingga di langit Den Haag. Dalam sebuah wawancara dengan harian De Pers pertengahan Februari 2007, inilah yang dikatakannya: ”Jika orang muslim ingin hidup di Negeri Belanda, mereka harus menyobek dan membuang setengah dari isi Quran.” Katanya pula: ”Jika Muhammad hidup di sini sekarang, saya akan usul agar dia diolesi ter dan ditempeli bulu ayam sebagai ekstremis, lalu diusir….” Syahdan, 15 Desember 2007, radio NOS pun mengangkat Wilders sebagai ”politician of the year”. Para wartawan surat kabar yang meliput parlemen memuji kemampuannya mendominasi diskusi politik dan memperoleh publisitas, berkat ucapan-ucapan ringkasnya yang pas waktu. Ucapan dengan abab yang panas dan bau tentu. Demikianlah Wilders jadi tokoh publik yang mendapat tepuk tangan karena benci memperoleh tempat yang strategis. Pada awal November 2004, sutradara film Theo van Gogh digorok dan ditikam di sebuah jalan di Amsterdam oleh seorang pemuda Islam, Mohammad Bouyeri, yang menganggap korbannya layak

dibinasakan. Van Gogh, seperti Wilders, adalah penyebar kebencian yang dibalas dengan kebencian. Tak ayal, dukungan melimpah ke partai yang dipimpin Wilders. Sebuah jajak pendapat mengindikasikan bahwa partai itu, PVV, bisa memperoleh 29 dari 150 kursi di parlemen seandainya pemilihan umum berlangsung setelah pembunuhan yang mengerikan itu. Kini bisa diperkirakan film Fitna yang dibuatnya akan membuat Wilders lebih berkibar-kibar—terutama jika benci yang ditiuptiupkannya disambut, jika orang-orang Islam meledak, mengancam, atau berusaha membunuhnya. Wilders bahkan memperoleh sesuatu yang lebih: bila kekerasanlah yang terjadi, Fitna, yang ingin menunjukkan betapa brutalnya ajaran Islam, akan dikukuhkan. Saya menonton film ini di Internet. Saya tak menikmatinya. Isinya repetitif. Apa maunya sudah dapat pula diperkirakan. Dimulai dengan karikatur terkenal dari Denmark, karya Kurt Westergaard itu—gambar seorang berpipi tambun dengan bom di kepala sebagai sorban hitam, yang dikesankan sebagai ”potret” Nabi Muhammad—film ini adalah kombinasi antara petilan teks Quran dalam terjemahan Inggris, suara qari yang fasih membacakan ayat yang dimaksud, dan klip video tentang kekerasan atau kata-kata benci yang berkobar-kobar. Ayat 60 dari Surat Al-Anfal yang ditampilkan pada awal Fitna, misalnya—perintah Allah agar umat Islam menghimpun kekuatan dan mendatangkan rasa takut ke hati musuh—diikuti oleh potongan film dokumenter ketika pesawat terbang itu ditabrakkan ke World Trade Center New York, 11 September 2001. Kemudian tampak pengeboman di kereta api di Madrid. Setelah itu: seorang imam yang tak disebutkan namanya bangkit dari asap, menyatakan: ”Allah berbahagia bila orang yang bukan-muslim terbunuh”. Pendek kata, dalam Fitna, Quran adalah buku yang mengajarkan khotbah kebencian yang memekik-mekik dan tindak biadab yang berdarah. Wilders sebenarnya hanya mengulang

pendapatnya. Pada 8 Agustus 2007, ia menulis untuk harian De Volkskrant: Quran, baginya, adalah ”buku fasis” yang harus dilarang beredar di Negeri Belanda, seperti halnya Mein Kampf Hitler. ”Buku itu merangsang kebencian dan pembunuhan.” Salahkah Wilders? Tentu. Penulis resensi dalam Het Parool konon menyatakan, setelah membandingkan film itu dengan Quran secara keseluruhan, ”Saya lebih suka bukunya.” Sang penulis resensi, seperti kita, dengan segera tahu, Wilders hanya memilih ayat-ayat Quran yang cocok untuk proyek kebenciannya. Semua orang tahu, Quran tak hanya deretan pendek petilan itu. Dan tentu saja tiap petilan punya konteks sejarahnya sendiri. Tapi Wilders tak hanya sesat di situ. Ia juga salah di tempat yang lebih dasar: ia berasumsi bahwa ayat-ayat itulah yang memproduksi benci, amarah, dan darah. Ia tak melihat kemungkinan bahwa Al-Qaidah yang ganas, Taliban yang geram, imam-imam dengan mulut yang penuh api—mereka itulah yang mengkonstruksikan Quran hingga jadi sehimpun kata yang berbisa. Ajaran tak selamanya membentuk perilaku; perilaku justru yang tak jarang membentuk ajaran. Tapi dalam hal itu Wilders tak sendiri. Kaum ”Islamis” juga yakin, ajaranlah yang mampu membentuk manusia. Dan seperti Wilders, mereka juga memilih ayat-ayat yang cocok untuk agenda kebencian mereka. Dan seperti Wilders, mereka tak mengacuhkan konteks sejarah ketika sebuah ayat lahir. Benci memang bersifat substraktif. Benci membuat pelbagai hal jadi ringkas—dan membuat sang pembenci tegas, jelas, menonjol. Benci adalah advertensi Wilders dan iklan para imam dengan demagogi ”Islam”. Itulah sebabnya Wilders salah tapi dibenarkan. Ia salah, bila ia hendak menunjukkan hubungan antara Surat Al-Anfal ayat 39 dan pemenggalan leher wartawan Eugene Armstrong menjelang akhir film. Tapi bukankah para algojo itu melakukannya karena merasa mengikuti firman Tuhan?

Apa mau dikata: inilah zaman ketika firman berkelindan dengan fitnah, ketika yang sakral bertaut dengan yang brutal. Kita hidup pada masa ketika Jonathan Swift, satiris penulis Gulliver’s Travels dari abad ke-17 itu, terdengar kembali arif dan sekaligus menusuk: ”Kita punya agama yang cukup untuk membuat kita membenci, tapi tak cukup untuk membuat kita mencintai….” ~Majalah Tempo Edisi. 37/VII/07 – 13 April 2008~

Negeri Asal Maret 31, 2008 Pembebasan datang dari yang tak punya nama. Saya bayangkan ini: ketika dari kapal orang-orang Belanda memandang ke pantai di sebelah barat Jawa itu, mereka lihat sosok, corak rambut, warna kulit, dan jenis pakaian yang demikian tak tepermanai ragamnya. Kemudian mereka tinggal di bandar yang gerah dan terik itu. Sebuah ekonomi pengenalan berlaku: dalam pikiran mereka, manusia itu tersusun dalam perbedaan yang rapi. Lalu mereka memberi nama. Maka mulailah klasifikasi manusia penghuni bandar itu—dan di situlah kolonisasi memasang tonggak dan pagarnya. Sekitar dua setengah abad kemudian, ketika kekuasaan serikat dagang VOC diteruskan oleh birokrasi yang mewakili Kerajaan Belanda di ”Hindia Timur”, ekonomi pengenalan berkembang jadi administrasi penamaan. Tak jelas apa dasar penamaan itu. Ada yang mengatakan itulah usaha untuk menguasai dan sekaligus mengasingkan ”apa yang tak diketahui”, the unknown. Tapi tak dikatakan kenapa justru nama ”inlander”, ”timur asing”, dan ” Eropa” yang dipakai, bukan nama bahasa atau jenis pekerjaan. Apa boleh buat. Penamaan mau tak mau bergantung pada sang penguasa bahasa atau bahasa sang penguasa. Seakan-akan berdasarkan sesuatu yang hadir di luar diri, penamaan adalah

metonimi dalam kesewenangan. Kata ”inlander”, ”timur asing”, dan ”Eropa” merujuk tempat, tapi tempat belum tentu sama dengan ”asal”. ”Asal” berkait dengan masa lalu. Kenapa masa lalu dan bukan masa kini? Apa pula masa lalu itu: waktu ketika lahir, atau ketika dibesarkan? Bukankah masa lalu bisa kupilih, bukan cuma memilihku? Pada 1935, Edgar du Perron menerbitkan novelnya, Het land van herkomst. Kata ”asal” dalam judul itu ambigu sebenarnya. Du Perron lahir pada 1899 di Jatinegara, Jakarta, dan dibesarkan dalam keluarga kaya raya pemilik perkebunan, dengan darah campuran dan kaitan yang akrab ke kebudayaan lokal. Ketika Edgar berumur 22, orang tuanya menjual milik mereka dan balik ke Eropa, tanah leluhur. Mereka membeli sebuah kastil di Belgium dan tinggal dikelilingi pelayan dan kemewahan. Si Edgar yang tak kekurangan uang menggelandang bak seorang bohemian di lorong-lorong Paris, bergaul dengan Pascal Pia dan André Malraux. Pengarang Prancis ini kemudian memperuntukkan novelnya yang termasyhur tentang kaum revolusioner Cina, La Condition Humaine, kepada pemuda kelahiran Jawa itu. Pada masa itulah Du Perron mulai mempertanyakan perilaku ayahnya sendiri, sang tuan besar dalam struktur masyarakat kolonial di Indonesia. Edgar mulai merasa dirinya bukan orang Eropa—meskipun selama di Hindia Belanda, ke dalam golongan itulah ia dan keluarganya dinamai. Het land van herkomst dikisahkan oleh Ducroo, terutama sebagai seorang bocah. Bersama ayahnya, tuan onderneming itu, Ducroo menyukai novel yang mengungkapkan pedihnya perbudakan di Amerika itu, Uncle Tom’s Cabin—dengan simpati kepada si budak hitam dan benci kepada si tuan kulit putih, tanpa si ayah sadar betapa dekat posisinya dengan si pemilik budak yang kejam. Si anak menyaksikan sendiri bagaimana si ayah memukuli seorang petani, dan novel ini dibuka dengan menyebut orang Eropa ”bandit yang berniat sungguh-sungguh”.

Para bandit akhirnya tak bisa hidup sendiri. Ayahnya, yang melanjutkan gaya hidup seorang tuan besar kolonial di negeri yang berbeda, bunuh diri pada 1926, dengan harta ludes. Du Perron tertinggal miskin, tanpa pendidikan formal, menikah dan cerai dan menikah lagi, dan semua itu harus ia biayai. Ia terdesak. Pada 1936 ia ke Indonesia—dan dalam arti tertentu, ia ”kembali”. Di negeri yang sedang hangat oleh gerakan nasionalis ini ia tak betah bergaul dengan kawan-kawan masa kecilnya: perilaku orangorang Belanda itu persis seperti yang dibencinya sejak ia hidup di Paris. Di Jakarta (waktu itu masih Batavia), Du Perron memilih teman lain: sejumlah intelektual Belanda yang progresif dan orangorang pergerakan untuk kemerdekaan. Suwarsih Djojopuspito, pengarang yang merekam hidup kaum pergerakan dalam novel Buiten Het Gareel, adalah salah satu di antaranya. Tapi Du Perron tahu, dengan sedih, di masyarakat kolonial itu tak ada tempat baginya. Ia seorang sastrawan yang tak hendak percaya bahwa puisi bisa berarti bagi orang banyak. Ia menganggap pendirian S. Takdir Alisjahbana, yang ingin agar sastra bekerja untuk ”pembangunan bangsa”, sebagai sikap ”seniman serdadu”. Takdir menyerangnya balik. Du Perron pun kembali ke Nederland. Sebelum pergi, ia berkata, ”Untuk berada di pihak yang benar, orang harus jadi seorang Indonesia. Saya mungkin akan tetap kritis, mengganggu, dan suka bertentangan, dengan kata lain, seorang individualis. Tapi saya juga akan jadi seorang nasionalis sampai ke ulu hati.” Ia meninggal pada 1940, terkena serangan jantung, lima tahun sebelum perjuangan kaum nasionalis berhasil. Kini, jika Anda bertanya, nama apakah yang bisa diberikan kepada Du Perron—”Eropa” atau ”inlander” atau ”timur asing”— tak akan ada yang pas buatnya. Ia bagian dari yang tak ternamai. Sebenarnya demikian juga gerakan pembebasan nasionalis sejak sebelum Du Perron kembali ke Eropa. Pada 1908, sejumlah mahasiswa di Belanda yang datang dari ”Hindia” mendirikan

Indische Vereniging, sebuah himpunan yang meniadakan penamaan yang ada dalam klasifikasi kolonial. Setelah itu, di Jakarta, Indische Partij didirikan Douwes Dekker pada 1912, untuk membangun ”patriotisme dari semua penduduk Hindia”, berdasarkan kesetaraan politik bagi orang dari ”ras” (atau nama identitas) yang berbeda-beda. Artinya, bahasa yang berkuasa sedang dihapus. Politik pembebasan dimulai dari sebuah komunitas yang, seperti kata Alain Badiou, ada pada ”titik yang tak ternamai”. Dari titik itu lahir ”Indonesia”. Ini mungkin sebuah nama, tapi yang pasti ia sebuah cita-cita. ~Majalah Tempo Edisi. 37/VI/31 Maret – 06 April 2008~

Harmoko Maret 24, 2008 Syahdan, dua hari setelah Harmoko berhenti dari jabatannya sebagai Menteri Penerangan ”Orde Baru”, datanglah seorang perempuan ke kantor departemen itu. Wajahnya manis, senyumnya tulus meski samar-samar. Di meja penerima tamu, ia berkata, ”Saya datang untuk menghadap Pak Harmoko, Pak Menteri Penerangan.” Petugas penerima tamu itu berkata dengan sopan, ”Maaf, Bu, Pak Harmoko sudah bukan Menteri Penerangan lagi.” ”Oh, begitu,” jawab perempuan tamu itu. Dan ia pun pergi. Tapi esoknya ia datang lagi. Ia menuju meja penerima tamu itu pula dan berkata, dengan nada suara yang sama dan senyum samar-samar yang sama, ”Saya datang untuk menghadap Pak Harmoko, Pak Menteri Penerangan.” Petugas itu (orang yang juga sama seperti kemarin) sejenak terhenyak. Ia ingat, ini tamu yang kemarin juga. Tapi ia menjawab sabar, ”Maaf, Bu, Pak Harmoko sudah bukan Menteri Penerangan

lagi.” Dan perempuan itu pun pergi. Tapi esoknya dan esoknya lagi ia kembali, dan adegan, ucapan, dan senyum itu berulang lagi. Sampai lima kali. Tak urung, para petugas penerima tamu bingung, kemudian curiga, lalu melapor ke bagian keamanan dan protokol. Dengan cepat cerita ini menyebar ke seluruh lantai Departemen Penerangan. Syahdan, pada hari keenam, para pegawai (yang umumnya memang hanya pura-pura banyak kerja) pun menunggu. Dengan mengintip-intip. Betul juga: perempuan misterius itu datang lagi. Langsung ia dibawa ke lantai ke-3. Sang Sekretaris Jenderal sendiri, dengan didampingi dua direktur jenderal, duduk menemuinya. Perempuan itu tak tampak gugup atau gentar. Senyumnya tetap, juga ketika salah seorang direktur jenderal bertanya: ”Ibu sudah lima kali ke kantor ini untuk menghadap Pak Harmoko. Petugas kami sudah memberi tahu bahwa Pak Harmoko sudah bukan Menteri Penerangan lagi. Tapi Ibu datang lagi, datang lagi. Kan sudah jelas bahwa Pak Harmoko tak menjabat lagi? Apa maksud Ibu, sebenarnya?” ”Oh, saya tak bermaksud apa-apa, Pak,” jawab perempuan itu. ”Saya datang berkali-kali kemari karena saya senang mendengar kabar baik itu berkali-kali.” Cerita ini—sebuah fiksi, tentu—hanya lucu jika kita letakkan dalam latar masa ”Orde Baru”, ketika ada ketaksukaan yang meluas kepada Harmoko: Menteri Penerangan yang tak hentihentinya muncul di layar TV, yang tak habis-habisnya omong yang itu-itu juga, seraya tak putus-putusnya bermulut manis kepada Presiden—di masa ketika media massa dikekang dan orang takut membantah kebohongan para pembesar. Cerita ini hanya lucu jika orang ingat masa itu, ketika keajaiban

bisa sangat sederhana: seorang menteri berhenti. Kini hal seperti itu tak akan ada lagi. Demokrasi adalah sistem politik yang meniadakan keajaiban. Ada yang lugas di sini: berhentinya seorang yang berkuasa adalah bagian dari regularitas. Tapi kita tahu, proses yang teratur dan ajek itu bukan sekadar tour of duty seperti yang harus dijalani para birokrat sipil dan militer. Sebab itu kejutan bukan mustahil. Pergantian masih bisa jadi berita baik. Regularitas dalam demokrasi adalah sebuah struktur yang agonistik: yang naik dan yang berhenti bergerak dalam sebuah bangunan politik dengan ketegangan, perjuangan, persaingan, pertentangan. Ada kalah dan menang. Tapi dalam kondisi seperti itu, struktur itu dibayang-bayangi oleh hantu yang sesekali memperlihatkan diri, seperti hantu sang raja dalam lakon Hamlet. Ia datang dari Antah Berantah. Ketika ia muncul, kita sadar bahwa sebuah negeri tak pernah bisa benarbenar jelas bagi dirinya sendiri. Tapi sebenarnya tak hanya itu: Antah Berantah itu, yang tak bisa diterangkan dan ditangkap oleh bahasa dan sistem, oleh artikulasi dan proses politik, bukanlah sekadar bagian yang turah tak tertampung sistem. Ia lebih mendasar. Bahkan bisa dikatakan tiap negeri berada dalam orbitnya. Berpusar di sekitar Antah Berantah, tiap negeri sebenarnya genting dan tak tuntas disalin dalam satu wacana. Itu sebabnya, meskipun regularitas adalah bagian yang produktif dalam demokrasi, kita tak akan memandangnya sebagai sebuah kehadiran yang tak bergeming. Kita tak akan lupa bahwa justru regularitas lahir karena ada yang tak hadir, ada yang negatif, yang traumatis, di sekitarnya. Itu sebabnya pemilihan umum, pergantian pemimpin dan manajemennya, perubahan para legislator dan undangundangnya—semuanya adalah regularitas yang terjadi dari paradoks demokrasi: inilah sistem yang (seperti telah saya sebut tadi) meniadakan keajaiban, tapi pada saat yang bersamaan inilah

sistem yang mengakui bahwa ada yang sesekali muncul dari Antah Berantah. Itu sebabnya kita selalu perlu risau melihat ke Senayan. Di sana duduk orang-orang yang dengan yakin, mungkin sedikit pongah, memandang diri sebagai intan dua cahaya: cahaya pertama adalah cahaya ”wakil suara rakyat”; cahaya kedua, ”pembuat undang-undang”. Mereka bisa mengatakan, dari tangan merekalah undang-undang sah dan adekuat untuk kepentingan umum. Tapi benarkah? Undang-undang pada akhirnya hanya akan mencapai apa yang normatif. Ia terbatas. Masih ada sesuatu yang tiap kali bisa hilang dalam kehidupan sebuah negeri di mana yang normatif tak bisa digugat—yakni keadilan. Sebab keadilan lebih dari norma. Ia tak pernah secara lengkap dipenuhi. Ia juga berada dalam Antah Berantah. Ia seperti hantu yang sesekali datang sesekali hilang dan, seperti hantu dalam Hamlet, begitu penting dalam menggerakkan lakon. Tapi analogi itu perlu stop di situ. Demokrasi bukanlah sebuah tragedi. Kalaupun keadilan mirip hantu, ia bukan mukjizat. Ia bisa kita panggil dan bisa kita datangkan sekali-sekali—dan ia bisa jadi kabar baik yang kita suka mendengarnya berkali-kali. ~Majalah Tempo Edisi. 05/XXXVII/24 – 30 Maret 2008~

Melayu Maret 17, 2008 Begitu banyak salah paham tentang Amir Hamzah. Penyair ini dibunuh dalam sebuah pergolakan sosial di Sumatera Utara pada tahun 1946, tak lama setelah Indonesia diproklamasikan. Kekuasaan Belanda dan Jepang dinyatakan habis, tapi ”negara” dalam republik yang masih beberapa bulan umurnya itu belum tersusun. Mesin kekuasaan belum berjalan ketika euforia ”kerakyatan” meletup di mana-mana. Kata ”Revolusi” (dengan ”R”)

diarak. Itu berarti seluruh tata yang lama harus dihancurkan, meskipun tak selalu jelas apa yang akan menggantikannya. Amir Hamzah adalah anggota keluarga Sultan Langkat. Dengan demikian ia berasal dari kelas feodal, bagian masa lalu yang dibenci, meskipun tak pernah tercatat bahwa Amir—yang menghabiskan waktu mudanya bukan di istana, melainkan di sekolah-sekolah di Jawa—melakukan sesuatu yang tak dapat dimaafkan. Dunia hanya mengenalnya sebagai seorang yang menulis sajak yang menyentuh hati sampai hari ini. Karya-karyanya adalah serangkaian ekspresi yang merupakan bagian dari ”puisi baru” Indonesia, dan memang demikian. Amir tak ingin sepenuhnya lepas dari ungkapan Melayu klasik, tapi banyak kata bentukannya yang datang dari gramatika Jawa. Dalam sebuah sajak yang indah—gabungan ironi dan kesedihan—ia menyebut diri ”beta, bujang Melayu”, tapi seluruh kumpulan puisinya, Buah Rindu (yang ditulis pada 1928-35), ia persembahkan kepada ”Paduka Indonesia Raya”, selain kepada ”ibu ratu” dan kepada seorang perempuan dengan nama ”Sendari”. Tampak bahwa Amir Hamzah, seperti teman-teman segenerasinya, S. Takdir Alisjahbana dan Sanusi Pane, yang aktif di sekitar majalah Poedjangga Baroe, melihat diri bagian dari generasi yang didera oleh masa depan. Mereka hendak menciptakan sesuatu yang baru dari sebuah kondisi terjajah, terkebelakang, terhina—sesuatu yang bukan lagi bisa disebut ”Jawa”, ”Melayu”, atau ”Ambon”. Dalam arti itu, Amir Hamzah adalah sebuah fenomen ”pascaMelayu”. Jika kita perhatikan sajaknya yang terkenal itu, kata ”bujang Melayu” itu memang disebut bukan hendak membanggakan diri. Bahkan sebaliknya: kata itu sejajar dengan frase ”anak Langkat, musyafir lata,” bagian dari bait-bait yang murung: Kicau murai tiada merdu

Pada beta bujang Melayu Himbau pungguk tiada merindu Dalam telingaku seperti dahulu. Tuan aduhai mega berarak Yang meliput dewangga raya Berhentilah tuan di atas teratak Anak Langkat musyafir lata. Zaman memang telah berubah. Graham K. Brown, dalam telaahnya yang membandingkan terbentuknya identitas politik di Indonesia dan Malaysia (The Formation and Management of Political Identities: Indonesia and Malaysia Compared), mengutip catatan sejarah: pada masa kesultanan Malaka, ”Melayu” bukanlah identitas sebuah kelompok etnis, melainkan sebuah lapisan elite yang masih berhubungan darah dengan raja. Kitab Sejarah Melayu praktis berarti genealogi para sultan. Tapi pada 1511 Malaka jatuh diserbu armada Portugis. Keluarga kerajaan melarikan diri ke Johor. Tak ada lagi pemegang hegemoni yang menentukan apa arti ”Melayu”. Kata itu akhirnya menyebar bersama diaspora para pedagang pasca-Malaka. ”Melayu” bukan lagi identitas yang menunjukkan lapisan sosial, melainkan sebuah ”identitas horizontal”. Nama itu jadi penanda dalam pengelompokan sosial yang berbeda-beda tapi setara—terutama dalam pandangan kekuasaan kolonial orang Eropa. Kolonialisme memang tatapan yang membekukan si terjajah. Kolonialisme adalah garis ruang yang brutal—baik ruang dalam kehidupan sehari-hari maupun ruang dalam lajur daftar penduduk dan kitab hukum. Jakarta yang didirikan sebagai Batavia oleh VOC pada tahun 1650-an berkembang jadi kota yang terbangun oleh apartheid: di satu sisi dibatasi tembok tempat orang Belanda hidup, di sisi lain Ommelanden, tempat yang ”lain” diletakkan.

Dari pemisahan macam ini sang penjajah membangun identitas etnis untuk memudahkan kontrol dan pembagian kerja. Dengan itu juga berlangsung divide et impera. Dalam telaah Brown dikutip keputusan VOC di Cirebon, misalnya, untuk memperkukuh batas etnis agar bisa mengisolasi orang ”peranakan”, keturunan Cina yang semula hidup berbaur sebagai penasihat politik sultan. Dengan itu, kompeni bisa memperlemah posisi kedua-duanya. Maka tak mengherankan bila pembebasan dari kolonialisme bertaut dengan kehendak melepaskan diri dari tatapan yang membekukan itu. Amir Hamzah dan puisinya adalah bagian dari pembebasan itu: ia tak lagi bisa disebut ”Melayu”. Sejak tahun 1930-an, puisi Indonesia adalah puisi para ”musyafir lata,” para pejalan yang tak punya apa-apa selain kebebasannya dalam menjelajah. Indonesia lahir dari penjelajahan itu. Sebab itulah nasionalisme Indonesia bukanlah nasionalisme yang mengangkut milik yang diwariskan masa lalu, baik dalam wujud candi maupun ketentuan biologi. Mungkin itu sebabnya ”Indonesia” dan ke-”Indonesia”-an selalu terasa genting, tapi dengan itu justru punya makna yang tak mudah disepelekan. Baru-baru ini saya dengar cerita sejarawan Taufik Abdullah ketika ia di Mekkah. Di kota suci itu seorang Malaysia bertanya kepadanya apakah ia orang ”Indon”—sebutan yang sering dipakai orang Malaysia untuk menyebut Indonesia. Taufik Abdullah marah. ”Jangan sebut ’Indon’,” katanya, ”tapi ’Indonesia’.” Ia menjelaskan kenapa ia marah. ”Saya penelaah sejarah. Saya tahu nama ’Indonesia’ diperjuangkan dengan tidak mainmain, sejak awal abad ke-20.” Sungguh tak main-main: berapa puluh, berapa ratus, berapa ribu orang dipenjara dan mati untuk nama itu? Bisakah kita melupakannya? Ada sebuah sajak Rivai Apin pada tahun 1949: Ingatlah bila angin bangkit

Ingatlah bila angin bangkit Bahwa daerah yang kita mimpikan Telah bermayat, banyak bermayat Sajak itu ditulis tiga tahun setelah Amir Hamzah dibunuh. Tampaknya memang hanya dengan tragedi kita tahu apa yang seharusnya kita hargai. ~Edisi. 04/XXXVII/17 – 23 Maret 2008~

4:358 Maret 14, 2008 … dalam kebanjiran informasi, orang malah kian tak memahami hidup tetangganya …

Dering Itu Maret 10, 2008 Dinihari, pukul 3. Anak-anak sedang tidur tenteram di seluruh Amerika. Tiba-tiba telepon berdering di Gedung Putih. Sesuatu tengah terjadi di dunia. Tampaknya gawat. Siapa gerangan yang mampu memberi respons yang tepat? Pertanyaan itu sah, tapi ini baru sebuah pengandaian yang dibawakan sebuah iklan: sebuah film pendek yang dimulai dengan cahaya biru yang suram, dengan dinihari yang sunyi, anak-anak yang nyenyak, dan kamar tidur bersih: imaji-imaji yang menyarankan sesuatu yang tanpa dosa, tapi rapuh, di tengah gelap yang menyembunyikan ancaman. Dipasang Hillary Clinton di televisi menjelang pemungutan suara untuk melawan saingannya, Barrack H. Obama, pesan iklan itu jelas: yang bisa menghadapi ancaman itu hanya seorang presiden Amerika yang kenal “para pemimpin dunia, kenal dunia militer, seorang yang sudah diuji bisa memimpin di dunia yang berbahaya…”

Bagi para juru kampanye Hillary Clinton, sifat-sifat itu tentu tak ada pada Obama, seorang yang belum pernah memimpin negeri dalam ancaman perang. Tiap propaganda memaafkan sendiri keculasannya. Iklan itu tak menyebut bahwa sebenarnya Hillary juga belum diuji. Ia memang pernah di Gedung Putih, tapi sebagai isteri seorang Presiden. Ia memang kemudian jadi seorang Senator, tapi satu-satunya keputusan penting adalah dukungannya kepada Perang Irak Presiden Bush – yang ternyata sebuah keputusan yang celaka. Tapi bahwa iklan semacam itu ditayangkan — dan berhasil meyakinkan pemilih di dua negara bagian — menunjukkan bahwa pada mulanya bukanlah Hillary atau Obama. Pada mulanya adalah paranoia. Kita ingat empat patah kata dalam iklan itu: “dunia yang berbahaya…” Di sana tak ada kemungkinan lain dalam dering telepon pada jam 3 pagi itu. Tak mungkin pesan itu ternyata sebuah kabar gembira, misalnya kabar perdamaian yang solid antara Palestina dan Israel, atau pesawat ruang angkasa Amerika yang menemukan sebuah dataran yang subur di sebuah planet. Sebab kabar baik bukanlah yang diharapkan. Iklan itu hendak menampilkan suasana gawat di mana Hillary Clinton berperan besar; sebab ia kenal betul “dunia militer.” Saya tertegun. Dengan propaganda macam itu, Amerika macam inikah yang akan tercermin dalam pemilihan umum 2008: Amerika sebagai kekuatan militer yang memandang dengan suram sekitarnya yang tak ramah? Bukan Amerika yang dulu pernah membentuk PBB di dunia yang penuh harapan damai dan kemerdekaan? Jika demikian, kita pantas murung. Bush-dan-Cheney memang segera tak akan berkuasa lagi. Negeri yang ditinggalkannya memang telah jadi negeri yang dibenci di seluruh dunia, yang angkuh ke seluruh dunia, yang tanpa

mengerdipkan mata menyerbu negeri lain dengan alasan yang palsu, seraya tak peduli melanggar hak-hak asasi manusia di Guantanamo dan di tempat-tempat interogasi yang disembunyikan. Sungguh buruk peninggalan itu, tapi tampaknya tetap terbuka kemungkinan Amerika mengukuhkan politik paranoia yang dilembagakan sejak 11 September 2001. Politik paranoia adalah politik nasionalisme yang gelap. Hari itu, ketika para teroris Al Qaedah menabrakkan dua pesawat terbang ke dua menara tinggi di New York dan membunuh hampir 3000 orang, seluruh Amerika terkejut dan ngeri. Tapi Tuan Cheney menemukan apa yang dicarinya: sebuah musuh baru, setelah Uni Soviet dan Cina mundur. Dengan musuh itu Amerika dapat memiliki arah yang tegas dan satu. Nasionalisme, apalagi yang gelap, punya gairah dan daya tersendiri untuk mengukuhkan kekuasaan yang brutal. Maka perang anti terorisme dari Gedung Putih bukanlah perang untuk mengakhiri terorisme, melainkan untuk menyambutnya. Tak mengherankan bila sampai hari ini Al Qaedah belum dihabisi dan Osamah bin Laden masih tersembunyi. Tak mengherankan bila empat tahun yang lalu Bush-dan-Cheney dipilih lagi. London, 3 November 2004. Koran Daily Mirror terbit menyambut pilihan rakyat Amerika yang mendukung kembali Presiden Bush dengan bersemangat, meskipun begitu jelas ia menyerbu Irak dengan dalih yang bohong. Di halaman depan tabloid itu tampak wajah George W. Bush melambai. Di bawahnya sebuah kalimat: How can 59,054,087 people be so DUMB? Saya ingat seorang Amerika tertawa pahit membacanya. “Saya tak tahu lagi, di mana tanah air saya”, katanya sedih. Tapi itu empat tahun yang lalu. Kini ia tak merasa sedih lagi, ketika bersama ribuan orang muda setanahairnya ia ikut berkampanye untuk Obama dan merayakan kemenangan di sebelas negara bagian. “Anak-anak muda ini,” tulisnya, “telah menemukan kembali indahnya kehidupan berpolitik; kami telah

menemukan keberanian untuk berharap.” Di hatinya, judul buku Obama, the Audacity of Hope, terasa begitu kena. Dengan mata yang berkaca-kaca karena bangga ia kini bisa mengatakan, The Daily Mirror tak benar, setidaknya di tahun 2008 ini: jutaan pemilih Amerika ternyata tak bodoh. Mereka bahkan tengah merintis sebuah zaman baru – zaman yang bisa menyambut seorang Obama, yang bukan 100% “pribumi”, yang tak memamerkan bendera Amerika di lencana jasnya – tapi yang percaya bahwa ada patriotisme lain yang bisa menggugah: patriotisme yang membuat sebuah bangsa bersamasama melepaskan rasa saling curiga dan benci yang tumbuh di bawah politik paranoia. Juga patriotisme yang bangga kepada tanah air yang bisa membawa damai ke dunia. Tapi mungkinkah? Sepekan setelah dering seram di iklan itu, pada pukul 3 pagi sebuah ledakan terdengar di Times Square, New York. Letupan kecil, dengan kerusakan kecil, dari sebuah alat sederhana yang dipasang di gedung milik Angkatan Bersenjata. Tak ada yang terbunuh. Tapi dengan segera keluar statemen Hillary Clinton: “Apapun yang kita ketahui dari serangan ini, itu sebuah pengingat akan ancaman yang terus menghadang tanah air kita.” Ancaman. Dering lewat tengah malam… Kita cemas. Kita cemas memandang Amerika. ~Majalah Tempo Edisi. 03/XXXVII/10 – 16 Maret 2008~

Fouda Maret 3, 2008 Pada tanggal 8 Juni 1992, mereka bunuh Farag Fouda di Madinat al-Nasr, Kairo. Dua orang bertopeng menyerangnya. Fouda tewas tertembak, anaknya luka-luka parah. Kelompok Jamaah Islamiyah mengatakan: “Ya, kami membunuhnya.” Bagi kelompok itu, tak ada dosa bila Fouda dibinasakan.

Bukankah lima hari sebelum itu sekelompok ulama dari Universitas al-Azhar memaklumkan bahwa cendekiawan ini telah menghujat agama, dan sebab itu boleh dibunuh? Seorang ulama, Muhammad al-Ghazali, membela para algojo: tindakan mereka adalah pelaksanaan hukuman yang tepat bagi seorang yang murtad. Tapi tak seorang pun tahu sebenarnya, benarkah Fouda, yang tewas pada umur 46, orang yang murtad. Terutama jika kita baca buku yang baru-baru ini diterbitkan Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama, Kebenaran Yang Hilang, yang juga memuat kata pengantar Samsu Rizal Panggabean. Lima bulan sebelum ia dibunuh, Fouda ikut dalam perdebatan di Pameran Buku Kairo. Dalam acara yang konon diikuti 30.000 orang itu ia menghadapi ulama macam Muhammad al-Ghazali. Perdebatan berkisar pada masalah hubungan antara agama dan politik, negara dan agama, penerapan syariat Islam dan lembaga khilafah. Pendirian Fouda dikemukakan dengan gamblang dalam serangkaian bab al-Haqiah al-Ghaybah-nya yang diterjemahkan oleh Novriantoni. Ia memang bisa mengguncang sendi-sendi pemikiran kaum “Islamis”: mereka yang ingin menegakkan “negara Islam” berdasarkan ingatan tentang dunia Arab di abad ke-7 ketika para sahabat Nabi memimpin umat. Bila kaum “Islamis” menggambarkan periode salaf itu sebagai zaman keemasan yang patut dirindukan, Fouda tidak. Baginya, sebagaimana ditulis Samsu Rizal Panggabean, periode itu “zaman biasa”. Bahkan sebenarnya “tidak banyak yang gemilang dari masa itu”, demikian kesimpulan Samsu Rizal Panggabean. “Malah, ada banyak jejak memalukan.” Contoh yang paling tajam yang dikemukakan Fouda ialah saat kejatuhan Usman bin Affan, khalifah ke-3. Sahabat Rasul yang diangkat ke kedudukan pemimpin umat pada tahun 644 itu–melalui sebuah musyawarah terbatas antara lima orang–berakhir

kekuasaannya 12 tahun kemudian. Ia dibunuh. Para pembunuhnya bukan orang Majusi, bukan pula orang yang murtad, tapi orang Islam sendiri yang bersepakat memberontak. Mereka tak sekadar membunuh Usman. Menurut sejarawan alThabari, jenazahnya terpaksa “bertahan dua malam karena tidak dapat dikuburkan”. Ketika mayat itu disemayamkan, tak ada orang yang bersembahyang untuknya. Siapa saja dilarang menyalatinya. Jasad orang tua berumur 83 itu bahkan diludahi dan salah satu persendiannya dipatahkan. Karena tak dapat dikuburkan di pemakaman Islam, khalifah ke-3 itu dimakamkan di Hisy Kaukab, wilayah pekuburan Yahudi. Tak diketahui dengan pasti mengapa semua kekejian itu terjadi kepada seseorang yang oleh Nabi sendiri telah dijamin akan masuk surga. Fouda mengutip kitab al-Tabaqãt al-Kubrã karya sejarah Ibnu Sa’ad, yang menyebutkan satu data yang menarik: khalif itu agaknya bukan seorang yang bebas dari keserakahan. Tatkala Usman terbunuh, dalam brankasnya terdapat 30.500.000 dirham dan 100.000 dinar. Kaum “Islamis” tak pernah menyebut peristiwa penting itu, tentu. Dan tentu saja mereka tak hendak mengakui bahwa tindakan berdarah terhadap Usman itu menunjukkan ada yang kurang dalam hukum Islam: tak ada pegangan yang mengatur cara mencegah seorang pemimpin agar tak menyeleweng dan bagaimana pergantian kekuasaan dilakukan. Ketika Usman tak hendak turun dari takhta (ia mengatakan, “Demi Allah, aku tidak akan melepas baju yang telah disematkan Allah kepadaku!”), orang-orang Islam di bawahnya pun menemui jalan buntu. Sebagaimana disebut dalam Kebenaran Yang Hilang, para pemuka Islam waktu itu mencari-cari contoh dari masa lalu bagaimana memecahkan soal suksesi. Mereka gagal. “Mereka juga mencari kaidah dalam Islam…tapi mereka tak menemukannya,” tulis Fouda. Maka perkara jadi runcing dan mereka mengepung Usman–lalu membunuhnya, lalu menistanya.

Tampak, ada dinamika lain yang mungkin tak pernah diperkirakan ketika Islam bertaut dengan kekuasaan. Dinamika itu mencari jalan dalam kegelapan tapi dengan rasa cemas yang sangat. Orang memakai dalih agama untuk mempertahankan takhta atau untuk menjatuhkan si penguasa, tapi sebenarnya mereka tahu: tak ada jalan yang jelas, apalagi suci. Di satu pihak, mereka harus yakin, tapi di lain pihak, mereka tahu mereka buta. Itu sebabnya laku mereka begitu absolut dan begitu bengis. Pada tahun 661, setelah lima tahun memimpin, Ali dibunuh dengan pedang beracun oleh seorang pengikutnya yang kecewa, Ibnu Muljam. Khalifah ke-4 itu wafat setelah dua hari kesakitan. Pembunuhnya ditangkap. Sebagai hukuman, tangan dan kaki orang ini dipenggal, matanya dicungkil, dan lidahnya dipotong. Mayatnya dibakar. Ketika pada abad ke-8 khilafah jatuh ke tangan wangsa Abbasiyah, yang pertama kali muncul al-Saffah, “Si Jagal”. Di mimbar ia mengaum, “Allah telah mengembalikan hak kami.” Tapi tentu saja ia tahu Tuhan tak pernah menghampirinya. Maka ia ingin tak ada lubang dalam keyakinannya sendiri (juga keyakinan orang lain) tentang kebenaran kekuasaannya. Al-Saffah pun mendekritkan: para petugas harus memburu lawan politik sang khalif sampai ke kuburan. Makam pun dibongkar. Ketika ditemukan satu jenazah yang agak utuh, mayat itu pun didera, disalib, dibakar. Musuh yang telah mati masih terasa belum mutlak mati. Musuh yang hidup, apa lagi…. Itu sebabnya, bahkan sekian abad setelah “Si Jagal”, orang macam Fouda harus dibunuh. Ia mempersoalkan keabsahan posisi khilafah. Ia pengganggu kemutlakan. Tapi itu terjadi di Mesir lebih dari 10 tahun yang silam–bukan di Indonesia. Mungkin ini ciri Islam yang mengagumkan di sini: justru Departemen Agama-lah yang menerbitkan Kebenaran Yang Hilang. ~Majalah Tempo Edisi. 03 – 09 Maret 2008~

1:151 Februari 29, 2008 … kebijaksanaan tidak dapat dikomunikasikan. Pengetahuan dapat dikomunikasikan, tapi kebijaksanaan tidak. Kita dapat menemukannya, hidup dengannya, diperkuat olehnya, menciptakan keajaiban melaluinya, tapi kita tak dapat mengkomunikasikan dan mengajarkannya. Bagi Siddharta segala sesuatu yang dipikirkan dan dikemukakan dalam kata-kata selalu jadi tinggal separuh kebenaran, kekurangan totalitas dan kelengkapan …

Obama Februari 25, 2008 Seandainya Obama seorang perempuan… Tentu saja ia bukan – dan ini .bisa dikatakan sebagai sebuah kekurangan. Tapi “nobody’s perfect” — seperti kata si jutawan bego dalam adegan terakhir film Some Like it Hot, ketika diberitahu bahwa orang yang digandrunginya itu, (“Daphne” yang sebenarnya adalah Jerry) ternyata laki-laki. Obama akan nyaris sempurna seandainya ia bisa jadi perempuan, kemarin, atau besok. Sebab bahkan sekarang pun ia sudah merupakan satu sosok yang unik: ia persilangan (pelbagai) identitas. Ia contoh bahwa “identitas” bukanlah sebuah cap yang kekal dan kaku. Dalam kata pengantar edisi tahun 2004 untuk bukunya The Dream of My Father, Obama sendiri menyebut “the fluid state of identity—the leaps through time, the collision of cultures—that mark our modern life.” Ia menegaskan apa yang ia ketahui dari tubuhnya sendiri: terutama du zaman ini, identitas selalu dalam keadaan cair. Mungkin sebab itu ia politikus Amerika yang bisa dengan wajar menunjukkan bahwa politik tak bisa hanya mengibarkan panji-panji

partikularisme, dengan politik identitas yang menegaskan apa yang istimewa pada “kami” dan tidak pada “mereka”. Politik pada akhirnya sebuah proses pencarian dan artikulasi tentang apa yang universal. Politik adalah sesuatu pergulatan antar kelompok yang mau tak mau terdorong membentuk “kita”. Obama tak bermula dari “kami” yang pasti. Orang berkata, pria yang hari-hari ini sedang ikut bersaing untuk jadi calon Partai Demokrat buat jabatan presiden Amerika Serikat, adalah orang kulit hitam pertama yang berhasil naik ke gelanggang setinggi itu. Tapi sebutan black bagi Obama berlebihan — dan sekaligus kurang. Ia tak sehitam Mohammad Ali, Stevie Wonder, atau Jesse Jackson. Ibu Obama seorang perempuan kulit putih dari Kansas. Malah, jika kita percaya hasil penelitian trah oleh The New England Historic Genealogical Society, Ann Dunham ada dalam garis keturunan seorang raja Skotlandia di abad ke-12. Tapi sementara itu ia juga seorang “Afro-Amerika” dalam pengertian yang harfiah. Ayahnya, Barrack Hussein, datang dari suku Luo di propinsi Nyanza, Kenya, seorang mahasiswa asing di Hawaii yang bertemu dan kemudian menikah dengan Ann Dunham. Seorang bayi yang diberi nama seperti ayahnya lahir di Honolulu, 4 Agustus 1961. Tapi ketika ia berumur dua tahun, orang tuanya berpisah. Si ayah menyelesaikan studi ilmu ekonominya di Universitas Harvard. Perpisahan itu jadi perceraian. Pria Kenya itu kembali ke tanah kelahirannya. Barrack muda bertemu dengan dia ketika si bocah berumur 10. Barrack tua kemudian tewas dalam kecelakaan mobil di tahun 1982. Sang ayah jadi nama yang menandai kehilangan dalam diri anaknya. Dalam kehilangan itulah pengertian “Afro-Amerika” yang harfiah berubah. Berkat ibunya. Dalam The Dream of My Father, yang ditulisnya sebelum ia masuk dalam lembaga legislatif, pemuda separuh Kenya ini

menyebut dongeng-dongeng suku Luo di tepi Danau Victoria. Tapi yang agaknya paling membekas adalah yang diberikan sang ibu selama mereka hidup di Jakarta. Ibu itu, Ann –seorang perempuan yang dibesarkan dengan pandangan yang tak konvensional — menikah dengan seorang mahasiswa dari Indonesia, Sutoro namanya. Di tahun 1967, keluarga itu pindah ke Jakarta. Mereka punya seorang anak perempuan, Maya. Sutoro bekerja di kalangan perminyakan. Masa akhir 60-an adalah masa pergolakan di Indonesia, ekonomi masih berat, dan kepastian belum ampak. Sedikit yang kita ketahui tentang ayah tiri Obama ini, kecuali bahwa ia tak cukup uang untuk memasukkan Barrack ke The Jakarta International School. Maka Barrack, (biasa disebut “Barry’) bersekolah di sekolah negeri di Jalan Besuki. Tapi ibunya menyiapkannya untuk dapat pendidikan yang lebih baik di Amerika. Barry belajar memperbaiki bahasa Inggrisnya dari sang ibu, dan harus bangun jam 4 pagi untuk itu. Sang ibu tak hanya mengajarnya berbahasa Inggris. Ia juga memperkenalkan Barry dengan lagu-lagu Mahalia Jackson dan pidato Dr. Martin Luther King, Juga kisah tentang anak-anak hitam yang terjepit di Amerika Serikat bagian selatan. Dari sinilah Barry memilih apa arti “Afro-Amerika” baginya. Identitasnya bukan masalah masa lalu, tapi masa depan. Bukan masalah biologis, tapi politis. Bukan keniscayaan, tapi pilihan. “Afro-Amerika” bagi Obama dengan demikian mengandung sesuatu yang universal: sejarah perjuangan pembebasan mereka yang disakiti oleh diskriminasi rasial dan keterbelakangan. Tapi tentu saja ia tak sepenuhnya ada dalam sejarah itu – dan ia tumbuh jadi seorang pemuda dengan kulit hitam yang tak dirundung amarah. Ketika gerakan Civil Rights berhasil, dan hakhak lebih luas orang hitam didapat, Barrack tinggal menempuh jalan yang lebih luas terbentang. Tapi ia sudah bertindak, dengan

bekerja di komunitas hitam di Chicago. “Hitam” Obama bukanlah sesuatu yang hanya diwarisi secara pasif, tapi sebuah posisi aktif. “Hitam” adalah aksi dalam sejarah. Kini ia tengah ikut membuat sejarah itu – sebuah sejarah yang pernah bernoda oleh larangan bagi orang hitam untuk berada di satu sekolah, satu bis, dan satu tempat kencing dengan orang kulit putih, tapi juga sebuah sejarah dengan demokrasi yang ternyata bisa mengembangkan diri. Demokrasi itu kini sedang menunjukkan, bagaimana kaum yang paling di pinggiran bisa bergerak masuk ke tengah – dan ke puncak. Tak hanya itu. Demokrasi itu juga sedang menunjukkan, bagaimana sebuah bangsa bisa menebus sebagian dari kesalahannya sendiri, yang telah memilih pemerintahan Bush untuk menumbuhkan antagonisme “kami” dan “mereka” di mana-mana. Obama (terutama jika ia menang) akan jadi indikator, bahwa demokrasi Amerika telah membuat antagonisme dalam politik tak memutlakkan dasar antagonisme itu sendiri. Demokrasi itu adalah satu proses perubahan, Di abad ke-21, Amerika Serikat bisa berhenti jadi negeri yang dibenci. Ia bisa memberikan inspirasi. ~dengan perbaikan dari penulisnya~

3:55 Februari 22, 2008 … di Italia, seorang ahli ilmu sosial, Maria Palmieri, menulis dengan keras : demokrasi adalah sebuah bentuk organisasi sosial dan politik yang haram jadah. Orang banyak diciptakan untuk dipimpin, dan bukan untuk memimpin, dan akhirnya diciptakan untuk jadi budak, dan bukan jadi tuan …

Da Vinci Februari 18, 2008 Sepotong catatan Leonardo da Vinci, di akhir abad ke-15:

”…manusia, yang dengan rasa ingin tahu yang riang berharap mendapatkan musim semi baru, musim panas baru, dan bulanbulan yang baru selamanya… tak tahu bahwa dalam kerinduannya itulah terbawa kuman kematiannya sendiri.” Sebuah pandangan hidup yang muram mungkin, tapi Da Vinci tak berhenti di situ. Baginya, kita tak harus menyesali, justru harus menyambut, nasib yang dibentuk oleh harapan yang tak pernah sampai. ”Kerinduan” itulah, kata Da Vinci, ”sifat dasar kehidupan,” dan ”Manusia adalah sebuah tauladan bagi dunia.” Ya, pelukis Italia itu menyebut manusia sebagai ”tauladan”, sebagaimana laiknya seorang seniman zaman Renaissance. Dan ia menulis ”Manusia” dengan ”M”, bukan ”m”. Kita tahu abad ke-15 di Italia adalah abad narsisme: manusia memandang ke dunia, dan yang ia temukan wajahnya sendiri, makhluk yang mengagumkan. Di zaman itulah teknik melukis dengan perspektif dikembangkan. Di kanvas, orang tak lagi menggambar gunung yang jauh terletak rapat dengan pohon yang dekat. Ruang disusun jadi stabil dengan ukuran yang pasti, berdasarkan posisi pandang sang pelukis. Dunia seakan-akan dihadirkan kembali (”representasi”), tapi sebenarnya dibentuk. Ia dikonstruksikan oleh sudut pandang si empunya mata. Manusialah yang mengendalikan costruzione legittima. Sejak itu, seni rupa tak lagi berpusat dalam Tuhan, melainkan dalam manusia. Manusia, dengan ”M”, adalah ukuran segala-galanya. Itu juga pandangan Michel Angelo. Pelukis ini pernah menulis sepotong sajak; di dalamnya ia katakan bahwa Tuhan hanya menampakkan diri lewat ”cadarnya yang indah”, yakni manusia. Maka ketika Paus memesannya untuk menghiasi Kapela Sistina di Roma dengan satu karya fresko, ia gambarkan Tuhan di langitlangit bangunan itu dengan paras seorang tua yang gagah. Kita bisa menyangka, di situ Michel Angelo (dan juga Sri Paus) lupa akan satu adegan dalam Alkitab, di hari ketika Musa dan Bani Israel datang ke kaki Gunung Sinai ”untuk menjumpai Allah”. Tapi

gunung itu sepenuhnya ditutupi asap; Tuhan ”turun ke atasnya dalam api”. Seluruh gundukan bumi itu gemetar. Bunyi sangkakala terdengar, kian lama kian keras. Syahdan, Allah pun memanggil Musa ke puncak. Ia peringatkan agar manusia jangan coba menembus asap untuk mendapatkan dan melihat-Nya. Di saat itu juga turunlah firman: ”Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apa pun yang ada di langit di atas, atau yang ada di bumi bawah, atau yang ada di dalam air….” Sejak itu haramlah patung atau gambar, apalagi yang disembah. Tapi tak mudah firman Allah itu dipatuhi. Bahkan ketika Musa masih di puncak Sinai, dan belum ada tanda-tanda akan turun, Bani Israel membuat sebuah patung lembu emas yang mereka sembah sebagai pengganti Tuhan yang tak kunjung tampak. Tak ayal, Musa pun turun dan menjatuhkan hukuman yang mengerikan: mereka yang ”memihak kepada Tuhan” harus membunuh saudara, teman, dan tetangga mereka sendiri. Tertulis dalam Keluaran 32: 28: ”Pada hari itu tewaslah kira-kira tiga ribu orang….” Sejarah ikonoklasme—yang kelak akan dipraktekkan dengan garang ketika orang-orang Kristen dan Islam menghancurkan patung dan gambar sebagai berhala—mendapatkan momen dramatisnya di kaki Sinai hari itu. Tapi apa sebenarnya yang dilarang: membuat patung dan gambar, atau membuat berhala untuk disembah? Dalam sejarah Gereja, Yesus dan Maria dan bahkan Allah bisa dilukis, tapi gambar-gambar itu tak diperlakukan sebagai sesembahan. Seni Michel Angelo dan Da Vinci tak dilihat sebagai ikhtiar mimetik, usaha meniru sang sosok yang dilukis. Mereka tak diperlakukan sebagai re-presentasi, melainkan sebagai ekspresi. Ekspresi itu tentu saja ekspresi manusia di suatu masa, di suatu tempat. Apalagi di zaman ketika, seperti kata Leonardo, ”Manusia” hadir sebagai tauladan, juga dalam imajinasi. Itu sebabnya ketika Da Vinci ingin menghidupkan suasana

adegan Perjamuan Terakhir dalam Injil, ia—yang hidup beratusratus tahun setelah peristiwa di Yerusalem itu—menampilkan Al Masih dengan menggunakan seorang bangsawan dari keluarga Kardinal Mortaro sebagai model. Latar dan alam benda yang tergambar dengan tempera itu bertaut erat bukan dengan kemelaratan para rasul di Palestina, tapi dengan zaman Italia abad ke-15: gelas anggur, pisau, garpu, dan keramik cantik terletak di taplak meja yang bersulam. Semuanya mirip benda yang digunakan para penghuni biara Santa Maria delle Grazie di Milano, tempat lukisan itu muncul di dinding batu. Memang ada ambiguitas di sini: kekekalan itu disampaikan dalam kekinian—satu hal yang juga dilakukan oleh Emil Nolde, pelukis ekspresionis Jerman di awal abad ke-20, yang melukis Perjamuan Terakhir dengan goresan kuas yang kasar, warna merah yang pedih, garis yang bersahaja, dan suasana persatuan penuh tekad seperti dalam poster perjuangan buruh. Leonardo—yang melukis adegan Injil di biara itu bukan atas pesanan Gereja, melainkan penguasa Milano, Ludovico Sforza—tentu juga sadar bahwa karyanya hidup dalam zaman yang disebut Walter Benjamin sebagai masa ”pasca-aura”. Ia, yang juga seorang ilmuwan, tak hendak membuat berhala, tak ingin membuat aikon. Beda antara berhala (l’idole) dan aikon (l’icône) seperti yang dipaparkan Jean-Luc Marion, filosof Katolik dari Prancis itu, pada dasarnya beda cara bersikap terhadap Tuhan. Berhala adalah ketika tatapan dan konsep manusia merasa mampu merumuskanNya. Aikon adalah peristiwa ketika Allah memberikan diri-Nya sebagai karunia cahaya yang demikian berlimpah, hingga manusia tak mampu melihat-Nya, dan yang terasa adalah gelap—ya, gelap yang gemilang. Di situlah manusia ada dalam kerinduannya yang tak sampai. Leonardo telah mencatat hal itu pada suatu hari di abad ke-15. ~Majalah Tempo, Edisi. 52/XXXVI/18 – 24 Februari 2008~

5:419 Februari 15, 2008 … memberi identitas pada sesuatu yang sebetulnya beraneka, berubah terus dan kait berkait dengan yang lain, adalah cara mengatasi sebuah keterbatasan bahasa dan pikiran: sebuah ekonomi dalam wacana …

Puing Februari 11, 2008 1945, 1966, 1998… Angka-angka itu kini jadi nama. Masing-masing menjuluki sebuah pergantian sejarah: yang pertama lahirnya Republik Indonesia, yang kedua runtuhnya kekuasaan Soekarno, dan yang ketiga jebolnya kekuasaan Soeharto.Dengan kata lain, masingmasing angka itu bahkan tak lagi hanya berarti tahun. Tiap nama/angka yang ditulis merujuk ke sebuah peristiwa besar: kejadian yang membuat sebuah zaman patah arang dengan zaman sebelumnya, ketika sebuah situasi runtuh dan seluruh sendi kehidupan berubah, dan setelah itu, datang awal yang sama sekali baru. Bahkan, jika kita memakai retorika Alain Badiou, datang ”sebuah kebenaran baru”. Nama-nama itu juga menunjukkan usaha manusia untuk mengawetkan proses yang terjadi sejak kejadian besar itu meledak. Sebab tiap kejadian memang sebuah ledakan: keras, menggetarkan dan menghancurkan, tapi segera surut, larut, lenyap. 1945, 1966, 1998: sederet metonimi. Masing-masing adalah pengganti yang ringkas bagi sesuatu yang lebih kompleks: ”1945”, misalnya, adalah penanda waktu ketika Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Dengan metonimi sebenarnya kita mengakui, ada pelbagai hal—ya, banyak sekali

hal, boleh dikata tak terhingga—yang bisa dihimpun di Jakarta pada tanggal 17 Agustus 1945. Banyak hal itu membuat kata ”patah arang” dan ”awal yang sama sekali baru” sekadar sederet hiperbol. Ada yang dilebihlebihkan di dalam ”patah” dan ”baru”. Sebab di antara yang muncul sebagai jejak kejadian besar seperti ”1945”, ada hal-hal yang amat kerdil. Di antara yang ”patah”, ada yang berlanjut dan bahkan menguat. Tak semua hal merupakan ”awal”, dan mungkin tak ada awal yang ”sama sekali baru”. Itu sebabnya tiap perubahan besar selalu mengandung kekecewaan, diikuti disilusi. Dalam ”1945”, misalnya. Semangat yang mendorong orang Indonesia membentuk sebuah republik yang merdeka begitu meluap, begitu sakti. Ribuan pemuda mempertahankan republik mereka dari usaha kolonisasi kembali. Mereka bergerak dengan sakit dan kematian, juga dengan sikap tulus dan keberanian. Namun kemudian, cepat atau lambat, semangat yang sakti itu jadi boyak. Kita ingat adegan-adegan kepahlawanan dalam novel Pramoedya Ananta Toer, Di Tepi Kali Bekasi. Farid, seorang remaja Jakarta, ikut dalam perang kemerdekaan mula-mula hanya karena keinginan ”masuk Tentara”. Tapi pada akhirnya ia jadi seorang komandan gerilya yang, tanpa kata-kata heroik, mempertahankan Kranji dan Bekasi, kehilangan Kranji dan Bekasi, dan bertempur terus, melawan pasukan musuh yang jauh lebih kuat dalam persenjataan. Kisah ini, untuk memakai kata-kata pengarangnya sendiri, adalah rekaman ”suatu epos tentang revolusi jiwa—dari jiwa jajahan dan hamba menjadi jiwa merdeka”. Transformasi itu dahsyat. Sebab ”perubahan atau Revolusi jiwa” itu, tulis Pramoedya pula, ”lebih berhasil dalam seluruh sejarah Indonesia daripada seluruh Revolusi bersenjata yang pernah dilakukannya”. Tapi Revolusi, ledakan besar itu, segera surut, larut, lenyap.

Hanya beberapa tahun setelah pertempuran Farid di sepanjang Kali Bekasi, Indonesia memasuki masa yang menanggungkan ”royan revolusi”. Novel Ramadhan K.H. memakai kata itu untuk judul. ”Royan”, rasa sakit tubuh yang baru melahirkan, adalah metafor untuk masa tahun 1950-an yang dirundung frustrasi. Itulah masa ketika situasi tak bertambah baik di dalam republik yang baru merdeka itu: orang mulai mementingkan diri sendiri, kesetiaan kepada ”1945” tak ada lagi. Hal yang sama dapat dikatakan bagi ”1966”. Para mahasiswa yang menumbangkan ”demokrasi terpimpin” yang represif sejak 1958-1965—para pemuda yang bersedia menanggungkan kekerasan dan tak takut mati untuk sebuah Indonesia yang demokratis—berangsur-angsur sadar bahwa mereka teperdaya. Rezim yang menggantikan ”demokrasi terpimpin” ternyata sebuah ”demokrasi terpimpin” lain—malah dimulai dengan pembantaian yang menyebarkan teror selama tiga dasawarsa Yap Thiam Hien, pendekar hak asasi manusia itu, ikut mencoba membuka zaman baru di bawah ”Orde Baru”. Tapi kemudian kita tahu apa yang terjadi. Hukum terus saja diinjak dengan brutal; kemerdekaan ditendang ke sudut sel; Indonesia dijadikan seperti kerbau yang dicocok hidungnya. Kini 2008. Sepuluh tahun setelah Reformasi, sebuah masa setelah Soeharto pergi: bukankah ”royan revolusi” dirasakan lagi dan orang juga mengeluh? Agaknya selang-seling antara ”kejadian” dan ”royan” atau antara pengharapan dan kekecewaan telah jadi sebuah pola yang berulang. Jangan-jangan kita harus kembali melihat apa arti ”1945”, ”1966”, atau ”1998”. Jangan-jangan kita sebenarnya memberi nama itu sebagai cara kita bertahan dari serbuan gelap dan campur-aduk yang membingungkan di tiap transformasi politik. Bukankah bersama itu ada sebuah hasrat yang radikal terhadap sejarah? Hasrat itu radikal (Badiou menyebutnya ”kiri-isme yang

spekulatif”), karena ingin memurnikan waktu, menertibkan ruang. Tapi waktu dan ruang selamanya kekusutan, selamanya dilingkungi khaos. Setelah 1945, 1966, 1998, kita menemukan bahwa dalam ”kebenaran baru” yang muncul hari ini ada jejak dari masa silam. Jejak itulah yang tampil menggugah hati kembali. Tapi bersama itu, ada puing dari zaman lama yang terus teronggok. Saya teringat malaikat sejarah dalam lukisan Paul Klee—tapi dengan narasi yang lain dari yang dibawakan Walter Benjamin. Malaikat itu memang menghadap ke belakang, sementara ia terbang maju. Selama itu ia diikuti sisa-sisa masa lalu yang diruntuhkannya—reruntuhn yang terus meninggi dan mendesakkan diri, mendorongnya terbang ke depan, melewati kejadian demi kejadian. Saya ragu, adakah di sayapnya ada angka-angka 1945, atau 1966, atau 1998. Mungkin tidak; hanya warna polos yang bergerak. ~Majalah Tempo Edisi. 51/XXXVI/11 – 17 Februari 2008~

2:12 Februari 8, 2008 … dalam permainan catur, demikian petuah seorang tua menurut seorang pengarang buku sejarah filsafat Cina, “tak ada jalan yang pasti untuk menang, tapi ada jalan yang pasti untuk tidak kalah”. Bagaimanakah jalan yang pasti tak akan kalah itu? Jawabnya, “jangan bermain catur”.

Kayon Februari 4, 2008 Setelah Duryudhana mati, dan berangsur-angsur pagi meluas, dan suara gamelan bertambah pelan, tancep kayon. Dalang menancapkan lambang gunung itu di tengah-tengah layar. Kisah berakhir, meskipun sebenarnya banyak hal belum diutarakan.

Pertunjukan wayang kulit semalam suntuk itu selesai. Kayon: lambang gunung, lambang hutan, isyarat untuk awal, isyarat untuk penutup. Dari jauh bentuk itu mirip sebuah siluet segi tiga di bawah cahaya. Tapi dari dekat akan kelihatan di gunungan itu tersembunyi (dalam ukiran yang renik) pohon-pohon rindang dengan cabang yang merangkul dan pucuk yang tinggi menyembul. Ada sebuah gapura dengan tempat kunci berbentuk teratai. Ada sepasang raksasa bersenjata yang tegak simetris. Ada harimau, banteng, kera, burung merak dan burung-burung lain. Juga wajah seram banaspati. Dengan kata lain, di gunungan itu tersimpan bermacam hal, tapi bertaut dalam satu misteri, sesuatu yang angker, tapi juga teduh: sebuah wilayah kehidupan yang lain. Ketika arena di luarnya memaparkan kisah intrik, nafsu, dan perang yang tak hentihentinya, di kerimbunan yang agung itu hidup berlangsung anteng dan syahdu. Dalam kayon, waktu yang mengalir detik demi detik seakan-akan tak ada lagi. Di dalam gunungan, arus menit dan jam seakan-akan diinterupsi dan distop. Segala hal seakan-akan berada di luar waktu. Tapi manusia tidak. Ia akan kembali menghadapi, bahkan terlibat dengan, peristiwa-peristiwa yang berubah dan terkadang mengguncang. Terletak terpisah tapi tak jauh dari medan peristiwa, kayon adalah sebuah kontras. Dalam wayang kulit, ketika dalang menghadirkan adegan majelis yang tertib di balairung atau sebuah pertempuran yang seru di tepi hutan, kayon akan terpasang di sisi layar, seperti menandai bahwa ada kehidupan yang bertentangan dengan kehidupan manusia yang tak henti-hentinya berubah dan resah. Meskipun demikian, gunungan itu juga yang mengisyaratkan pergantian babak atau adegan. Ironis, bahwa yang berada di luar waktu justru jadi tengara perubahan waktu. Bahkan sesekali ki dalang akan mengangkat dan menggerakkan kayon untuk melukiskan angin gemuruh, halilintar

yang mengejutkan, dan saat keajaiban yang membuat seorang ksatria jadi makhluk yang dahsyat. Dengan kata lain, dengan gunungan, waktu yang tak kekal dalam hidup manusia senantiasa dibayang-bayangi sebuah wujud rahasia yang hadir di awal dan terpacak di akhir. Barangkali karena itu Bharatayudha adalah sebuah tragedi. Bukan karena perang besar itu sia-sia. Memang tak jelas apa sebenarnya arti kemenangan Pandawa dalam merebut kembali Kerajaan Hastina, jika akhirnya seluruh generasi kedua mereka terbunuh dan, ketika perang usai, seantero anggota keluarga dibantai Aswatama di sebuah malam yang lengah. Tapi Bharatayudha terasa sebuah tragedi karena kontras dan ironi kayon tepat mengenai inti ceritanya. Lihatlah para ksatria itu. Mereka jalani hidup yang berubah-ubah, yang tak mudah, mereka masuk ke dalam sengketa yang menyakitkan dan buas, mereka ambil keputusan-keputusan yang rumit dan muskil, tapi mereka tak akan dapat membatalkan perang yang mengerikan itu. Sudah ditetapkan, Bharatayudha akan terjadi. Baik para Pandawa maupun Kurawa tak dapat memilih untuk mati dengan cara lain. Apa arti pilihan dan keputusan manusia di bawah Nasib dan Kutuk yang permanen? Pada akhirnya memang tak pernah bisa jelas, dalam waktu yang manakah manusia ketika ia menanggung sengsara atau berlaku buas, merasa bahagia atau lupa daratan. Ada waktu dari Nasib, waktu sebagai Kala, yang tak berubah dan tak mengubah. Di dalam Kala, manusia tak dapat lepas memilih dan memutuskan masa depannya dengan bebas. Tapi sementara itu ada waktu sehari-hari: waktu ketika manusia menyakiti dan disakiti, membunuh dan dibunuh, rindu dan bahagia, heroik dan culas. Itulah waktu ketika manusia jadi subyek, biarpun sejenak, biarpun tak utuh. Persoalannya tentu: mungkinkah subyek lahir, subyek yang melawan situasi tempat ia hidup, merombak kondisi yang

membentuknya, subyek yang terlepas dari posisi obyek di bawah Sang Kala? Dalam Bharatayudha, contoh yang utama bahwa hal itu mungkin adalah Karna. Ia anak seorang sais. Ia anak sudra, tapi ia berani maju menandingi para ksatria. Ia, seorang pendekar yang diklaim sebagai saudara seibu para Pandawa, tetap memilih berpihak kepada Kurawa—meskipun tahu pihak yang dipilihnya akan hancur. Tapi ia bebas. Mungkin ada saat-saat yang tak dikisahkan ki dalang ketika Karna berdiri sendiri memandang ke arah kayon. Wilayah itu tak akan pernah dijangkaunya: pohon-pohon dengan cabang yang agung, gapura yang selalu siap menyambut dan mengunci rahasia, sepasang raksasa yang berjaga entah atas titah siapa, dan macan, dan banteng, dan kera, dan burung merak… semuanya suasana angker yang tak mempunyai bahasa. Pada saat seperti itu ia sadar, ia jauh dari sana, ia hidup dengan waktunya sendiri. Lebih radikal lagi, ia—yang merasa ada misteri yang membayang dari gunungan itu—memutuskan untuk bertindak, tanpa merasa siap mengetahui rahasia hidup. Nasib? Sang Kala? Baginya semua itu lebih baik ia tinggalkan. Terlalu pahit untuk ditanggung. Ia tak terikat dengan sebuah masa lalu dan sebuah masa depan. Ia hanya punya masa kini dan sebuah pertalian dengan orang lain: para Kurawa. Dengan itulah Karna jadi subyek—justru karena ia, seraya melepaskan diri dari Waktu, Kala, menjangkau orang lain dan bertanggung jawab kepada mereka. Pada dirinyalah sebenarnya Bharatayudha jadi kisah kepahlawanan dan sekaligus tragedi. Tapi entah kenapa, para dalang tak pernah mengatakan itu. Karna tewas dihunjam panah Arjuna, tapi tak ada yang bercerita bagaimana ia dikuburkan. Yang pasti bukan sebagai pahlawan. Mungkin sebab itu tiap kali gunungan ditancapkan, dan suara gamelan menghilang dari cerah pagi, kita tahu ada sesuatu yang belum diutarakan dan kita tak mengerti. ~Majalah Tempo, Edisi. 50/XXXVI/04 – 10 Februari 2008~

4:80 Februari 1, 2008 … sebab mencintai tanah air, nak, adalah merasa jadi bagian dari sebuah negeri, merasa terpaut dengan sebuah komunitas, merasa bahwa diri, identitas, nasib, terajut rapat, dengan sesuatu yang disebut Indonesia, atau Jepang, atau Amerika. Mencintai sebuah tanah air adalah merasakan, mungkin menyadari, bahwa tak ada negeri lain, tak ada bangsa lain, selain dari yang satu itu, yang bisa sebegitu rupa menggerakkan hati untuk hidup, bekerja dan terutama untuk mati.

Sensor Januari 28, 2008 Kami, sejumlah juru sensor, duduk di ruangan gelap seperti seregu malaikat yang waswas. Kami tak henti-hentinya mencuri pandang ke arah Tuhan, (meskipun kami tak tahu ke arah mana semestinya), dengan mata gundah: tidakkah Ia terlampau optimistis tentang manusia ketika Ia memutuskan untuk menciptakan makhluk yang merepotkan ini? Tidakkah Tuhan lalai menduga bahwa manusia akan menyebarkan kejorokan di muka bumi? Kami, para juru sensor, sungguh khawatir. Memang Tuhan pernah mengatakan kekhawatiran itu tak berdasar. ”Aku tahu apa yang kalian tak tahu”, kata-Nya. Tapi kami tetap tak percaya manusia akan berfiil baik, berakhlak tinggi, dan berjiwa kuat. Bagi kami, manusia pasti akan mudah tergoda syahwat dan kemudian mencandu seks. Manusia, terutama yang muda-muda, pasti akan terhanyut tenggelam oleh arus hal ihwal yang erotis. Tentu, ini baru dugaan, tapi lebih baik kami siaga. Sebab kami, para juru sensor, sebenarnya tak ikhlas ketika Tuhan memberi begitu besar kemerdekaan kepada Adam + Hawa

beserta keturunannya. Kami mendengarkan baik-baik kata Allah, tapi kami tersenyum kecut ketika mendengar beberapa kalimat dalam Al-Baqarah bahwa Ia mengangkat manusia sebagai ”khalifah”-Nya di bumi. Sebab, bagaimana mungkin? Bagaimana mungkin makhluk yang lemah ini—yang kadang-kadang memandang dengan berahi sebuah foto Happy Salma atau berpikir cabul tentang Tom Cruise—bisa diandalkan sebagai wakil-Nya? Bagaimana mungkin kita harus merayakan kedaulatan manusia? Hati kami menampik. Manusia tak bisa dipercaya. Tentu, kami, para juru sensor, para alim ulama dan pengkhotbah moral, juga manusia. Tapi rasanya kami lain: bahan kami mungkin lempung yang lebih unggul. Jangan-jangan malah kami diciptakan dengan campuran api. Kami memang oknum luar biasa. Buktinya: kami telah dipilih Pemerintah Republik Indonesia sebagai sekelompok kecil yang tentu tak akan tergoda bila menonton, misalnya, adegan malam pengantin baru dalam film Berbagi Suami. Sebab kami tak sembarangan. Kami yakin bahwa orang yang bukan kami, mereka yang bukan juru sensor, akan rusak bila melihatnya. Kalau tidak rusak, pasti bingung, atau salah paham. Kasihan, ’kan? Karena orang-orang di luar gedung lembaga yang luhur ini belum sematang kami. Mereka belum terdidik. Mereka lemah iman, suka melamun, bolos ibadah, penuh dosa, dan, maaf, bodoh-bodoh. Mereka harus dilindungi. Lagi pula mereka tak butuh kebebasan untuk memilih apa yang akan mereka tonton, tak perlu kemerdekaan untuk berpikir sendiri dan mengutarakan pendapat. Kebebasan itu kemewahan. Atau dikatakan secara lain: kemerdekaan itu harus ada batasnya. Kami tahu, mereka tak tahu mana batasnya. Sebab itulah kami yang akan bikin rambu-rambu. Bagaimana cara kami membikin, dan apakah rambu-rambu itu adil dan dapat dipertanggungjawabkan—ah, sudahlah, tak perlu dibicarakan. Pokoknya, inilah tugas kami.

Ini tugas yang mulia, sebagaimana mutu diri kami yang mulia. Kami menjaga manusia Indonesia dari pelbagai bahaya yang mengancam mereka—dari bahaya masturbasi sampai dengan bahaya aborsi, dari bahaya film biru sampai dengan koran kuning. Bukankah ada seorang tua yang mengatakan, (dan seperti lazimnya orang tua, mengatakannya berkali-kali), kita sekarang sedang diserbu ”gerakan syahwat merdeka”? Tentu, sinyalemen itu menggelikan. Sebab sebenarnya tak ada ”gerakan”, tak ada aktivitas yang terarah dan terorganisir. Yang terjadi adalah dinamika kapitalisme: ketika ekonomi pasar mulai bangkit, tampak celah-celah untuk memasarkan hal-hal yang terkait ”syahwat”. Tapi jika kata ”gerakan” dipakai, itu cuma bagian dari sebuah bualan—sebuah siasat retorika untuk membuat orang dagdig-dug. Sedikit menyesatkan tak apa-apa, asal tujuan tercapai. Namun ada ”gerakan” atau tidak, lebih baik kami mendahului: kami harus tegakkan benteng. Lebih baik kami awas, sejak awal. Sebab manusia terlampau lembek. Harus kami katakan, Tuhan salah. Tuhan terlalu optimistis. Itu juga yang diutarakan Sang Pengusut Agung dalam satu bagian novel Dostoyewski yang termasyhur itu, Karamazov Bersaudara. Dalam cerita ini, kardinal di Sevilla, Spanyol, yang berusia 90 tahun, dengan bengis dan yakin menangkap orang yang dituduh murtad, mengusut imannya sampai sejauh-jauhnya, dan membakarnya hidup-hidup. Tiap hari, api unggun tampak di manamana. Orang ketakutan, sampai akhirnya Yesus sendiri turun kembali ke bumi untuk membebaskan mereka. Tapi sang Kardinal tak gentar. Ia juga tak menyesal. Malah ia berani bicara agresif kepada Tuhan: ”Apa yang Paduka telah tawarkan kepada manusia? Apa yang dapat Paduka tawarkan? Kebebasan? Manusia tak dapat menerimanya. Manusia butuh hukum-hukum, sebuah tata yang mapan yang terperi untuk seterusnya, yang akan menolongnya membedakan yang sejati dan yang palsu….”

Membangkangkah dia? Bukankah Sang Pengusut melakukan semuanya untuk menyelamatkan dunia? Jawabnya ”ya” dan ”tidak”. Dalam Kitab Suci, ada cerita bahwa Iblis, yang merasa tak terbuat dari lempung, melainkan dari api, menampik untuk mengikuti Tuhan yang memberi kepercayaan kepada manusia. Dengan demikian bisa dikatakan, sang Pengusut Agung tak tampak berbeda dari Iblis. Tapi apa salahnya? Kami bukan Iblis, namun kami juga sepakat dengan sikapnya yang memandang manusia sebagai makhluk yang tak dapat diandalkan. Sebab itulah kami ada: manusia harus dijaga, dilindungi, diawasi, diatur, dikekang…. Dunia mencemaskan. Dunia dan manusia gampang berdosa dan najis. Mencatat semua itu memang bisa sama dengan meragukan, layakkah Tuhan diberi ucapan terima kasih dan kita bersyukur. Para juru sensor, yang duduk di ruangan gelap seperti seregu malaikat yang berwajah suram, tahu apa jawabnya. ~Majalah Tempo, Edisi. 49/XXXVI/28 Januari – 03 Februari 2008~

1:126 Januari 25, 2008 … dan seperti kata Konfusius (alias Kong Hu Cu), “Orang tak dapat melihat bayangan dirinya di dalam air yang mengalir, tapi ia dapat melihatnya pada air yang diam”.

Slamet Januari 21, 2008 Slamet adalah sebuah teriakan, ketika ia bunuh diri pada umur 48. Mungkin kota Pandeglang mendengarnya. Mungkin Banten dan Jakarta mendengarnya. Tapi hanya 10 menit. Segera setelah itu, teriakan itu lenyap. Slamet hilang. Ia

kembali jadi noktah yang melintas tipis pada layar radar, seperti berjuta-juta titik lain yang diabaikan. Jakarta sibuk. Tuan-tuan sibuk: tuan-tuan berbaris membesuk Suharto, sang patriakh yang gering terbaring di rumah sakit itu, dan dengan tekun tuan-tuan mengikuti naik-turun tekanan darahnya, menyimak jantung dan paru-parunya, berkomat-kamit membaca doa untuknya, dan berseru, makin lama makin keras, maafkan dia, maafkan dia … Tentu, semua itu karena tuan-tuan orang yang beradab. Tapi tak ada peradaban yang tak berdiri di atas pengakuan bahwa ada mala yang besar, (meskipun tak disebut sebagai dosa), ketika di luar pintu seseorang rubuh, tertindih, hilang harap — dan kita tak menolongnya. Slamet adalah indikator negatif peradaban. Lelaki ini seorang pedagang yang tekun, meskipun tetap miskin. Sejak 1993 dengan angkringannya ia jajakan gorengan singkong, tahu, tempe, dan pisang di sekitar jalan Ahmad Yani di Pandeglang. Ia pernah yakin hidup akan lebih baik setelah ia berhenti bekerja di sebuah pom-bensin. Mula-mula memang ada harapan: ia bisa memperoleh untung sedikit sedikit. Kata isterinya, Nuriah, Slamet dapat membawa laba sampai Rp 20 ribu sehari. Tapi kemudian harga kedelai naik cepat dari Rp 3.400 menuju ke Rp 8000 sekilo. Akhirnya Slamet hanya bisa membawa pulang rata-rata Rp 8000, sementara tiap kali ia harus belanja bahan sampai Rp 100 ribu. Apa yang bisa dilakukannya? Utangnya memberat. Tapi bukan hanya itu yang menimpanya. Ia, yang lahir di Ciamis dan mati di Pandeglang, ia yang berkeluarga di rumah 7 x 7 meter persegi berdinding gedeg yang terletak di dekat Pasar Badak, ditentukan nasibnya tak di sana, melainkan di kejauhan: oleh para birokrat Departemen Pertanian dan Perdagangan, oleh pasar dunia yang bergejolak, oleh ladang dan lumbung di Amerika Serikat, oleh pusat-pusat makanan di Cina, oleh cuaca dan panen di Brazil, oleh struktur agribisnis di Argentina.

Apa daya Slamet di sela-sela jaringan raksasa itu? Seorang pakar Departemen Pertanian Amerika Serikat telah memperhitungkan, produksi kedelai tahun 2007-2008 akan turun 14% di negeri itu, dan pembaca koran tahu Amerika Serikat adalah salah satu produsen terbesar. Ketika para petani Amerika mendahulukan menanam jagung yang lebih menguntungkan untuk industri biodiesel, suplai kedelai pun merosot di dunia. Sementara itu, Brazil dan Argentina hanya meningkat sedikit panennya. Sementara itu, permintaan bertambah, terutama dari Cina dan India, dua negeri yang lebat penduduk dan sedang tumbuh pesat ekonominya. Maka harga pun membubung tak terelakkan. Di Pandeglang, Slamet terjungkal. Apa yang bisa dilakukannya? Ia hidup di sebuah negeri dengan para birokrat yang seperti tak hendak tahu dan berbuat; trend memburuk di pasar dunia itu bukanlah sesuatu yang mendadak. Slamet adalah sebuah indikator keteledoran. Ia juga gejala kegagalan. Di tahun 1974, Indonesia bisa memenuhi kebutuhan kedelai dengan produksi sendiri, tapi sejak 1975 sudah mulai jadi pengimpor. Ketika di Jawa tanah-tanah pertanian yang subur dipergunakan untuk kebutuhan lain, kedelai kian tak dapat ruang yang cukup untuk ditanam. Seorang peneliti, Dewa K.S. Swastika, bahkan sejak tahun 2000 menghitung: tanpa terobosan yang berarti, defisit kedelai akan berlanjut. Apa “terobosan” itu, saya, seperti halnya Slamet, tak tahu. Yang saya tahu, Indonesia tak mengalami apa yang dialami Brazil. Di sana, demokrasi yang menggantikan kediktaturan militer membongkar juga kendali pemerintah atas pasar, dan di antara 2002-2003 (ketika di Indonesia tak ada lagi harapan untuk swasembada) di negeri Amerika Selatan itu produksi kedelai naik hampir 300% dibandingkan dengan 1987-1988. Lebih beruntungkah Brazil ketimbang Indonesia, yang kembali ke demokrasi dengan masyarakat yang telah dipangkas habis sumber-sumber kepemimpinannya? Saya tak tahu adakah ini soal

malang dan mujur. Yang pasti, demokrasi datang dan negeri ini hanya punya sederet pengambil keputusan yang kacau, atau tak cerdas, atau bingung. Tampaknya cerita kedelai ini juga cerita keledai-keledai. Tuan-tuan pasti tak mau seperti itu. Tapi jangan takut. Cerita Slamet bukanlah hanya cerita tentang tempe dan kekuasaan dan kebebalan. Ia juga cerita sebuah keadaan, ketika seorang bisa begitu putus asa dililit utang yang tinggal separuh dari Rp 5 juta, sementara tak jauh dari tempat ia menggantung diri ada orangorang yang menghabiskan beratus juta untuk satu malam perhelatan. Cerita Slamet adalah cerita seorang yang dibunuh dengan acuh tak acuh. Maka ia juga cerita tentang kematian yang tak terdengar, tapi seperti sebuah teriakan. Slamet memang tak menggugat siapa-siapa, tapi ia tetap sebuah kontras: ia kecemasan yang tak ditengok, ia bukan Suharto yang terus menerus dijenguk. Tapi ia lebih siap mati. Menjelang ia menggantung diri, dibelinya dua helai kaus putih. Ia bicara dengan Oji, anaknya yang masih di kelas tiga SMK Pariwisata dan sudah setahun belum membayar uang sekolah. Ia bisikkan bahwa ia akan segera meninggal. Slamet akhirnya sebuah cerita selamat tinggal yang tenang. Putus-asa itu tampaknya menyebabkannya siap dan ikhlas. Ia adalah pemberitahuan, ia seperti sajak Subagio Sastrowardojo: pada akhirnya, apa sebenarnya yang dimiliki manusia? Tak ada yang kita punya Yang kita bisa hanya membekaskan telapak kaki, dalam, sangat dalam, ke pasir Lalu cepat lari sebelum semua beakhir

~Majalah Tempo, Edisi. 47/XXXVI/21 – 27 Januari 200~ ~dengan perbaikan dari penulisnya~

4:337 Januari 18, 2008

Bento Januari 14, 2008 — sebuah cerita untuk MUI Bento dilaknat dan dicampakkan ketika ia baru berumur 24. Hari itu, 27 Juli 1656, majelis para rabbi di Sinagoga Amsterdam memaklumkan bahwa anak muda itu, yang pernah jadi murid yang pandai dalam pendidikan agama, dibuang dari kalangan Yahudi, dari ”bangsa Israel”, karena pendapat dan perbuatannya yang dianggap keji. Pengumuman hukuman itu dibacakan dengan angker. Dari mimbar kata demi kata dilafalkan, seraya terompet besar yang meratap menyela sesekali. Sinagoga yang terang itu pelan-pelan suram. Lampu satu demi satu dimatikan, sampai akhirnya semuanya padam dan ruang jadi gelap: lambang kematian cahaya rohani dalam diri orang yang dikutuk. ”Terkutuklah ia di hari siang dan terkutuklah ia di hari malam. Terkutuklah ia ketika ia berbaring dan terkutuklah ia ketika ia bangun. Terkutuklah ia bila ia ke luar dan terkutuklah ia bila masuk.” Dan kalimat terakhir keputusan para sesepuh Dewan Eklesiastik itu berbunyi: ”…Tuhan akan mencoret namanya dari kehidupan di bawah Langit.” Kalimat itu garang, tentu, tapi keliru. Berkali-kali sejarah mencatat, dengan keputusan seperti itu para pembesar agama menunjukkan keangkaramurkaannya dan juga kekonyolannya. Sejak itu Bento memang mulai harus hidup terasing dari sanak saudaranya. Tapi ia tak mau takluk. Ia meninggalkan usaha

ayahnya yang pernah ia teruskan dan berhasil. Menumpang sewa dari rumah ke rumah di daerah murah, nafkahnya datang dari menatah lensa buat teleskop dan mikroskop. Ia mati sebelum umur 45 dan hanya meninggalkan dua pasang celana dan tujuh lembar kemeja. Tapi ia, Bento, nama panggilan Portugis bagi Baruch de Espinoza, atau Spinoza pemikir yang menulis Tractacus Theologico-Politicus, tak pernah tercoret dari muka bumi. Kutukan itu gagal. Aneh, (tapi mungkin tidak) para ulama Yahudi Amsterdam itu mengambil keputusan sekeras itu. Mereka sendiri berasal dari para pengungsi Spanyol dan Portugal, tempat Gereja Katolik dengan lembaga Inkuisisinya membakar orang yang dianggap murtad hidup-hidup, tempat raja dan gereja memaksa orang Yahudi dan muslim memeluk iman Kristen. Pada suatu hari di tahun 1506, di Lisabon, 20.000 anak dipaksa dibaptis, sementara 2.000 orang Yahudi dibantai. Tapi toh para tetua Yahudi di Amsterdam itu, yang punya kakek-nenek yang lari dari aniaya di Semenanjung Iberia, menunjukkan sikap tak toleran yang sama terhadap Spinoza, meskipun tak sekejam membakar orang di api unggun. Mungkin ada dalam agama-agama Ibrahimi yang membuat iman seperti gembok: kita hidup dalam bilik yang tertutup dan terpisah. Di situ Tuhan pencemburu yang tak tenteram hati. Tentu saja bagi pandangan macam itu suara Spinoza—yang diejek sebagai espinas (”duri-duri”)—bisa sangat mengganggu. Ia dianggap atheis. Spinoza akan membantah itu. Ia percaya Tuhan ada—dan tak hanya itu. Novalis bahkan menganggap Spinoza ”orang yang gandrung-akan-Tuhan”. Tapi Tuhan baginya tak mengadili dan mempidana orang per orang. ”Tuhan tak memberikan hukum kepada manusia untuk menghadiahi mereka bila patuh dan menghukum mereka bila melanggar,” tulis Spinoza. Tuhan bukan person. Sebagaimana Ia tak bisa diwujudkan dalam arca, Ia tak

bisa dibayangkan secara antroposentris. Siapa yang memandang Tuhan dengan memakai sifat dan fiil manusia sebagai model akhirnya membuat iman jadi absurd: bagaimana Tuhan cemburu dan menuntut dipatuhi bila Ia mahakuasa? Bagi Spinoza, Tuhan itu ”substansi”. Substansi itu mengambil ”modus”, dan Tuhan mengambil modus sebagai Natura naturans, Alam kreatif yang membuahkan ”alam yang di-alam-kan”, Natura naturata. Ada kesatuan ontologis antara Tuhan dan ciptaannya. Tapi dengan demikian Tuhan bagi Spinoza bukanlah Tuhan yang akan mencintai, atau membenci, atau membuat mukjizat. Pada saat yang sama, Tuhan ada di mana-mana, dalam segala yang ada. Suara Spinoza tak akan diberangus seandainya ia hidup di zaman lain. Tapi seperti dikisahkan dengan mengasyikkan oleh Matthew Stewart dalam The Courtier and the Heretic, tentang pertemuan dan konflik pemikiran Leibnitz dan Spinoza, Tuhan adalah ”nama persoalan abad ke-17”. Waktu itu Gereja telah dijatuhkan monopolinya oleh banyak aliran protestanisme; ilmu pengetahuan mulai mengguncang Kitab Suci; ekonomi dan politik mulai bebas dari intervensi lembaga agama. Ada kebebasan berpikir, tapi juga rasa cemas menghadapi kebebasan. Spinoza sejenak merasakan kemerdekaan justru ketika ia dikeluarkan dari jemaat Yahudi—dan bersyukur ia hidup di negeri yang tak akan membinasakan orang ”murtad”. Namun pada akhirnya ia tahu: tak akan ada rasa aman begitu ia jadi duri bagi iman orang ramai. Pada suatu hari seorang fanatik mencoba menusuknya dengan belati. Ia selamat. Tapi ia tahu ia harus berhati-hati. Ia, yang tinggal menumpang di Rhinsburg, dekat Leiden, dan di Den Haag, praktis menghabiskan waktunya menulis di kamarnya sambil tak hentihentinya merokok—dan menyelesaikan beberapa buku. Tapi selama 10 tahun Spinoza tak berusaha menerbitkannya. Seorang

penerbit yang mencetak pendapat yang dianggap berbahaya bagi iman telah dipenjarakan 10 tahun. Di tahun 1675, ketika Spinoza ke Amsterdam untuk mencetak satu karyanya, ia dengar desas-desus tersebar di kalangan para pakar theologi Kristen bahwa buku itu berusaha membuktikan Tuhan tak ada. Spinoza pun membatalkan niatnya. Baru setelah ia meninggal karyanya yang penting, Ethica, terbit di tahun 1677. Sementara itu Tractacus-Theologico-Politicus yang terbit di tahun 1670, ketika ia masih hidup, muncul dengan tanpa nama—dan segera masuk buku terlarang. Tak mengherankan, bila sejalan dengan pikirannya tentang Tuhan yang terpaut erat dengan manusia dan semesta—artinya Tuhan tak bisa digambarkan sebagai raja yang bertakhta—Spinoza menganggap kekuasaan politik para ulama dan pendeta harus ditiadakan. Iman yang tulus hanya tumbuh dalam kebebasan—dan justru pada kisah Bento yang diusir, kita tahu Spinoza benar. ~Majalah Tempo Edisi. 47/XXXVI/14 – 20 Januari 2008~

Cermin Januari 7, 2008 Tahun adalah cermin. Di depannya, setiap sehabis 31 Desember, akan saya lihat: guratan umur makin mengeras. Keriput makin banyak. Pori-pori kulit membesar. Rambut rontok. Dan waktu kembali jadi angka: jika tahun ini kau rayakan ulangtahun ke-50, atau ke-60, atau lebih, kita tahu jangka waktu hidup yang sama tak akan tercapai lagi. Ujung jalan itu sudah tampak. Dalam arti itulah masa depan jadi lebih tertentu: hidup akan berakhir. Saya pasti tak akan menyaksikan 7000.000 batang muda yang ditanam tahun lalu tumbuh jadi pohon-pohon tinggi dan rimbun, seperti deretan pokok asam dan mahoni di tepi jalan di kota saya masa kecil. Saya tak akan lihat tanahair kaya kembali

dengan hutan tropis yang lebat. Saya pasti tak akan merasakan jalan-jalan tak lagi macet, polusi udara berkurang karena bensin tak lagi dipakai, dan bulan tak kusam ketika malam purnama, dan di Jakarta, di ibukota, sesuatu yang lebih manusiawi hadir bahkan di rumah sakit umum, di penjara, di kakilima, dan museum dan teater dikunjungi, bangunan baru terawat dan bangunan lama selesai dipugar, dan stasiun kereta api gaya Art Deco di wilayah Kota yang sudah lama tak terawat itu mempersona kembali. Ya, banyak sekali yang pasti tak akan saya alami. Tapi siapa yang dapat mengatakan, hal-hal indah itulah yang akan terjadi? Bagaimana bila sebaliknya? Bagaimana jika kelak ribuan dusun dan kota hilang tenggelam oleh laut yang menggelegak karena kutub utara jadi cair? Bagaimana jika yang terjadi adalah bentrokan berdarah yang tak henti-hentinya, karena masyarakat jadi amat timpang antara kaya dan miskin, dan sumber-sumber alam kikis, dan orang marah kehilangan rasa keadilan? Bagaimana jika mereka yang lemah terus tertekan oleh kemahakuasaan uang, ketidak-jujuran pejabat negara, dan sifat represif dari lembaga-lembaga adat dan agama? Saya, seperti anda, tak tahu bagaimana menjawab itu. Orang mampu meyusun statistik, membuat prediksi, memperkirakan probabilitas. Tapi kita tahu hidup tak bisa distatistikkan, karena yang tak lazim selamanya bisa terjadi – atau memang selalu terjadi. Ada sebuah sajak Chairil Anwar: Kalau datang nanti topan ajaib menggulingkan gundu, memutarkan gasing memacu kuda-kudaan, menghembus kapal-kapalan aku sudah lebih dulu kaku Ketika aku jadi kaku, ketika kematian itu datang, itu adalah “ketika” yang probablilitasnya praktis 100%. Tapi tak urung, ada kemungkinan yang menakjubkan akan terjadi: “topan ajaib” yang

“menggulingkan gundu, memutarkan gasing…”Bahwa kita bisa merasakan yang ajaib itu sebetulnya sebuah keajaiban tersendiri. Bahwa kita bisa menghayati, bahkan menghasilkan, sesuatu yang tak disangka-sangka, itu menunjukkan betapa hidup tak semuanya buah sebab dan akibat, tapi juga kejutan demi kejutan. Determinisme selamanya meleset. Ada yang dalam filsafat kini disebut sebagai “kejadian,” setidaknya semenjak Heidegger menyebutnya sebagai Eregnis: sesuatu yang terjadi di luar hubungan kausal. Seperti ketika sederet nada muncul dalam sebuah komposisi musik: nada yang satu tak disebabkan, atau menyebabkan, nada yang di sebelahnya; masing-masing hadir, terdengar, entah dari mana. Di situ kita tahu, hidup bergerak didorong oleh élan vital yang kreatif, dan yang tak terduga-duga datang, memukau, bukan oleh satu titik yang kukuh di ujung sana dari sebuah garis lurus. Tak ada garis lurus. Kita tak tahu dari mana sajak Chairil, komposisi Cornel Simanjuntak, dan kanvas Zaini mulai. Semuanya “kejadian”. Itu sebabnya dalam pemikiran Deleuze, “kejadian” sama saja maknanya dengan “penciptaan.” Maka tahun tak hanya ibarat cermin tempat kita berkaca melihat proses keuzuran. Tahun juga sebuah tanda waktu yang tak sempurna, “titimangsa” yang hanya satu sisi. Sebab — jika kita teruskan meminjam uraian Deleuze, (yang mengembangkan buah pikir para filosof sebelumnya) — ada waktu sebagai Chronos, ada waktu sebagai Aion. Yang pertama adalah waktu yang merupakan satu rangkaian “kini” yang bisa diukur, diingat, dan disusun sebagai urutan. Yang kedua adalah waktu kreatif, waktu “kejadian”, waktu kejutan. Dikatakan secara lain, itulah “waktu yang copot dari sendi”, time out of joint, untuk memakai kata-kata Hamlet kepada sahabatnya, Horatio, setelah (demikianlah tersebut dalam lakon Shakespeare) hantu ayahnya datang memberitahu rahasia yang mengerikan di tahta Denmark. Waktu yang “copot dari sendi” memang terasa mencemaskan. Tapi rasa cemas itu tak melumpuhkan manusia. Dalam waktu

sebagai Aion, manusia seakan-akan terlontar. Ia mengalami kebebasan dari hukum sebab dan akibat, tapi dengan itu ia masuk di dalam momen “kejadian”. Seperti nada do dalam B minor yang muncul dalam harmoni, “kejadian” tak berlangsung dalam waktu yang sudah disusun; ia justru membuka waktunya sendiri. Bahkan pada akhirnya “kejadian” atau “penciptaan” tak bisa selamanya berada dalam harmoni. Deleuze melukiskannya dengan membandingkan musik Baroque dan neo-Baroque: sebuah peralihan dari penyelesaian atau cakupan harmonis ke dalam sebuah susunan yang macam-macam nada, termasuk yang sumbang, atau, dalam kata-kata komponis Boulez, “sebuah polifoni dari pelbagai polifoni.” Hidup adalah sebuah polifoni, bergerak, memencar, multilipatan yang tak henti-henti. Kematian hanyalah salah satu momen di dalamnya. Haruskah saya sesali, jika itu terjadi? Tiba-tiba saya temukan lagi satu kutipan yang ditulis Deleuze: “Yang terbaik dari semua dunia yang mungkin bukanlah dunia yang mereproduksi yang abadi, melainkan yang jadi tempat di mana ciptaan baru diproduksi”. Yang abadi tak akan di sini. Di depan cermin tetap akan tampak rambut rontok dan kulit mengeriput. Juga napas kian lemah. Tapi entah di mana dalam evolusi hidup, ada “topan ajaib” yang seakanakan menggerakkan bahkan mainan yang mati: “memutarkan gasing, memacu kuda-kudaan, menghembus kapal-kapalan.” ~Majalah Tempo Edisi. 46/XXXVI/07 – 13 Januari 2008~ ~dengan revisi dari penulis~

Bhutto Desember 31, 2007 Sejarah apakah ini, yang dicatat Rawalpindi? Beberapa menit setelah pukul 5:30 sore 27 Desember 2007 itu, seorang lelaki kurus membunuh Benazir Bhutto yang baru selesai berpidato di rapat

umum di Taman Liaquat Bagh. Setidaknya, itulah cerita menurut beberaoa saksi: tokoh politik itu sudah duduk dalam mobil tapi menjulurkan kepalanya ke luar kap atap. Sebuah tembakan terdengar. Sebuah bom meledak. Benazir rubuh. Dengan cepat mobil membawanya ke rumah sakit umum kota itu. Pada pukul 6: 16, ia tak bernyawa lagi. Ledakan bom itu menewaskan sekitar 30 orang. Kelimun orang itu histeris. “Semoga Tuhan menjaga keselamatan Pakistan”. Itu kata-kata terakhir seorang pemimpin lain, di tahun 1951. Dia Liaquat Ali Khan, perdana menteri pertama. Ia juga tewas, ditembak, setelah berpidato di taman yang sama – sebuah alunalun yang kemudian dikekalkan dengan namanya. Jika kata-kata terakhirnya sebuah doa, maka doa itu tak dikabulkan Tuhan agaknya. Di pagi hari 4 April 1979, tak jauh dari taman itu, di penjara Rawalpindi, Zulfikar Ali Bhutto, ayah Benazir, bekas presiden dan perdana menteri, digantung mati oleh pemerintahan militer Jenderal Zia ul-Haq, dengan tuduhan ia telah membunuh seorang lawan politiknya… Sejarah apakah ini, yang dicatat di Rawalpindi? Benazir dibunuh: keluarga Bhutto adalah tragedi Pakistan. Tiga dari empat dari anak Zulfikar dengan isterinya, Nusrat, tewas. Di tahun 1985, Shanawaz, si putra bungsu, ditemukan mati di Riviera Prancis dalam umur 28. Keluarganya mengatakan ia diracun. Di tahun 1996, adik Benazir yang juga jadi musuh politiknya, Murtaza, mati dalam tembak menembak dengan polisi Pakistan. Fatima Bhutto, anaknya yang kini jadi penyair dan kolumnis, tak pernah memaafkan Benazir, sang bibi. Walhasil, riwayat Bhutto adalah bagian dari sejarah kekerasan politik, sejarah kegagalan mengelola konflik, sejarah kekecewaan. Pakistan berdiri sebagai bagian dari India yang memisahkan diri, hingga kedua republik itu lahir di tahun yang sama, 1947. Tapi

sementara India kini mulai bangkit sebagai kekuatan ekonomi, Pakistan – dalam kata-kata Penulis Tariq Ali di kotan The Guardian pekan lalu – hanya sebuah “conflagration of despair”, rasaputus asa yang menjalar bagaikan gelombang api. Tentu, India juga mengandung sejarah kekerasan dan pembunuhan politik. Tapi sampai hari ini demokrasi di India bisa bertahan, (meskipun terkadang dengan ledakan yang menakutkan seperti bengisnya fundamentalisme Hindu), seraya membuktikan dapat menaikkan pertumbuhan ekonomi sampai 9% setahun. Pertumbuhan ekonomi Pakistan sendiri tak buruk amat, sampai 7%. Aktifitas politik dan pers di negeri itu lebih bebas ketimbang di Malaysia atau Singapura yang tenang bak akuarium. Tapi lembaga yang menopang struktur politiknya dijalari ketak-pastian. Tiap rezim yang dijaga bedil tentara adalah sebuah rezim yang diam-diam meragukan legitimasinya sendiri. Maka berkecamuklah politik paranoia. Pintu dan saluran dijaga ketat. Dalam keadaan bumpet, desakan mudah jadi eksplosi. Kenapa? Karena “Islam”? Saya kira bukan. “Islam” adalah sebuah nama yang maknanya dirumuskan dengan beberapa patokan yang tetap. Yang sering diabaikan ialah bahwa patokan itu – katakanlah hukum syari’at — tak selamanya mampu mewakili “Islam” yang dianggit, yang diimajinasikan secara sosial dalam sejarah – imajinasi yang berlapis, beragam dan mengalir terus seperti, untuk memakai istilah Castoriadis, “magma.” Di tahun 1930, ketika Mohammad Iqbal, penyair dan filosof itu, merumuskan argumennya agar minoritas Muslim di India punya tanahairnya sendiri, ia tampak berpikir bahwa pengertian tentang identitas “Islam” adalah realitas yang sudah siap pakai seperti briket bata. Iqbal menganggap gampang dan jelas agenda mendirikan negeri kaum Muslimin tersendiri. Ia tak melihat bahwa tiap wacana tentang identitas sosial selalu mengandung konstruksi atas arus yang “magmatik”. Konstruksi itu ditentukan oleh sebuah

“pusat.” “Pusat” itu adalah sang pemenang dalam pergulatan mencapai posisi hegemonik. Saya katakan “pergulatan”: ada gerak politik di dalam tiap perumusan identitas sosial. Itulah yang tak dilihat Iqbal. Ketika Pakistan dimaklumkan kelahirannya bersama India, dengan segera tampak jarak antara niat luhur seorang filosof dan politik paranoia yang mencemaskan. Politik punya sejarah yang tak hanya terdiri dari membangun imajinasi bersama dan memberi makna bersama. Machiaveli mengingatkan hal ini sebenarnya: ia berbicara tentang kekuasaan bukan sebagaimana “seharusnya,” melainkan sebagaimana “adanya.” Politik sebagaimana “adanya” adalah yang kemudian dirumuskan dengan brutal oleh Carl Schmitt sebagai das Politische: di dasarnya adalah antagonisme. Itu sudah tampak sebenarnya ketika perpisahan India-Pakistan dilaksanakan. Tapal batas digariskan terkadang dengan seenaknya dari meja para administratior Inggris. Syahdan, sebanyak 14,5 juta manusia bertukar tempat. Karena kedua republik baru itu belum siap mengelola sebuah migrasi besar-besaran, kebingungan yang meresahkan berakhir dengan bentrokan yang meluas. Tanah berpindah tangan, keluarga terpisah, komunitas asal retak – dan sekitar 500 ribu manusia mati hari-hari itu. Lahirnya Pakistan dan India memang bukan kisah yang suci murni. Tapi bila India lahir tanpa memakai label agama, dan sebab itu mengakui dirinya tak sempurna – hingga lebih siap menghadapi apa yang busuk, brutal, dan bingung dalam tubuhnya — dalam kasus Pakistan label “Islam” telah menutupi apa yang cacat dan yang celaka – juga menyembunyikan yang retak. Bertahun-tahun orang hidup dengan ideologi ”keutuhan” itu. Akhirnya adalah kekerasan – atau ledakan amarah yang mencoba menolak apa yang tak bisa ditolak, bahwa “Islam” dan “Pakistan”, (ya, bahkan “Bhutto”), adalah nama tentang sesuatu yang tak pernah utuh. “Semoga Tuhan menjaga keselamatan Pakistan” – dan berkali-

kali pembunuhan terjadi di Rawalpindi. ~Majalah Tempo Edisi. 45/XXXVI/31 Desember – 06 Januari 2008~ ~dengan perbaikan dari penulisnya~

Langka Desember 24, 2007 Pada mulanya bukanlah Langka. Tiap ekor hewan yang mati disembelih untuk korban adalah lambang pemberian yang tak hendak dibalas. Ibrahim bersedia membunuh anak yang dicintainya untuk Tuhan yang tak diharapkannya memberi sesuatu. Di hari itu Tuhan tak berjanji apa-apa. Dan seandainya pun ada kontrak bahwa pengorbanan itu akan mendapatkan imbalan, akankah itu punya arti bagi Ibrahim, setelah anak itu mati? Pengorbanan adalah ”memberi”. Di dalamnya, waktu tak terulangi. Seperti yang dilakukan Ibrahim, kata kuncinya adalah ”ikhlas”. Tak ada pengharapan akan adanya pembalasan kelak. Baginya, tak ada ”kelak”. Waktu tak diperlakukan sebagai lingkaran dengan ujung yang akan bertaut kembali. Seperti dikatakan Derrida, bila waktu-sebagai-lingkaran amat penting dan menentukan, pemberian akan jadi sesuatu yang ”mustahil”. Yang terjadi adalah pertukaran antara jasa dan jasa atau jasa dan benda. Kapitalisme membuat pertukaran jadi paradigma. Sumbangan besar Marcel Mauss dengan telaah antropologinya dalam Essai sur le don di tahun 1925 adalah melihat bahwa dalam kehidupan bersama ada proses lain yang penting: ”memberi”. Dalam pemberian, benda berpindah tangan tanpa berdasarkan kontrak. Tersirat dalam kontrak adalah pembatasan: dalam kepercayaan, dalam solidaritas, dalam waktu. Ketika kita ”memberi”, batas itu tak ada. Waktu dihayati sebagai sesuatu yang tak melingkar, malah lepas tak terhingga. ”Memberi” mengandung premis bahwa ada yang turah, apalagi waktu, dalam hidup.

”Memberi” tak mengenal Langka. Tapi hidup kian ribut oleh Langka dan manusia cemas. ”Memberi” makin jadi laku yang sulit. Yang berkuasa adalah perdagangan: proses tukar-menukar yang mengharapkan laba, dari mana orang menghimpun—dan menghimpun adalah cara menghadapi sebuah kelak yang masih akan dirundung Langka. Bahkan sindrom Langka begitu kuat hingga masuk ke dalam wilayah di mana orang mencoba meniru jejak Ibrahim tapi tak bisa lagi memberi. Di sini pun cemas tak kalah akut, juga keserakahan yang terbit dari kecemasan itu. Rahmat Tuhan tak dilihat lagi sebagai sesuatu yang memancar tak terhingga. Rahmat jadi sesuatu yang harus diperebutkan. Dengan kata lain, beribu tahun setelah Ibrahim, hubungan manusia dengan Tuhan akhirnya juga jadi proses pertukaran yang dikalkulasi. Manusia menyembah Tuhan dengan mesin hitung pahala yang dipegang dengan waswas: jangan-jangan Tuhan selalu kekurangan. Orang pun berlomba-lomba melipatgandakan ibadat dan jumlah umat, memamerkan masjid, gereja dan kealiman. Ada keserakahan yang menyusup di situ, tapi kita tak bisa mengatakan, Rakus, yang lahir dari sindrom Langka, adalah sifat manusia yang mendasar. Ia dibentuk sejarah. Dalam sebuah wawancara, Bernard Lietaer, pengarang The Future of Money: Beyond Greed and Scarcity, menawarkan satu teori yang diambilnya dari psikoanalisis Jung: 5.000 tahun sebelum zaman ini, manusia di Barat menyimpan ”Bunda Agung” sebagai archetype, sebagai citra yang terawat dalam jiwa individual maupun kolektif yang menggerakkan orang ke suatu arah tertentu. Dalam Sang ”Bunda Agung”—agaknya sama dengan Ibu Pertiwi—ada citra tentang kesuburan yang berlimpah dan karunia yang rela dan pemurah. Tapi archetype itu kemudian tersingkir oleh citra Tuhan sebagai Bapa yang membatasi manusia dengan hukum dan pembalasan. Lima ribu tahun lamanya Sang Bunda Agung

tenggelam. Ketika manusia tak percaya lagi akan kedermawanan semesta, muncullah bayangan Langka dan Rakus. Puncaknya, kata Lietaer, terjadi di masa puritanisme Inggris. Di masa itulah Adam Smith merumuskan pemikirannya tentang ekonomi: pada mulanya adalah Langka, dan Langka pun jadi gerak, dan gerak menuju ke kekayaan. Ekonomi berjalan dari premis itu. Apalagi dari Langka pula lahir nilai. Ketika kemudian yang berkuasa adalah ”nilai tukar”, uang dan bank pun kian berperan. Bank, yang memproduksi uang, sekaligus membuat uang sebagai sesuatu yang terbatas jumlahnya. Dengan memberikan pinjaman seraya memungut bunga, bank akan memperoleh lebih banyak uang tanpa ia harus memperbanyak uang yang beredar. Bagi Lietaer, (ia pernah bekerja di bank sentral Belgia), uang dan sistem peredarannya itulah yang membuat Langka dan Rakus ”terus menerus diciptakan dan diperbesar”. Bank Sentral, yang merawat langkanya uang dengan menjaga suku bunga, secara tak langsung menguntungkan mereka yang menyimpan uang di bank. Investasi di sektor riil jadi tak selalu memikat—terutama ketika dana bisa dengan cepat melintasi batas nasional dalam rangkaian pinjam meminjam dengan bunga berbunga. Lapangan kerja makin sedikit. Ketimpangan pun menajam, seperti di Indonesia kini, dan kita tahu apa akhirnya bagi sebuah bangunan politik. Lietaer mencoba menawarkan alternatif. Ia menganjurkan pemakaian uang lokal dan menyebut sistem Silvio Gesel di tahun 1890: dalam sistem ini si penyimpan uang bukannya mendapatkan bunga, melainkan harus membayar ongkos simpan kepada pemerintah. Dengan demikian, bank tak memberi kesempatan bagi si kaya untuk bertambah kaya seraya tidur. Tapi mungkinkah pemikiran alternatif itu akan disambut? Mungkin, tapi entah kapan. Uang, seperti kata Lietaer, telah jadi sebuah cincin besi yang dipasang di cuping hidung manusia, dan menyeret manusia ke mana saja—juga ke arah menajamnya

Langka dan kehancuran sosial. Sejauh ini, kita masih terhibur, sebab ”memberi” masih tetap mungkin. ”Memberi” membebaskan manusia dari cincin besi itu, yang mengikatnya, kata George Bataille, di dalam ”keadaan yang tak hidup dari dunia yang profan”. Hanya dalam memberi, dalam berkorban, orang menemukan sesuatu yang suci, justru dalam tak adanya faedah. Mungkin seperti Ibrahim di Moriah: ia tak tahu apa faedah perbuatannya bagi dirinya sendiri atau bagi Tuhan, tapi di saat ia membebaskan diri pamrih, ia tak terperangkap oleh Rakus, mengatasi rasa takut akan Langka di ”dunia yang profan”. ~Majalah Tempo Edisi. 44/XXXVI/24 – 30 Desember 2007~

Minoritas Desember 10, 2007 Sederet tubuh hitam berbaring di pentas, berbaris, bergerak – terkadang seperti patung kayu dari Asmat, terkadang seperti adegan sehari-hari di sebuah distrik Papua, terkadang seperti sederet totem dalam warna gelap betutul-tutul putih yang mobil, bergeser, menggedrukkan kaki, tarik menarik, berpindah-pindah. Koreografi Jacko Siompe, penata tari kelahiran Sorong, entah kenapa diberi nama In Front of Papua; yang pasti ia memikat kita: sederet anekdot yang menyambut hidup dalam kontras dan keserempakan, gabungan antara yang jenaka dan yang sayu, antara yang biasa dan yang tak diduga, mungkin sebuah parodi, mungkin juga sebuah nostalgia. Ragam geraknya, yang cenderung dekat rendah ke bumi, dengan tangan dan kaki ditekuk seperti menirukan kanguru, seakan-akan mengingatkan kita akan sebuah dunia sebelum manusia dipisahkan dari alam oleh pelbagai ambisi dan lagak. Sebuah ekspresi khas Papua? Memang ada “warna lokal”, tapi pada akhrnya yang penting bagi sebuah koreografi yang kuat

bukanlah mencerminkan sebuah identitas, “daerah” atau “nasional”, “tradisional” ataupun “modern”, melainkan bagaimana membuat sebuah karya mencengangkan. Salah satu kekuatan yang lahir dari karya seni justru bukan untuk mengukuhkan identitas, melainkan menunjukkan ada yang hidup: sesuatu yang tak dapat dirumuskan jadi identitas — apa yang disebut oleh Adorno sebagai “non-identitas”. Pikiran itu terlintas di kepala saya, ketika sehabis menyaksikan In Front of Papua yang memukau di National Museum of Singapore awal Nopember yang lalu, seoang penonton bertanya: “Apakah ini tarian dari kebudayaan minoritas?” “Minoritas” — tak seorang pun di Indonesia akan menggunakan kata itu buat orang Papua, ataupun sebuah suku kecil sekalipun di pulau itu. Tapi saya kira saya tahu mengapa orang ini bertanya demikian. Seperti kebanyakan orang Singapura, ia terbiasa hidup dengan ruang yang tak bersentuhan langsung dengan alam. Ia mudah melihat ekspresi yang “primitif”, “eksotik” – yang praktis tak ada di London atau New York — sebagai sesuatu yang terpencil, ganjil, dan nyaris hilang. Modernitas ada di mana-mana; yang beda dari itu adalah “minoritas”. Aneh juga kata itu sebetulnya. Di Indonesia ia biasa menandai mereka yang berdarah Cina, atau Arab, atau Eropa, atau India – seakan-akan sebuah klasifikasi biologis, tapi yang tak pernah digugat dengan pertanyaan dasar: mengapa klasifikasi penting? Dan mengapa berdasarkan ras? Memang, orang telah lama mengenal perbedaan warna kulit dan corak hidung yang berbeda-beda. Kita misalnya melihatnya dalam wayang kulit: ada sosok sabrangan yang besar dan kasar dan “raksasa” yang gempal dan bundar, yang berbeda dengan raut wajah dan bentuk tubuh para Pandawa dalam Mahabharata dan Rama dan Laksmana dalam Ramayana. Tapi menata wayang – dengan pakem yang tetap — tak sama dengan menata manusia. Menata manusia adalah obsesi

kekuasaan politik. Klasifikasi penduduk adalah keputusan sebuah sistem yang mau membereskan hal ihwal, mau menguasai dan mengarahkan. Saya kira David Theo Goldberg benar, (di tahun 2002 ia menerbitkan The Racial State), ketika ia menunjukkan bahwa kategori “ras” lahir sebagai modus untuk mengelola krisis, mengelola apa yang dibikin sebagai ancaman, serta mengekang dan mengasingkan “tantangan dari apa yang tak diketahui”, the challenge of the unknown. Demikianlah administrasi Hindia-Belanda datang dengan klasifikasi – sebagaimana layaknya sebuah bangunan modern di kancah yang begitu beragam, yang terasa sebagai khaos dan kekaburan. Di luar kantor dan tata buku gubernemen, Indonesia harus dibuat rapi. Manusia pun dibagi dalam kategori: “pribumi”, “Timur Asing”, dan “Eropa”. Dan yang “pribumi” dibagi lagi dalam “suku”. Bagaimana menentukan klasifisikasi ini tak pernah jelas. Sebab “pribumi” tampaknya ditentukan berdasar tempat kelahiran, sedang “Eropa” berdasar asumsi asal usul genetik. “Timur Asing” tampaknya berdasar atas “ras” dan sekaligus “tempat asal” – sebuah kategorisasi yang tak akan pas ketika “Timur” berarti juga penduduk yang berasal dari Thailand, Filipina, Vietnam, Malaya, yang menampakkan ciri-ciri tubuh yang sama dengan orang Minang, Makasar atau Jawa. Kata “asing” juga rancu. Seorang Tionghoa atau Arab yang nenek moyangnya 400 tahun yang lalu sudah beranak-pinak di Singkawang atau Demak sama sekali tak asing bila dibanding seorang Melayu yang 10 tahun sebelumnya baru pindah dari Malaka ke Medan. Dan apa sebenarnya “suku”? Kata ini tampaknya dipakai untuk membuat satu kategori baru di bawah “pribumi” dan “Timur Asing.” Ada kesan bahwa satu “suku” mengandung satu identitas budaya, tapi bagaimana menentukan identitas itu tak jelas: jika bahasa dipakai sebagai cirinya, maka “suku Jawa” tak pernah ada. Sebab

yang disebut “bahasa Jawa”, yang diajarkan di sekolah, sebenarnya hanya bahasa yang dipakai di Surakarta dan Yogyakarta, tapi tidak di Tegal dan di wilayah Banyumas. Maka tak bisa dikatakan “suku Jawa” adalah satu “mayoritas”. Sama tak masuk akalnya menyebut orang Indonesia keturunan Cina “minoritas”: pemakai bahasa Hokian agaknya lebih banyak ketimbang pemakai bahasa Osing di Jawa Timur. Dengan kata lain, kita sebenarnya mewarisi ambisi mengatasi kekacauan yang ternyata menghasilkan kekacauan baru. Dengan kata lain, kita harus bongkar Hindia-Belanda dari bahasa dan manajemen perbedaan kita. Menghadapi apa yang diduga sebagai khaos, menatap “tantangan dari apa yang tak diketahui,” merasa cemas dengan yang “lain” yang mengancam kerapian yang palsu, sebenarnya kita justru menemukan sebuah kearifan: Indonesia adalah bangunan minoritas-minoritas. Atau serangkaian “non-identitas”: totem-totem gelap bertutul putih yang bergerak antara yang biasa dan tak terduga. ~Majalah Tempo Edisi. 42/XXXVI/10 – 16 Desember 2007~

Hijau Desember 3, 2007 Di dunia yang letih, orang sering mengutip sebaris sajak Federico Garcia Lorca: Verde que te quiero verde… Hijau, kumau engkau hijau: Bintang agung beku dingin Tiba dengan bayang ikan Yang merintis fajar Puisi Lorca mempesona karena loncatan-loncatannya – warna hijau, bintang agung, bayang ikan, hari fajar — yang tak pernah bisa dipertalikan rapi dalam satu tafsir, tapi memperkaya kita dengan imaji-imaji yang mengejutkan, baru, segar, tak terulangi,

seperti dalam mimpi. Maka di dunia yang mulai lelah, puisi, atau imaji yang menari, segar, meloncat-loncat, dan tak disangka-sangka — ya, juga warna hijau — jadi alternatif (yang tak diakui) bagi sebuah kehidupan yang mengabaikan itu semua. Modal, mesin dan birokrasi telah membuat sistem yang meringkus tarian seperti itu, sistem yang hanya kenal persisnya lajur laporan keuangan dan bagan eksak di buku-buku teknik. Baik kapitalisme (digerakkan orang Eropa dan Amerika) maupun sosialisme (dimulai di Uni Soviet dan Cina) sama-sama membentuk dunia dalam garis lurus itu — garis “modernitas” dan “kemajuan”, garis nalar yang menghitung, mencapai, dan menghasilkan. Itulah garis penaklukan dunia. Puisi yang menari, sebaliknya, tak hendak menaklukkan. Ia tak hendak memaksa apa yang di luar dirinya, elemen hidup yang tak terduga. “Le poète ne force pas le réel,” kata René Char. Sudah lama sebenarnya masalah ini dikemukakan. Tapi sebagaimana Lorca hanya mengutarakan hasratnya di antara lanskap yang memukau tapi tragis di Andalusia, puisi — dan pelbagai suara yang gundah menyaksikan “modernitas” dan “kemajuan” — hanya bisa bicara secara terbatas. Memang suara yang menghendaki “hijau” itu terkadang membingungkan. Ia tak menawarkan cara bagaimana menghentikan keniscayaan pertumbuhan ekonomi dan perlunya kemajuan teknologi. Sesekali bahkan ia mengandung racun kecurigaan dan kebencian: di tahun 1930-an, di Jerman, pemujaan akan Blut und Boden (“darah dan tanah”) dikobarkan para penganjur Naziisme, yang ingin menjaga kemurnian Jerman dengan tradisi dan alamnya yang perawan, agar Volk, bangsa atau ras, tak tercemar oleh persentuhan dengan “yang-asing” dan “yang- borjuis” di kota besar. Memang ada yang indah, tapi kuno, juga konyol, atau reaksioner dalam seruan “hijau” di masa lampau. Tapi abad ke-21 mengubah semua itu. Sambutan kepada film

dokumenter An Incovenient Truth adalah indikasinya: film dokumenter yang dibuat dengan ongkos satu juta dollar in begitu laris di mana-mana; ia dapat menghjimpun dana 49 juta dollar lebih. Al Gore, tokoh di pusat film yang memperingatkan perubahan iklim global itu, mendapatkan Hadiah Nobel Perdamaian tahun 2007. Berjuta-juta penonton akan selalu ingat suaranya: “Anda pandang sungai yang lembut mengalir melintasi itu. Anda perhatikan daun berkerisik pada angin. Anda dengar suara burung; anda dengar katak pohon. Di kejauhan ada lenguh seekor lembu. Anda rasakan rerumputan itu….Hening; damai. Dan tibatiba, ada yang bergerak berubah dalam diri anda. Rasanya seperti menarik nafas dalam-dalam dan berbisik, “Ah, ya, aku telah lupa semua ini.” Kata-kata itu tak istimewa, sebenarnya. Tapi mau tak mau, bersama itulah hasrat Lorca, “kumau engkau hijau,” menemukan makna dan wibawa lain. “Hijau” telah jadi hasrat untuk menggapai sesuatu yang terasa begitu menggerakkan hati tapi tak hadir: bumi yang tak rusak oleh polusi dan keserakahan. “Hijau”, melalui proses percakapan dan pergulatan kepentingan, berangsur-angsur telah jadi kepentingan umum. Ia jadi pesan yang universal. Dalam arti tertentu, di sini telah berlangsung “globalisasi” yang berbeda dengan globalisasi kapital, justru ketika bangunan global satu-satunya ini terancam musnah. Kini yang diserukan Barbara Ward dan René Dubos dalam buku mereka yang terkenal, Only One Earth (dalam bahasa Indonesia, Hanya Satu Bumi), yang ditulis buat Konferensi PBB di Stockholm di tahun 1972, mendapatkan pendengar. Pelbagai identitas yang berbeda-beda – yang ditandai nama negara, bangsa, kelompok etnis, kelas sosial, gender — berada dalam posisi setara, di bulatan bumi yang satu, di sebutir planet yang genting. Di saat seperti ini, identitas makin tak bisa berlaku seperti benteng tertutup. Dalam diri tiap negara, atau bangsa, atau

kelompok etnis, atau kelas, atau gender, ada anasir yang akan membuka diri ke luar, memahami nasib “hanya satu bumi” ini. Tapi ada juga yang justru akan melihat “hanya satu bumi” hanyalah ilusi; mereka akan kembali menutup pintu, bersiaga. Dengan kata lain, “globalisasi” kecemasan ini tak berarti akan menghasilkan sebuah dunia yang tanpa konflik – tak peduli betapa bersemangat, tulus, dan sopannya para kepala negara berbicara di Bali. Tapi tak bisakah kita berharap? Saya kira bisa. Justru kini harapan lebih punya sandaran ketimbang di masa lampau. Dulu pesan yang universal itu datang secara menakutkan dan mencurigakan, seperti ketika Eropa mengkristenkan orang Amerika Selatan atau ketika “Pencerahan”-nya mengubah muka bumi dengan kolonialisme dan “kemajuan” — yang sebenarnya satu ekspansi “peradaban” sekelompok manusia ke kelompok-kelompok manusia lain. Kini, apa yang universal adalah sebuah utopia hijau melawan kematian – yakni kematian yang akan mengenai siapa saja. Juga melawan ketidak-adilan, karena mereka yang kaya adalah yang paling merusak bumi, sementara yang miskin akan jadi korban pertama kali. Walhasil, pesan yang universal kali ini datang bukan dari si kuasa, tapi praktis dari siapa saja yang hidup di bawah lapisan ozon yang berlubang, cemas kehilangan. Kini aku bukan diriku Rumahku bukan rumahku Biarkan aku sebentar naik ke beranda tinggi Biarkan aku pergi! Biarkan aku naik Ke beranda hijau Tempat air bergema pelan Di balustrada bulan ~(Edisi revisi dari) Majalah Tempo Edisi. 41/XXXVI/03 – 9 Desember 2007~

Bolong November 26, 2007 Harapan menggerakkan kita dengan bahasa yang tak jelas. Seakan-akan di sekitarnya ada sebuah lubang verbal—bolong yang diterobos oleh sesuatu yang tak terkatakan. Seperti yang terjadi pagi itu, 18 Desember 1989, di kota Timisoara di Rumania sebelah timur, dekat perbatasan negeri itu dengan Yugoslavia. Peristiwa ini dimulai dengan keputusan pemerintahan Presiden Ceausescu untuk mengusir seorang pendeta asal Hungaria yang telah bicara terus terang tentang keburukan kediktatoran Rumania. Ia tampaknya seorang rohaniwan yang dicintai jemaatnya, hingga hari itu mereka berkumpul di sekitar apartemennya, berjaga agar bapak pendeta tak digusur dengan kekerasan. Berangsur-angsur, banyak orang yang bergabung. Yang mereka dengar ialah bahwa rezim komunis yang bertakhta di Bukares itu sekali lagi bermaksud membatasi kemerdekaan beragama. Satu kelompok besar manusia pun berhimpun—suatu hal yang tak pernah terjadi sebelumnya di Rumania. Mereka berharap, meskipun tak jelas berharap apa. Dalam beberapa jam, polisi dan pasukan agen rahasia Securitate sudah mengepung tempat itu. Tapi tahun 1989 adalah tahun perubahan besar di Eropa Timur. Kurang sebulan sebelum protes di Timisoara itu, Tembok Berlin runtuh, dan sejak 9 November satu demi satu kekuasaan Partai Komunis guncang atau rontok. Perlindungan Uni Soviet tak diberikan lagi kepada para penguasa yang dibenci rakyat itu. Tapi pemerintahan Ceausescu tak menyadari bagaimana rapuhnya dirinya. Ketika suara protes kian galak, para petugas keamanan bertindak dengan gas air mata, semburan air, pukulan, dan juga penangkapan. Hanya sebentar berhasil. Malamnya rakyat berkumpul di sekitar Katedral Ortodoks Rumania. Dari sini aksi menjalar. Dan esok harinya, 17 Desember, massa menyerbu masuk Komite Distrik

Partai Komunis. Mereka buang dokumen, brosur propaganda, dan karya-karya Ceausescu. Ketika mereka coba bakar gedung itu, muncul tentara Rumania—dengan panser, tank, helikopter, dan bedil. Tembakan terdengar, korban jatuh. Untuk beberapa jam para demonstran mundur. Pagi 18 Desember, menembus kepungan pasukan keamanan, 30 pemuda maju ke arah Katedral, menyanyikan ”Desteapta-te, române!” (Bangunlah, Bangsa Rumania!), sebuah lagu nasional yang dilarang rezim komunis sejak tahun 1947. Mereka mengibarkan bendera Rumania—tapi sebuah bendera yang berlubang, karena lambang Partai Komunis yang semula terpacak di tengah sang saka itu telah digunting dan dicampakkan. Akhirnya revolusi antikomunis itu tak dapat dipadamkan lagi, meskipun para pemuda itu ditembaki dan beberapa orang tewas dan luka-luka. Keberanian menjalar ke seluruh republik, sampai akhirnya Ceausescu dan istrinya terpojok dan ditembak mati para pemberontak. Rumania pun berubah. Demokrasi menang. Syahdan, kini, di Museum Militer di Bukares, terpasang selembar bendera yang dibawa 30 pemuda di hari bersejarah di Timisoara: bendera yang bolong. Tapi bolong itu bukanlah sesuatu yang hampa: ia justru melambangkan harapan dan juga rasa tak puas yang begitu luas dan meluap-luap, hingga apa yang simbolik tak menampungnya lagi. Saya teringat yang dikatakan Slavoj Zizek dalam Tarrying with the Negative tentang lambang pembangkangan rakyat Rumania itu: ”Antusiasme yang menggerakkan mereka secara harfiah adalah antusiasme terhadap lubang ini.” Sebab lubang itu belum diisi oleh agenda politik apa pun, belum direbut maknanya oleh proyek ideologis yang mana pun. Kita ingat: kemarahan yang bermula dari terusirnya seorang pendeta Protestan juga akhirnya menjalar menemukan tempat perlawanannya di katedral Gereja Ortodoks. Protes yang berawal dari sekelompok jemaat, akhirnya jadi seruan,

”Bangunlah, Bangsa Rumania!” Dengan kata lain, bolong itu mengisyaratkan bahwa harapan belum diringkas dan diberi bentuk oleh sebuah kerangka makna. Perebutan untuk memberi kerangka makna kepada ”penanda yang kosong” itulah—jika kita pakai argumen Laclau yang terkenal—yang menggerakkan politik. Memang pada suatu tahap, akan ada yang memegang hegemoni, akan ada satu nama, satu identitas, yang punya kuasa dan wibawa buat jadi pengisi bolong itu. Tapi sejarah menunjukkan, politik tak akan berakhir. Hanya sebuah ilusi besar untuk mengira bahwa lubang itu akan lenyap. Kaum liberal atau kaum kiri, kaum sekuler atau kaum agama, mau tak mau harus menghadapi kenyataan bahwa mereka akhirnya tak akan mampu mewakili sepenuhnya harapan rakyat yang tak 100% terkatakan itu, yang dilambangkan dengan bagus di lembar bendera di museum di Bukares itu: ada identitas nasional yang diutarakan, tapi pada dirinya ada sebuah lubang. Saya teringat akan bendera Merah Putih yang dikibarkan di Hotel ”Oranje” di Surabaya pada bulan September 1945: bendera itu juga lahir dari tindakan mencopot bagian yang tak dikehendaki dari tubuhnya. Tapi tak ada yang bolong yang menganga di sana. Identitas seakan-akan kian tegas: ini merah-putih, bukan merahputih-biru. Mungkinkah sebab itu revolusi Indonesia sering membuahkan salah sangka? Kita sering mengira kita adalah bangsa yang sudah jadi, lengkap, selesai mengartikulasikan diri—bahkan Muhammad Yamin pernah berteori bahwa Merah Putih sudah berumur 1.000 tahun sampai saat ia dikibarkan di abad ke-20. Tapi sejarah Merah Putih di Surabaya itu bukanlah sejarah mengulang yang telah pasti dan ajek. Yang terjadi hari itu adalah tindakan kreatif yang berani—sebuah laku yang di tengah ketakpastian mengubah kondisi yang tersedia jadi sesuatu yang baru dan berarti. Seperti sepotong puisi. Tapi kita tahu puisi tak henti-hentinya ditulis. Kata dan artikulasi

yang siap kemarin tak lagi menampung getaran hati yang meluap hari ini. Maka klise pun ditanggalkan, percakapan kembali disegarkan—sebuah metafor lain bagi ikhtiar terus-menerus untuk ”mengisi kemerdekaan”. ~Majalah Tempo Edisi. 40/XXXVI/26 November – 02 Desember 2007~

Bendera November 19, 2007 Di hotel dengan gaya art deco yang elegan dari masa sebelum perang itu, sebuah tim Anglo-Dutch Country Section menempati kamar No. 33. Di jalanan, juga di Jalan Tunjungan itu, Surabaya serak oleh suara kemerdekaan. Republik Indonesia baru berdiri, dengan bangga, yakin, nekat, cemas. Ini revolusi, Bung, kita tak akan biarkan kolonialisme kembali! Surabaya mendengus siap perang. Sebuah transisi besar terasa tegang sampai ke saraf kaki. Bisa diduga kenapa tim yang terdiri atas sekitar 20 orang asing itu ada di sana. ADCS adalah organisasi intelijen gabungan InggrisBelanda yang berpusat di Kolombo, Sri Lanka. Kamar No. 33 hotel itu jadi kantor mereka untuk beroperasi. Mereka harus bekerja agar Indonesia tak lepas dari kekuasaan Belanda. Ada yang simbolik dari hotel yang kini bernama ”Majapahit” itu. Saya coba bayangkan hari itu perasaan orang-orang Belanda yang ada dalam Kamar No. 33. Ketika mereka datang, hotel yang dibangun di tahun 1910 oleh Lucas Sarkies, orang Armenia, itu telah berubah nama; sampai tahun 1943, namanya ”Oranje”. Kemudian Jepang datang, pemerintahan Hindia Belanda bertekuk lutut, dan hotel itu jadi ”Yamato”—yang juga markas tentara. Militer Jepang telah mengambil alih semuanya, juga nostalgia. Dan ketika di bulan September 1945 Jepang tak berkuasa lagi, ”Nederlandsche Indie” juga sudah tak ada. Di mana-mana

terdengar pekik ”Merdeka”, dan ribuan orang siap mati untuk kemerdekaan itu. Saya bayangkan perasaan orang-orang Belanda itu: mereka tak hendak ditampar ketiga kalinya oleh sejarah. Maka pagi-pagi sekali, pukul enam, di atas hotel itu (ingat, namanya ”Oranje”!), mereka kibarkan Merah-Putih-Biru. Mereka berharap Surabaya akan bangun dari tidur dan melihat: Belanda tetap di sini…. Apakah sebuah bendera, sebenarnya? Selembar kain yang diberi harga untuk menandai ”kami” yang ”bukan-mereka” dan ”mereka” yang ”bukan-kami”. Bendera adalah saksi sejarah bahwa identitasku punya arti karena ada perbatasan dengan ”dia” yang di luar diriku. Dalam arti itu, yang di luar itu jugalah yang membentuk diriku, hingga ”aku” jadi sebuah totalitas yang seakan-akan utuh. Tapi sementara itu, yang di luar itu pula yang selalu mengancam akan melenyapkan aku. Identitas selamanya genting. Pagi itu, bendera di atas Hotel ”Oranje” itu menegaskan kembali perannya dalam suasana genting. Di tahun 1572 ia bagian dari perlawanan orang Belanda menghadapi penjajahan Spanyol. Di tahun 1945, di Surabaya, ia bagian dari ingin kembalinya daulat Belanda yang terancam oleh para ”inlander” yang mau memberontak. Tapi yang memberontak juga punya bendera. Mereka punya sebuah penanda yang maknanya secara a priori tak ada, dan sebab itu bisa disambut pelbagai unsur dan interpretasi yang berbeda-beda. Ketika pagi itu orang Surabaya melihat Sang Tiga Warna berkibar, mereka tahu: ada penanda lain, bukan milik mereka, yang dipasang oleh ”mereka” yang mengancam ”kami”. Maka sebelum hari siang, Sudirman, residen Surabaya, wakil Republik, datang. Ia merasa punya otoritas dan kewajiban meminta agar bendera Belanda itu diturunkan. Tapi ia ditampik; konon seorang Belanda dalam tim ADCS itu bahkan mencabut pistolnya. Di luar, berpuluh-puluh pemuda tak sabar lagi. Bentrokan tak dapat dielakkan. Seorang Belanda tewas ditikam. Empat orang

pemuda Surabaya mati. Beberapa orang memasang tangga dan mencapai tempat tiang dipasang. Merah-Putih-Biru itu pun diturunkan. Warna birunya digunting, lalu dibuang. Sisanya, kini jadi Merah-Putih, dikibarkan di tempat yang semula. Di Jalan Tunjungan orang ramai menyaksikan bendera itu naik. Dengan mata yang jadi basah, mereka berseru, ”Merdeka! Indonesia merdeka!” Apakah selembar bendera sebetulnya? Sesuatu yang mewakili sebuah wacana yang disebut ”Indonesia”. Sebuah signan yang dipilih untuk mematok wacana itu: dengan itulah, ”Indonesia”, sepatah kata yang tak henti-hentinya melahirkan arti, telah terpacak (setidaknya dalam satu atau beberapa jenak) dalam lambang Sang Merah Putih. Yang menarik dari insiden itu ialah bahwa ”Indonesia” tak dipacak oleh konsep yang jelas dan lengkap, melainkan oleh perbuatan orang-orang yang tiba-tiba jadi dahsyat, seakan-akan tiwikrama, seakan-akan berubah dalam sebuah proses di mana kebenaran menggugah. Hari itu ”Indonesia” lahir dalam sebuah kejadian yang transformatif: untuk meminjam kata Alain Badiou, karena subyek yang bangkit oleh l’événement. Tapi kebangkitan itu bukanlah suatu mukjizat. Ia tak datang dari langit. Merah-Putih itu beberapa menit yang lalu adalah MerahPutih-Biru. Sebagaimana Merah-Putih-Biru itu juga lahir dari sejarah, dan sebab itu sebenarnya tak kekal (dulu ia disebut ”Oranje-Wit-Blau”), ”Indonesia” muncul bukan dari ketiadaan total. Ada masa lalu yang tetap membayang. Tapi pada sisi lain, ”Indonesia” berkibar setelah sebuah pemotongan. Ada yang ditiadakan dari bendera yang terpasang di atas Hotel ”Oranje” jam 6 pagi tadi. Itu sebabnya saya selalu ingat: peristiwa di Hotel ”Oranje” itu sesuatu yang heroik, tapi para pahlawan memberi kita sebuah warisan yang terbelah dan kurang. Ia terbelah, karena di satu pihak ia lahir dari sebuah kejadian yang transformatif. Tapi di lain pihak, masa lalu—bahkan masa lalu

yang traumatik—terus-menerus membayanginya. Ia kurang, karena memang begitulah ia dibentuk: dari pemotongan. Maka Indonesia tak akan henti-hentinya mendamba, berhasrat, agar dirinya utuh. Ia punya utopianya sendiri yang tak akan pernah ada: Indonesia sebagai sebuah harmoni yang lengkap. Tapi utopia itu bukanlah khayal tempat kita lari menghibur diri dari pedihnya ketakutuhan dan kekurangan. Utopia itu, untuk meminjam kata Paul Ricoeur, adalah ”satu tangan kritik”. Dengan itu kita tahu, ”kerja belum selesai, belum apa-apa”, tapi tiap kali kita bisa memberinya arti. ~Majalah Tempo Edisi. 39/XXXVI/19 – 25 November 2007 ~

Macet November 12, 2007 Jalan raya adalah sejarah politik. Di Indonesia, cerita ini dimulai di tahun 1808. Untuk persiapan perang, Daendels membangun ”jalan raya pos” sepanjang 1.000 kilometer antara Anyer di Jawa Barat dan Panarukan, kemudian disambung sampai Banyuwangi di Jawa Timur. Ia, seorang opsir tinggi kerajaan Prancis, yang diangkat Maharaja Louis Bonaparte untuk memegang kekuasaan di Jawa, berencana membuat infrastruktur militer buat memperlancar gerak pasukan. Ia harus menghadapi serbuan Inggris. Dengan tangan besi, Daendels memaksa agar proyek itu rampung dalam setahun. Ribuan orang di Pulau Jawa mati karena dikerahkan untuk kerja rodi. Pemberontakan timbul tapi ditindas. Kita tak akan melupakan kekejaman itu—seraya memanfaatkan hasilnya. Jalan yang disebut Daendels La Grande Route itu kini sebuah monumen tentang kekuasaan yang efektif dan brutal. Jalan raya adalah sejarah politik dan kebrutalan. Di sanalah kekuasaan dikukuhkan, seperti dilakukan Daendels dan para penguasa di abad ke-20 dan 21. Tapi di sana pula kekuasaan

disanggah. Di tahun 1966, di Jakarta, para mahasiswa ”turun ke jalan”, sebuah istilah yang kini masuk ke dalam kamus politik Indonesia, dan sejak itu aksi yang serupa berkali-kali terjadi, menjatuhkan rezim Soeharto, menggagalkan rancangan undangundang ini dan itu. Selamanya dengan korban: ada yang mati ditembak, remuk dipukuli, ada bangunan yang dirusak. Ketika kota bertambah penting dalam percaturan politik, jalan raya jadi arena tersendiri. Di sana mereka yang ingin mengubah kehidupan menemukan pengeras suara alternatif, ketika forum yang tersedia (parlemen, mahkamah, media) tak punya sambungan lagi dengan orang ramai. Tema ini tak cuma ada dalam cerita Indonesia. Sejak jatuhnya monarki di Mesir, sejak Nasser memimpin, di Timur Tengah para analis politik selalu memasang radar mereka ke arah ”the Arab streets”. Kata ”streets” di sini sama dengan ruang tempat rakyat berdesak-desak, bersua, bertemu, mendengar, bicara, bergembira, marah, benci, tentang segala sesuatu yang menyangkut negeri mereka, bangsa mereka, kelas mereka. Mereka tak membentuk partai, tak berwujud ”NGO”. Tapi mereka sebuah faktor yang tak dapat diabaikan. Di Arab Streets, tak ada tempat bagi para politikus di parlemen yang bukan dipilih, juga bagi kepala negara yang kehilangan legitimasi. Revolusi bisa meletus dari kawahnya. Sejarah politik tentu saja tak hanya terdiri dari kejadian yang gemuruh dan spektakuler. Asef Bayat mengamati satu gejala dalam politik Iran yang tak banyak dilihat. Dalam Street Politics: Poor People’s Movements in Iran (terbit di tahun 1997), ia menyebutnya the quiet encroachment of the ordinary. Dalam uraian Bayat, proses itu tak punya dampak politik yang langsung. Tapi masuknya kaum miskin dari pedalaman ke Teheran, yang sering tak mendapat tempat dalam lapangan hidup dan percakapan, diam-diam adalah sebuah perubahan tersendiri. Para penguasa yang di atas tak dengan sendirinya guyah. Tapi di bawah, tulis Bayat, ”praktek yang sehari-hari dan bersahaja itu mau tak mau akan beralih ke ranah politik.”

Saya ingat sebuah esai pendek Orhan Pamuk setelah ia berkunjung ke Teheran. Ia menyewa mobil dengan seorang sopir. Di tengah lalu lintas yang kacau itu si sopir mengeluh di kota itu semua orang tak patuh aturan. Tapi tak urung ia sendiri kemudian melanggar hukum dengan memotong jalan, sebuah laku yang terlarang. Begitulah, kata Pamuk, di arus lalu lintas Teheran itu justru ”kehadiran agama” paling terasa: tiap kali ribuan orang tak mematuhi hukum, tiap kali mereka berhadapan dengan para ayatullah yang menerapkan dalil Kitab Suci buat segala segi kehidupan. Mereka sedang berkonfrontasi dengan hukum syariah yang mengawasi perilaku mereka terus-menerus. Nah, tatkala di belakang setir itulah, kata Pamuk, mereka mendapatkan satusatunya saat untuk bisa menafikan semua itu—sebagaimana orang-orang Teheran yang diam-diam menikmati alkohol dan percakapan bebas di ruang privat mereka. Dengan kata lain, Pamuk juga telah menunjukkan bagaimana jalan raya adalah sebuah arena politik—setidaknya the politics of the ordinary. Sayang, Pamuk tak memandang perkara ini lebih jauh; ia tak melihat bahwa politik dari hal-yang-biasa-saja itu adalah bagian dari gerak sejarah yang selalu menggagalkan keserakahan. Ketika para sopir Teheran melanggar aturan lalu lintas, mereka sebenarnya menunjukkan bahwa ambisi Negara untuk menertibkan hanya sia-sia. Mereka sebenarnya menolak sikap para mullah yang tak puas-puasnya menghendaki ”ketaatan” atau ”kesucian”. Tapi mereka juga memprotes sikap rakus para pengendara mobil (ternyata juga mereka sendiri) untuk merebut tiap celah avenue. Jalan raya adalah sejarah politik—yang sebenarnya juga sejarah keserakahan dan perebutan. Dengan kata lain, sejarah kelangkaan. Kota-kota di Indonesia kian lama kian dirundung macetnya lalu lintas. Macet adalah indikasi bahwa ruas jalan tak cukup—sebuah kelangkaan akibat gagalnya para penghuni kota membebaskan diri dari jeratan ”empat-M” yang menggerakkan kota-kota Indonesia: modal, milik, mobil, dan mode.

Adapun modal juga yang membuat mobil berubah: ia tak sekadar sebuah alat transportasi; ia juga sebuah pesona. Dari waktu ke waktu mobil tampil seakan-akan baru: ia berubah karena sebuah ”musim” berubah dan konon selera juga berubah. Pada saat yang sama, komoditi yang memancarkan pesona itu bertaut dengan hasrat untuk memiliki. Dan karena pesona itu selalu merangsang kekurangan, ada dorongan untuk terus-menerus memiliki—tak hanya satu. Maka lahirlah kelangkaan. Sejarahnya belum selesai. Di jalan raya, keserakahan masih berkibar, perebutan ruang masih berlangsung. Pergulatan politik untuk membebaskan diri dari ”empat-M” masih akan terus. Mungkin sampai akhirnya jalan raya musnah, lingkungan runtuh, dan orang berteriak: ”Kita celaka!” ~Majalah Tempo Edisi. 38/XXXVI/12 – 18 November 2007~

Kreshna November 5, 2007 Di lereng selatan Himalaya itu malam ketakutan – dan pangeran dari Dwarawati itu merasakan suasana itu begitu ia tiba. Di bawah bulan yang jadi kusam, bahkan ular ikut menyembunyikan diri di bawah batu-batu karang yang menjorok melampaui tebing. Tak ada cerah yang tersisa, rasanya. Deretan pertapaan hancur; begitu brutal tentara Raja Bhoma memporakpandakan wilayah itu. Di tepi hutan, ladang-ladang telah binasa bersama benih kering yang tertanam di antara pematang. Ilalang hangus, rata. Sebuah padepokan yang asri musnah; dindingnya tak berbekas. Hari-hari murung. “Dan di pohon-pohon beringin, capung pun bertangis-tangisan sedih ditinggalkan oleh mereka yang mencintai keindahan.” Itulah kalimat penyair penggubah Bhomantaka, puisi naratif Jawa Kuno yang ditulis di abad ke-12. Diterjemahkan oleh A. Teeuw dan S.O. Robson, puisi yang terdiri dari 118 canto ini

mengisahkan perang antara pasukan Kreshna dan balatentara Raja Bhoma yang menyerbu dan merusak pusat-pusat pertapaan di sekitar Dwarawati. Syahdan, tak lama setelah para pertapa datang meminta perlindungan, Kreshna pun mengirimkan Samba, putra mahkota, ke wilayah yang kena gempur. Canto 7 yang saya kutip di atas adalah adegan ketika Samba dan pasukannya tiba. Perang yang segera terjadi melawan pasukan gergasi Raja Bhoma itu memang dahsyat, dengan ribuan gajah, kuda, dan manusia bertabrakan. Di mana-mana leher putus tertebas, perut robek, jantung tercincang. Samba sempat terluka parah dalam sebuah pertempuran malam hari yang tak terduga; ia akhirnya gugur. Juga Arjuna, dengan kematian yang diikuti pekik bumi dan gemuruh laut yang berkabung. Tak urung, Kreshna pun turun gelanggang. Berhadapan dengan Bhoma yang ganas dan tak terkalahkan, ia dengan serta merta mengubah diri jadi Wishnu dalam bentuk yang mengerikan, yang dalam Bhomantaka digambarkan dengan fantastis: “Monster dari tiga dunia bergantungan dari tiap helai rambutnya, menghitam bagaikan semut, menghunus berbagai senjata, di antara gelimang darah dan untaian usus manusia…” Di hadapan wujud yang luarbiasa itu, Bhoma pun kalah, tewas. Kisah telah mencapai dan melampaui klimaksnya. Sampai akhir, deskripsi Bhomantaka tak tertandingi indahnya oleh kesusastraan Jawa setelah abad ke-18; Ranggawarsita hanya akan tampak gagap bila dibandingkan dengan penyair yang tak bernama yang hidup di masa Jawa Hindu itu. Tapi bagi saya yang menarik adalah adegan-adegan terakhir cerita ini. Di dua bagian dikisahkan dengan khidmat bagaimana para dewa memberi Kreshna — yang telah rela mengorbankan anaknya untuk melindungi para pertapa yang tak bersenjata — sebuah anugerah.

Di canto 101-102, segera setelah Arjuna tewas, datanglah tawaran kepada Kreshna yang berduka cita: ia boleh memilih seseorang di antara yang tewas dalam perang itu untuk dihidupkan kembali. Pilihan itu harus segera diambil. Samba, putranya sendiri? Atau Raja Basudewa? Atau Arjuna? Ternyata, tanpa bimbang, Raja Dwarawati ini tak memilih sanak saudaranya sendiri. Yang dimintanya kembali dari pelukan Maut adalah Raja Druma. Raja pendatang itu seorang yang tak punya apa-apa lagi. Ia terusir dari tahtanya, menghadap ke Kreshna untuk meminta perlindungan, tapi ia tewas bersama anaknya dalam peperangan di sekitar Gunung Rewata itu. Di canto 111 kembali para dewa memberi Kreshna anugerah. Kali ini Kreshna minta lebih: agar semua dihidupkan kembali – termasuk musuh-musuhnya. Katanya: Cedi, Karna, dan Jarasandha Semua jelas musuh hamba Tapi kembalikanlah juga mereka dari kematian Bersama keluarga mereka Permintaan Kreshna dikabulkan. Dengan permintaan itu, ia sebenarnya mengingatkan: tiap perang, tiap perjuangan untuk pembebasan, mengandung pengakuan bahwa ada yang universal dalam hidup manusia yang tak dapat diabaikan. Bhoma, “najis pada seantero bumi”, kalêngka ning rat, harus disingkirkan. Tapi bukan agar mampu meyakinkan secara universal tentang apa yang “najis” maka Kreshna menjelma jadi Wishnu. Ia jadi Wishnu, jadi subyek yang menakjubkan dan perkasa itu, justru karena Kebenaran tentang keangkara-murkaan Bhoma menggugah dan mengubah dirinya. Itulah saat “tiwikrama”. Dalam arti itu Kebenaran yang dialami Kreshna adalah subyektif: ia jadi kukuh. Tapi juga universal: perang itu, kematian Bhoma itu, bukan buat dirinya sendiri, melainkan buat semua, juga musuh-musuhnya. Sesuatu yang subyektif, namun juga universal — itulah

paradoks tiap perjuangan politik. Di awal perjuangan itu harus ada garis yang tegas dan kubu yang tertutup yang memisahkan kawan dengan lawan. Tapi mungkinkah ketertutupan itu hakiki? Dalam saat “tiwikrama”, ketika Kebenaran menggugahku, dan aku jadi perkasa, perjuanganku mendapatkan maknanya. Tapi pada saat yang sama, sifat universal dari Kebenaran itulah yang membuat makna itu begitu penting. Tak berarti yang universal sudah ada rumusnya sebelum perjuangan dimulai. Justru yang universal berangkat dari ketiadaan – sebuah situasi di mana aku tak punya apapun yang membebani identitas diriku. Ada sebaris kata-kata Marx di tahun 1843 ketika ia mencoba merumuskan arti “proletariat”: “Aku bukan apa-apa, dan [sebab itu] aku harus jadi segalanya.” Dari situasi ketiadaan itulah perjuangan ke pembebasan dimulai, tapi bukan pembebasan untuk satu kelas semata, melainkan untuk hilangnya semua kelas sebagai perumus identitas. Dalam Bhomantaka, ada sebuah nasihat Patih Uddawa yang didengarkan Kreshna: “Jangan bersikukuh ketika si lemah datang kepada Paduka.” Maka mantan raja Druma, yang tak punya apaapa lagi, pun dipilih untuk dibebaskan dari kematian. Sebab si lemah, si “bukan apa-apa”, mengingatkan kita bahwa jika ada yang universal dalam manusia, itu adalah karena ia bisa hadir sebagai “segalanya”. Ia tak hanya sebagai wakil satu satuan yang akan selama-lamanya dirumuskan oleh kubunya sendiri. ~Majalah Tempo Edisi. 36/XXXVI/05 – 11 November 2007~

Sepatu Tua Oktober 29, 2007 Victor yang baik, Percik darah saya yang pertama Di bumi ini tumpahnya Rendra menulis Sajak-Sajak Sepatu Tua: jika ada hubungan

yang intim dan mendasar antara seseorang dan sepetak tanah—dan hubungan itu tumbuh jadi puisi—kita menyaksikan sesuatu yang tak bisa dijelaskan oleh kapitalisme. Kapitalisme akan mengubah petak tanah itu jadi ruang yang bisa dipertukarkan. Setelah itu, atau berbareng dengan itu, dikonsumsi. Konsumsi adalah laku menghabisi. Si petak tanah mengalami proses seperti nasi tumpeng: ia mempunyai sesuatu yang indah ditata dan diberi makna simbolik, tapi setelah itu akan berubah jadi santapan, benda yang siap dikunyah dan ditelan. Mengkonsumsi adalah membikin ludes. Sepatu tua yang menemani kakiku bertahun-tahun, yang begitu kenal dengan raut telapak dan jariku, yang merupakan bagian pengalaman hidupku, oleh kapitalisme akan dianggap sebagai sesuatu yang mendekati habis. Kata ”tua” akan menjadi sama dengan ”bekas”: sepasang sepatu yang aus, perlu dibuang, dan harus diganti dengan yang baru. Dalam arti tertentu, kapitalisme memisahkan hampir segala hal. Dengan memberi harga, kekuatan modal dan pasar bisa membelah sepetak tanah dan sepasang sepatu ke dalam nilai guna dan nilai tukar, memisahkan apresiasi dari konsumsi, memisahkan yang kreatif dari yang produktif, memisahkan penghayatan dari sukses—dan kemudian menindas yang disebut pertama. Sepatu itu tidak lagi bagian dari hidupku; ia dilepaskan dari sejarah tubuh dan kenanganku. Ia, sebagai bekas, akan jadi benda yang tak perlu disimpan. Ia hanya elemen dalam perputaran perdagangan, termasuk perdagangan di pasar loak. Pemisahan seperti itu yang menyebabkan sebuah komoditi jadi semacam hewan korban. Dipisahkan dari statusnya sebagai sesuatu yang unik, yang singular, ia bisa dipertukarkan dengan sesuatu yang datang dari yang tak tampak. Dalam agama, ia disebut ”rahmat Tuhan”; dalam kapitalisme ia disebut ”harga” yang ditentukan oleh ”tangan yang tak terlihat”. Maka ada benarnya ketika Walter Benjamin, dalam salah satu

karyanya yang diterbitkan setelah ia meninggal, melihat kapitalisme sebagai agama. Yang dikatakan Agamben dalam Profanations (Zone Books, 2007) tentang perkara ini membuat saya memikirkan kembali satu segi agama dan kapitalisme yang dapat membuat mereka bergandengan—gejala yang kini tampak di mana-mana. Agama, dalam arti yang dikenal di bahasa Barat, bukan berasal dari kata religare, sesuatu yang mengikat dan menyatukan yang insani dengan yang ilahi. Menurut Agamben, asal kata religio adalah relegere, yang mengacu kepada sikap penuh hati-hati dan cermat yang harus kita miliki ketika berhubungan dengan para dewa. Harus ada kekhusyukan yang waspada di depan bentuk dan formula, yang harus ditaati ketika kita memisahkan mana yang sakral dan mana yang profan. Religio bukan menyatukan manusia dan dewa, melainkan meneguhkan bahwa masing-masing terpisah jelas. Sebab itu, kata Agamben, yang menentang agama bukanlah sikap tak beriman kepada yang ilahi, melainkan sikap abai, atau perilaku yang bebas dan tak terpaku oleh pemisahan itu. Melakukan sesuatu yang profan, kata Agamben, berarti membuka kemungkinan untuk sikap yang acuh tak acuh, atau lalai terhadap pemisahan antara yang sakral dan yang tidak. Namun saya kira ada yang dilupakan Agamben: apa yang terjadi setelah pemisahan. Seperti saya sebut di atas tentang pemisahan yang terjadi oleh kapitalisme, ada penindasan yang satu oleh yang lain. Demikianlah nilai guna ditindas oleh nilai tukar, dorongan kreatif didesak oleh dorongan produktif, apresiasi atas satu barang ditenggelamkan oleh konsumsi yang membuat barang itu ludes dan terbuang. Dalam agama, perpisahan antara yang insani dari yang ilahi akhirnya juga dicoba dilenyapkan ketika kehidupan yang profan dicengkeram oleh gairah untuk membuat semuanya jadi wilayah Tuhan, ketika ”kota manusia” hendak dilindas oleh ”kota Tuhan”. Itu sebabnya para dewa atau Tuhan ”cemburu”, dalam

pengertian Perjanjian Lama dan sajak Amir Hamzah, ketika manusia abai. Atau ketika ia lebih akrab dengan sebuah benda, atau sepetak tanah dan segala yang dianggap tak layak menyaingiNya. Seperti halnya kapitalisme tak akan dengan mudah membiarkan benda-benda tak dipertukarkan, bebas lepas dari harga, uang, dan proses komodifikasi. Tapi akan menyerahkah manusia? Mungkin ya—tapi tak selamanya. Terutama jika ia menemukan cara membebaskan hal ihwal melalui apresiasi yang tanpa perhitungan—lewat permainan, misalnya, atau lewat puisi, dan keakraban dengan pengalaman yang datang dari hidup. Dengan kiasan Rendra, lewat sajak-sajak sepatu tua: sesuatu yang tak kekal, tetapi lebih berarti ketimbang mati, sesuatu yang tak berguna dan bisa dibuang, tetapi tak akan bisa dicampakkan. Sesuatu yang bisa bertahan dari keangkeran agama yang merengkuh ke mana-mana dan mampu mengelakkan desakan kekuatan yang disebut pasar yang menjerat apa saja. Suatu sikap abai, tapi bisa mengembalikan apa yang bermakna. ~Majalah Tempo Edisi. 36/XXXVI/29 Oktober – 04 November 2007~

Pulang Oktober 22, 2007 Pulang adalah sepatah kata kerja yang bertuah. Berapa juta manusia bersedia berdesak-desak, menanggung panas dan rasa tak nyaman dan risiko celaka, luka, dan mati, dalam sebuah ritual raksasa tiap tahun yang disebut ”mudik”? ”Mudik”, sebagaimana ”pulang”, adalah pengertian ruang, tapi juga waktu. ”Pulang” berarti kembali ke tempat asal, ke titik di bumi dari mana aku berangkat, dulu. Kini ritual itu kian dikukuhkan. Negara dan pasar menyesuaikan langkah dengan gegap-gempita: jawatan perhubungan, dinas kepolisian, perusahaan transportasi, pelayanan telepon…. Bila

para peneliti sosial kini bicara tentang orang Indonesia yang semakin konservatif, ”pulang” adalah salah satu indikasinya. Pernah ”pulang”, gerak ke masa silam, tak dianggap sebagai bagian dari zaman. Pernah hidup digerakkan gelora modernitas. Pada tahun 1930-an, S. Takdir Alisjahbana, pelopor Pujangga Baru itu, menulis sebuah sajak yang juga sebuah manifesto modernitas: temanya bukan pulang, melainkan pergi. ”Telah kutinggalkan engkau,” bisik Takdir kepada teluk teduh tempat asalnya. Dalam sajak yang terkenal itu ia putuskan untuk mening-galkan alam tenang yang dilindungi gunung. Sang penyair memilih laut luas tanpa proteksi: ia bebas, sebab itu ia berani menghadapi mara bahaya dalam ketakpastian cuaca. Di masa itu, dalam semangat itu, ”pulang” adalah arus balik ke tradisi. Tradisi mengan-dung tuntutannya sendiri. Modernitas adalah pembangkangan: ada anak yang hilang. Tentu ada juga luka. Tentu ada rasa bersalah ketika seorang anak tak hendak kembali dan ada rasa sakit ketika seutas akar dilepaskan. Tapi ”tak-pulang” adalah kondisi zaman. Bila pulang kini jadi ritual, dulu pergi adalah sebuah ritus. Hanya seorang yang disunat yang jadi dewasa. Sajak Sitor Situmorang, Si Anak Hilang, dengan memukau melantunkan kembali melankoli kehilangan dalam ritus itu—ketika si anak muda pulang dari Eropa, menemui ibunya yang rindu dan dusunnya yang ingin tahu, tapi ternyata tetap ada yang putus. Saya kutip bagian akhir sajak itu: Si anak hilang kini kembali tak seorang dikenalnya lagi berapa kali panen sudah apa saja telah terjadi? Seluruh desa bertanya-tanya sudah beranak sudah berapa?

Si anak hilang berdiam saja ia lebih hendak bertanya Selesai makan ketika senja ibu menghampiri ingin disapa anak memandang ibu bertanya ingin tahu dingin Eropa Anak diam mengenang lupa dingin Eropa musim kotanya ibu diam berhenti berkata tiada sesal hanya gembira Malam tiba ibu tertidur bapa lama sudah mendengkur di pantai pasir berdesir gelombang tahu si anak tiada pulang Kita lihat, Sitor kembali menggunakan bentuk syair lama, bukan sajak bebas, tapi berbeda dengan sastra tradisional, dalam Si Anak Hilang terasa sebuah dunia subyektif yang intens. Anak muda itu berdiam diri, karena di kepalanya berlintasan ”dingin Eropa” yang belum sepenuhnya ia lupakan. Anak muda itu tak bicara, karena di hatinya ia menjauh dari suara di sekitarnya, juga suara kangen sang ibu. Ada sikap mendua yang murung dalam sajak Sitor. Tapi pada akhirnya hanya gelombang yang berdesir yang tahu bahwa ia memang anak yang hilang. Gelombang: di pantai pasir itu ia datang dari jauh, tapi segera kembali ke laut. Kita tak tahu dari mana gelombang berasal, ke mana ia menghilang. Dari mana sebenarnya kita berasal? Di tiap zaman selalu terdengar seruan agar kita ingat akan akar kita. Yang sering dilupakan adalah bahwa asal dan akar bukan sesuatu yang dengan sendirinya terpacak siap di dunia. Akar dan asal selamanya sebuah

hasil seleksi terhadap ingatan kita sendiri. Seorang tak hanya berakar di Serang atau Seram; ia juga punya akar pada keluarga tertentu, de-ngan riwayat tertentu, di lapisan sosial dan dibesarkan de-ngan nilai tertentu. Tiap kali sebuah asal diberi nama dan disebut sebagai identitas, timbul masalah. Saya pernah mengatakan, ”jati diri” adalah sebuah kata yang meragukan. ”Jati” berarti ”benar”; tapi mana sebenarnya ”diri” yang ”benar”? Tak hanya tersedia satu jawaban untuk itu. Pulang ke dalam ”diri” yang ”benar” pada akhirnya juga sebuah pengembaraan tersendiri, sebab yang ”benar” itu hanya tercapai sementara, semacam sebuah pelabuhan transito. Pernah kita kenal sebuah talibun, sebentuk pantun enam baris yang berisi petuah: Kalau anak pergi ke pekan Yu beli beranak beli Ikan panjang beli dahulu Kalau anak pergi berjalan Ibu cari sanakpun cari Induk semang cari dahulu Kata-kata itu datang dari masyarakat yang merantau, bukan menetap—dari mana lahir Takdir dan Sitor. Talibun itu memang tak mengekspresikan keputusan yang murung seorang anak yang hilang, tapi ada yang sejajar: perjalanan adalah pengakuan bahwa teluk yang terlindung telah di-tinggalkan. Sang perantau tak berjalan untuk mencari ibu, melainkan ”induk semang”. Dengan kata lain, ia siap hidup dengan seseorang yang lain, yang bukan sanak keluarga tapi bersedia menerima sang perantau, yang juga asing. Kini zaman berubah. Paradoks masa kini ialah ketika di jaringan Internet tapal batas raib, justru bertambah rasa takut kepada yang lain, yang bukan sanak sendiri. Suasana kian konservatif: orang bersiap pulang, walau mati menanti. Di masa

lain, untuk sebuah pembebasan, ”Tak seorang berniat pulang, walau mati menanti.” Itu sebaris sajak Hr. Bandaharo yang selalu menggetarkan. ~Majalah Tempo Edisi. 35/XXXVI/22 – 28 Oktober 2007~

Po Kyin Oktober 15, 2007 Apati adalah produk samping kolonialisme yang menyebabkan kemerdekaan dianggap keliru. Mungkin bukan hanya penindasan orang asing yang jadi soal—melainkan kombinasi antara bedil, bui, dan bujukan yang efektif, sesuatu yang dulu terjadi di Burma, dan sekarang terjadi lagi. Saya teringat U Po Kyin. Lelaki berperut buncit dalam novel Orwell Burmese Days ini memang tak mudah dilupakan: ia adalah kekejian yang turun ke bumi di sebuah negeri panas yang tak bisa berharap. Ia menipu, ia memperkosa, ia merancang untuk menghancurkan orang yang didengkinya, dan ia ingin memperoleh semuanya—juga surga. Novel ini dibuka dengan adegan ketika Po Kyin, hakim peradilan rendah di Kota Kyauktada, Burma Utara, sedang duduk di beranda rumahnya. Hari baru setengah sembilan pagi, tapi langit warna biru laut yang segera mendatangkan tengah hari yang panjang dan gerah. Tapi U Po Kyin, seperti patung dewa dari porselin, tak bergeming. Tubuhnya begitu gemuk hingga dalam umur 56 tahun itu ia tak bisa bangkit dari kursinya tanpa ditolong. Kepalanya gundul, raut mukanya luas, warna kulitnya langsat dan tak berkerut. Tungkai kakinya tambun, dengan jari-jari yang rata panjangnya. Ia mengenakan sarung longyi dari Arakan, bergaris-gars hijau dan magenta, yang biasa dipakai orang Burma untuk acara tak resmi. Mulutnya sibuk mengunyah gambir yang diambilnya dari kotak kayu dipernis di meja dekatnya.

Ia, U Po Kyin, sedang merenungkan nasibnya yang baik. Suksesnya dimulai dengan sebuah keputusan ketika ia masih seorang anak yang terkesima melihat pasukan Inggris berbaris masuk penuh kemenangan ke Kota Mandalay. Memandang barisan laki-laki bermuka merah dan berseragam merah itu, yang menyandang senapan panjang di pundak dan melangkah dalam derap yang berat tapi berirama, ia lari. Kesimpulannya: manusia yang baru datang itu tak akan terkalahkan. Dan Po Kyin kecil pun bertekad untuk bergabung dengan bangsa itu, nanti bila ia besar. Ia tak hendak memihak Burma yang kalah. Pada umur 17 ia mencoba jadi pegawai gubernemen, tapi gagal. Ia miskin dan tak punya koneksi. Maka tiga tahun lamanya ia bekerja di lorong-lorong pasar Mandalay yang apak dan bacin, jadi kerani saudagar beras, seraya sekali-sekali mencuri. Pada umur 20 ia dapat 400 rupiah gara-gara memeras kecil-kecilan, dan dengan uang itu ia berangkat ke Rangoon. Di ibu kota itu ia berhasil menyuap untuk masuk jadi kerani pemerintah. Pekerjaan itu memberinya penghasilan yang mudah, meskipun gajinya kecil. Ia menilap banyak barang dari gudang gubernemen. Tapi nasib terbaiknya datang kemudian: sebuah lowongan terbuka dan ia berhasil memfitnah pesaing-pesaingnya, yang kebanyakan masuk penjara, dan dengan itu ia naik. Kariernya meningkat. Ia akhirnya dapat jabatan hakim peradilan rendah Kota Kyauktada, dengan sikap adil yang terkenal tapi sebetulnya menyembunyikan sesuatu yang licik: Po Kyin akan menarik suap dari kedua pihak yang berperkara, dan kemudian memutuskan berdasarkan hukum yang ada. Kejahatan orang ini tak hanya sampai di situ, dan saya kira Orwell sedikit berlebihan menampilkan tokoh yang begitu busuk dalam novelnya. Tapi ini bukan kisah tentang Po Kyin. Novel ini membidikkan kata-katanya ke sebuah masyarakat yang sakit oleh kolonialisme—dibelah oleh prasangka dan kebencian rasial, yang pada akhirnya merupakan garis kebijakan penjajahan juga. Bila

ambisi Po Kyin adalah ingin jadi anggota Klub Eropa—yang anggotanya khusus orang kulit putih atau orang lain yang dianggap setara—kita tahu sebabnya: diskriminasi dan penghinaan karena warna kulit telah menyusup sampai ke tulang sumsum siapa saja. Bahkan mereka yang sebenarnya jadi korban penghinaan itu sendiri mereproduksinya dalam hidup mereka. Po Kyin akan menghalalkan tindakan apa saja—menghasut, membuat kerusuhan, memfitnah—untuk dapat disetarakan dengan orang putih di Klub Eropa. Dr Veraswami, orang India berkulit gelap itu, mengukuhkan supremasi orang Inggris dengan menganggap bahwa manusia Timur tak akan tertolong tanpa Pax Britanica. Ketika sahabatnya, Flory, satu-satunya orang Inggris yang dengan mata nyalang melihat akibat buruk kolonialisme, Veraswami justru membantahnya. ”Lihat Burma di zaman Thibaw,” katanya, ”dengan kotoran, penyiksaan dan kebodohan, dan lihat apa yang tampak sekarang di sekitar tuan. Rumah sakit, sekolah, kantor polisi….” Bagi Po Kyin dan Veraswami, kolonialisme dan penghinaan mereka perlukan. Bagi orang macam mereka, kemerdekaan tak pernah terpikirkan, sebab mereka tak merasa membutuhkan sebuah keadaan yang lebih adil, meskipun sebenarnya ketidakadilan mengepung hidup mereka. Mereka bebas dari bedil dan bui, tapi mereka menyerah ke dalam bujukan yang menjebak mereka, bahwa bangsa mereka ditakdirkan kalah. Apati yang menang—itu bahkan terasa dari tangan Orwell ketika ia menggambarkan bangsa yang terjajah itu: tak ada perlawanan. Tapi mungkinkah apati bisa bertahan? Yang terjadi di Myanmar hari-hari ini menjawab: tidak. ~Majalah Tempo Edisi. 34/XXXVI/15 – 21 Oktober 2007 ~

Tentang Atheisme dan Tuhan yang Tak Harus Ada Oktober 6, 2007 GOENAWAN MOHAMAD

Hidup dengan janji berarti hidup dalam iman, tapi bukan iman pada Tuhan yang telah selesai diketahui. Ini iman dalam kekurangan dan kedaifan—ikhtiar yang tak henti-hentinya, sabar dan tawakal, karena Tuhan adalah Tuhan yang akan datang, Tuhan dalam ketidakhadiran. Dari sini kita tahu para atheis salah sangka: mereka menuntut Tuhan sebagai sosok yang hadir dan ditopang kepastian. Sebenarnya mereka juga terkena waham, tertipu berhala. Al-Ghazali dalam al-Maqsad al-Asnâ Atheisme dimulai dengan kesulitan bahasa. Dan, jika kita membaca buku Christopher Hitchens, God is Not Great, kita akan tahu: ada juga salah sangka. Atheisme tak datang dari kecerdasan semata-mata, tapi juga dari kaki yang gemetar dan tubuh yang terdesak. Kegamangan kepada agama yang sedang tampak kini mengingatkan suasana sehabis perang agama di Eropa di beberapa dasawarsa abad ke16. Agama nyaris identik dengan kekerasan, kesewenangwenangan, dan penyempitan pikiran. Dari sinilah lahir semangat Pencerahan: terbit karya Montaigne dan Descartes, buah skeptisisme yang radikal. Doktrin agama diletakkan di satu jarak. Kini berkibarnya “revivalisme”, terkadang dalam bentuk “fundamentalisme”, dan tentu saja bercabulnya kekerasan menyebabkan reaksi yang mirip: buku Hitchens terbit di dekat The End of Faith oleh Sam Harris (tahun 2004). Juga The God Delusion karya Richard Dawkins, seorang pakar biologi. Satu kutipan oleh Dawkins: “Bila seseorang menderita waham, gejala itu akan disebut gila. Bila banyak orang menderita waham, gejala itu akan disebut agama.” Namun, agaknya bukan karena waham bila dalam masa tiga dasawarsa terakhir ada “gerak” lain yang cukup berarti: mendekatnya filsafat ke iman. Dalam gerak “pascamodern” ke arah Tuhan ini diangkat kembali pendekatan fenomenologis Heidegger yang mendeskripsikan “berpikir meditatif”, atau lebih khusus lagi,

“berpikir puitis”, yang lain dari cara berpikir yang melahirkan metafisika dan ilmu-ilmu. Bersama itu, ada kritik Heidegger terhadap “tuhan menurut filsafat”, atau tuhan dalam metafisika—yang baginya harus ditinggalkan. Dengan meninggalkannya, kata Heidegger, manusia justru akan lebih dekat ke “Tuhan yang ilahi” (göttlichen Gott). Mungkin dengan itu kita bisa memahami Derrida: ia menyebut diri atheis, tapi juga mengatakan “tetapnya Tuhan dalam hidup saya” yang “diseru dengan nama-nama lain”. Jelas gerak “menengok kembali agama” itu bukan gerak kembali kepada asas theisme yang lama. Dalam Philosophy and the Turn to Religion, Hent de Vries mengikhtisarkan kecenderungan itu dalam sepatah kata Perancis yang mengandung dua makna: kata á Dieu ’ke Tuhan’ atau adieu ’selamat tinggal’, “satu gerakan ke arah Tuhan, ke arah kata atau nama Tuhan”, yang juga merupakan ucapan “selamat tinggal yang dramatis kepada tafsir yang kanonik dan dogmatik… atas pengertian ’Tuhan’ yang itu juga”. Syahadat Nurcholish Madjid Tampak, tak hanya ada satu makna dalam nama “Tuhan”. Bahkan, sejak berkembang pendekatan pascastrukturalis terhadap bahasa, kita kian sadar betapa tak stabilnya makna kata. Kata Tuhan hanyalah “penanda” (signans) yang maknanya baru kita “dapat” tapi dalam arti sesuatu yang berbeda dari, misalnya, “makhluk”. Beda ini akan terjadi terus-menerus. Sebab itu, pemaknaan “Tuhan” tak kunjung berhenti. Penanda itu tak pernah menemukan signatum atau apa yang ditandainya. Signatum (“petanda”?) itu baru akan muncul nanti, nanti, dan nanti sebab kata Tuhan akan selamanya berkecimpung dalam hubungan dengan penanda-penanda lain. Maka, tiap kali “Tuhan” kita sebut, sebenarnya kita tak menyebut-Nya. Saya ingat satu kalimat dari sebuah sutra: “Buddha

bukanlah Buddha dan sebab itu ia Buddha”. Bagi saya, ini berarti ketika kita sadar bahwa “Buddha” atau “Tuhan” yang kita acu dalam kata itu sebenarnya tak terwakili oleh kata itu, kita pun akan sadar pula tentang Sang “Buddha” dan Sang “Tuhan” yang tak terwakili oleh kata itu. Agaknya itulah maksud Nurcholish Madjid ketika menerjemahkan kalimat syahadat Islam dengan semangat taukhid yang mendasar: “Aku bersaksi tiada tuhan selain Tuhan sendiri”. Dengan kata lain, nama “Allah” hanyalah signans, dan tak bisa dicampuradukkan dengan signatum yang tak terjangkau. Jika dicampuradukkan, seperti yang sering terjadi, “Allah” seakan-akan sebutan satu tuhan di antara tuhan-tuhan lain—satu pengertian yang bertentangan dengan monotheisme sendiri. Di abad ke-13, di Jerman, Meister Eckhart, seorang pengkhotbah Ordo Dominikan, berdoa dengan menyebut Gottes (tuhan) dan Gottheit (Maha Tuhan). Yang pertama kurang-lebih sama dengan “pengertian” tentang Tuhan, sebuah konsep. Yang kedua: Ia yang tak terjangkau oleh konsep. Maka, Eckhart berbisik, “aku berdoa… agar dijauhkan aku dari tuhan”. Di tahun 1329 Paus Yohannes XXII menuduhnya “sesat”. Ia diadili dan ditemukan mati sebelum vonis dijatuhkan. Masalah bahasa itulah yang membuat akidah dan teologi jadi problematis. Teologi selamanya terbatas—bahkan mencong. JeanLuc Marion mengatakan teologi membuat penulisnya “munafik”. Sang penulis berlagak bicara tentang hal-hal yang suci, tetapi ia niscaya tak suci. Sang penulis bicara mau tak mau melampaui sarana dan kemampuannya. Maka, kata Marion, “kita harus mendapatkan pemaafan untuk tiap risalah dalam teologi”. “Satu”, Zizek, dan ontologi Badiou Theisme cenderung tak mengacuhkan itu. Theisme umumnya berangkat dari asumsi bahwa dalam bahasa ada makna yang menetap karena sang signatum hadir dan terjangkau—asumsi “metafisika kehadiran”.

Ini tampak ketika kita mengatakan “Tuhan yang Maha Esa”. Bukan saja di sana ada anggapan bahwa makna “Tuhan” sudah pasti. Juga kata esa menunjuk ke sesuatu yang dapat dihitung. Jika “tuhan” dapat dihitung, Ia praktis setaraf dengan benda. Ketika kita mengatakan “Tuhan itu Satu”, kita sebenarnya telah menyekutukan-Nya. Justru di situlah atheisme bermula. Slavoj Zizek mencoba membahas ini dengan menggunakan tesis ontologis Alain Badiou. Dalam tulisannya yang menawarkan sebuah “teologi materialis” dalam jurnal Angelaki edisi April 2007, Zizek mengatakan, “Satu” adalah pengertian yang muncul belakangan. Zizek mengacu ke Badiou: “banyak” (yang juga berarti “berbagai-bagai”) atau multiplisitas adalah kategori ontologis yang terdasar. Multiplisitas ini bukan berasal dari “Satu” dan tak dapat diringkas jadi “Satu”. Lawan multiplisitas ini bukan “Satu”, tapi “Nol”—atau kehampaan ontologis. “Satu” muncul hanya pada tingkat “mewakili” —hanya sebuah representasi. Monotheisme tak melihat status dan peran “Satu” itu. Tak urung, monotheisme yang menghadirkan Tuhan sebagai “Satu” memungkinkan orang mempertentangkan “Satu” dengan “Nol”. Maka, orang mudah untuk menghapus “Satu” dan memperoleh “Nol”. Lahirlah seorang atheis. Tepat kata Zizek ketika ia menyimpulkan, “atheisme dapat bisa terpikirkan hanya dalam monotheisme”. Namun, memang tak mudah bagi kita yang dibesarkan dalam tradisi Ibrahimi untuk menerima “teologi materialis” Zizek. Umumnya tak mudah bagi para pemeluk Islam, Kristen, dan Yahudi menerima argumen ontologis Badiou yang menganggap “Satu” hanya sebuah representasi meskipun dengan demikian mereka telah memperlakukan Tuhan sama dan sebangun dengan representan-Nya—satu hal yang sebenarnya bertentangan dengan dasar taukhid Surah al-Ikhlas dalam Al Quran, yang menegaskan “tak suatu apa pun yang menyamai-Nya”.

Kaum monotheis memang berada dalam posisi yang kontradiktif. Apalagi, bagi mereka, Tuhan yang Satu itu juga Tuhan yang personal. Syahdan, Emmanuel Levinas mengkritik keras Heidegger. Kita tahu, acap kali Heidegger berbicara dengan khidmat tentang Sein (Ada). Sein (Ada) adalah yang menyebabkan hal-hal-yang-ada muncul ber-ada. Bagi Levinas, dengan gambaran itu Sein (Ada) seakan-akan mendahului dan di atas segala hal yang ada (existents). Artinya, dalam ontologi Heidegger, Ada menguasai semuanya. Bagaikan “dominasi imperialis”. Tampaknya Levinas menganggap Heidegger—pemikir Jerman yang pernah jadi pendukung Nazi itu—berbicara tentang Ada sebagai semacam tuhan yang impersonal. Juga ketika Heidegger menyebut Yang Suci (das Heilige). Menurut Levinas, ini menunjukkan kecenderungan “paganisme”. Tanpa mendasarkan Ada dan Yang Suci dalam hubungan interpersonal, Heidegger telah mendekatkan diri bukan ke “bentuk agama yang lebih tinggi, melainkan ke bentuk yang selamanya primitif”. Levinas—yang filsafatnya diwarnai iman Yahudi—tampaknya hanya memahami agama dengan paradigma monotheisme Ibrahimi. Tentu saja itu tak memadai. Bukan saja Levinas salah memahami pengertian Ada dalam pemikiran Heidegger. Ia juga tak konsisten dengan filsafatnya sendiri, yang menerima Yang Lain sebagaimana Yang Lain, tanpa memasukkannya ke dalam kategori yang siap. Padahal, dengan memakai iman Ibrahimi sebagai model, Levinas meletakkan keyakinan lain—Buddhisme dan Taoisme misalnya—dalam kotak. Apabila baginya agama lain itu “primitif”, itu karena tak sesuai dengan standar Kristen dan Yahudi. Ia menyimpulkan: di ujung “agama primitif” ini tak ada yang “menyiapkan munculnya sesosok tuhan”. Levinas tak melihat, justru dengan tak adanya “sesosok tuhan”

dalam “agama primitif”, atheisme jadi tak relevan. Dengan kata lain, persoalannya terletak pada theisme sendiri. Saya teringat Paul Tillich. Teolog Kristen itu menganggap theisme mereduksi hubungan manusia dan Tuhannya ke tingkat hubungan antara dua person, yang satu bersifat “ilahi”. Dari reduksi inilah lahir atheisme sebagai antitesis. Maka, ikhtiar Tillich ialah menggapai “Tuhan-di-atasTuhan-dalam- theisme”. Tuhan “Tak Harus Ada” Kini suara Tillich (meninggal di tahun 1965) sudah jarang didengar. Setidaknya bagi saya. Tapi, niatnya menggapai “Tuhandi-atas-Tuhan-dalam-theisme” dan ucapannya bahwa Tuhan “tidak eksist”—sebab Ia melampaui “esensi serta eksistensi”—saya temukan reinkarnasinya dalam pemikiran Marion. Marion, seperti Heidegger, menafikan tuhan kaum atheis yang sejak Thomas Aquinas (dan secara tak langsung juga sejak Ibnu Rushd, dengan dalil al-inaya dan dalil al-ikhtira’-nya) dibenarkan “ada”-nya dengan argumen metafisika. Baginya, Tuhan yang dianggap sebagai causa sui, sebab yang tak bersebab, adalah Tuhan yang direduksi jadi berhala: Ia hanya jadi titik terakhir penalaran tentang “ada”. Ia hanya pemberi alasan (dan jaminan) bagi adanya hal ihwal, jadi ultima ratio untuk melengkapi argumen. Tapi, di situlah metafisika tak memadai. Sebab Tuhan bukanlah hasil keinginan dan konklusi diskursus kita. Tuhan benar-benar tak harus ada (n’a justement pas á être). Ia mengatasi Ada, tak termasuk Ada. Ia mampu tanpa Ada. Bagi Marion, Tuhanlah yang datang dengan kemerdekaannya ke kita karena Kasih-Nya yang berlimpah, sebagai karunia dalam wahyu. Di momen yang dikaruniakan itu kita bersua dengan manifestasi les phénomènes saturés, ’fenomena yang dilimpahturahi’. Di hadapan fenomena dalam surplus yang melebihi intensiku itu, aku mustahil menangkap dan memahami obyek—kalaupun itu masih bisa disebut “obyek”. Bahkan, aku

dibentuk olehnya. “Fenomena yang dilimpah-turahi” itu juga kita alami dalam pengalaman estetik ketika melihat lukisan Matisse, misalnya: sebuah pengalaman yang tak dapat diringkas jadi konsep. Apalagi pengalaman dengan yang ilahi, dalam wahyu: hanya dengan aikon kita bisa menjangkau-Nya. Aikon, kata Marion, berbeda dengan berhala. Berhala adalah pantulan pandangan kita sendiri, terbentuk oleh arahan intensi kita. Sebaliknya pada aikon: intensi kita tak berdaya. Yang kasatmata dilimpah-turahi oleh yang tak-kasatmata, dan aikon mengarahkan pandanganku ke sesuatu di atas sana, yang lebih tinggi dari aikon itu sendiri. “Aikon” yang paling dahsyat adalah Kristus. Marion mengutip Paulus: Kristuslah “aikon dari Tuhan yang tak terlihat”. Di sini Marion bisa sangat memesona, tetapi ia tak bebas dari kritik. Dengan memakai wahyu sebagai paradigma “fenomena yang dilimpah-turahi”, Marion—seperti Levinas—berbicara tentang “agama” dengan kacamata Ibrahimi. Bagaimana ia akan menerima Buddhisme, yang tak tergetar oleh wahyu dari “atas”, melainkan pencerahan dari dalam? Bagi Marion, berhala terjadi hanya ketika konsep mereduksikan Tuhan sebagai “kehadiran”. Tapi, mungkinkah teologi yang ditawarkannya sepenuhnya bebas dari tendensi pemberhalaan? Dengan pandangan khas Katolik, ia bicara tentang aikon. Tapi, bisa saja aikon itu—juga Tuhan—di-atas-Ada yang diperkenalkannya kepada kita, sebagaimana Gottheid yang hendak digayuh Eckhart—merosot jadi berhala, selama nama itu, kata itu, dibebani residu sejarah theisme yang, jika dipandang dari perspektif Buddhisme Zen, tetap berangkat dari Tuhan yang personal, bukan dari getar Ketiadaan. Di sinilah kita butuh Derrida. Marion mengira “Tuhan-TanpaAda” yang diimbaunya bisa bebas dari sejarah dan bahasa, tapi dengan Derrida kita akan ingat: kita selamanya hidup dengan bahasa yang kita warisi, dari tafsir ke tafsir. “Tuhan” tak punya

makna yang hadir. Maka Yudaisme, misalnya, cenderung tak menyebut NamaNya; dalam nama itu Tuhan selalu luput. “Dieu déja se contredit”, kata Derrida: belum-belum Tuhan sudah mengontradiksi diri sendiri. Maka, lebih baik kita hidup dengan keterbatasan karena bahasa. Dengan kata lain, hidup dengan janji: kelak ada Makna Terang yang akan datang—betapapun mustahil. Hidup dengan janji berarti hidup dalam iman, tapi bukan iman kepada Tuhan yang telah selesai diketahui. Ini iman dalam kekurangan dan kedaifan—ikhtiar yang tak henti-hentinya, sabar dan tawakal, karena Tuhan adalah Tuhan yang akan datang, Tuhan dalam ketidakhadiran. Dari sini kita tahu para atheis salah sangka: mereka menuntut Tuhan sebagai sosok yang hadir dan ditopang kepastian. Sebenarnya mereka juga terkena waham, tertipu berhala. Jakarta, 27 September 2007 GOENAWAN MOHAMAD Penyair, Pendiri Majalah Tempo Sumber, Kompas, Sabtu, 06 Oktober 2007

Myanmar Oktober 1, 2007 Kau benar, Suu Kyi: keberanian bisa menular. Ia juga bisa menyentuh. Dunia kini tengah menyaksikan dengan kagum deretan 10 ribu biarawan dan biarawati berjubah merah berbaris dari Pagoda Shwegadon, menapak jalan-jalan kota Yangoon. Telah sepuluh hari lamanya mereka utarakan apa yang selama ini telah kau utarakan, mereka ucapkan apa yang selama ini dibisukan: pemerintahan militer tak bisa diterima! Myanmar tak bisa ditindas! Mereka juga datang memasuki Avenue Universitas, mendekat ke rumah tempat kau ditahan selama sebelas tahun. Seratus orang

polisi mencegah. Para biarawan itu mundur. Tapi akhirnya ada yang juga mendekat. Orang-orang melihat kau muncul di jendela. Kau melambai, menyambut mereka—dengan mata basah. Aku ingin sekali berada di jalan itu, Suu Kyi. Tiap keberanian untuk keadilan adalah cercah harapan—benda langka di zaman yang sinis. Seperti berkah yang hilang, seperti wahyu yang selalu tertunda. Tapi keberanian, biarpun sejenak, bisa menular, kau pernah bilang. Aku tak heran ketika Aung Way, sang penyair, kemarin berkata, ”Besok banyak lagi yang akan serta!” Hari ini, ada yang dihalau dari Myanmar. Tak akan banyak lagi yang akan bilang: ”Kita semua hanya memikirkan diri sendiri.” Kau pernah katakan, rasa takut itu mengkorup jiwa, tapi ada yang lebih jahat ketimbang itu, Suu Kyi: ketakpercayaan kepada yang baik dalam diri sesama. Sinisme itulah yang membinasakan kita. Memang, orang bilang, sejarah tak selamanya dibikin dari optimisme. Sebab itu aku tak akan bicara tentang itu. Tapi jelas: kelaliman, kesewenang-wenangan, dan penindasan yang dirasakan luas adalah sebuah kehilangan yang menusuk hati. Dari liang luka itulah keadilan disebut sebagai hasrat yang kuat dan kebebasan jadi pekik yang keras. Tanpa seorang pintar pun yang mendefinisikannya. Kau pasti tahu, dari pengalamanmu, sebuah rezim tak dengan sendirinya rubuh di depan pekik itu. Tapi para jenderal itu—dengan seragam mereka yang wagu tapi yakin—kini tak bisa lagi mengatakan, ”Hai, kalian tak mewakili bangsa ini! Kamilah yang mewujudkannya!” Kini ribuan jubah merah yang bergerak itu adalah tanda kesekian dari zaman yang bergerak, dengan suara yang menggugat: ”Tuan-tuan tidak mewakili kami! Burma telah jadi sebuah jurang!” Tapi tentu saja Myanmar bukan sebuah jurang yang walau dalam tak punya udara lepas. Sebab bukan hanya protes seperti itu yang kini jadi berarti, Suu Kyi. Di bawah teror bahasa yang selama 45 tahun dikuasai koran resmi yang buruk, ucapan kecil, ungkapan

lucu, saling tatap yang muram, bahkan senyum dikulum—semuanya jadi bagian dari penolakan. Karena tiap frase di Myanmar kini adalah klise, karena tiap klise adalah represi, dan tiap represi membuat gagu. Yang ajaib ialah bahwa gagu itu menjalar tak sepihak. Para jenderal di podium itu ikut terkena: bahasa mereka tak berbunyi lagi. Aku ingat Zagana, komedian kota Yangoon yang selama ini dibiarkan oleh rezim karena cemoohnya dianggap tak berbahaya. Ia sebenarnya sudah lama membangkang, dengan ucapan-ucapan lucu, mengejek, yang pintar. Tapi kini ia lebih dari kocak. Aku dengar ia bilang akan menyediakan makanan dan minuman bagi para pemrotes. Itu bukan isyarat sepele—sebab tentara telah menembak sembilan orang mati, ratusan biarawan disekap, beberapa biara dikepung, dan jam malam diumumkan. Beberapa bulan yang lalu, di puncak Bukit Mandalay, di balustrada yang memanjang dari patung perak Sang Buddha, biarawan muda yang aku belum berani sebut namanya itu menunjuk jauh ke bawah. Lihat deretan bangunan kuning itu, katanya. Penjara Myinchan. Dan aku tahu apa maksudnya. Burma sebuah penjara, ia seperti menirukan Hamlet yang menyimpan dendam. Tahun 1988, ia berbisik dalam bahasa Inggris yang bagus. Kami semua ingat 1988. Apa yang terjadi di tahun itu? Ia menjawab: 3.000 demonstran ditembak mati. Dan dunia tak bisa berbuat banyak. Kau pasti cemas, Suu Kyi. Dunia selalu tak akan bisa berbuat apa-apa kecuali mengeluarkan kata-kata jika nanti lebih banyak orang ditembak. Indonesia, negeriku, yang pernah menumbangkan sebuah rezim yang mirip, mungkin juga akan tak malu untuk hanya diam—sebagaimana ia juga dulu tak malu-malu membiarkan kaum fasis itu masuk ASEAN. Dan kami, yang di kejauhan menyatakan simpati, yang menulis, membuat statemen, mengenakan baju merah mengikuti protes di Yangoon dan Mandalay, hanya bisa sebatas ini. Tapi keberanian tak hanya menular, Suu Kyi. Keberanian

membangun sesuatu ke dalam diri. Hari-hari ini protes mungkin akan gagal. Tapi bangunan batin itu akan bisa tetap, mungkin makin meluas dalam mengalahkan ketakutan, mengusir sinisme. Mudah-mudahan ia akan lebih bertahan ketimbang sebuah rezim—biarpun begitu banyak kekecewaan dalam sejarah. Sebab Myanmar telah punya sebuah tauladan: engkau. Sebab sejak hari ini tiap pagi harapan memanjat naik, biarpun pelan, lebih tinggi ketimbang 1.000 pagoda. ~Majalah Tempo Edisi. 32/XXXVI/01 – 7 Oktober 2007~

Gestapu September 24, 2007 Tiap 30 September dan 1 Oktober kita teringat pembunuhan. Di tahun 1965-1966 itu, mula-mula sejumlah jenderal, kemudian berpuluh ribu orang Indonesia yang bukan jenderal dan tak bersalah bergelimpangan dibantai. Atau disiksa. Sejak itu, di tanah tumpah darah ini, kita begitu takut, pedih, dan malu mengaku bersalah oleh keganasan itu. Semuanya kita masukkan ke dalam sebuah kata, ”Gestapu”, seperti kita menyembunyikan sesuatu di dalam kotak. Kita gagap bila kita harus mengenangnya. Maka tiap 30 September dan 1 Oktober ada keinginan yang saya kira terpendam di hati orang banyak: keinginan untuk mampu mengenang horor itu, tapi juga berharap ia tak akan berulang. Indonesia tak boleh lagi mengelola konflik lewat darah dan besi. Keinginan itu tampak mudah dipenuhi setelah ”Orde Baru” runtuh, setelah sebuah pemerintahan yang stabil—tapi bersandar pada kapasitasnya membangun rasa takut—ambruk. Tapi segera terbukti kita gampang terbuai ilusi. Prasangka rasial, rasa curiga antarkelompok, kebencian, paranoia, dan waswas yang diperkuat oleh agama seakan-akan malah bergelombang datang. Indonesia nyaris habis harapan. Semuanya seakan-akan mesti berakhir

dengan membunuh. Tapi mungkinkah ada sebuah lingkungan hidup bersama—bisa disebut ”masyarakat”, ”komunitas”, atau ”bangsa”—yang akan memilih khaos dan kekerasan sebagai satu-satunya cara bersaing dan bersengketa? Para optimis mengatakan, tak mungkin. Sengketa dan kekerasan bukanlah pola dalam sejarah. Tiap kehidupan bersama selalu mengandung keinginan bersama untuk ”masyarakat yang baik” dan kapasitas untuk mencapai mufakat. Bahkan binatang buas berdamai dalam puaknya. Tapi benarkah ”selalu”? Benarkah kita senantiasa bergerak untuk mufakat? Katakanlah tiap orang, tiap kelompok, memang menghendaki ”masyarakat yang baik”, tapi apa gerangan yang ”baik”? Selalukah yang ”baik” bagi kami juga ”baik” bagi mereka? Zaman ini yang berbeda dan ganjil berduyun-duyun masuk ke dalam pengalaman—dan kita ragu adakah nilai yang universal. Kondisi ”pasca-modernis” datang. Seorang pemikir seperti Richard Rorty bahkan menunjukkan, nilai-nilai selamanya contingent, tergantung, kepada waktu dan tempat. Apa yang ”baik” selamanya dipengaruhi konteks. Sebab itu jangan dipaksakan. Bahkan keyakinan kita sendiri tentang ”baik” dan ”buruk” perlu dicampur dengan satu dosis besar ironi. Pandangan seperti ini memang membuka ruang luas toleransi. Kita tak bisa jadi fanatik memeluk ide-ide besar. Tapi ada yang boyak; ia tak cukup memberi dasar bagi langkah politik untuk membangun kebaikan bagi sesama. Tentu, Rorty tak menganggap kita bisa selamanya berdiri di tepi dengan senyum ironis. Baginya, tak ada alasan untuk berpangku tangan ketika kekejaman terjadi. Rorty memang tak menampik tumbuhnya rasa solidaritas antarmanusia. Tapi bagaimana rasa solidaritas itu mungkin? Bagaimana ia bisa memadai untuk membentuk sebuah kekuatan pembebas, jika keyakinan tentang nilai-nilai yang universal, yang menggerakkan siapa saja, cair oleh ironi? Memang, liberalisme Rorty bukan formula untuk bunuh-

membunuh. Tapi ia tak bisa memberi jawab bagi keadaan yang mungkin tak dialaminya. Rorty begitu betah dengan hidup nyaman Amerika-nya. Tapi ada kondisi lain, di mana politik bergerak bukan karena keinginan, melainkan oleh kemestian, di mana gagasan tentang ”masyarakat yang baik” bukan imajinasi waktu senggang, melainkan karena rasa lapar yang akut akan keadilan. Di sini liberalisme ala Rorty bisa semacam skandal. Tak mengherankan dalam latar umum Afrika, Asia, dan Amerika Latin, orang pernah dengan bahagia mendapatkan analisis dan inspirasi dari yang lain: Marxisme. Marxisme punya satu imbauan universal: cita-cita tentang masyarakat tanpa kelas. Tapi juga Marxisme bisa ampuh karena melihat nilai-nilai sebagai sesuatu yang tak datang dari luar sejarah. Marxisme merayakan dinamika dan perubahan. Tak mengherankan bila beribu-ribu orang pun bergerak, dengan sakit dan miskin, dengan jiwa dan raga. Yang tragis ialah bahwa Marxisme—sebuah alat diagnostik yang cemerlang—ternyata sebuah terapi yang gagal. Bahkan Cina murtad. Apa yang tersisa dari Marxisme di sana sekarang, dengan kemajuan ekonomi yang membuat orang terkesima? Hanya sebuah partai komunis yang tak percaya kepada imannya sendiri. Maka pada suatu saat orang pun membaca Habermas. Ia meyakinkan kita bahwa ada rasionalitas yang bisa membawa apa yang ”baik” melintasi batas ruang-dan-waktu. Komunikasi adalah laku yang tak asing. Dalam situasinya yang ideal, komunikasi dapat menghasilkan mufakat tentang ”masyarakat yang baik”. Tapi tiap 30 September dan 1 Oktober kita teringat bahwa dorongan untuk bermufakat berakhir dengan pembunuhan. Indonesia adalah sebuah republik yang luka ketika bersikeras membentuk konsensus. Kini kita takut berilusi: bisakah kita sepakat tentang ”masyarakat yang baik”? Akan adakah situasi percakapan yang ideal? Siapa yang takut mimpi perlu memanggil mambang Marxisme. Kita akan bisa melihat—seperti Laclau memanggil roh

Gramci—bahwa mufakat tak datang dengan sendirinya. Ia hasil pergulatan hegemoni. Dan dengan Marxisme yang radikal yang memandang sejarah sebagai perubahan, kita akan mengakui bahwa hegemoni itu tak akan abadi. Pengertian dan konsensus tentang ”masyarakat yang baik” tak akan kekal. Kekuasaan yang menjaga konsensus itu tak akan selamanya bisa memenuhi citacita. Itu sebabnya kita memilih demokrasi sebagai sistem yang mengakui kekurangan manusia. Kita lebih berendah hati. Maka sambil mengakui pergulatan politik akan berlangsung terusmenerus, kita tak perlu bersiap dengan darah dan besi. Ongkos akan terlalu mahal—seperti 30 September dan 1 Oktober 1965—untuk sesuatu yang tak akan sempurna dan selamalamanya. ~Majalah Tempo Edisi. 31/XXXVI/24 – 30 September 2007~

1:548 September 21, 2007 … kami percaya bahwa tugas pers bukanlah menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian …

Puasa September 17, 2007 DI hari-hari ini saya berpuasa dan merasakan sebuah privilese: saya dihormati. Dengan tekad saya sendiri saya berniat tak makan dan tak minum sejak dini hari hingga senja; selama itu saya sadar bahwa akan ada saat-saat saya bisa tergoda—tetapi saya selamat. Saya siap untuk terganggu, tetapi lihat: saya tak boleh diganggu. Privilese itu kini sudah seperti sesuatu yang semestinya. Demi ibadah saya, yang saya niatkan sendiri, orang-orang lain tak bisa pergi pijat karena selama sebulan semua panti pijat harus

ditutup—meskipun ini bukan tempat yang mesum sama sekali—dan sekian ratus pemijat tidak mendapatkan penghasilan. Demi ibadah saya, orang-orang lain tidak dapat minum minuman beralkohol selama kurang-lebih 30 hari, siang dan malam—meskipun mereka lazim melakukannya sebagai bagian dari hidup mereka—karena bar tak boleh buka dan kalaupun ada restoran buka, bir, anggur, wiski, konyak, vodka, dan lain-lain harus masuk kotak. Terkadang saya tak tahu apakah saya merasa bangga, atau bersyukur, atau merasa bersalah, ketika di mana-mana dipasang anjuran: ”Hormatilah Orang yang Berpuasa”. Tentu saja sikap menghormati adalah sebuah sikap yang bisa datang dari hati yang ikhlas dan sukarela. Tapi sikap itu juga bisa diperlihatkan khalayak ramai karena aturan pemerintah, para ulama, atau tekanan lain yang menakutkan. Kita sekarang tidak tahu yang mana yang menentukan. Jika ada polisi atau petugas kota praja—belum lagi kelompok orang galak yang dengan gampang menyerbu dan merusak—yang membuat penghormatan itu berlaku, saya tak pernah yakin sejauh mana penghormatan (atau lebih tepat ”apresiasi”) yang ikhlas yang sedang saya rasakan. Jangan-jangan semuanya adalah penghormatan (atau lebih tepat ”sikap merunduk”) yang dengan gerutu. Tapi di sebuah negeri yang tak jarang memperdagangkan kepalsuan, akhirnya soal seperti itu tak dipersoalkan. Pokoknya: saya berpuasa, sebab itu saya harus dihormati. Namun saya tak hendak mengomel. Sebab menghormati orang yang berpuasa dapat berangkat dari sebuah alasan yang bagus. Ramadan sering dikatakan sebagai bulan yang dekat dengan rohani. Tetapi tak kurang dari itu Ramadan sebenarnya menekankan pentingnya tubuh—justru dengan mengaktualisasikan tubuh yang tak penuh. Bulan ini adalah bulan yang berbicara tentang kondisi dasar manusia yang paling kurang. Puasa adalah penegasan diriku sebagai sesuatu yang lapar dan juga retak:

sebagai aku yang ingin dan tak mendapat, aku yang menolak untuk rakus tapi juga merasa sakit. Tapi saya, yang berpuasa ini, juga sering tak menyadari bahwa puasa dapat memberi diri sesuatu yang sama sekali bertentangan: rasa berkelebihan, bahkan supremasi. Aku seakan-akan dalam kesucian, sebagai yang ”berkorban” dan juga sebagai yang ”tak najis”. Orang lain? Mereka dosa, loba, penuh syahwat—pendeknya lebih nista dari diriku. Itu barangkali asal mula orang lain dituntut untuk menghormati aku. Kalau tidak, orang lain harus aku jauhi. Kalau tidak, orang lain harus aku tobatkan. Aku, si suci, harus meniadakannya sebagaimana dia adanya, dengan menyisihkan atau mengubahnya. Salah satu problem besar dunia ialah bahwa kita sering menemukan wajah yang bertentangan seperti saya sebut tadi dari orang yang berpuasa—atau dari orang dalam ibadat yang mana pun. Kontradiksi ini disembunyikan atau ditekan karena wacana yang ada diberi sanksi oleh sebuah bayangan tentang Yang Maha Kuasa dan Maha Sempurna yang menuntut keutuhan dan kekuatan, bukan sebuah bayangan tentang Yang Maha Rahman dan Rahim yang mengampuni si daif dan si retak-cacat. Dalam wajah yang lapar, yang dekat dengan tubuh, dalam kekurangan dan kefanaan, manusia hadir mau tak mau mengalami dirinya bukan sebagai sebuah ide, bukan sebuah konsep yang abstrak. Perut yang meminta nasi dan tenggorokan yang sedikit bau basah tidak ada dalam Manusia dengan ”M”. Seraya bersentuhan dalam sifatnya yang konkret, manusia mengalami dan menyadari apa artinya perubahan, apa perlunya perbedaan dari waktu ke waktu, perbedaan dari satu situasi ke situasi lain. Tetapi bila puasa bukan menandaskan wajah yang lapar, melainkan kesucian diri yang penuh, manusia merasa seakan-akan berada di atas segala situasi, di luar waktu, tak tersentuh perubahan, dan perubahan bahkan dapat berarti najis.

Di hari-hari ini saya berpuasa—dan apakah gerangan yang tumbuh dalam diri saya? Sesuatu yang menghargai yang fana dan sebab itu berterima kasih atas setiap momen empati? Atau sesuatu yang meminta dihormati, karena aku adalah sebuah prestasi, sebuah posisi di atas sana, di mana yang kekal dan sempurna mengangkatku? Jika saya harus menjawab, saya akan mengatakan: saya takut dihormati. ~Majalah Tempo Edisi. 30/XXXVI/17 – 23 September 2007~

4:314 September 14, 2007 … roh agama yang sejati ialah seperti Muhammad SAW di gua Hira: kesadaran akan keterbatasan, akan kedaifan, yang mencari …

11/9 September 10, 2007 SAYA melihat New York 11 September 2001. Sampai lewat tengah malam, yang mengepung adalah suasana murung dan cemas, berkabung dan waswas. Orang di pelbagai penjuru terperanjat. Dunia tersentuh: me-reka ingin menemani kota itu, bersama ribuan kandil yang dinyalakan di sudut-sudut jalan, seakan-akan mau ikut mencari mereka yang tak pulang dari puing. Asap kebakaran masih membubung hitam beberapa hari setelah itu, membentuk sebuah sosok di langit New York sebelah selatan, seakan-akan mengisi rongga yang melompong di angkasa setelah dua gedung jangkung The World Trade Center runtuh dan 3.000 orang yang tak bersalah mati. Tapi dengan cepat asap dan debu diubah sesuatu yang berwarna: bendera Amerika, bendera Amerika, bendera Amerika. Di mana-mana. Tak putus-putusnya televisi menyiarkan orang

menyanyi God Bless America, bergetar, bergemuruh. Di seluruh Amerika Serikat, pada jutaan layar, huruf yang muncul tak hentihentinya adalah AMERICA UNDER ATTACK. Dan perkabungan pun jadi api. Tema klasik nasionalisme pun berulang pada hari-hari itu: ”Kami dihina. Mereka jahat. Kami dizalimi. Mereka brutal. Mereka harus dibalas. Kami bangkit. Kami kuat.” Orang Amerika akan marah jika dikatakan bahwa tema nasionalisme itu tak jauh berbeda dengan yang dulu terbit di Jerman, kini di Arab dan Israel. Tapi itu justru indikasinya: orang Amerika akan marah karena nasionalisme mere-ka—yang disebut ”patriotisme”—juga api yang sama yang mampu membentuk ”kami” jadi se-suatu yang terang dan orang lain, ”mereka”, jadi fragmen kegelapan. Mungkin itu sebabnya saya beberapa lama termenung di Washington Square Park, sore itu. Di lapangan yang rindang itu bermacam orang berkumpul, menyatakan belasungkawa dan dukungannya kepada New York—ya, kepada Amerika Serikat. Ada yang mengekspresikan perasaan dengan doa yang diam, ada yang menuliskan kalimat yang tulus. Tapi yang tak akan saya lupakan ialah secarik kertas yang dirobek dari sebuah buku tulis dan disematkan entah oleh siapa di sehelai pagar kawat di bawah lengkung gerbang taman. Di sana tercantum satu paragraf tulisan ta-ngan, serangkai kata-kata Nelson Mandela: ”Rasa takut kita yang terdalam tak disebabkan oleh karena kita tak memadai. Rasa takut kita yang terdalam disebabkan kekuatan kita yang tak tepermanai. Cahaya terang kita, dan bukan kegelapan kita, itulah yang paling mengerikan kita.” Saya terkesima: kalimat itu muncul seperti dipanggil ke tengah suasana yang membutuhkannya. Mandela: bertahun-tahun lamanya pemimpin Afrika hitam ini

dianiaya sebuah kekuasaan yang brutal; ia dengan gampang akan diterima sebagai korban yang tak bersalah, yang memancarkan ”cahaya terang”. Pada saat yang sama, ia juga pemimpin politik dan moral yang dipatuhi jutaan orang di Afrika Selatan, sebuah ”kekuatan yang tak tepermanai”. Tapi, berbeda dengan orang Amerika dan pemimpin me-reka, George W. Bush & Dick Cheney, Mandela tahu benar apa yang harus ditakuti: keagungan diri. Bagi Bush & Cheney, Tuhan memberkati Amerika, God Bless America, dan mungkin benar. Tapi soalnya jadi gawat ketika Tuhan dan ”cahaya terang” mengambil alih seluruh sikap dan pikiran dan memperkukuh keagungan diri. Apalagi ketika itu diintegrasikan ke dalam proyek besar yang disebut ”The New American Century”. Dick Cheney, Rumsfeld, dan konco-konco mereka—yang sudah lama punya proyek untuk mengubah dunia ke dalam ”Abad Baru” yang mereka kuasai—sebenarnya orang-orang yang secara tak langsung diperkuat oleh teror ”11/9”. Mere-ka bisa bersoraksorai: hari itu musuh lahir, ketika sejumlah orang asing menabrakkan dua pesawat ke dua buah gedung yang bisa jadi lambang kejayaan Amerika. Sebab Cheney pernah khawatir, AS tak akan punya musuh lagi setelah Perang Dingin berakhir dan Uni Soviet runtuh. Musuh itu penting. AS butuh sesuatu yang mengancam di luar sana, dan sebab itu bisa membuatnya bersatu padu. Maka di New York hari itu, Al-Qaidah praktis memberi Cheney dan Bush sebuah hadiah: alas-an yang bagus untuk merasa memiliki ”cahaya terang” dan menampilkan ”kekuatan yang tak tepermanai”. Akhirnya, ”9/11” adalah dalih untuk sebuah proyek imperial, mula-mula dengan bendera ”perang melawan terorisme”: ”Kami dizalimi. Mereka harus dibalas.” Dalih itu begitu memikat hingga sejumlah intelektual terpandang Amerika tak malu-malu berseru menghalalkan perang itu sebagai ”pe-rang yang adil”, seakan-akan keadilan dapat begitu

saja diterima secara universal, bukan hasil pergulatan yang tak mudah untuk jadi pasti. Ketika Mandela memperingatkan kita akan ”cahaya terang” dan ”kekuatan yang tak tepermanai”, ia sebenarnya hendak menunjukkan bahwa kedua hal itu tak pernah menetap—dan tak pernah tinggal di satu sisi. Mandela berbicara agar kita tahu perlunya mengosongkan diri—sadar bahwa diri kita sebenarnya ”tak memadai”, bahkan mengandung ”kegelapan”. Tapi siapa yang membaca kearifan di secarik kertas di bawah gerbang Washington Square itu? Bush & Cheney telah menggelembung dengan proyek ”Abad Baru Amerika”. Ketika perang melawan teror Al-Qaidah diperluas jadi Perang Irak yang dikecam dunia—karena dilancarkan dengan dusta yang malangmelintang—mereka bahkan ingin- menunjukkan, ”kekuatan yang tak tepermanai” justru penting untuk dirayakan. Kekuatan itu mereka anggap bisa menentukan segala-galanya, juga untuk memonopoli ”cahaya terang”. Tapi kini terbukti, ”kekuatan yang tak tepermanai” itu hanya sebuah waham besar. Juga gegabah. Hegemoni tak pernah pasti. Perang melawan Al-Qaidah tak juga berhasil—sebuah kegagalan yang patut disesali di mana-mana. Perang di Afghanistan makin sulit. Perang di Irak praktis kehilangan tujuan. Amerika dibenci di pelbagai pelosok. Orang Amerika takut datang ke pelbagai tempat. Ah, Tuan Cheney, di manakah kini ”The New American Century”? ~Majalah Tempo, Edisi. 29/XXXVI/10 – 16 September 2007~ Gambar diambil dari sini

2:152 September 7, 2007 … maut memang alternatif bagi mereka yang hidup dengan nafkah yang terhimpit. Vivre Libre, ou Maourir! Itulah slogan yang tertulis pada poster Komune Paris 1871. …

Ong September 3, 2007 SEJAK saya melihatnya pada tahun 1962 di sekitar Universitas Indonesia, Onghokham selalu tampak dengan baju dan celana khaki yang kusut. Ia selalu membawa satu tas kulit yang mencong; isinya—buku dan lain-lain—selalu berlebihan. Ia terkadang naik sebuah bromfiets yang mencemaskan karena bergoyang-goyang dengan bunyi sember yang seperti menderita. Rambutnya sudah menipis, kacamatanya sudah sedikit merosot—satu hal yang mengesankan saya yang baru saja jadi mahasiswa. Cara bicaranya tak berubah sampai dengan masa Reformasi: tak koheren, dengan aksen Jawa Timur yang tak lekang, terkadang agak menyembur, tapi umumnya tak agresif, dan selamanya menunjukkan Ong yang perseptif dalam melihat dan memikirkan sekitar. Kini, dalam obituari yang ditulis orang setelah ia mening-gal pekan lalu, ia disebut sebagai ”sejarawan”. Terutama sejak ia kembali dengan gelar doktor dari Universitas Yale pada tahun 1975. Ia sendiri punya versi lain tentang diri-nya. Ada dua hal yang dia bawa pulang dari Yale, ujarnya. Satu, gelar doktor itu. Dua, kepandaian memasak. Ia lebih bangga dengan yang nomor dua itu, katanya, tanpa senyum. Tentu ada beda antara sejarawan dan juru masak, tapi janganjangan perlu juga dilihat bahwa beda itu tak teramat besar. Keduanya mengolah bahan dari detail, dengan metode dan sistem yang kurang-lebih ajek, dan menyajikan sebuah hasil dengan sentuhan personal. Mereka yang menganggap sejarah sebagai ilmu yang terhormat tentu akan berkeberatan dengan kesimpulan itu. Tapi bukan hal yang baru untuk mengatakan bahwa karya sejarah tak pernah ditulis dari pandangan yang kekal, yang tak bermula dari satu titik dalam waktu. Tiap karya seorang sejarawan bertolak dari

masa-kininya sendiri. Mungkin bahkan bukan hanya itu. Ketika Foucault bicara tentang ”genealogi”, yang bisa dikatakan sebagai penulisan alternatif tentang masa lalu, yang tersirat di sana bukan saja pernyataan bahwa yang dituju bukanlah ”pengetahuan” dan ”kebenaran” tentang masa lalu itu, tapi sebuah tindakan terhadap masa kini. Saya baca kembali kumpulan tulisan Onghokham dalam Dari Soal Priyayi sampai Nyi Blorong. Hampir tiap bab tergerak untuk melakukan sesuatu bagi keadaan saat itu. Itu mungkin sebabnya Ong tak pernah lagi menulis sebuah buku utuh, kecuali yang berdasarkan skripsinya di Fakultas Sastra UI dan tesisnya di Universitas Yale. Ia menulis risalah pendek, hidangan sekali santap, selalu sebagai respons terhadap keadaan yang dialaminya waktu itu—dan hampir selamanya terasa tak selesai. Sebagai editornya di saat-saat ia menyumbang tulisan ke majalah Tempo, saya punya problem dengan cara Ong menulis: saya selalu ingin menemukan paragraf penutup yang baik. Tapi kemudian saya pikir: jangan-jangan itu tak perlu bagi Ong. Makanan yang lezat tak pernah punya akhir, juga dengan cuci mulut. Tapi dengan itu pula Ong memang tak hendak mengemukakan sebuah kesimpulan dan teori besar. Seperti Sartono Kartodirdjo, ia mengutamakan latar sosial-ekonomi sebuah peristiwa, yang menyebabkan sejarah bagi-nya bukan kisah orang ”atas”. Ia suka menemukan dan mengemukakan hal ihwal kecil—misalnya ”perhitungan hari baik” dalam masyarakat Jawa, atau jumlah gulden subsidi seorang bupati yang dibuang pemerintah kolonial. Tapi tampaknya ia bukan berambisi untuk jadi seorang Braudel, yang dari detail yang memikat melahirkan sebuah teori (tentang kapitalisme, misalnya) yang memukau. Ong bukan pula seorang sejarawan Marxis, yang dengan teori mengkonstruksikan temuan empiris. Ong menulis dengan cara hampir seenaknya—tak sampai

berkeringat seperti ketika ia bekerja di dapur. Ia seakan-akan dengan sengaja menunjukkan dirinya tanpa kategori. Apakah dia sebenarnya—”sejarawan”, ”kolumnis”, ”intelektual publik”, ”juru masak”—ia tak peduli. Ia keturunan Tionghoa yang akan menampik stereotip warga ”kebudayaan Cina”—yang disebut oleh Lee Kuan Yew sebagai ”sinic culture”, sebuah sistem nilai yang katanya berbeda, bahkan sebuah kontras, dari ”indic culture”, ”kebudayaan ala India”. Dengan bangga, pemimpin Singapura itu mau menunjukkan bahwa hanya mere-ka yang berakar pada ”kebudayaan Cina” yang cocok buat pembangunan ekonomi: pekerja keras, tak suka berleha-leha, dan pada dasarnya puritan untuk mencapai hasil optimal dalam kerja. Onghokham menertawakan ”teori” Lee Kuan Yew yang sangat dekat dengan pandang-an rasialis itu. ”Lee bukan menggambarkan watak orang Cina,” katanya. ”Gambaran idealnya gambaran seorang Kristen Metodis.” Ong tak menyukai mereka yang puritan, Kristen Metodis, para santri, para saudagar, atau ideolog ala Singapura. Baginya Puritanisme adalah represi demi mencapai surga atau kesempurnaan. Ong jauh dari mere-ka yang peduli akan prestasi tinggi, karya yang sempurna, atau posisi yang terhormat. Ia tak mendapatkan gelar ”profesor” karena ia anggap sepele tetekbengek administratif buat memperoleh gelar akademis itu. Baginya yang memikat justru hal-hal yang dianggap ”dosa” oleh Puritanisme: makanan, minuman, waktu bergaul dan bersenangsenang. Mungkin karena Ong lebih dekat dengan hidup ketimbang intelektual lain yang hanya berkutat pada ide besar tentang ”manusia” dan ”masyarakat”. Saya ingat malam-malam di pertengahan 1960-an: saya termasuk sekelompok teman yang kemudian dikenal se-bagai penulis (Nono Makarim, Fikri Jufri, Arief Budiman, Wiratmo Sukito, Ismid Hadad, Salim Said, dan lain-lain) yang sering minum kopi di

warung di Gang Ampiun, Cikini. Terkadang Ong muncul, dengan pakaian khaki yang lusuh dan tas yang penuh. Ia gemar mencemooh kami se-bagai ”intelektual kota”. Mungkin ia hendak meng-ingatkan, kami yang suka omong tentang ”Indonesia” acap kali lupa ada yang tak dapat dirumuskan dari sudut kota Jakarta itu. ”Indonesia” bukanlah hanya ide. ”Indonesia” adalah kehidupan. Dan Ong memang dekat ke dalamnya. ~Majalah Tempo Edisi. 28/XXXIIIIII/03 – 9 September 2007~ ctt. gambar diambil dari sini

5:20 Agustus 31, 2007 … nostalgia tak pernah berasal dari kebencian. Ia menggerakkan kembali sesuatu yang hangat, sayu, berarti—seperti cinta lama…

Turki Agustus 27, 2007 MUSTAFA lahir di tahun 1881 dari kandungan seorang ibu yang saleh, Zubaidah namanya. Perempuan ini kuat wataknya; ia tak mudah menyerah kepada kehendak sang suami. Khususnya dalam hal pendidikan buat anak lelaki mereka satusatunya—seorang anak yang tak mereka sangka kelak akan dikenang dengan kagum sebagai Atatürk, ”bapak Turki [modern]”, tapi juga dikutuk keras sebagai penghancur Khilafah Usmani, sebuah imperium yang dianggap sanggup menyatukan bangsabangsa muslim selama beradab-abad. Mustafa Kemal memang lahir di sebuah zaman ketika pertentangan tak terelakkan, bahkan sejak hari ia harus bersekolah. Ali Riza, sang ayah, ingin agar Mustafa masuk sekolah umum. Tapi Zubaidah tetap bersikeras. Si buyung harus hafal Quran; ia

harus jadi hoja, guru agama. Mustafa pun dikirim masuk sekolah Fatimah Mullah Kadin, pendidikan Islam yang terkemuka di Kota Salonika itu. Diterima di sekolah itu agaknya sesuatu yang istimewa. Dalam buku Atatürk: The Rebirth of a Nation, Patrick Kinross mengutip penuturan Mustafa sendiri tentang upacara di hari pertama itu. Di pagi hari, ibunya mendandaninya dengan pakaian putih dan kalung leher bersulam emas; sorban melingkar di kepala. Ia pun dijemput seorang hoja beserta ulama lain. Mereka melangkah ke jalan dalam semacam prosesi ke sekolah. Di sekolah yang bertaut dengan sebuah masjid itu, doa bersama pun dibacakan. Lalu sang guru membimbing Mustafa masuk ke sebuah ruang. Di sana sebuah Quran sudah siap terbuka. Tapi ia tak lama bersekolah di situ. Ia membangkang karena disuruh duduk bersila di lantai. Ia benci membaca dan menulis huruf Arab. Ia gelisah. Akhirnya ayahnya memindahkan Mustafa ke sekolah umum yang diasuh Shemsi Effendi. Di situ si buyung bersemangat. Kali ini Zubaidah tak berkeberatan. Zubaidah memang berubah, seperti Turki. Salonika, sebuah kota perdagangan di Macedonia, bertaut dengan dunia luar tiap hari. Kota pelabuhan di teluk itu beragam penduduknya: Yahudi (meskipun sebagian telah jadi muslim), Bulgaria, dan Armenia. Ada konsulat Inggris, Prancis, Jerman, Austria, Italia, Portugal. Ketika Mustafa berumur belasan tahun, kereta api buat pertama kalinya masuk ke kota itu. Dalam bukunya, Kinross mengutip kenang-kenangan seorang penghuni: ”Abad [ke-19] ini sedang mendekati akhir. Dengan diam-diam dunia Barat merayap masuk, mencoba memikat Timur dengan keajaibannya…. Dipamerkannya di depan mata kami sihir ilmu pengetahuan dan mukjizat temuan dan ciptaannya. Kami menangkap selintas kecemerlangannya dan dengan malu-malu mendengarkan nyanyian merdu dewi lautnya. Ibarat orang dusun yang ikut dalam sebuah jamuan besar, kami

merasa rendah diri dan tingkah kami kikuk….” Dari sini kita tahu, bukan Mustafa Kemal yang mengubah Turki, tapi Turki memang tak bisa seperti dulu lagi. Seperti kereta api yang mendengus dan berderak masuk ke Salonika, abad baru—dengan segala godaan dan kerisauannya—tak dapat dielakkan siapa pun. Syahdan, anak yang pernah didandani sorban itu kini lebih tertarik kepada pakaian yang lain: seragam yang dikenakan dengan bergas oleh para prajurit. Ia ikut ujian masuk sekolah menengah militer. Ia lulus. Sejarah kemudian mencatatnya sebagai seorang perwira yang tangguh, cerdas, dan bisa menggerakkan pasukannya yang terpojok hingga menang. Pertempuran tentara Turki yang dipimpinnya melawan pasukan Inggris dan sekutunya di jazirah Gallipoli di tahun 1915 adalah sejarah kemenangan Turki yang tak terlupakan. Tapi Kemal sadar, kemenangan itu tak akan selamanya di pihak Turki. Ia tahu ada yang hilang di ”imperium Usmani”: di wilayahnya yang terbentang luas, pelbagai negeri, termasuk Tanah Arab, mulai resah di bawah titah Istanbul. Pada saat yang sama, kekhalifahan kian merosot—sebuah proses yang telah mulai sejak hari-hari akhir Sulaiman yang Agung, setelah baginda jadi murung karena terpaksa membunuh putra-putranya sendiri yang mencoba merebut takhta. Berangsur-angsur, Khilafah Usmani jadi kekuatan yang gombyor dan lembek. Abad ke-20 adalah abad yang kian mengingatkan bahwa mustahil ada kekuasaan yang dapat selamanya kencang dan mampu sepenuhnya mengisi ruang kehidupan—apalagi mengisinya dengan kepastian. Bahkan agama tak dapat dipakai untuk menopang takhta dan kepastiannya. Sejarah dinasti Usmani menunjukkan, pada akhirnya tafsir tentang ”Islam” masa itu dikaitkan dengan ”Islam” para sultan yang hidup antara seraglio yang penuh perempuan simpanan dan medan perang yang penuh dengan bangkai.

Ketika wibawa mereka runtuh, guyah pula wibawa ”Islam”. Akhirnya manusia, apalagi Kemal, tak bisa lagi berharap banyak dari mereka yang mengklaim punya satu hal yang bisa menjawab semua hal. Orang makin sadar, demokrasi diperlukan. Demokrasi adalah sebuah pengakuan akan pentingnya nol: dalam keadaan tak berisi, terkandung sebuah awal ikhtiar untuk memberi isi; tapi dengan nol, manusia menampik ketakaburan. Saya kira Kemal, dalam keresahan dan ketidaksabarannya, dalam semangat dan keterbatasannya, akhirnya menyadari hal itu: ia seorang diktator yang mencoba membangun demokrasi. Ada sebuah anekdot. Pada suatu hari, dalam usahanya memperbaiki sistem politik Turki yang macet karena sikapnya sendiri yang otoriter, Kemal bertemu dengan seorang pegawai muda Kementerian Pendidikan, Hassan Ali namanya. Sang Presiden mengundang anak muda itu duduk di dekatnya. Dengan sikap seorang guru, Kemal mengujinya soal-soal dasar matematika: Apa itu titik? Apa itu garis? Hassan bisa menjawab dengan baik. Lalu Kemal bertanya: ”Apa itu nol?” Hassan Ali: ”Definisi nol yang terbaik adalah sesuatu yang sama dengan diri saya di depan tuan, Pasha.” Kemal: ”Tapi nol itu penting!” Hassan Ali: ”Begitu juga saya, Pasha.” ~Majalah Tempo Edisi. 27/XXXIIIIII/27 Agustus – 02 September 2007~

3:56 Agustus 24, 2007 … pada akhirnya negara adalah orang-orang juga—dengan hidup mereka yang pendek. Pada akhirnya negara—sebagai susunan aparat yang mengurus kehidupan bersama—punya batas

kemampuannya juga. Ia tak akan bisa menguasai mutlak manusia sampai ke batin-batinnya. Ia bahkan kadang tak becus mengurusi hal-hal yang “sepele” misalnya kesehatan, perdagangan lalu lintas …

Formula Agustus 20, 2007 Tiap gagasan luhur butuh sebuah cemooh. Dalam rekaman sejarah, manusia berkali-kali menggagas sebuah masyarakat yang sempurna, tapi akhirnya ia perlu sepotong khayal yang agak lucu. Ia perlu Raja Utopus. Kini kita akan berpihak pada fantasi Thomas More itu. Utopus berhasil membangun sebuah negeri yang tanpa sengketa, tanpa ketimpangan, dan tanpa keserakahan—tapi untuk itu ia harus menggali sebuah kanal dan menegakkan tembok tinggi. Negeri yang sehat walafiat itu mesti dipisahkan dari negeri lain agar tak kena pengaruh buruk. Kesempurnaan hanya bisa terjadi dalam isolasi, dan isolasi hanya bisa dengan paksa. Sebelum Kim Il-sung dan anaknya di Korea Utara, Raja Utopus tahu akan hal itu. Utopia, negeri itu, akhirnya bukan sesuatu yang layak diidamkan—atau sebuah kesempurnaan yang mustahil. Dalam kata ”Utopia” (yang bergerak antara uo-topos yang berarti ”tak bertempat” dan eu-topos yang berarti ”tempat yang baik”) terkandung ironi. Dalam hal ini, Utopia Thomas More, yang diterbitkan pada awal abad ke-16, telah mendahului suara akhir abad ke-20. Pada akhir abad yang lalu, terbukti pelbagai angan-angan luhur telah gagal untuk membuat manusia bahagia. Terbitlah keperluan buat mengambil jarak dari cita-cita kita sendiri; kita harus meledeknya sedikit. Keraguan sebaiknya terbit sekali-sekali. Ironi itu sehat. Tapi ironi mudah mati. Sampai sekarang pun tiap hari ia

dihukum gantung di lapangan umum. Derap langkah mereka yang marah, yang penuh keluh dan protes kepada keadaan, dengan cepat akan membabatnya. Di pihak lain, mereka yang meluap-luap memimpikan dunia baru yang bagai surga juga akan memberantasnya. Benar, tiap gagasan luhur butuh tak hanya doa, tapi juga cemooh, namun cemooh selalu dicap subversi, pengkhianatan, atau paling sedikit pemborosan waktu. Saya kira tak adanya ironi itulah yang tampak mencolok ketika Hizbut Tahrir menghimpun 70 ribu orang di Jakarta pekan lalu. Organisasi ini mencita-citakan berdirinya kembali ”khilafah” di dunia Islam, dan sekaligus ia menolak demokrasi. Tak tampak usaha mengambil jarak dari desain besar itu, tak terdengar selintas pun keraguan—apalagi cemooh—yang dibiarkan mengganggu. Tampaknya tak diperlukan segera renungan dan jawaban: Bagaimana sang ”khalifah” di pucuk pimpinan ditentukan? Oleh siapa? Bagaimana membentuk kekuatan yang bisa menghapus dan mengatasi kedaulatan nasional yang terbangun selama ini? Ironi bukan kenakalan. Ia menandai sebuah kearifan. Sebenarnya kearifan itu bisa datang dari sejarah dunia muslim sendiri—jika sejarah ditafsirkan sebagai jalan hidup manusia yang banyak salah, proses di mana kesucian berhenti. Tapi dengan sikap jiwa yang merasa terpuruk di jurang yang ruwet, para ideolog ”Islamisme” hanya melihat masa lalu seperti langit jernih penuh bintang. Seakan-akan di sana tak pernah ada prahara, bahkan hujan darah. Seakan-akan tak pernah ada Murad III (1574-95) yang punya 103 anak dari sederet istri—sebuah keadaan yang menyulitkan soal kekuasaan dalam khilafah Usmani. Anaknya, Muhammad III (1595-1603), memulai bertakhta dengan membunuh 19 orang saudaranya sendiri. Murad IV (1623-40) melakukan hal yang sama, dan hanya membiarkan seorang adik hidup hanya karena si adik lemah mental. Pendek kata, sejarah—yang selamanya penuh dengan ketidakpastian—tak diantisipasi dengan sebuah sistem yang dapat

mengelola ketidakpastian secara teratur, tanpa kekerasan, tanpa darah. ”Islamisme” gagal belajar dari kondisi itu. Yang dijalankannya adalah ”politik kesempurnaan”: karena Islam dianggap sebagai ”jawaban yang sempurna” untuk membangun sebuah masyarakat yang ”sempurna”, ada usaha menghapus wajah hidup yang tragis dan cela. Yang tragis, yang kurang, yang negatif, dianggap tak punya peran dalam politik. Tak mengherankan bila Hizbut Tahrir, didirikan oleh Taqiuddin al-Nabhani, seorang qadi dari Yerusalem, pada tahun 1953, menampik demokrasi. Demokrasi berdiri dari kesadaran akan kondisi yang tragis: ”luruhnya marka-marka kepastian”, seperti dikatakan Claude Lefort. Dengan catatan: la dissolution des repères de la certitude itu tak hanya disadari sejak Revolusi Prancis. Masa lalu Islam telah memaparkan itu. Setelah Nabi wafat, terbuka ”tempat yang kosong” yang mau tak mau minta diisi—tapi untuk mengisinya tak seorang pun yang akan setara Rasulullah. Tak seorang pun, tak satu golongan Islam pun, yang dapat mengartikulasikan ke-Islam-an secara sempurna. Si pengisi harus bersedia diganti, atau akan terpaksa diganti. ”Tempat kosong” itu tak akan kunjung penuh. Hidup memang tak cocok buat ”politik kesempurnaan”. Hidup adalah tempat ”politik kedaifan”—politik yang lebih tawakal dan tak cepat marah. Manusia berubah tapi keterbatasan menyertainya. Ia makhluk yang dilahirkan kurang. Peradaban justru lahir dari keadaan kurang yang tragis itu. Dostoiwesky benar ketika dalam catatan hariannya ia menulis: ”Semut tahu formula bukit semut mereka, lebah punya formula sarang mereka…. Tapi manusia tak punya formulanya sendiri.” Sebuah formula memang ditawarkan Raja Utopus. Tapi ia makhluk khayal yang tak dengan sendirinya menyenangkan bila malam tiba. Di Utopia, bunyi trompet akan terdengar pada jam-jam tertentu, isyarat bahwa 30 keluarga akan bersantap bersama-sama dalam sebuah komunitas. Dunia privat praktis hilang. Keseragaman memerintah. Rumah dan kota semua tampak mirip. ”Kalau kamu

sudah melihat satu, kamu sudah melihat semuanya,” kata tokoh dalam Utopia yang mengisahkan negeri ajaib itu, Raphael Hythloday. Dalam bahasa Yunani, konon hythloday berarti ”pembicara omong-kosong”. Kita geli. Tapi bukankah di awal dan di akhir, ironi tak bisa diabaikan, dan cemooh bagian dari jalan ke kebenaran? ~Majalah Tempo Edisi. 26/XXXIIIIII/20 – 26 Agustus 2007~

1:558 Agustus 17, 2007 … di negeri yang malang, seseorang yang memilih menjadi manusia akan tampak seperti malaikat …

Ada Revolusi di Bulan Agustus 1945 Agustus 13, 2007 ADA sebuah revolusi di bulan Agustus 1945—meskipun tak ada pemberontakan. Di Jakarta hari itu tak ada gelombang massa yang menghancurkan sebuah penjara, tak ada tentara rakyat yang menjebol sebuah kekuasaan yang mencoba terus tegak. Di seberang sana, tak ada barikade, juga tak ada takhta yang bisa memberikan titah agar revolusi dipadamkan. Pada pagi hari 62 tahun yang lalu itu yang tampak hanya sejumlah orang yang mendengarkan Bung Karno membacak